Jumat, 15 November 2013

Cut Nyak Dhien dan Kisah Cintanya



 

“Mengungsilah! Semoga Allah melindungimu. Tujuh puluh pengawal bersenjata aku tinggalkan untuk menemanimu. Sekalian mereka itu adalah kawan-kawan terpilih yang setia. Sekiranya kita tidak bertemu, kawan yang tujuh puluh orang itulah yang akan bersamamu berjuang di jalan Allah...”

Penulis M. Adli Abdullah (*

Itulah pesan akhir Ibrahim Lam Nga' pada isteri tercintanya, Cut Nyak Dien. Dan perjuangan Ibrahim mempertahankan tanah airnya, makin menambah rasa cinta isterinya Cut Nyak Dien. Serpihan sejarah kisah cinta dua pejuang sejati itu dikisahkan dalam buku M.H. Szekely-Lulofs, seorang puteri Lulofs, yang pernah bertugas di Sumatra Utara. 

Kisah cinta heroik itu dapat dibaca dalam buku Tjoet Nya Din : Riwajat Hidup Seorang Puteri Atjeh yang kemudian diterjemahkan A. Muis, setelah beberapa tahun Indonesia merdeka.
Ketika itu 26 Desember 1875, Belanda menyerang Lam Padang tempat kediaman resmi mareka, Ibrahim mengungsikan ibunda mertuanya dan Cut Nyak Dien ke Montasik. Itulah pertemuan terakhirnya dengan sang isteri hingga Ibrahim terbunuh pada malam tanggal 29 Juni 1878 di Glee Taroen. 

Pada malam itu, sedang terjadi musyawarah di Gle Taroen untuk mempersiapkan pengepungan kembali Krueng Raba, pos Belanda yang terpenting di pesisir barat (Van Veer, Perang Aceh, 93).
Ketika itu semua petinggi diundang untuk hadir seperti Teuku Bait Budiman, Nyakman, Teuku Rajoet, Imueng Lueng Bata, Panglima Polem, Tuanku Hasyim, Tuanku Raja Keumala. Di dalam pertemuan tersebut yang “berhalangan hadir” adalah Teuku Bait Budiman dan Habib Abdurrahman. 

Sampai pada tengah malam ketika Ibrahim dan pemimpin pemimpin Aceh lagi berkumpul datanglah pasukan Belanda yang di pimpin oleh Jenderal Van Der Hiejden sehingga Ibrahim Lamnga, Teuku Rajoet, dan Panglima Nyakman syahid di Gle Taroen. Mereka akhirnya dimakamkan di Mesjid Montasik. Sedangkan Habib Abdurrahman dan Teuku Bait Budiman lagi mengatur siasat untuk penyerahan diri mareka kepada Belanda.

Cut Nyak Dien merasakan kepiluhan. Ia seperti tak percaya kalau suami tercinta terbunuh. Ayahnya Nanta Setia mencoba menenangkan hati putrinya. 

“...Sabarkanlah hatimu, anakku! Teguhkan iman! Ia telah Sahid, telah memenuhi tugas...!”

Dalam buku M. H Szekely-Lulofs itu, diceritakan bagaimana Tjoet Nya Din makin menjadi-jadi. "Lalu bersimpuhlah ia di tanah, di tanainya (dipangku, red) kepala Ibrahim, dan diletakkannya diatas pangkuannya.

Dan berkatalah ia dengan sesak nafas kepada ayahnya: 

Setelah ia tak ada lagi, setelah suamiku ini berpulang ke Rahmatullah, tunjukkanlah kepadaku wahai Ayahku! Hendak kemanakah aku menyangsangkan diri...? Kemanakah aku hendak bergantung?

Dan jika aku terpaksa memilih suami pula, diantara sekalian orang laki-laki, tak akan ada seorang pun yang akan kucintai sebagaimana aku telah mencintainya,

"...Dan meskipun aku akan dapat memilih diantara seratus orang laki-laki yang patut akan menjadi suamiku, Namun yang seorang ini tidak akan dapat diganti, Walau dengan seratus orang sekalipun tidak mungkin!

Hanya kepada yang seorang inilah cintaku akan melekat, hanya kepada Ibrahim sahaja, suamiku..., kekasihku!”

Kisah cinta Ibrahim Lamnga dengan Cut Nyak Dhien adalah romantisme di blantika perjuangan Aceh. Namun Ibrahim Lamnga yang sangat ditakuti Belanda sendiri seperti hilang dalam deretan nama pahlawan Nasional Indonesia. 

Selama ini kita hanya mengenal nama Cut Nyak Dhien bersama suami kedua Teuku Umar. Bahkan Eros Djarot sudah pernah membuat film Cut Nyak Dhien, namun sayangnya, sosok dan alasan utama Cut Nyak Dhien maju ke medan perang tidak muncul sama sekali.

Menurut sejarah, ketika pernyataan perang kerajaan Belanda terhadap kerajaan Aceh pada tanggal 26 Maret 1873 yang dibacakan oleh Komisaris Pemerintah Belanda, J.F. Nieuwenhuijzen di atas kapal Citadel van Antwerpen. 

Sultan Alaidin Mansursyah memutuskan menghadapi ancaman Belanda dengan semangat jihad, dan segenap lapisan rakyat diserukan ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kehormatan dan kedaulatan dari setiap serangan. Dan satu persatu pahlawan negeri maju ke medan perang melawan Belanda, termasuk Teuku Ibrahim Lamnga, suami Cut Nyak Dhien. 

Dan saya yakin banyak di antara kita tidak pernah tahu dimana pusaranya sampai hari ini yang terbaring di samping mesjid Montasik.

Teuku Ibrahim Lam nga menikahi Cut Nyak Dhien pada tahun 1862 ketika Cut Nyak masih berumur 12 tahun. Saat Belanda menyerang Kerajaan Aceh Darussalam itu, Cut Nyak Dien tidak dibawa ke medan perang tetapi dilindungi dan diungsikan ke daerah aman oleh Teuku Ibrahim Lamnga dan ayahnya Nanta Seutia. Ibrahim Lamnga merupakan martir perlawanan yang sangat ditakuti musuh dan dihormati kawan.

Seperti kita simak dalam sepenggal pidatonya ketika menggelorakan perang terhadap Belanda di depan para pembesar Aceh, di antaranya tercatat mertuanya Nanta Setia Teuku Hoesin, Teungku Imuem Lueng Bata, Teuku Panglima Polem, Teuku Along (Abang Panglima Polem), Teuku Purba, Raja Pidie s eperti ditulis M.H. Szekely-Lulofs. 

“Bahwa kami sampai kepada detak jantung yang penghabisan akan tetap memperjuangkan kemerdekaan Atjeh...!”.

Maka dengan gembira ia menyambung kata-katanya pula : 

“Hai budjang! Hai anakku! Laki-laki engkau! Ayahmu, Datukmu laki-laki pula! Perlihatkanlah kedjantananmu itu!

Orang “kaphe” hendak mendjadjah kita, hendak memperbudak kita, hendak mengganti agama kita dengan agamanja, agama kafir...!!.

Sebudi akalmu, dengan seada-ada tenagamu, pertahankanlah hak-hak kita, orang Atjeh...!.

Pertahankanlah agama kita, agama Islam, wahai anakku! Turutkanlah djedjak ayahmu, menjambut kedatangan “kaphe”, dan mengusir mereka keluar batas Atjeh...!!”.
Pidato Teuku Ibrahim Lamnga itu telah mengkobarkan semangat para pejuang Aceh untuk mengusir Belanda. Ketika terjadi pendaratan pertama Belanda pada tanggal 26 Maret 1873, pimpinan pasukan Kohler harus menghembuskan nyawanya setelah sebutir peluru menebus dadanya dan tewas di depan Mesjid Raya Baiturrahman, setelah dia membakar mesjid yang bersejarah tersebut pada tanggal 14 April 1873.

Ibrahim bersama teman temannya Panglima Nyak Man, Teuku Along, Teungku Imuem Lueng Bata, Nanta Setia,Teuku Rajoet (abang Cut Nyak Dien), terus bergerilya dan berperang dengan Belanda. 

Kemudian, Habib Abdurrahman datang dari Pulau Penang bersama 2000 pasukannya untuk bergabung di Aceh Besar. Pada awal Bulan Februari 1878 pasukan Aceh berhasil merebut kembali Krung Raba Lhoknga. Dan sempat membuat kucar kacir pasukan Jenderal van der Heyden.

Teuku Umar abang sepupunya Cut Nyak Dien, kemudian mereka menikah dan melanjutkan perjuangan Ibrahim. Cut Nyak Dhien yang tak pernah menyerah, kemudian ditangkap Belanda dan meninggal pada tanggal 6 November 1908 di Sumedang. 

Cut Nyak Dien wafat yang berstatus isteri ketiga dari Teuku Umar. Sebelumnya Teuku Umar menikahi Nyak Sapiah, puteri Ule Balang Glumpang; dan Nyak Maligo, puteri Panglima Sagoe 25. Mereka bersama sama berjuang mempertahankan agama dan tanah airnya.

Kisah cinta dan perjuangan Cut Nyak Dhien adalah sejarah pahit dan kepedihan panjang. Ia kawin dengan pejuang lalu ditawan di negeri orang, dan mati dalam kesepihan. Namun satu yang tetap hidup, yaitu kesetiaan atas tanah air meskipun dengan menggadai nyawa. 

Perjuangan dan cintanya bukan sebatas kijang Inova. Demikian pula, Teuku Ibrahim Lamnga yang perjuang penuh getir hingga terbunuh akibat pengkhianatan.

Dan apa yang diperankan Christine Hakim dalam film Cut Nyak Dhien dan Eros, hanya secuil dari fakta sejarah itu sendiri. Bagi para mujahid itu, zaman boleh berganti, tapi perjuangan tak pernah mati. Dari kisah itu, kita generasi Aceh sekarang seharusnya berkaca. Damailah kalian pahlawan kami.
Sumber : http://www.atjehcyber.net/2013/01/romansa-cinta-cut-nyak-dhien-dan-nanta.html

Senin, 11 November 2013

Dhien, Sebuah Akhir di Tanah Yang Sepi



HARI itu, tepat 11 Desember 1906, Bupati Sumedang waktu itu, Pangeran Aria Suriaatmaja, kedatangan tiga orang tamu. Ketiganya merupakan tawanan titipan dari pemerintah Hindia Belanda. Seorang perempuan tua, renta, rabun serta menderita encok.

Seorang lagi lelaki tegap berumur kurang lebih berumur 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15 tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tetap kelihatan tabah. Pakaian lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.

Belakangan karena melihat perempuan tua itu sangat taat beragama, Pangeran Aria Suriaatmaja tidak menempatkannya di penjara. Melainkan memilih menempatkannya disalah satu rumah milik tokoh agama setempat.

Kepada Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta dan menderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 06 November 1908 masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan tua itu.

Perjalanan sangat panjang telah ditempuh perempuan tua itu sebelum akhirnya beristirahat dengan damai dan dimakamkan di Gunung Puyuh tak jauh dari pusat kota Sumedang. Yang mereka tahu, karena kesehatannya yang sangat buruk, perempuan tua nyaris tak pernah keluar rumah. Kegiatannyapun terbatas hanya berdzikir atau mengajari mengaji ibu-ibu dan anak-anak setempat yang datang berkunjung.

Sesekali mereka membawakannya pakaian atau sekadar makanan pada perempuan tua yang santun itu yang belakangan karena penguasaanya terhadap ilmu-ilmu agama disebut dengan Ibu Perbu.

Waktu itu tak ada yang menyangka bila perempuan tua yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah The Queen of Aceh Batlle dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Nyak Dhien. Ya, hari-hari terakhir Tjoet Nyak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh dari tanah air dan orang-orang yang dicintai.



Gadis kecil cantik dan cerdas bernama Cut Nyak Dhien. Dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang tahun 1848. Ayahnya adalah Uleebalang bernama Teuku Nanta Setia yang merupakan keturunan perantau Minang yang datang dari Sumatera Barat ke Aceh sekitar abad 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.

Tumbuh dalam lingkungan yang memegang tradisi beragama yang ketat membuat gadis kecil Cut Nyak Dhien menjadi gadis yang cerdas. Pada usianya yang ke 12 dia kemudian dinikahkan oleh orangtuanya dengan Teuku Ibrahim Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII.

Suasana perang yang bergelanyut diatmosfir Aceh pecah ketika 1 April 1873, F.N. Nieuwenhuyzen memaklumatkan perang terhadap kesultanan Aceh. Sejak saat itu gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh selalu berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh. Dan Tjoet Nyak Dhien tentu ada disana, ditengah tebasan rencong, pekik perang dan dentuman meriam.


Dia juga yang berteriak membakar semangat rakyat Aceh ketika Masjid Raya jatuh dan di bakar tentara Belanda.

“Rakyatku, sekalian mukmin orang-orang Aceh! Lihatlah! Saksikan dengan matamu masjid kita dibakar! tempat Ibadah kita dibinasakannya! Mereka menentang Allah! Camkanlah itu! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah memaafkan para kafir Belanda! Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata!” (Szekely Lulofs, 1951:59).


Perang Aceh adalah cerita tentang keberanian, pengorbanan dan kecintaan terhadap tanah lahir, begitu juga Tjoet Nyak Dhien. Bersama ayah dan suaminya, setiap harinya waktu dihabiskan untuk berperang, berperang dan berperang melawan Kaphe Beulanda. Tetapi perang juga lah yang mengambil satu-persatu orang yang dicintainya, ayahnya lalu suaminya menyusul gugur dalam pertempuran di Glee Tarom 29 Juni 1070.

Dua tahun kemudian, Tjoet Nyak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.

Tetapi bagi Tjoet, perang melawan Belanda bukan hanya milik Teuku Umar, Teungku Ibrahim Lamnga suaminya bukan juga monopoli Teuku Nanta Setia ayahnya atau para lelaki Aceh saja. Perang Aceh adalah milik semesta rakyat. Setidaknya itulah yang ditunjukan Tjoet Nyak Dhien, dia tetap mengorganisir serangan-serangan terhadap Belanda.

Bertahun-tahun kemudian, segala energi dan pemikiaran putri bangsawan itu hanya dicurahkan pada perang. Berpindah dari satu persembunyian ke persembunyian yang lain, kurang makan dan kurangnya rawatan kesehatan membuat kebugarannya merosot.

Kondisi pasukannya pun tak jauh berbeda. Pasukan itu bertambah lemah hingga ketika pada pada 16 November 1905 sepasukan Belanda menyerbu ke tempat persembunyiannya, Tjoet Nyak Dhien dan pasukan kecilnya kalah telak.

Dengan usia yang telah menua, rabun dan sakit-sakitan Tjoet memang tak bisa berbuat banyak. Rencong pun nyaris tak berguna untuk membela diri. Ya, Tjoet tertangkap dan dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) lalu dibuang Sumedang, Jawa Barat.

Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.

Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor, Jauh sebelum dunia barat berkoar menyamaratakan persamaan hak yang bernama, Emansipasi.



Sumber : http://www.atjehcyber.net/2011/11/dhien-sebuah-akhir-di-tanah-sepi.html

Sosok Soeharto Dimata Orang Aceh


“...Orang-orang yang menyakiti orang-orang beriman lelaki dan perempuan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kesalahan dan dosa yang nyata...” (Qur-an, Al-Ahzab: 58)



Hingga detik ini, saat Suharto sudah menemui ajal dan dikuburkan di kompleks pemakaman keluarganya di Imogiri. Namun, perampokan atas seluruh kekayaan alam negeri Indonesia masih saja terus berjalan dan dikerjakan dengan sangat leluasa. Sederet fakta-fakta yang tak terbantahkan jika negeri ini tengah meluncur ke jurang kehancuran. Soeharto dianggap dalang dari itu semua.

Namun siapa sangka, walau sudah banyak sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari dalam dan luar negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat Suharto berkuasa selama lebih kuarng 32 tahun, dengan jutaan fakta dan dokumen yang tak terbantahkan, namun nama Suharto masih saja dianggap harum oleh sejumlah kalangan.

Bahkan ada yang begitu konyol mengusulkan agar sosok yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal itu diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar Guru bangsa. Walau menggelikan, namun begitulah kenyataannya.



Sebab itu, tulisan ini berusaha memaparkan apa adanya tentang Jenderal Suharto. Agar setidaknya, mereka yang menganggap Suharto layak diberi gelar guru bangsa atau pun pahlawan nasional, harus bisa bermuhasabah dan melakukan renungan yang lebih dalam, sudah benarkah tindakan tersebut.

Fakta sejarah harus ditegakkan, bersalah atau tidak seorang Suharto harus diputuskan lewat jalan hukum yakni lewat jalur pengadilan. Adalah sangat gegabah menyerukan rakyat ini agar memaafkan dosa-dosa seorang Suharto sebelum kita semua tahu apa saja dosa-dosa Suharto karena dia memang belum pernah diseret ke muka pengadilan.


Sejarah itu Bermula

Aceh, kenyataannya bukanlah wilayah yang NKRI pada awalnya, namun bergabung dengan Indonesia saat Agresi militer Belanda dan sekutu pada tahun 1947-1949. Kala seluruh wilayah NKRI dikuasai Tentara sekutu, para pemimpin Indonesia -yang dimaksud- Ir. Soekarno dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, hijrah ke Aceh. Ketika itu, Aceh belum wilayah NKRI.

Disanalah Bung Karno membakar semangat rakyat Aceh dengan pidatonya berapi-api di depan masjid raya Baiturrahman. Didasari persaudaraan se-muslim (Ukhwah Islamiyah), Para memimpin dan Ulama-ulama Aceh saat itu tergerak untuk membantu perjuangan Indonesia agar terlepas dari cengkeraman Belanda kembali.

Para pemimpin Aceh mulai membentuk suatu lembaga guna menggalang dana perjuangan RI, seluruh rakyat Aceh ikut andil mengumpulkan sumbangan dalam bentuk, Emas, Uang dan properti. Hingga terkumpullah dana yang sangat besar, selama Oktober-Desember 1949 terkumpul S$ 500 ribu. Saat itu, pemerintah Indonesia sudah nyaris bangkrut.

Tak hanya itu, kemudian rakyat Aceh mengumpulkan lagi 5 kilogram emas untuk membeli obligasi pemerintah untuk biaya kantor perwakilan Indonesia di Singapura, untuk Kedutaan Besar RI di India, serta biaya untuk L.N. Palar-duta besar Indonesia pertama di PBB (1950-1953)-di New York.

Ke mana saja uang S$ 500 ribu itu dibagikan? Antara lain untuk Angkatan Bersenjata (S$ 250 ribu), kantor pemerintah Indonesia (S$ 50 ribu), pengembalian pemerintah RI dari Yogya (S$ 100 ribu), dan S$ 100 ribu diserahkan kepada Mr. A.A. Maramis. Ini belum lagi cerita dua pesawat pertama RI jenis Dakota yang juga dari sumbangan rakyat Aceh. Sekali lagi, saat itu Aceh (masih) bukan bagian NKRI. Sayangnya, semua itu berakhir dengan pengkhianatan.

Lalu, Apa kaitnya Aceh dengan Soeharto?

Catatan atas kejahatan HAM rezim Suharto juga dimulai dari wilayah paling barat negeri ini. Kejahatan HAM atas Muslim Aceh yang pertama kali diawali oleh VOC Belanda, diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno, dan ditindas lebih kejam lagi di masa kekuasaan Suharto.

Bahkan di zaman Jenderal Suharto-lah, Aceh yang sangat berjasa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI—dari segi finansial, sebab itu juga Aceh disebut sebagai ‘Lumbung Uang RI’—justru dijadikan 'lapangan tembak', bernama Daerah Operasi Militer (DOM), 1989-1998.

Selama penerapan status DOM, Aceh telah berubah menjadi The Killing Field, dan keadilan pun pergi dari Bumi Para Ulama itu. Berbagai pola penyiksaan yang diterapkan militer, dari pembakaran dan penjarahan, hingga pelecehan seksual (bahkan perkosaan) sampai penghilangan hak hidup manusia.

Kekejian benar-benar menemukan bentuknya di Serambi Mekkah. Pada masa-masa suram ini, hampir saban hari bisa dipastikan ada mayat yang dibuang di tepi jalan. Seperti kutipan testimoni Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), T. Ibrahim Alfian kala itu mengungkapkan;

"Nuwun Sewu, Aceh itu terlalu besar sumbangannya bagi Republik ini. Kenapa dalam negeri pancasila ini semua bisa terjadi. Dan mengapa rakyat Aceh diperlakukan seperti itu? Itu kan bangsa kita sendiri! Ini tindakan yang fasistik, kejam, dan biadab. Mana hati nurani itu? Betul-betul saya sangat sedih. Apalagi karena saya tahu sejarah." (T. Ibrahim Alfian)



Tragedi Simpang KKA (1998)
Tragedi Simpang KKA (1998)
 
 

Sesungguhnya, pembantaian di Aceh bukanlah cerita baru, berbagai kisah memilukan yang menimpa masyarakat di Aceh selama kurun gelap sejarah perjalanan peradaban Aceh yang terjadi pada masa invasi Belanda, Jepang, juga Orde Lama dan Orde Baru.

Wilayah Aceh yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, dengan minyak dan gas bumi. Sampai dengan akhir dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih dari 30% total produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara ditemukan cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar.

Mobile Oil, perusahaan tambang AS, diberi hak untuk mengekploitasinya dan dalam enam tahun kemudian kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi di dalam areal yang dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di tempat yang sama, berabad lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase berdiri, dan kini oleh Suharto diserahkan kekayaan alam negeri ini yang sungguh besar kepada AS.

Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu 30 tahun sejak 1961, Asamera, suatu perusahaan minyak Kanada, telah menggali tak kurang dari 450 sumur minyak. Sumber gas alam yang ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari persediaan gas alam di Aceh Utara. Produksi Pabrik Pupuk ASEAN di Aceh hampir 90 persen diekspor, dan dari kompleks petrokimia diharapkan penjualan kimia aromatik sebesar US$200 juta setahun.

Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA) juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak 1989. Dari penghematan impor pembungkus semen saja pemerintah sudah memperoleh laba US$89 juta setahun, sedang ekspor kertas semen menghasilkan US$43 juta. Pada 1983 Aceh menyumbang 11 persen dari seluruh ekspor Indonesia.

Suharto tahu betul jika kekayaan alam Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan amat rakus rezim Orde Baru terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya, nyaris semua keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam Aceh ini dibawa kabur ke Jakarta.

Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan. Pemerintah Jakarta bukannya mengembalikannya ke rakyat Aceh sebagai pemilik yang sah, tapi justru mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh yang sudah tidak berdaya.

Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27 provinsi di Indonesia, Aceh menempati posisi provinsi ke-7 termiskin di seluruh Indonesia. Lebih dari 40 persen dari 5.643 desa di Aceh telah jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hanya 10 persen pedesaan Aceh menikmati aliran listrik. Di kawasan ZIL hanya 20% penduduk yang mendapat saluran air bersih. Yang lain mendapat pasok air dari sumur galian yang sering tercemar oleh limbah zona industri.

Peneliti AS, Tim Kell, dalam laporannya menulis, “Friksi dan perbenturan nilai pun terjadi antara penduduk asli dan pendatang. Para migran menenggak bir, berdansa-dansi, melambungkan harga-harga di pasar. Mereka hidup mewah di kolam kemiskinan rakyat Aceh. Limbah industri mencemari tanah dan masuk ke sumur-sumur penduduk asli. Polusi meluas ke laut, merusak lahan nelayan.

Pengangguran meningkat. Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi gagal merombak struktur perekonomian rakyat Acehsecara fundamental, karena ia memang tak pernah menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh”. Inilah salah satu “hasil” pembangunan rezim Suharto di Aceh.

Secara obyektif Tim Kell melanjutkan, “Pada tahun-tahun 1940-an para ulama PUSA sudah kecewa atas tak diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia. Pada 1950, status Aceh sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Pemerintahan sipil, pertahanan, dan perekonomian, diambil dari ruang lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas perlakuan semacam ini, dan kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke pemberontakan 1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh.”

Di bawah rezim Suharto, jenderal ini membawa ideologi pembangunan dan stabilitas politik, dan dengan kacamata kuda yang “sentralistik-Majapahit”, Suharto mengangap sama semua orang, semua daerah, semua suku, semua organisasi, termasuk Aceh. Suharto menganggap semuanya itu sama saja dengan “Majapahit”. Status “istimewa” sebagai negeri Islam Aceh pun dihabisi.

Pakar HAM Nasional, Otto Syamsuddin Ishak dalam buku 'Aceh Merdeka dalam Perdebatan' menulis tertimoninya: "Aceh hanyalah sebuah sekoci dari 27 buah sekoci dalam kapal besar indonesia. Kalaulah memang sekoci itu tidak bisa dipakai lagi, tidak etis bila kapten dan awak kapal ramai-ramai menghancurkan sekoci itu. Dan jangan pula sekocinya diperlakukan tidak adil jika keadilan tidak bisa diberikan."

Otonomi Aceh di bidang agama, pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana tercantum dalam UU No.5/1974 tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada kenyataannya keistimewaan Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur dipilih hanya dengan persetujuan Suharto, Bupati hanya bisa menjabat dengan restu Golkar.

Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak cukup terhormat untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer dipindahkan ke Medan.

Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang notabene direstui Suharto mewajibkan semua murid sekolah dasar Islam untuk mampu membaca Al-Qur’an. Peraturan ini dikecam oleh para pejabat di Jakarta. Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki “penyelewengan” tersebut.

Beberapa bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten melonggarkan peraturan yang melarang murid perempuan memakai jilbab ke sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab diizinkan untuk menyimpang dari peraturan tersebut.

Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi secara nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Suharto di Aceh.

Ted Robert Gurr dalam "Why Men Rebel? (Mengapa Orang Berontak?)" juga menulis bahwa orang akan berontak jika way of life-nya terancam oleh perkembangan baru. Aceh telah kehilangan sumber alamnya, mata pencariannya, gaya hidupnya. Orang Aceh kehilangan suaminya, anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan segalanya.

Kendati tidak terbantahkan, hingga kini masih ada orang yang berpura buta bertanya, “Mengapa rakyat Aceh berontak?” Aceh jelas telah menjadi tumbal rezim Orde Baru, Setelah diperkosa habis-habisan Jakarta. Siapa pun yang punya hati nurani jelas mendukung sikap rakyat Aceh yang menarik kembali kesediaannya bergabung dengan Republik Indonesia.

Sebab itu H.M Amien Rais (1999) pernah menyatakan:


“Kalau boleh berterus terang, Aceh ini sebagai salah satu daerah pemegang saham terbesar di Republik Indonesia. Maka sebagai pemegang saham terbesar, jika Aceh menarik sahamnya, tentu RI akan guncang seguncang-guncangnya. Apalagi kalau pemegang saham yang kecil-kecil pun ikut menjadi makmum, tentu kita akan mengucapkan: Innalillahi wa inna ilaihi rajiun buat Republik Indonesia.”





Sumber : http://www.atjehcyber.net/2011/06/soeharto-dimata-ureung-aceh.html

Rabu, 09 Oktober 2013

Sempat Jadi Ibukota RI, Bireuen Aceh Belum Miliki Monumen

Suasana malam di Simpang empat Kota Bireuen, yang menjadi lintasan jalan Banda Aceh-Medan. | KOMPAS.COM/DESI SAFNITA SAIFANA
Suasana malam di Simpang empat Kota Bireuen, yang menjadi lintasan jalan Banda Aceh-Medan. KOMPAS.COM/DESI SAFNITA SAIFANA
BIREUEN — Berjuluk Kota Juang, Kabupaten Bireuen dikenal semasa agresi Belanda pertama dan kedua (1947-1948) dalam upaya mempertahankan RI dari penjajah. Ironisnya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka, Bireuen belum memiliki monumen sebagai Kota Juang.

Demikian diungkapkan Agus Irwanto, pemerhati budaya dan dosen di STIE Kebangsaan Bireuen, Rabu (9/10/2013). Kata Agus, sudah sepantasnya Monumen Kota Juang dibangun sebagai identitas kota perjuangan.

Ia mengurai, sejak 1945, Kota Bireuen dikenal sebagai pusat kemiliteran Aceh. Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Kolonel Hussein Joesoef berdudukan di Bireuen (Pendopo Bupati) sekarang.

“Bahkan Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga ketika jatuhnya Jogyakarta pada 1948. Sebagai referensi saya temukan, Presiden Soekarno hijrah dari ibukota RI kedua, yakni Yogyakarta ke Bireuen pada 18 Juni 1948. Selama seminggu Bireuen menjadi wilayahnya (Soekarno) mengendalikan Republik Indonesia dalam keadaan darurat,” jelas Agus.

Julukan Kota Juang Bireuen dikukuhkan kembali oleh Letjen Purn Bustanil Arifin pada 1987. Acara itu dihadiri sejumlah tokoh, termasuk gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan. Beberapa tokoh pejuang dan alim ulama pun menjadi saksi pengukuhan kembali tersebut.

Agus menyebutkan, sesederhana apapun bentuknya, monumen selayaknya dibangun agar masyarakat umum tahu sejarah Kota Bireuen. “Apakah berupa monumen tank atau monumen pemancar Radio Rimba Raya yang pernah digunakan sebagai sarana perjuangan,” jelas Agus.

Pemancangannya pun ia harapkan berada di seputaran Simpang IV Kota Bireuen yang menjadi lintasan jalan negara. 

Sumber: kompas.com

Kamis, 19 September 2013

Aceh, Mutiara yang Terlupakan


Turis dari kapal pesiar MV Clipper Odyssey disambut tarian ranup lampuan saat tiba di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, Kamis (10/1/2013). Kapal yang mengangkut 150 penumpang dari berbagai negara dalam tour wisata Zegrahm Expedition tersebut melego jangkar selama enam jam di lepas pantai Banda Aceh untuk membawa para turis melakukan city tour ke beberapa situs sejarah dan tsunami Aceh. 


Di masa lalu, Aceh pernah menjadi ”Mutiara Nusantara”. Kisah sukses saudagarnya, mendunia. Demikian alamnya yang indah dan kaya raya. Namun, kisah hebat itu nyaris jadi legenda. Sejumlah daerah kini mencoba bangkit meskipun tertatih. Ironi inilah yang dipotret Tim Jelajah Sepeda Kompas PGN Sabang-Padang, hari-hari ini.

Mata Ahmad Faisal, peserta jelajah sepeda, berbinar saat menceritakan pengalamannya menjelajahi Aceh selama enam hari terakhir. Meski dihajar angin kencang, hujan, hingga terik matahari di perjalanan, baginya Aceh adalah karunia Tuhan tak terhingga, mulai dari pantai hingga pegunungan.

Faisal mengatakan, ia tak berhenti mengagumi Aceh sejak mulai mengayuh sepeda dari pantai barat Aceh di Pulau Weh di ujung barat hingga Subulussalam, kota di ujung selatan Aceh. Enam hari mengayuh pedal sepeda, bertubi-tubi ia disajikan keindahan alam dan keramahan masyarakatnya. Jauh dari kesan Aceh sebagai daerah rawan konflik di masa lalu.

Saat napas mulai terengah-engah, para peserta jelajah sepeda mendapat hiburan saat mendaki Gunung Geurutee dan jalan bantuan Pemerintah Amerika Serikat (AS), pemandangan Pantai Daya di Aceh Jaya, Pantai Arongan (Aceh Barat), dan Suak Gedebang, Lampuu (Aceh Besar). Demikian juga pesona Pantai Arongan (Aceh Barat) dan Bidari (Aceh Selatan), meluruhkan lelah setelah menapaki tanjakan curam di sekitar Aceh Selatan.

”Kehormatan besar buat kami bisa menjelajahi Aceh dengan tenang dan nyaman di atas sepeda. Sangat disayangkan kalau keindahan ini tak diketahui masyarakat Indonesia,” ujar pegiat dan pelaku usaha alat-alat olahraga petualangan dari Jakarta.

Antonius Purnomo, peserta lainnya, sudah tak sabar lagi ingin kembali secepatnya ke Pulau Weh. Sebab, keindahan pulau induknya, Sumatera, yang dihiasai pulau kecil di ujungnya dengan beberapa pulau lain di sekelilingnya mengingatkan Phuket di Thailand.

”Saya akan kembali bersama anak dan istri. Kebetulan kami suka bersepeda. Rute cantik sekaligus menantang ini penuh dengan tanjakan curam yang akan saya ulangi bersama mereka,” kata direktur salah satu perusahaan yang bergerak di bidang properti ini.

Decak kagum peserta jelajah sepeda mungkin sama dengan penjelajah Portugis dan Kolonial Belanda pada abad ke-16 hingga ke-17. Di samping keindahan pantai, kekayaan sumber daya alam dan letaknya yang strategis menjadi incaran utama.


Turis dari kapal pesiar MV Clipper Odyssey mengenakan pakaian khusus saat memasuki kompleks Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Kamis (10/1/2013). Kapal yang mengangkut 150 penumpang dari berbagai negara dalam tour wisata Zegrahm Expedition tersebut melego jangkar selama enam jam di lepas pantai Banda Aceh untuk membawa para turis melakukan city tour ke beberapa situs sejarah dan tsunami Aceh.


Belanda tercatat yang paling lama menancapkan kukunya. Di Pulau Sabang, pelabuhan dibangun guna memudahkan distribusi logistik untuk memperkuat pertahanan.

Sinar yang meredup

Sebenarnya, sebagai bandar dagang, Pulau Weh berkembang besar lebih dulu ketimbang Singapura. Namun, ”sinar”-nya justru meredup setelah Indonesia merdeka. Difungsikannya Sabang sebagai pangkalan udara justru mengurangi ”sinar”-nya sebagai pintu masuk Eropa-Asia. Tanpa saingan, Singapura pun akhirnya melaju menjadi palang pintu perdagangan dunia sejak tahun 1960-an.

Wajar jika sejumlah bangsa asing ngotot menguasai Aceh karena dipicu lada yang tumbuh subur. Harganya yang mahal membuat saudagar Aceh kaya raya. Pala yang ditanam dengan bibit asal Pulau Banda memang sempat menjadikan Aceh sebagai penghasil pala terbesar setelah Pulau Banda. Untuk itu, dua pelabuhan dibangun Belanda untuk ekspor ke berbagai negara Eropa, di Labuhan Haji dan Tapak Tuan.

Namun, konflik berkepanjangan dan serangan hama tak berkesudahan menggerogoti kejayaan itu. Misalnya, tanaman pala. Dari 30.000 hektar lahan pala di akhir tahun 1983, menjadi tersisa 14.000 hektar tahun 2013. Banyak pohon pala yang juga terserang hama. Alhasil dua dari empat penyulingan minyak pala pun akhirnya bangkrut.

Pelabuhan Labuhan Haji yang masyhur, kini terimpit besarnya kapasitas alat tangkap nelayan Sibolga dan Thailand.

Kemukiman Bulohseuma, Kecamatan Trumon, Aceh Selatan, yang disinggahi tim jelajah sepeda, juga potret sikap abai pemerintah untuk memeratakan pembangunan. Tak ada akses jalan yang menghubungkan 280 keluarga di tiga desa di kemukiman ini. Gelap gulita pun senantiasa ”menemani” malam-malam warga karena ketiadaan listrik. Ironisnya, kondisi tersebut masih dialami mereka saat Indonesia sudah merdeka 68 tahun lamanya. Padahal, dari wilayah ini, Aceh Selatan senantiasa menghadirkan madu termahal dan ternikmat di Aceh.

”Pemerintah tak serius menganggap keluhan kami. Entah berapa kali kami meminta agar dibangunkan jalan. Tetapi, janji-janji itu begitu lamban terwujud,” kata Sekretaris Desa Raket, Bulohseuma, Zaenal.


Peserta Jelajah Sepeda Sabang-Padang Kompas-PGN menuju Blangpidie, Aceh Barat Daya, Selasa (3/9/2013).


Pusat penyulingan milik H Burhan di Tapak Tuan, yang kosong melompong, menjadi contoh lonceng kematian investasi. Tabung uap suling pala di dalam gedung besar seluas 1 hektar itu, kini sudah diangkut ke Medan. Tanpa mekanisme pembuangan limbah yang baik, pabrik yang sempat diprotes warga karena pembuangannya, akhirnya terpaksa pindah ke Medan tahun 1997.

Tingginya ongkos pengiriman minyak pala ke Medan melalui jalan darat juga menjadi kendala besar. Butuh biaya besar membawa minyak pala untuk selanjutnya dikirim ke Eropa oleh distributor Medan.

”Harga minyak pala dari Tapak Tuan ke Medan antara Rp 800.000-Rp 1 juta per kilogram. Tidak tahu juga berapa harga dari Medan ke konsumen asing,” ujar Deddy Syahputra, warga Aceh Selatan.

Tinggal di dekat jalan paling bagus di Indonesia, yang dilalui tim jelajah sepeda, ternyata bukan jaminan sejahtera. Sudirman, pemilik warung makan di Jalan Calang-Meulaboh, hanya mendapatkan Rp 50.000-Rp 100.000 per hari.

Berada di sekitar Pantai Suak Debangbrueh, Kecamatan Sama Tiga, Aceh Barat, juga tak terlalu menolong. Sebab, pantai berpasir putih yang dihiasi cemara laut dan menghadap Samudra Hindia, jarang dikunjungi wisatawan. Trauma pascatsunami membuat warga hijrah ke daerah lain. Bahkan, rumah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Nias, kini tak terurus. Hanya berjarak 50 kilometer atau satu jam naik motor dari Banda Aceh, Maryati (45), warga Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, yang berjualan di pinggir jalan besar itu juga mereguk banyak keuntungan. Jalan mulus bantuan AS membuat pengguna jalan memacu kendaraannya kencang-kencang sehingga jualan buahnya hanya laku sekitar Rp 30.000-Rp 50.000 per hari.

Sebenarnya, Maryati bisa meraup keuntungan lebih besar jika mau berjualan hingga malam. Dibandingkan masa lalu, yang jalan sering rusak, maka banyak pengguna jalan yang beristirahat di warung buah miliknya.

Saat melintasi etape ketujuh, Budhi Dharma (60), peserta jelajah sepeda lainnya, juga terngiang saat masa kecilnya di Padang pada sekitar 40 tahun lalu. Orangtuanya dulu kerap bercerita tentang banyak saudagar Aceh yang kaya raya. Mereka pintar berdagang dan punya banyak kebun rempah-rempah.


Lautan biru di Teluk Balohan, Aceh dengan perbukitan yang mengelilingi. Lautan ini menjadi pemandangan bagi peserta Jelajah Sepeda Sabang-Padang Kompas-PGN, Sabtu (31/8/2013).


Namun, enam hari bersepeda mengelilingi Aceh lebih dari 600 km, Budi justru merasa sedih melihat Aceh di bagian selatan. Bangunan rumah kayu kusam di pinggir jalan mirip dengan rumahnya tahun 1960-an.

”Saya sedih. Ke mana kejayaan Aceh dengan kejayaan para saudagarnya sekarang? Rumah warga sangat sederhana. Padahal di depannya banyak berjejer pantai indah dan kaya ikan. Sayang, mereka tak bisa memanfaatkannya,” kata pengusaha otomotif dan karoseri ini.

Pemimpin Redaksi Idea dan Ide Bisnis Wahyu Hardana menambahkan, keunggulan sumber daya alam dan infrastrukur jalan di Aceh harusnya bisa mendorong Aceh menjadi provinsi termaju. Mungkinkah? (Cornelius Helmy/Mohamad Burhanudin)


Sumber : http://print.kompas.com/

Selasa, 10 September 2013

JASA ACEH YANG TERLUPAKAN


* Peranana Aceh Dikaburkan Dalam Sejarah Republik. Ini Bukan Rasis Melainkan Jeritan hati Rakyat Aceh

1. Ketika wilayah Indonesia hampir dikuasai seluruhnya oleh Belanda saat perang kemerdekaan, Acehlah yang menjadi donatur bagi Indonesia. Aceh mendanai kegiatan-kegiatan duta dan perwakilan RI ke luar negeri, juga membiayai perwakilan PBB.
Selain itu, Aceh juga membiayai misi perjalanan menteri muda Luar Negeri RI, H. Agus Salim, ke Timur Tengah dan saat mengikuti konferensi Asia di New Delhi. Saat Pemerintahan pusat yang berada di Yogyakarta vacum, Aceh juga menyediakan dana bagi pemerintahan.


2. Rakyat Aceh juga pernah menyumbangkan dua pesawat bagi pemerintahan RI. Pesawat itu adalah pesawat jenis dakota yaitu Seulawah RI-001 dan Dakota RI-002 yang dibeli di Singapura, Oktober 1948. Para pengusaha aceh juga memberikan satu pesawat jenis "Avro Anson RI-004" yang dibeli di Thailand , pesawat -pesawat itu dibayar dengan menggunakan emas murni sumbangan rakyat Aceh. Jadi, tiga pesawat pemberian Aceh inilah yang menjadi armada pertama Indonesia yang dapat menembus blokade udara Belanda.


3. Aceh juga memberikan sebuah kapal yang berbobot 100 ton dengan nomor registrasi PPB 58 LB kepada armada laut RI.


4. Aceh juga memiliki sebuah radio yang dikenal dengan "Radio Rimba Raya" yang bertempatkan di Takengon, Aceh Tengah.
Banyak juga yang melupakan peranan Radio rimba raya ini bagi kemerdekaan Indonesia. Berita tentang kemerdekaan Indonesia diketahui oleh dunia melalui radio ini.


5. Pasukan dari Aceh juga pernah melakukan Long March menuju front "Medan Area" ketika Medan, Sumatera Utara berhasil dikuasai Belanda. Ini merupakan bentuk komitmen Aceh demi kemerdekaan RI. Sehingga saat itu Aceh dikenal sebagai daerah yang memiliki basis pertahanan yang paling kuat di wilayah Sumatera.


6. Emas yang dipajang di puncak tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta adalah sumbangan dari salah seorang saudagar Aceh yaitu Teuku Markam.
Itu baru segelintir sumbangan Putra Aceh teresebut, untuk kepentingan negeri ini. Sumbangsih lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat olah raga terbesar Indonesia.

Balasan Indonesia untuk rakyat ACEH adalah :



1. Teuku Markam ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat PKI. Harta kekayaannya diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba.

Aktivitas bisnisnya ditekan habis-habisan. Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak pernah direhabilitir.


Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.


2. Presiden Soekarno pernah ingkar janji kepada Aceh. Ketika itu, beliau pernah memohon sambil berlinang air mata pada Aceh untuk tetap mendukung Indonesia dan tetap menjadi penyuplai
dana demi kemerdekaan Indonesia. Beliau berjanji akan memberi otonomi khusus kepada Aceh untuk menjalankan syariat islam di wilayahnya sendiri.

Janji itu meluluh lantakkan hati orang Aceh yang ternyata tak kunjung ditepati oleh Soekarno. Karena itulah, akhirnya Aceh memberontak lalu muncullah konflik berkepanjangan hingga perjanjian damai di Helsinki antara Aceh dan RI digaungkan.


3. Konflik ACEH yang berkecamuk dijawab dengan "Darurat Militer" oleh Indonesia dan menjadi ajang 'GENOCIDE'. Tragedi Simpang KKA, Rumoh geudong, Pembantaian Tgk. Bantakiyah cs, Penghilangan paksa Aktivis Ulama yang menetang Kekerasan RI. Itu sedikit dari banyak kasus yang sampai sekarang hanya menjadi kisah pilu kami semata.
Seolah Komnas HAM berkata : TIDAK ADA HAM UNTUK KALIAN (Rakyat Aceh).

Kamis, 15 Agustus 2013

Buku Karangan Hasan Tiro, “Aceh di Mata Dunia” Mulai Diedarkan



“SETELAH peperangan besar dengan Belanda yang dimulai tahun 1873 dan selesai tahun 1937, tidak ada satu pemimpin Atjèh pun yang hidup, karena semua memilih syahid dalam peperangan daripada hidup menjadi budak Belanda. Teladan ini yang diberikan untuk kita sebagai cucunya, adalah suatu kemutlakan yang tidak bisa dibantah dan tidak perlu menunggu jawaban dari kita...”


Begitulah antara lain penggalan kalimat pada bagian kata pengantar buku “Aceh di Mata Dunia” yang ditulis Teungku Hasan Muhammad di Tiro, tokoh kunci Gerakan Aceh Merdeka yang meninggal pada 3 Juni 2010. Kini, karya fenomenal Hasan Tiro kembali diangkat ke permukaan untuk mengenang kembali jejak dan pemikiran briliannya dalam sejarah pergolakan politik di Aceh.


Di antara banyak buku yang ditulis Hasan Tiro, “Aceh di Mata Dunia” adalah salah satu karya yang masih sedikit diketahui orang, karena ditulis sang proklamator GAM itu dalam bahasa Aceh dengan judul; “Aceh Bak Mata Donya”

***

Bandar Publishing yang bergerak dalam bidang penerbitan dan penelitian di Banda Aceh, kembali menerbitkan karya fundamental, Hasan Tiro. Buku yang diterbitkan berjudul Aceh Di Mata Dunia. Penerbitan buku ini mengambil spirit Perdamain Helsinki 15 Agustus 2013 dan spirit Kemardekaan 17 Agustus 2013.


“Ini karya Hasan Tiro naskah aslinya dalam bahasa Aceh. Edisi dalam bahasa Aceh telah terbit tahun 1968 di New York, Amerika Serikat. Dan belum pernah di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Hasan Tiro dalam menulis bukunya terlihat membawa spirit identitas (perdamaain). Karya ini ditulis jauh sebelum Hasan Tiro mendeklarasikan GAM 4 Desember 1976” Ujar penerjemah buku ini, Haikal Afifa.


Menurut Haikal Afifa, proses penerbitan dan penerjemahan buku ini sudah mendapat restu dari salah satu ahli waris. “Kami tidak sembarang menerbitkan dan menerjemahkan karya original dari Hasan Tiro, kami ketahui Hasan Tiro masih memiliki keluarga baik di Aceh maupun di eropa. Makanya kita mendapat mandat dari salah satu kelaurganya yang kini menetap di eropa, Musanna Tiro”, tambahnya.





Hasan Tiro, menuru Haikal Afifa dalam buku Aceh Di Mata Dunia mulai menulis kata pengantar dengan sejumlah pertanyaan. “Hasan Tiro mulai menulis dengan kalimat Bagaimana seorang Aceh melihat diri sendiri sebagai Aceh? Inilah sebuah pertanyaan besar untuk bangsa Aceh sekarang yang harus kita pahami. Jawaban pertanyaan ini sangat menentukan nasib Aceh, nasib generasi selanjutnya dan nasib Aceh di mata dunia” Begitu paragraf pertama Hasan Tiro memulainya.

Kemudian paragraf terakhir pada pengantar awal bukunya, Hasan Tiro menulis;

“Dengan mengetahui seperti apa ”Atjèh di Mata Donja” dan seperti apa bangsa-bangsa lain di seluruh dunia melihat bangsa Aceh, maka pengetahuan ini menjadi satu solusi bagi kita generasi Aceh kini untuk melihat dan memandang dirinya sebagai sebuah bangsa yang mulia sehingga tahu bagaimana mencapai hidup mulia dan mati terhormat dalam mempertahankan harga diri bangsa. Begitu juga, Aceh bisa membangun kembali apa yang sudah hancur dan mengembalikan kembali apa yang sudah hilang”

Haikal menambahkan bahwa buku ini lahir dari spirit kebersamaan dan gotong ronyong dalam proses penerjemahan dan percetakannya. “Saya sebagai penerjemah di bantu oleh Murizal Hamzah, Mukhlisuddin Ilyas, team Bandar Publishing, Teku Rawa, Abdul Halim (Ayah Papua), Keluarga Besar Teuku Yanuarsyah dan lainnya” ujar Haikal.


Sebelumnya, pada tahun 2010. Bandar Publishing juga telah menerbitkan buku Hasan Tiro; The Unfinished Story. Sebuah buku yang di tulis oleh 44 orang dalam beragam perspektif dan diluncurkan secara sederhana pada hari 44 kematian Hasan Tiro.


“Kedua buku Hasan Tiro dan karya-karya Aceh yang ditulis oleh penulis Aceh lainnya hasil terbitan Bandar Publishing. Tersedia di sejumlah toko buku di Banda Aceh” Tutup Manager Bandar Buku, M Ikhwanuddin, SE.


Sumber : http://www.atjehcyber.net/2013/08/buku-karangan-hasan-tiro-aceh-di-mata.html

Jumat, 28 Juni 2013

Inilah Kisah Rongsokan Burung Besi Tua


Seulawah RI-001


CERITA yang penuh kisah herois ini menjadi sebuah kebanggaan yang diwariskan secara turun temurun oleh perjuang kemerdekaan dan orang tua di kalangan masyarakat Aceh kepada anaknya sejak dahulu. Walaupun bukti sejarah terhadap kenjadian tersebut, kini tinggal ‘rongsokan’ yang akan luput ditelan zaman.

Presiden pertama Indonesia, Soekarno berhasil membangkitkan patriotisme rakyat Aceh, Pada 16 Juni 1948. Bertempat di Aceh Hotel, ibukota Bandar Aceh, gabungan saudagar daerah Aceh berhasil mengumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh berupa beras, ubi, padi, perhiasan, ternak hingga telur yang setara dengan 20 kg emas.

Dana tersebut kemudian digunakan untuk membeli pesawat jenis Dakota, yang kemudian diberikan nama RI-001 Seulawah dan menjadi pesawat angkut pertama yang dimiliki bangsa Indonesia.

Dikisahkan, KSAU Komodor Udara Suryadarma memprakarsai pembelian pesawat angkut. Kemudian, Biro Rencana dan Propaganda TNI-AU yang dipimpin oleh OU II Wiweko Supono dan dibantu oleh OMU II Nurtanio Pringgoadisuryo dipercaya sebagai pelaksana ide tersebut.

Biro tersebut kemudian menyiapkan sekira 25 model pesawat Dakota. Kepala Biro Propaganda TNI AU, OMU I J. Salatun ditugaskan mengikuti Presiden Soekarno ke Sumatra dalam rangka mencari dana.

Akhirnya Pada tanggal 16 Juni 1948 di Hotel Kutaradja (nama pemberian Belanda-red), Presiden Soekarno berhasil membangkitkan patriotisme rakyat Aceh. Melalui sebuah kepanitiaan yang diketuai Djuned Yusuf dan Said Muhammad Alhabsji, dari Orqanisasi Saudagar Aceh atau disingkat dengan nama Gasida berhasil dikumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh setara dengan 20 kg emas.

Sumbangan ini di galang dari hasil bumi, tenak, perhiasan hingga harta benda lainnya untuk memberikan pesawat ke Soekarno. Pesawat sumbangan dari rakyat Aceh itu kemudian diberi nama RI-001 Seulawah. Nama Seulawah sendiri diambil dari nama sebuah gunung di Aceh yang berarti “Gunung Emas” sumbangan Aceh.

Pesawat Seulawah ini, juga bisa disebut pesawat Douglas DC-3 ini diproduksi oleh Douglas Aircraft Company pada tahun 1935. Jenis pesawat Dakota “Seulawah” yang disumbangkan itu memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28,96 meter. 

Pesawat inilah berperanan sangat besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Bisa dikatakan, pesawat yang langkah penentu kemerdekaan Indonesia yang sedang dinikmati oleh ribuan warga pada saat ini. 

Karena, kehadiran Dakota RI-001 Seulawah telah mendorong untuk dibukanya jalur penerbangan Jawa-Sumatra, bahkan hingga ke luar negeri. Pada bulan November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatra dengan rute Maguwo-Jambi-Payakumbuh-Kutaraja-Payakumbuh-Maguwo.

Di Kutaradja, pesawat tersebut digunakan joy flight bagi para pemuka rakyat Aceh dan penyebaran pamflet. Pada tanggal 4 Desember 1948 pesawat digunakan untuk mengangkut kadet ALRI dari Payakumbuh ke Kutaraja, serta untuk pemotretan udara di atas Gunung Merapi.

Pada awal Desember 1948 pesawat Dakota RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud Maguwo-Kutaraja dan pada tanggal 6 Desember 1948 bertolak menuju Kalkuta, India. Pesawat diawaki Kapten Pilot J. Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin Caesselberry. 

Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Dakota RI-001 Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air.

Atas prakarsa Wiweko Supono, dengan modal Dakota RI-001 Seulawah itulah, maka didirikan perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways, atau cikal bakal dari penerbangan garuda.

Sebuah maskapai yang saat ini paling komersil bagi rakyat dan warga Indonesia, terutama Aceh. Kini, hanya orang-orang tertentu yang mampu menaiki maskapai penerbangan tersebut. Pusat kantor Indonesian Airways sendiri, untuk pertama kali di buka di Birma pada saat itu (kini Myanmar-red).

Kisah ini jelas memperlihatkan betapa besar rasa patriotisme rakyat Aceh dalam perjuangan mempertahankan RI benar-benar heroik, penuh suka-duka dan cerita mengenai kesetiaan. Rakyat Aceh mampu mengorbankan apapun, dan perang mempertahankan negeri itu sendiri dianggap sebagai panggilan suci dari Illahi. 



Kisah Herois yang Jadi Rongsokan 


Seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya di bidang kedirgantaraan, beberapa jenis pesawat terbang generasi tua pun dinyatakan berakhir masa operasinya alias dimuseumkan. Beberapa pesawat yang ‘digudangkan’ ini, salah satunya adalah jenis Dakota atau RI-001 Seulawah.

Hal ini mengakibatkan kisah romatika antara masyarakat Aceh dengan pemerintah pusat memasuki babak baru, serta mulai di isi dengan berbagai pemberontakan. Rakyat Aceh yang merasa dianaktirikan dengan berbagai peritiswa, mulai merasa tidak pernah dihargai bentuk perjuangannya.

Pertama, keberadaan pesawat RI-001 Seulawah, yang sudah menjadi ‘rongsokan’ juga tidak pernah kembali secara utuh ke Provinsi Aceh. Masyarakat Aceh yang dulu bersusah payah mengumpulkan sumbangan untuk membeli pesawat dengan nama RI-001 Seulawah, hanya dikembalikan dalam bentuk ‘rongsokan’ besi tua.
Pengorbanan masyarakat Aceh ini hanya ‘disanjungkan’ Pada tanggal 30 Juli 1984, oleh Panglima ABRI pada saat itu, yaitu Jenderal L.B. Moerdani dengan meresmikan monumen rangka pesawat RI-001 Seulawah (tanpa mesin-red) yang terletak di Lapangan Blang Padang, kota Banda Aceh.
Monumen ini menjadi lambang bahwa sumbangan rakyat Aceh sangatlah besar bagi perjuangan Republik Indonesia di awal berdirinya. Namun selebihnya, tidak ada perhargaan yang berarti yang diterima oleh masyarakat selebih dari momumen tanpa perawatan dan pelestarian yang kini berada di Blang Padang.

Kedua, masyarakat Aceh juga tidak pernah memperoleh keuntungan balik dari sumbangan pesawat tersebut. Pesawat yang kini jadi Maskot penerbangan Indonesia ini, bahkan menjadi perusahaan komersil yang kini susah dijangkau oleh mayoritas masyarakat miskin di Aceh. 

Hal-hal seperti inilah yang kemudian membuat minoritas pencinta sejarah menilai bahwa keberadaan momumen pesawat RI-001 Seulawah di Blang Padang kini, tidak lebih dari ‘rongsokan’ yang didirikan untuk meredam kemarahan dan menyenangkan hati masyarakat Aceh.

Ketiga, pada tahun yang hampir bersamaan dengan rusaknya pesawat RI-001 Seulawah ketika melakukan Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Presiden Soekarno pernah mengucapkan janji di hadapan Daud Beureueh untuk memberlakukan Aceh dengan sebuah hukum syariat islam.

Namun pada tahun 1951, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Hal ini jelas menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih seperti membelikan pesawat RI-001 Seulawah, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali, tetapi malah dibiarkan terbengkalai.
Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. 

Dibeberapa tulisan media dan buku, Presiden Sukarno juga dianggap telah menjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak termaafkan.

Selanjutnya, kisah-kisah romantika yang melambangkan kemesraan Aceh dan Jakarta pun, kian pudar pada tahun-tahun berikutnya, baik semasa Negara ini diperintahkan oleh Presiden Suharto maupun semasa Megawati.
Keberadaan seribu pesawat seperti RI-001 Seulawah pun, akan tidak ada artinya lagi bagi keduanya (Aceh dan Jakarta-red). Provinsi Aceh yang dulu sempat dijadikan sebagai ‘daerah modal’ dan diberikan gelar daerah istimewa pun bisa berganti menjadi daerah pembangkang.



‘Pangkal’ Indonesia yang Terlupakan 


Keberadaan pesawat RI-001 Seulawah yang bisa disebut sebagai modal (pangkai dalam bahasa Aceh-red) kini terkesan dilupakan. Dalam beberapa cacatan pengetahuan sejarah, baik yang dipelajari oleh murid di sekolah-sekolah maupun pengetahuan umum, sangat sedikit yang menjelaskan hal ini.

Pada saat ini, Indonesia memang telah memiliki ratusan kekuatan militer dan puluhan pesawat. Hal ini membuat kisah RI-001 Seulawah sepertinya kian tidak memiliki tempat sebagai pendidikan bagi generasi muda. Padahal, pesawat tersebutlah yang menjadi cikal bakal dari pengembangan ilmu kedirgantaraan di Negara ini.

Kebijakan pemerintah kita yang kurang menghargai sejarah (RI-001 Seulawah-red) telah menimbulkan pelawanan serta pemberontakan yang berpuluh-puluh tahun lamanya. Hal ini juga lah yang menyebabkan mengapa negara ini kita akan bisa pernah menjadi Negara besar, layaknya Negara-negara lain di dunia.

Rakyat Aceh memang tidak pernah ingin dipuji dan dibangga-banggakan atas apa yang telah dilakukannya untuk membela Republic Indonesia. Namun masyarakat Aceh cuma berharap agar apa yang dilakukan oleh mereka bisa dijadikan cerminan pada hubungan pembangunan selanjutnya.

Hal inilah yang tidak pernah didapatkan oleh masyarakat Aceh sehingga kekecewaan meledak pada 4 Desember 1976, dengan di deklarasikannya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Gunung Halimun, oleh Hasan Tiro. Namun lagi-lagi, perjuangan ini dianggap selesai pasca tsunami dan gempa melanda Aceh pada akhir tahun 2004 lalu. 

Dengan adanya perdamaian yang sedang dirintis ini, sudah seharusnya pemerintah, baik pemerintah pusat dan Pemerintahan Aceh dapat lebih menghargai peninggalan sejarah sehingga hal yang sama tidak akan terulang lagi.

Dari kisah ini sebenarnya sudah menjawab keraguan pimpinan kita selama ini tentang rasa nasionalisme rakyat Aceh. Jadi jika pada saat ini ada pihak yang mengklaim Aceh adalah negeri para 'pembangkang', maka jawabannya salah 100 persen.

Sumber Kutipan : http://www.atjehcyber.net/2011/05/ri-001-seulawah-romantika-sejarah-dalam.html

Selasa, 21 Mei 2013

Yang Bernama “Aceh”



SYAHDAN, Bahwa keturunan bangsa Aceh adalah dari Tanah Persia. Seperti kita sering dengar kepanjangan ACEH sebagai Arab, China, Eropah, dan Hindia. Namun sampai sekarang jarang para sarjana yang mengangkat kisah seperti ini. Hanya Affan Jamuda dan A.B. Lila Wangsa yang menulis “Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pelajaran mengenal diri sendiri)” menyebutkan: 

Wangsa Acheh saboh wangsa nyang jak meunanggroe rot blah barat pulo Ruja. Wangsa nyan asai phon nibak wangsa Achemenia, Wangsa Achemenia nyang asai jih phon bah binak buket Kaukasus di Europa teungoh. Wangsa Achemenia nyang hudep bak thon 2500 GM (gohlom masehi). Wangsa Achemenia saboh wangsa nyang harok meurantoe, sampoe wangsa nyang meusipreuk bansaboh Asia, Afrika, Europa ngon pulo Ruja. Nyang saboh turonan neuweh u tanoh Parsi jeut keuwangsa Parsia, nyang sabih suke neuweh u pulo Ruja, dudoe teuma jeut keu-wangsa Acheh. Wangsa Acheh asai phon nibak wangsa Achemenia-Parsia-Acheh”. Affan Jamuda and AB. Lila Wangsa, Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pidie: Angkasa Muda, 2000).

Terjemahannya : Bangsa Aceh adalah satu bangsa yang membangun negeri di sebelah barat Pulau Ruja. Bangsa ini asalnya dari bangsa Achemenia, bangsa Achemenis berasal dari sebuah bukit Kaukasus di Eropa Tengah. Bangsa Achemenia hidup sekitar 2500 Tahun sebelum Masehi. Bangsa Achemenia satu bangsa yang suka merantau, sampai bangsa ini tersebar di seluruh Asia, Afrika, Eropa dan juga Pulau Ruja. Satu keturunan pindah ke tanah Persia, kemudian menjadi bangsa Persia, yang satu suku lagi pindah ke Pulau Ruja, kemudian lahir bangsa Aceh. Bangsa Aceh pertama sekali berasal dari bangsa Achmenia-Parsia-Acheh). 

Tentu saja itu bukan sebuah kebetulan, jika kemudian kita temukan akar sejarah migrasi manusia dari Persia, bahkan sebelum Raja Darius (521-486 Sebelum Masehi) yang menguasai Persia, konon beragama Zoroasther. Raja ini menyebarkan sayap pemerintahannya sampai Eropa, Anatolia, Mesir, Mesopotamia, dan India Barat. Dalam buku A History of World Societies disebutkan bahwa: “They had created “world empire” encompassing of the oldest and most honored kingdoms and peoples of the ancient Near East.” Jadi, ada benarnya bahwa penggalan lagu Rafly di atas, yaitu “Beek tabeoh kada wangsa meutuwah; turounan meugah meuri-ri wangsa; khujja ngoen majja lakap geupajah; turoenan meugah dorius raja.

Sampai sekarang, bukti sejarah ini memang masih mengundang sejumlah tanda tanya. Sebab, di dalam sejarah, selalu disebutkan nama Parsia di dalam sejarah Aceh, namun jarang yang bisa menarik kembali kemana arah sejarah Aceh sebelum Masehi atau sebelum Islâm datang ke daerah ini. Pada masa Darius dan anaknya Xerxes (486-464 Sebelum Masehi), mereka telah membangun suatu monarki kekuasaan, yang ternyata telah disebutkan sebagai “world empire” (kerajaan dunia) hingga menjadi cikal bakal beberapa kerajaan di Timur Tengah.

Kemudian Jamuda dan Lilawangsa menulis: hon teuka di tanoh Parsi (Iran-Irak jinoe). Sabab musabab neueuka sampoe roh neumeunanggroe lam pulo ruja. Bak zameun Raja Dorius neumat keurajeun di Parsia, lam masa nyang kuasa keurajeun Raja Dorius luah lagoina mulai di Meuser troh u Hindi ngan lam pula Ruja. Lam masa nyan keu wangsa-ureung bako-bako di nanggroe Parsia neujak duek u nanggroe blah barat pulo Ruja nyang dudoe neulakap Nanggroe Aceh. Yoh goh nyang lam tanoh Acheh kana Aulia-Aulia Allah, nyang sahe naggroe Acheh milek harta Aulia-Aulia Allah (Bangsa Persia sebelum menjadi bangsa Aceh, pertama kali datang di tanoh Parsia (Iran-Irak sekarang). 

Sebab datang sampai membangun negeri di Pulau Ruja. Pada masa zaman Raja Darius memegang tampuk kekuasaan di Persia, pada waktu itu wilayah kekuasaan Raja Darius sangatlah luas sekali mulai dari Mesir hingga ke India sampai ke Pulau Ruja. Pada zaman itu berbagai bangsa di negeri Persia berangkat menetap di sebelah Barat Pulau Ruja kemudian diberinama Nanggroe Aceh. Sebelum itu di tanah Aceh sudah ada wali-wali Allah, yang jaga negeri Aceh milik harta-harta Aulia Allah). 

Jadi, dapat dipastikan bahwa asal usul indatu orang Aceh adalah dari Parsia yang datang ke Pulau Ruja, sebuah pulau yang kemudian diberi nama Aceh. Namun yang menarik adalah jika benar pada zaman Raja Darius yang beragama Zoroasther sudah ada Wali-Wali Allah di Aceh, maka pertanyaannya adalah apa benar sudah ada agama yang menyembah Allah sebelum Masehi. 

Sebab ungkapan bahwa Aceh milik atau tanah para Wali juga ditemukan dalam ungkapan lagu Rafly berikut, Han geu meu kafe ureung Aceh nyang/’Saweub bumoe nyang tanoh Aulia/ Geutem sut nyawong peudong kheun Allah/ Kameunan reusam geutung pusaka (Tidak akan menjadi Kafir orang Aceh itu/Sebab bumi ini adalah tanah Aulia/ Rela mengeluarkan nyawa untuk mempertahankan kalimah Allah/ Begitu adat yang diambil sebagai pusaka) .Sayangnya semua sejarah itu masih berupa catatan perang. Kegemilangan Aceh sebagai salah satu kerajaan besar hanya cerita manis.

Ada yang menarik tentang Aceh, yakni simbol agama yang dikekalkan dalam suasana dayah, sebagai pusat sumber ilmu agama Islam tempoe doeloe. Ketika Aceh hendak dijajah, semua suku dan ulama di Aceh sepakat melawan penjajahan. Karena itu, konsep kebencian orang Aceh terhadap penjajahan, bukan karena kebencian etnisitas atau sejarah, tetapi karena melawan penindasan atau penjajahan merupakan jihad. 

Hal itu dibuktikan oleh Tgk Chik Kuta Karang dengan karyanya kitab Hikayat Prang Sabi yaitu membakar semangat orang Aceh melawan penjajah dengan ideologi agama. Dalam konteks etnis, orang Aceh adalah orang yang berjiwa kosmopolitan alias bisa menerima siapa saja atau suku bangsa apapun. Untuk mengelompokkan etnisitas, sistem kerajaan Aceh menyusun kependudukan berdasarkan negeri asal suku bangsa tersebut, sebagaimana dilukiskan dalam hadih maja “Sukee lhee reuthoh bak aneuk drang, Sukee ja sandang jeura haleuba, Sukee tok bate na bacut bacut, Sukee imuem peut yang gok-gok donya”.

Sukses di sini dalam kata lain artinya suku sehingga hadih maja ini menggambarkan keragaman suku bangsa di dunia yang berdomisili di Aceh. Semuanya berhasil disatukan oleh sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar (1537-1565) di bawah panji Islam dan terayomi di bawah payung kerajaan Aceh Darussalam.

Mengenai asal usul masyarakat Aceh, HM. Zainuddin (1961), mengatakan bahwa orang dari suku Batak/Karee membentuk kaum Lhee Reutoih. Orang asing lainnya seperti Arab, Persia, Turki, Keling (dagang), Melayu semenanjung, Bugis membentuk kaum Tok Batee Sultan berasal dari kaum Tok Batee. Kaum percampuran dari Hindu dan Batak Karee membentuk group baru menjadi kaum Ja Sandang. 

Pimpinannya diberi gelar dengan panglima kaum dengan gelar kaum imeum peut. Sedangkan orang Gayo, sebagaimana dikutip Gerini (HM. Zainuddin, 1961) menghubungkannya dengan Dagroian sesuai dengan catatan- catatan Marcopolo. Menurutnya, Dagroian berasal dari kata-kata drang - gayu, yang berarti orang Gayo. Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan itu bisa saja berpunca di dalam masyarakat itu sendiri atau bersumber dari luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Aceh mempunyai comparative advantage karena menjadi pusaran dunia, transit pertama sebelum ke bagian Nusantara.

Terakhir, saya ingin menegaskan bahwa dalam sejarah kebudayaan Aceh, persoalan bersatu dan berpisah adalah hal yang sangat biasa. Artinya, mereka bisa bersatu dengan kelompok manapun,namun budaya yang sudah mengakar yang dibalut dengan kualitas tradisi Islam tidak akan pernah dapat dihentikan. Jiwa nasionalisme orang Aceh yang menjadi bagian dari Indonesia merupakan satu nafas dalam perjuangan mereka, sejauh itu tidak dikhianati. 

Adapun nasionalisme di Indonesia walaupun masih didominasi oleh pemahaman kebudayaan Jawa, agaknya memang telah mewariskan persoalan sejarah yang tercecer. Artinya, sejarah nasionalisme di Indonesia adalah sejarah yang dikendalikan oleh pemerintah. Sehingga dinamika kebudayaan di daerah dianggap sebagai ‘aset’ bukan pelaku utama, untuk tidak mengatakan mereka tidak memberikan arti yang signifikan. Hal ini belum lagi dimana ‘aset’ budaya Indonesia cenderung dijadikan sebagai objek untuk kepentingan sosial politik, bukan kepentingan kebudayaan bangsa Indonesia.

* M. Adli Abdullah; adalah dosen dan Sejarawan Aceh

Sumber :
http://www.atjehcyber.net/2011/10/yang-bernama-aceh.html

Memahami “Watak” Orang Aceh



Beranjak dari penelitian disertasi, “Memahami Orang Aceh” menjadi sebuah buku yang sangat kuat mengangkat karakteristik dan tipologi masyarakat Aceh. Apalagi, penelitian dititikberatkan pada hadih maja yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh. Oleh karena itu, buku setebal 304 halaman ini sangat patut dijadikan cermin dari kehidupan masyarakat Aceh: tempoe doeloe dan kini.

Bukan hanya itu, latar belakang si penulis yang menyandang predikat doktor bidang pendidikan dan bergelut sebagai pengajar sastra, adat dan budaya di Universitas Syiah Kuala dalam kesehariannya, semakin mengokohkan bahwa disertasi ini murni hasil penelitian lapangan. Tentunya ia memiliki landasan yang sangat kuat sebagai sumber acuan para peneliti berikutnya, yakni penelitian tentang karakteristik masyarakat Aceh.

Membaca buku mantan wartawan ini, kita semakin menyadari bahwa masyarakat Aceh sesungguhnya memiliki hati yang lembut dan kasih sayang. Adapun timbulnya sikap atau sifat iri hati, itu disebutkan bukan sifat mutlak ureueng  Aceh, melainkan timbul kemudian hari karena sebab sesuatu semisal dikhianati, dicerca, dimaki, ditipu, dan sebagainya.

Padahal, orang Aceh memiliki sifat lembut dan selalu mengalah. Hal itu terungkap dalam hadih maja pada buku ini, yang dikutip pula oleh Rektor Unsyiah, Darni M. Daud, pada pengantarnya. Hadih maja tersebut adalah; "

Surôt lhèe langkah meureundah diri, mangat jituri nyang bijaksana".
(Surut tiga langkah merendah diri, agar mereka bisa mengenali arti Bijaksana)

Secara umum, buku ini mengkaji struktur, fungsi, dan nilai hadih maja sebagai sastra lisan dalam masyarakat Aceh. Hadih maja dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan peribahasa, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut proverb, bahasa Arab matsal, bahasa Belanda Spreekword.

Dua Karakter Utama Orang Aceh

Bukan tanpa alasan jika penulis buku menyebutkan dua hal di atas sebagai dua karakter yang paling menonjol dari orang Aceh. Yakni adalah sikap militansi dan loyal atau patuh kepada pemimpin.

Pertama, Sikap militansi masyarakat atau orang Aceh sudah ditempa sejak ratusan tahun lalu, sejak pendudukan Belanda sampai konflik bersenjata antara GAM-RI. Semangat rela berkorban, berjuang dan berperang sampai titik darah penghabisan yang ditempa sekian lama itu lantas mengental, mengkristal jadi sebuah budaya yang melekat erat dalam setiap karakter masyarakat Aceh.

Hal ini bisa dibaca melalui syair-syair do daidi, senandung penina bobo bayi yang mengajarkan dan mengajak sang bayi agar setelah besar nanti pergilah ke medan perang untuk berjuang membela bangsa (nanggroe).

Kedua, selain sikap militansi, sikap yang lain yang menonjol adalah loyal dan patuh pada pemimpin. Loyalitas dan kepatuhan bagi orang Aceh sebenarnya sebuah nilai dengan harga mahal. Sebab, agar orang Aceh menjadi loyal dan patuh, sang pemimpin haruslah jujur, setia kepada rakyatnya, tidak ingkar janji, bijak dalam pelayanan serta percaya kepada rakyat.

Hal ini dapat dilihat, Pada masa perjuangan merebut kemerdekaan orang Aceh rela memberikan segala harta bendanya kepada Indonesia lewat sebuah pesawat bernama RI 01 yang kita tahu sekarang dimuseumkan di Taman Mini Indonesia Indah. Inilah bukti kepatuhan dan loyalitas orang Aceh terhadap Soekarno karena beliau menjanjikan penetapan syariat Islam di Aceh. Janji itu disampaikan Soekarno kepada Tengku Daud Beureuh pada 16 Juni 1948.

Aceh memberikan kemenangan telak kepada partai Demokrat dan secara khusus kepada SBY dalam pilpres 2009. Tercatat 93% masyarakat Aceh memilih SBY. Ini juga bukti kepatuhan dan loyalitas orang Aceh terhadap SBY, karena dalam masa pemerintahannya SBY telah memberikan sesuatu yang berharga untuk Aceh yakni Perdamaian.

Belajar dari fakta sejarah masa lulu, SBY yang sekarang dipercayakan oleh mayoritas masyarakat Aceh hendaknya membangun silaturahmi yang baik dengan masyarakat Aceh. Sebab bisa saja terjadi, jika kepercayaan itu tidak dihargai, maka Aceh akan bergejolak kembali.

Lima Watak (prototipe) orang Aceh

Gambaran singkat masyarakat Aceh, Menurut Dr. Mohd Harun lewat ‘Memahami orang Aceh’ Kajiannya atas masyarakat Aceh dari penggalan syair hadih maja.

Melalui hadih maja-hadih maja yang sudah dikumpulnya bertahun-tahun, Harun mencoba memberikan pengetahuan baru kepada kita.

Bahwa hadih maja yang selama ini terkesan sekedar jadi penambah pemanis kata bagi orang tua-orang tua ternyata memiliki nilai filosofis yang sangat dalam, yang dapat menunjukkan karakteristik masyarakat pemakainya: tentunya hal ini berdasarkan zaman pula.

Menurut sang penulis ada lima (5) prototipe watak orang Aceh.

MILITAN
Artinya memiliki semangat juang yang tinggi, bukan hanya dalam memperjuangkan makna hidup tetapi juga dalam mempertahankan harga diri atau eksistensinya. 

Rencong peudeueng pusaka ayah, rudoh siwah kreh peunulang, 
Nibak udep dalam susah, bah manoe darah teungoh padang’ 
____
(Rencong, pedang pusaka ayah, rudoh, siwah keris warisan. 
Daripada hidup di dalam susah, biar bermandikan padang di tengah padang)

REAKTIF
Artinya sebagai sebuah sikap awas atas harga diri yang keberadaanya dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya. Orang Aceh sangat peka terhadap situasi sosial di sekitarnya. Orang Aceh tidak suka diusik, sebab jika tersinggung dan menanggung malu reaksi yang timbul adalah akan dibenci dan bahkan menimbulkan dendam.

Ureueng Aceh hanjeut teupèh,  Meunyo ka teupèh, bu leubèh han geu peutaba, 
Meunyo hana teupèh, boh krèh jeut taraba...
____
"Orang Aceh tak boleh tersinggung perasaannya, jika sudah tersinggung nasi lebih pun untuk kita takkan ditawarkannya. Namun sebaliknya, apapun akan mereka berikan jika tak menyinggung perasaan mereka)

KONSISTEN
Hal ini tampak dalam sikap dan pendirian yang tidak plin plan, tegas, taat asas apalagi jika berkaitan dengan harga diri dan kebenaran.

‘Siploh pinto teutob, na saboh nyang teuhah’ 
____
Sepuluh pintu tertutup, ada satu yang terbuka.

OPTIMIS
Hal tersebut tampak dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu. Orang Aceh beranggapan bahwa setiap pekerjaan yang kelihatan sulit dan berat harus dicoba dan dilalui.

Cab di batee labang di papeuen, lagee ka lon kheun han jeut metuka’ 
____
Cap dibatu paku dipapan, seperti yg sudah saya katakan tak boleh tertukarkan

LOYAL
Hal ini amat berkaitan dengan kepercayaan. Jika seseorang, lebih-lebih pemimpin, menghargai, mempercayai, tidak menipu, tidak mencurigai orang Aceh maka mereka akan mebaktikan diri sepenuhnya kepada sang pemimpin.‘

Adak lam prang pih lon srang-brang. Bah matee di blang ngon sabab gata’ 
____
Walau dalam perang pun saya akan berkorban, biarlah mati dalam perang itu demi Anda

***

Kendati tidak semua hadih maja dapat berlaku secara harfiah di segala zaman, nilai filosofis di dalamnya tetap menggambarkan tipologi masyarakat Aceh secara keseluruhan. Filosofis yang diemban hadih maja tersebut masih terlihat dalam masyarakat Aceh hingga saat ini. Oleh karena itu, upaya pendokumentasian hadih maja apalagi dalam bentuk penelitian ilmiah seperti yang dilakukan Harun patut mendapatkan apresiasi tinggi.

Lebih rinci, Harun membagi beberapa konsep pemikiran dan watak orang Aceh melalui perspektif hadih maja: konsep nilai filosofis orang Aceh; konsep nilai etis orang Aceh; dan konsep nilai estetis orang Aceh. Ia mengakui bahwa ada satu konsep lagi yang tidak dimasukkan di sini, konsep religius orang Aceh, atas pertimbangan masih belum sempurnanya hasil penelitian tentang religius dalam masyarakat Aceh. Namun demikian, konsep dasar religius orang Aceh dapat dilihat pada disertasi Harun, yang dikeluarkan oleh Universitas Negeri Malang, 2006.

Akhirnya, membaca buku bersampul gambar orang tua bertopi ke belakang, hasil lukisan Mahdi Abdullah, ini membuat saya seperti semakin kenal ke-Aceh-an dalam diri dan masyarakat tempat saya tinggal. Gambar sampul buku itu pun seperti khas gambar salah seorang masyarakat Aceh, yang gemar telanjang dada dan memakai topi yang arahnya ke belakang. Pantas pula Rektor Unsyiah menyebutkan pada pengantarnya bahwa “Memahami Orang Aceh” adalah buku yang memuat berbagai aspek kehidupan masyarakat Aceh secara rinci.

Hemat saya, akan lebih rinci lagi manakala buku ini juga memuat pandangan orang Aceh dari sisi religius, sebab persoalan agama bagi masyarakat Aceh sudah seperti rapatnya kulit dengan ari. Namun demikian, buku ini tetap dapat menjadi landasan bagi para peneliti yang hendak mengkaji seluk beluk masyarakat Aceh, dulu dan sekarang.

Judul Buku: Memahami Orang Aceh
Penulis: Dr. Mohd. Harun, M.Pd.
Penerbit: Citapustaka Media Perintis
Cetakan I: April 2009
Isi: xvi + 304