Sabtu, 29 September 2012

“Harga” Orang Aceh


Di mata Snouck Hurgronje, “Orang Aceh wajib disakiti dengan sesakit-sakitnya, dihina dengan sehina-hinanya dan dihancurkan hingga hilang rasa kemuliaannya.” Setelah diuji, ternyata doktrin ini selamanya gagal, jika menyakiti fisik orang Aceh.

Oleh Yusra Habib Abdul Gani (*

ORANG Aceh pantas merasa bangga, karena memiliki karakter “Superiority Complex”, yang memandang dirinya lebih mulia daripada Belanda, dengan menyebut dirinya, “Ulôntuan” yang berarti, “Aku adalah Tuan”. Penerapan sebutan ini dalam pertuturan sehari-hari mengalami proses pemèndèkan; yang apabila dipanggil, seseorang akan menyahut, “Wan”, yang akar katanya berasal dari “Ulôntuan.” Artinya, orang Aceh memandang dirinya tetap sebagai “Tuan” dihadapan siapapun juga. Namun, Karakteristik ini secara tidak langsung terbawa-bawa ke dalam strata kehidupan politik.

Di mata Snouck Hurgronje, “Superiority complex” ini disifatkannya sebagai “penyakit jiwa”, angkuh dan sombong, bukan sifat keutamaan, hingga muncul doktrin Snouck, “Orang Aceh wajib disakiti dengan sesakit-sakitnya, dihina dengan sehina-hinanya dan dihancurkan hingga hilang rasa kemuliaannya.” Setelah diuji, doktrin ini selamanya gagal, jika menyakiti fisik orang Aceh. 

  
Sebenarnya, untuk memperdaya atau mengubah mental “ke-tuan-an” Aceh menjadi “babu” atau “lamit”, ada cara yang simpatik, yakni secara perlahan-lahan, rasa “superiority complex” ini digiring, diarahkan dan dimanfaatkan, hingga tidak sadar kalau mereka diperalat sebagai “barang” dagang politik untuk kepentingan politik. Tegasnya sebagai objek politik.

Aceh pernah dipakai sebagai brand (merek), sebab dianggap punya daya pikat dan nilai jual dalam perniagaan politik lokal, nasional maupun Internasional. Nama “Aceh” berpotensi melariskan barang dagang politik kontemporer.

Dalam skala politik internasional misalnya, “Aceh” pernah dipakai sebagai brand oleh Van Sweten tahun 1874, yang berkata, “Aceh sudah kita taklukkan”, yang ternyata bisa mempengaruhi opini dunia internasional pada masa itu. Sampai-sampai Ratu dan rakyat di seluruh pelosok Belanda keluar rumah berpestapora di jalan-jalan, merayakan kemenangan, setelah menerima pengumuman Van Sweten. Walaupun realitas yang terjadi di medan perang justeru sebaliknya.

Isu “kekalahan” Aceh, ternyata mempengaruhi kebijakan British, hingga memberi hak “belligerent power” (kuasa berdagang dalam suasana perang) kepada Aceh dan pihak asing untuk berdagang di Selat Melaka. Maksud pemberian hak ini, selain untuk mendeteksi peta kekuataan Angkatan Laut Aceh, juga menguntungkan perdagangan pihak asing di Selat Melaka khususnya, seperti, Belanda, Inggris, Perancis dan USA dan di kawasan Asia Tenggara umumnya.

Dalam skala nasional, “orang Aceh” pernah dimanfaatkan Soekarno sebagai brand dagang politik untuk menyelamatkan Indonesia, di mana Tgk Hasan Krueng Kaléé, Tgk Daud Beureuéh, Tgk Djafar Sidiq Lamdjabat dan Tgk Ahmad Hasbalah Indrapuri, Teuku Njak Arif dan Tuanku Mahmud dibujuk untuk mengeluarkan Maklumat Ulama Seluruh Aceh, tanggal 5 Oktober 1945, yang menyebut, “...Indonesia tanah tumpah darah kita telah dimaklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia di bawah pimpinan dari yang maha Pemimpin kita Ir Soekarno. Perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut “Perang Sabil”.

Kalimat “maha Pemimpin” dan “Perang Sabil” adalah brand politik made-in Aceh, untuk mempengaruhi orang Aceh melihat figur Soekarno, hingga rela terseret dalam perang Surabaya dan Bandung Lautan Api. Padahal, nasib masa depan Aceh ketika itu tidak menentu. Brand politik ini menciptakan Soekarno sangat populer. Jadi tak heran, kalau dalam kunjungan Soekarno ke Aceh tahun 1948; sekembalinya ke Jawa membawa 10 koper berisi tekstil, setengah kilogram emas dan sejumlah jam tangan berlapis emas, padahal sewaktu berangkat dari Yogyakarta ia hanya membawa sebuah koper saja, bahkan baju jasnya dijahitkan oleh Bantasyam, seorang penjahit di Bireuën.

Diakui, kalau sebutan “Pemimpin Besar Revolusi” kepada Sukarno telah dicabut melalui Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966; melucuti semua sebutan, seperti: “Paduka Yang Mulia” (P.Y.M.), “Yang Mulia” (Y.M.), “Paduka Tuan” (P.T.) diganti dengan sebutan “Bapak/Ibu” atau “Saudara/Saudari” melalui Ketetapan MPRS No. XXXI/MPRS/1966, bahkan mencabut semua atribut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, lewat Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. 


Anèhnya, sebutan “maha pemimpin” yang tertera dalam Maklumat Ulama Seluruh Aceh, sampai hari ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang mencabutnya. Berarti, secara politik dan yuridis formal, sebutan “maha Pemimpin” made-in Aceh itu masih sah berlaku. Mengapa? Beginilah mahalnya brand Aceh dalam perdagangan politik Indonesia kemaren, hari ini dan esok.

Bukan hanya itu, pencetus idé supaya Soekarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup keluar dari mulut Ali Hasymi, Gubernur Aceh (periode 1957-1964). Ide tersebut mendapat sambutan dari kalangan politisi. Sehingga ide itu kemudian ditetapkan melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang: Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.

Kemujaraban brand Aceh, telah memansukhkan pasal 5, UUD-1945 (sebelum amandemen yang tertera dalam pasal 7) tahun 1999, 2000,201 dan 2002, tentang: ketentuan Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam memori penjelasan TAP-MPRS ini disebut: “... mengangkat Sukarno sebagai Presiden seumur hidup semata-mata untuk menghidupkan dan memperkaya preceden dalam ketata-negaraan Indonesia...” Soekarno tidak menolak, kendatipun rumusan ini berlawanan dengan UUD-1945. Soal kemudian, TAP-MPRS ini dimansukhkan, itu soal lain. Yang pasti, ucapan orang Aceh, bukan saja dijadikan “barang” dagang politik, tetapi laku dipakai untuk melakukan perbuatan makar terhadap konstitusi.

Selanjutnya, di tahun 1987, saat Bustanul Arifin (Ketua Bulog ketika itu) bertanya kepada Tengku Daud Beureuéh yang tengah dalam keadaan koma: “Apakah Tengku merestui Golkar menang di Aceh?”. Wartawan bertanya: “apa renpons Tengku?” “Tengku merestui,” Jawab Bustanil. “Suara asing” ini dipasarkan untuk memenangkan Golkar di Aceh ketika itu.

Dalam situasi dan isu yang berbeda; Tengku Hasan. M di Tiro yang sedang dalam keadaan koma sempat menitip pesan: “Jaga perdamaian Aceh” kepada Malik Mahmud. Demikian pengakuan Malik Mahmud kepada wartawan. [Sumber: Acehkita].

Sekarang, figur Aceh yang layak jual sudah kosong. Kadar kemampuan ulama, politisi, tokoh masyarakat dan cendekiawan Aceh saat ini berada di bawah standard. Orang Aceh hampir sepenuhnya berubah dari mental “Tuan” menjadi “babu” politik. Oleh sebab itu, “permintaan maaf” sepihak dari Wiranto kepada orang Aceh (06/08/1998) di Lhôkseumawé dan berhasilnya MoU Helsinki ditanda tangani atas inisiatif Jusuf Kalla, terpaksa dipakai oleh pasangan JK-Wiranto sebagai “barang” dagang politik dalam pesta demokrasi di Indonesia. SBY juga dianggap berjasa dalam isu Helsinki. Padahal, kalau mau jujur, tangan siapa (calon Pres-Wapres RI) yang tidak kotor di Aceh? Namun, orang Aceh tetap antusias memenangkan SBY dengan mengantongi 93% suara di Aceh.

Dari sudut politik, orang Aceh bukan tuan politik. Padahal tuan politik ialah orang yang mampu menempatkan diri sebagai subjek, bukan objek kekuasaan dan bencana yang paling dahsyat dalam peradaban manusia terjadi, ketika predikat “superiority complex” -nilai-nilai ke-Aceh-an- dilucuti dan diremukkan oleh suatu kekuatan yang tidak pernah terpikir sebelumnya. 
* Penulis adalah Dikrektur Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark
Di Kutip dari Harian Serambi Indonesia 19 Agustus 2010.

“Wahai Garuda Turunlah!”




PRESIDEN Soekarno tiba di Aceh, lalu singgah di Kutaraja untuk memohon pengertian rakyat Aceh: betapa negeri yang baru merdeka ini sangat membutuhkan kesetiaan rakyat, modal pengusaha, dan doa ulama. Bagi republik yang masih mencari format kenegaraan dan ketatanegaraan, di usia yang belia, tempo dulu, proaktif dan partisipatif daerah dituntut lebih.


Lantaran sedang merancang dan mencoba bentuk ketatanegaraan, wajar rasanya jika wilayah Aceh semula sempat bersama dalam satu provinsi dengan Sumatera, di bawah Gubernur Mr T Muhammad Hasan, kemudian terpilah-pilah dan tergabung kembali dengan beberapa wilayah lain.

Beberapa kali Aceh dipisah lagi dalam keresidenan, bersama wilayah tetangga seperti bersama Sumatera Timur dan Tapanuli. Saat Aceh dalam keresidenan, pernah Teuku Nyak Arief dan Teuku Daud Syah pernah menjadi residen yang berpusat di Kutaraja. Aceh juga pernah dipimpin oleh Tgk Muhammad Daud Beureueh--Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo--dalam format provinsi.

Nah, tatkala Abu Beureueh didengar dan ditaati rakyat--alasan klasik, karena karismanya--di sebelah selatan Masjid Raya Baiturrahman itu, Presiden Soekarno, dengan jas hitam, kacamata gelap, dan berpeci nasional itu, berdialog dengan elemen masyarakat, unsur ulama, dan saudagar kita. Tentu juga dengan ribuan rakyat Aceh yang dibilang heroik. Kisahnya terurai haru di buku sejarawan: beberapa bulan sebelum peringatan dirgahayu empat tahun kemerdekaan RI, Agustus 1949.

Peristiwa kesetiaan orang Aceh dengan republik yang amat penting di kala genting itu, berlangsung di Atjeh Hotel--sekitar 10 tahun lalu sudah terbakar (atau dibakar?). Konon di pertapakannya akan dibangun hotel (Novotel Hotel Aceh) bertaraf internasional. Namun sudah bilangan tahun, baru ada pancangan “angker”, yang usai tsunami telah dicat berwarna-warni. Di sana juga seniman akrab melantunkan puisi. Kalau ada keramaian, pameran, dan nyanyian di Taman Sari, bekas pertapakan Hotel Aceh dijadikan area parkir oleh Pemkot Banda Aceh, atau oleh “preman gampong” sekitar.

Hotel Aceh di Jalan Mohammad Jam itu, berdiri persis pada jarak hampir seratus meter dari tempat putrinya, Megawati Soekarno Putri, dengan kerudung cantik--usai shalat dua rakaat--juga sukses berpidato dan berjanji di hadapan ribuan rakyat Aceh, pada suatu siang 8 September 2001, dari halaman Masjid Raya Baiturrahman.

Kalau dua pertiga abad yang lalu, ayahnya dan rakyat Aceh mencetuskan pembelian Dakota, lalu 10 tahun yang silam, Megawati berpidato di Masjid Raya Baiturrahman tentang jasa orang Aceh (juga soal pesawat awal kemerdekaan), maka 26 September enam tahun silam, kembali bersama Pemda Aceh di Blang Bintang, dalam hujan deras, lagi-lagi putri Bung Karno itu meresmikan “sayap-sayap Seulawah NAD” untuk “mengepak” kembali. Ini juga sebait nostalgia indah yang aduhai, di awal era otonomi, yang ternyata jadi kisah kelam kembali, karena “sayap Seulawah” patah lagi, patah pate, bersama kasus-kasus korupsi, dan bagi generasi Aceh, ini kegelapan atas kegelapan.

Maskapai Garuda Indonesia saat ini

Terus, dari lobi Hotel Aceh yang melegenda itu, pesawat udara Seulawah (Pioner Garuda Indonesian Airways) dicatat kisahnya. Untuk ini, salah satu tokoh Aceh--Tgk Mansoer Ismail, Sekretaris Abu Daud Beureueh--yang sempat melihat langkah dan air mata Soekarno merekam untuk kita. “Terakhir ia menumpahkan air mata buayanya untuk memperdaya tokoh masyarakat dan ulama,” kenang Abu Mansoer Ismail di Beureunuen dalam usia rentanya, tanpa tunjangan pensiunan itu, pada Munawardi Ismail, seorang wartawan yang sekampung dengannya.

Dan ternyata proyek Seulawah RI-001--cikal bakal GIA yang repliknya ada di Blang Padang--itu cuma satu yang dapat terbeli. “Satu unit lagi entah di mana rimbanya,” gugat Abu Mansoer agak sesal, pada “cucu”nya itu.

Dalam pertemuan di Hotel Aceh itu, antara Presiden beserta rombongan berdialog dengan GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh). Dia setelah membicarakan situasi negara yang genting, juga saat itu mengusulkan dan meminta pihak GASIDA kiranya sanggup menyediakan sebuah pesawat terbang Dakota yang seharga sekitar M$ 120 (dolar Malaya) atau kira-kira 25 kg emas.

Aneh sekali, menjelang akhir pertemuan itu, Presiden mengatakan tidak mau makan sebelum mendengar jawaban dari para pengusaha, sanggup atau tidak. Atas usul tersebut, Ketua GASIDA, M Djuned Yusuf, Haji Zainuddin dan sesepuh lainnya yang hadir dalam pertemuan itu, mengisyaratkan pada pada T Muhammad Ali Panglima Polem (sebagai jubir) bahwa menerima usul Presiden. Lalu Sang Presiden yang pertama RI itupun mau makan--maaf, kayak anak-anak yang diiming-iming hadiah, sebelum makan saja.

Belakangan GASIDA membentuk suatu panitia, yang diketuai T M Ali Panglima Polem sendiri. Berdasarkan pembicaraan dengan Residen Aceh, kemudian diputuskan akan membeli dua pesawat terbang Dakota. Satu atas nama GASIDA dan yang satu lagi atas nama seluruh rakyat Aceh. Upaya mengumpulkan dana dan emas, menurut Abu Mansoer (lahir di Jangka Buya Ulee Gle, 1902) oleh Abu Beureueh meminta Abu Daoed (staf wakil kepala keuangan kantor gubernur militer), Mansoer Ismail, dan T H Husen Samalanga (pegawai kantor gubernur militer) untuk meminta bantuan dari saudagar dan pedagang emas.

Kedua pesawat yang dibeli dengan uang rakyat itu masing-masing diberi nama Seulawah I dan Seulawah II. Rute semula pesawat ke luar negeri, yakni Ranggoon (Birma) dan India. Soal siapa yang duluan membeli pesawat Dakota ini, tim lain dari residen lain, mungkin belum berhasil membeli seperti yang dilakukan rakyat Aceh.

Padahal selain dana S$ 500 ribu, rakyat Aceh juga menyumbang dalam bentuk hewan (kerbau) untuk perjuangan di ibukota Yogyakarta waktu itu. Kelak, atas sumbangan rakyat Aceh berupa uang dan emas, pemerintah di Yogyakarta, khususnya KSU-AURI (Kepala Staf Angkatan Udara RI) mengucapkan terima kasih, thank you. Telegram juga diterima dari AURI Komandemen Udara di Bukit Tinggi, pada Agustus 1948. T M Ali Panglima Polem selaku Ketua Panitia, menerima sebuah surat dari sana, karena kebetulan Presiden juga sempat ke Sumatera Barat itu.

Seorang keturunan T M Ali Panglima Polem, T Zainal Arifin di Banda Aceh, beberapa hari yang lalu, dalam Droe Keu Droe (Serambi Indonesia) juga membenarkan kita bahwa T M Ali Panglima Polem sebagai Ketua Panitia saat itu, dan dengan tegas memohon Menteri BUMN “kap igoe”, demi harkat dan marwah Aceh, di tengah ambisi Garuda menjual sahamnya.

Akhirnya, hari ini, kita mengharap itikad baik manajemen Garuda untuk--mengutip kata-kata Bung Karno--jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah), sebelum orang Aceh marah dan geram padanya. Turunlah, menunduklah, rendah hatilah pada “kakakmu” Seulawah, pada jasa orang Aceh, yang “melahirkanmu”.

Hari ini, sambil mendengar bisingan pesawat Garuda di langit Aceh, anak cucu kita, siswa dan mahasiswa yang membaca sejarah, atau melihat replikanya di Blang Padang Indonesian Airways, mungkin bertanya kembali;

Setelah Seulawah Aceh milik Pemda “jatuh”; di tengah penjualan saham milik Garuda ke pihak asing--tanpa deviden (pembagian hak) apa pun buat Aceh; bagaimana lagi cara kita mengenang pesawat Seulawah, karena “kepak-kepak sayap” yang sudah patah, patah pate; kalau bukan meminta sambil menengadah ke atas pada “burung besi”; Garuda, turunlah!


Minggu, 02 September 2012

Surat Kerajaan Aceh Akui Kedaulatan Belanda




                          Abdul Hamid, diutus oleh Sultan Alauddin Al Mukamil, Diplomat Pertama Asia Asal Aceh Meninggal di Belanda

SATU lagi sejarah hubungan Aceh dengan Belanda yang harus tetap diingat, di samping catatan lain yang menyebutkan bahwa Belanda itu gemilang karena Aceh mulanya. Belanda sengaja mencari celah berdagang ke Aceh, karena mereka paham benar hasil alam Aceh yang melimpah-ruah. Atas kesadaran itulah, Belanda mengadakan kerja sama dengan Aceh.
Belanda juga pernah membuat pengakuan bahwa;

“Meski ditanam bom pada setiap helai daun rumput di tanah Aceh, niscaya Aceh tetap takkan habis.” 

Kekaguman Belanda ini tertera dalam karangan H.C. Zentgraaf, jurnalis Belanda yang banyak menulis tentang Aceh.

Tanggal 1 September, merupakan hari penting bagi Aceh-Belanda. Hari dengan tanggal yang sama dengan hari ini, tepatnya 1 September 1602 silam, Laksamana Sri Muhammad dan Mir Hasan dari Kerjaan Aceh memberikan surat dan dokumen kerja sama Aceh-Belanda kepada Pangeran Mauritz. Pangeran Mauritz adalah pemegang tampuk kekuasaan Belanda pada Dinasti Orange.

Kerja sama tersebut disambut baik oleh Belanda, karena Mauritz yakin dilomasi dan kerja sama dengan Aceh akan dapat mengimbangi dominasi Portugis di Belanda. Sebelumnya, Belanda terjepit oleh penguasaan dagang Portugis dan Spanyol yang mampu mengontrol jalur laut mulai Giblaltar, Samudera Atlantik, hingga Samudera Hindia.

Kerja sama Aceh dan Belanda itu juga atas permintaan negeri Kincir Angin tersebut. Pangeran Mauritz sengaja mengirimkan utusan ke Aceh, yang tiba pada 25 Agustus 1601. Utusan tersebut membawa surat permohonan kerja sama Belanda untuk Aceh. Surat tersebut ditandatangani langsung oleh Pangeran Mauritz di Den Haag, tertanggal 11 Desember 1600.

Dalam surat bujukan kerja sama itu, Belanda mencoba “merayu” Aceh dengan mengatakan bahwa Portugis telah menjajah Aceh dan Belanda siap bekerja sama dengan Aceh. Tanpa berburuk sangka, Aceh lantas mengirimkan utusan ke Belanda, di bawah pimpinan Abdul Hamid, yang kemudian meninggal di Belanda.

Karena meninggalnya pimpinan utusan Kerajaan Aceh itu, Laksamana Sri Muhammad turun tangan langsung menyerahkan berkas dan dokumen sebagai bukti kerja sama Aceh-Belanda. Dengan surat kerja sama ini pula, Aceh secara de facto dan de jure mengakui kemerdekaan Belanda di bawah pimpinan Pangeran Mauritz dari Dinasti Orange van Nassau.

Dari catatan sejarah ini dapat dipastikan Kerajaan Aceh adalah yang pertama dari seluruh negara di dunia mengakui Belanda sebagai sebuah negara, yang memiliki wilayah dan kekuasaan. Sebelumnya, Belanda merupakan jajahan Spanyol.

Pengakuan ini pula awal kerja sama Aceh dengan Belanda. Namun, dalam perjalanan sejarah, Belanda mengkianati perjanjian diplomatik tersebut dengan mengeluarkan maklumat “PERANG” terhadap Aceh pada 26 Maret 1873.

Sejarah pula yang membuktikan bahwa Aceh tidak pernah takut dan takluk oleh kaphe Beulanda (Kafir Belanda). Negara kincir angin itu akhirnya meninggalkan Aceh setelah membuat pengakuan bahwa Aceh adalah negara yang berdaulat. Artinya, Aceh terlebih dulu berdaulat ketimbang Belanda.

Sumber Kutipan : http://www.atjehcyber.net/2012/09/surat-kerajaan-aceh-akui-kedaulatan.html