tag:blogger.com,1999:blog-48371557696787179052024-02-20T21:17:34.317-08:00Sejarah Aceh DarussalamFacebook : http://www.facebook.com/sejarah.atjeh.darussalamAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.comBlogger48125tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-72936944839598449562013-11-15T04:28:00.000-08:002013-11-15T04:35:02.527-08:00Cut Nyak Dhien dan Kisah Cintanya<div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
<br />
<br />
<img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcHobC2tBkQWslmgIrHuwQWnp6UkxWBmcLFZZIvhDOjbQj6GjofS4TWAAMbQu43kKhRvdYYzo5JKj06LQ5WDsBDL7jWpYiIK7DYuPCH4Gq0vGkxJwxQ2O5k4henHB0VskIx7RIRyMaEaQ/s1600/cut-nyak.jpg" /> </div>
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<div style="text-align: center;">
<i>“Mengungsilah! Semoga Allah melindungimu. Tujuh puluh pengawal
bersenjata aku tinggalkan untuk menemanimu. Sekalian mereka itu adalah
kawan-kawan terpilih yang setia. Sekiranya kita tidak bertemu, kawan
yang tujuh puluh orang itulah yang akan bersamamu berjuang di jalan
Allah...” </i></div>
</blockquote>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="text-align: right;">Penulis <b>M. Adli Abdullah </b>(*</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span> <span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Itulah
pesan akhir Ibrahim Lam Nga' pada isteri tercintanya, Cut Nyak Dien.
Dan perjuangan Ibrahim mempertahankan tanah airnya, makin menambah rasa
cinta isterinya Cut Nyak Dien. Serpihan sejarah kisah cinta dua pejuang
sejati itu dikisahkan dalam buku M.H. Szekely-Lulofs, seorang puteri
Lulofs, yang pernah bertugas di Sumatra Utara. </span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span> <span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Kisah
cinta heroik itu dapat dibaca dalam buku Tjoet Nya Din : Riwajat Hidup
Seorang Puteri Atjeh yang kemudian diterjemahkan A. Muis, setelah
beberapa tahun Indonesia merdeka.</span></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Ketika itu
26 Desember 1875, Belanda menyerang Lam Padang tempat kediaman resmi
mareka, Ibrahim mengungsikan ibunda mertuanya dan Cut Nyak Dien ke
Montasik. Itulah pertemuan terakhirnya dengan sang isteri hingga Ibrahim
terbunuh pada malam tanggal 29 Juni 1878 di Glee Taroen. </span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span> <span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Pada
malam itu, sedang terjadi musyawarah di Gle Taroen untuk mempersiapkan
pengepungan kembali Krueng Raba, pos Belanda yang terpenting di pesisir
barat (Van Veer, Perang Aceh, 93).</span><br />
<div style="text-align: center;">
</div>
<span style="font-family: inherit;">Ketika itu semua petinggi diundang
untuk hadir seperti Teuku Bait Budiman, Nyakman, Teuku Rajoet, Imueng
Lueng Bata, Panglima Polem, Tuanku Hasyim, Tuanku Raja Keumala. Di dalam
pertemuan tersebut yang “berhalangan hadir” adalah Teuku Bait Budiman
dan Habib Abdurrahman. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br />
</span> <span style="font-family: inherit;">Sampai pada tengah malam
ketika Ibrahim dan pemimpin pemimpin Aceh lagi berkumpul datanglah
pasukan Belanda yang di pimpin oleh Jenderal Van Der Hiejden sehingga
Ibrahim Lamnga, Teuku Rajoet, dan Panglima Nyakman syahid di Gle Taroen.
Mereka akhirnya dimakamkan di Mesjid Montasik. </span><span style="font-family: inherit;">Sedangkan Habib Abdurrahman dan Teuku Bait Budiman lagi mengatur siasat untuk penyerahan diri mareka kepada Belanda.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span></div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Cut Nyak
Dien merasakan kepiluhan. Ia seperti tak percaya kalau suami tercinta
terbunuh. Ayahnya Nanta Setia mencoba menenangkan hati putrinya. </span></div>
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<i>“...Sabarkanlah hatimu, anakku! Teguhkan iman! Ia telah Sahid, telah memenuhi tugas...!”</i></blockquote>
<br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Dalam buku
M. H Szekely-Lulofs itu, diceritakan bagaimana Tjoet Nya Din makin
menjadi-jadi. "Lalu bersimpuhlah ia di tanah, di tanainya (dipangku,
red) kepala Ibrahim, dan diletakkannya diatas pangkuannya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span></div>
<div>
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Dan berkatalah ia dengan sesak nafas kepada ayahnya: </span><br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<i>Setelah ia tak ada lagi, setelah suamiku ini berpulang ke Rahmatullah,
tunjukkanlah kepadaku wahai Ayahku! Hendak kemanakah aku menyangsangkan
diri...? Kemanakah aku hendak bergantung?</i><br />
<br />
<i>Dan jika aku terpaksa memilih suami pula, diantara sekalian orang
laki-laki, tak akan ada seorang pun yang akan kucintai sebagaimana aku
telah mencintainya,</i><br />
<i><br />
"...Dan meskipun aku akan dapat memilih diantara seratus orang laki-laki
yang patut akan menjadi suamiku, Namun yang seorang ini tidak akan
dapat diganti, Walau dengan seratus orang sekalipun tidak mungkin!<br />
<br />
Hanya kepada yang seorang inilah cintaku akan melekat, hanya kepada Ibrahim sahaja, suamiku..., kekasihku!”</i></blockquote>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Kisah cinta
Ibrahim Lamnga dengan Cut Nyak Dhien adalah romantisme di blantika
perjuangan Aceh. Namun Ibrahim Lamnga yang sangat ditakuti Belanda
sendiri seperti hilang dalam deretan nama pahlawan Nasional Indonesia. </span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span> <span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Selama
ini kita hanya mengenal nama Cut Nyak Dhien bersama suami kedua Teuku
Umar. Bahkan Eros Djarot sudah pernah membuat film Cut Nyak Dhien, namun
sayangnya, sosok dan alasan utama Cut Nyak Dhien maju ke medan perang
tidak muncul sama sekali.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Menurut
sejarah, ketika pernyataan perang kerajaan Belanda terhadap kerajaan
Aceh pada tanggal 26 Maret 1873 yang dibacakan oleh Komisaris Pemerintah
Belanda, J.F. Nieuwenhuijzen di atas kapal Citadel van Antwerpen. </span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span> <span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Sultan
Alaidin Mansursyah memutuskan menghadapi ancaman Belanda dengan
semangat jihad, dan segenap lapisan rakyat diserukan ikut serta dalam
perjuangan mempertahankan kehormatan dan kedaulatan dari setiap
serangan. </span><span style="font-family: inherit;">Dan satu persatu pahlawan negeri maju ke medan perang melawan Belanda, termasuk Teuku Ibrahim Lamnga, suami Cut Nyak Dhien. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br />
</span> <span style="font-family: inherit;">Dan saya yakin banyak di
antara kita tidak pernah tahu dimana pusaranya sampai hari ini yang
terbaring di samping mesjid Montasik.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span></div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Teuku
Ibrahim Lam nga menikahi Cut Nyak Dhien pada tahun 1862 ketika Cut Nyak
masih berumur 12 tahun. Saat Belanda menyerang Kerajaan Aceh Darussalam
itu, Cut Nyak Dien tidak dibawa ke medan perang tetapi dilindungi dan
diungsikan ke daerah aman oleh Teuku Ibrahim Lamnga dan ayahnya Nanta
Seutia. </span><span style="font-family: inherit;">Ibrahim Lamnga merupakan martir perlawanan yang sangat ditakuti musuh dan dihormati kawan.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br />
</span> <span style="font-family: inherit;">Seperti kita simak dalam
sepenggal pidatonya ketika menggelorakan perang terhadap Belanda di
depan para pembesar Aceh, di antaranya tercatat mertuanya Nanta Setia
Teuku Hoesin, Teungku Imuem Lueng Bata, Teuku Panglima Polem, Teuku
Along (Abang Panglima Polem), Teuku Purba, Raja Pidie s eperti ditulis
M.H. Szekely-Lulofs. </span></div>
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<i>“Bahwa kami sampai kepada detak jantung yang penghabisan akan tetap memperjuangkan kemerdekaan Atjeh...!”.</i></blockquote>
</div>
<div>
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span> <span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Maka dengan gembira ia menyambung kata-katanya pula : </span><br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<i>“Hai budjang! Hai anakku! Laki-laki engkau! Ayahmu, Datukmu laki-laki pula! Perlihatkanlah kedjantananmu itu!<br />
<br />
Orang “kaphe” hendak mendjadjah kita, hendak memperbudak kita, hendak mengganti agama kita dengan agamanja, agama kafir...!!.<br />
<br />
Sebudi akalmu, dengan seada-ada tenagamu, pertahankanlah hak-hak kita, orang Atjeh...!.<br />
<br />
Pertahankanlah agama kita, agama Islam, wahai anakku! Turutkanlah
djedjak ayahmu, menjambut kedatangan “kaphe”, dan mengusir mereka keluar
batas Atjeh...!!”.</i></blockquote>
</div>
<div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Pidato
Teuku Ibrahim Lamnga itu telah mengkobarkan semangat para pejuang Aceh
untuk mengusir Belanda. Ketika terjadi pendaratan pertama Belanda pada
tanggal 26 Maret 1873, pimpinan pasukan Kohler harus menghembuskan
nyawanya setelah sebutir peluru menebus dadanya dan tewas di depan
Mesjid Raya Baiturrahman, setelah dia membakar mesjid yang bersejarah
tersebut pada tanggal 14 April 1873.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Ibrahim
bersama teman temannya Panglima Nyak Man, Teuku Along, Teungku Imuem
Lueng Bata, Nanta Setia,Teuku Rajoet (abang Cut Nyak Dien), terus
bergerilya dan berperang dengan Belanda. </span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span> <span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Kemudian,
Habib Abdurrahman datang dari Pulau Penang bersama 2000 pasukannya
untuk bergabung di Aceh Besar. Pada awal Bulan Februari 1878 pasukan
Aceh berhasil merebut kembali Krung Raba Lhoknga. Dan sempat membuat
kucar kacir pasukan Jenderal van der Heyden.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Teuku Umar
abang sepupunya Cut Nyak Dien, kemudian mereka menikah dan melanjutkan
perjuangan Ibrahim. Cut Nyak Dhien yang tak pernah menyerah, kemudian
ditangkap Belanda dan meninggal pada tanggal 6 November 1908 di
Sumedang. </span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span> <span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Cut
Nyak Dien wafat yang berstatus isteri ketiga dari Teuku Umar.
Sebelumnya Teuku Umar menikahi Nyak Sapiah, puteri Ule Balang Glumpang;
dan Nyak Maligo, puteri Panglima Sagoe 25. Mereka bersama sama berjuang
mempertahankan agama dan tanah airnya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<div>
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Kisah cinta
dan perjuangan Cut Nyak Dhien adalah sejarah pahit dan kepedihan
panjang. Ia kawin dengan pejuang lalu ditawan di negeri orang, dan mati
dalam kesepihan. Namun satu yang tetap hidup, yaitu kesetiaan atas tanah
air meskipun dengan menggadai nyawa. </span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span> <span style="font-family: inherit;">Perjuangan dan cintanya
bukan sebatas kijang Inova. Demikian pula, Teuku Ibrahim Lamnga yang
perjuang penuh getir hingga terbunuh akibat pengkhianatan.</span></div>
<div>
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
</span></div>
<div>
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Dan apa
yang diperankan Christine Hakim dalam film Cut Nyak Dhien dan Eros,
hanya secuil dari fakta sejarah itu sendiri. Bagi para mujahid itu,
zaman boleh berganti, tapi perjuangan tak pernah mati. Dari kisah itu,
kita generasi Aceh sekarang seharusnya berkaca. Damailah kalian pahlawan
kami.</span></div>
<div>
</div>
<div>
</div>
<div>
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><b>Sumber :</b> <i>http://www.atjehcyber.net/2013/01/romansa-cinta-cut-nyak-dhien-dan-nanta.html</i> </span></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-31027782555484641622013-11-11T09:05:00.004-08:002013-11-11T09:05:49.753-08:00Dhien, Sebuah Akhir di Tanah Yang Sepi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="photo " style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="457" src="https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/1471238_689683144376331_1231219736_n.jpg" title="" width="640" /></span></div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
<strong>HARI </strong>itu,
tepat 11 Desember 1906, Bupati Sumedang waktu itu, Pangeran Aria
Suriaatmaja, kedatangan tiga orang tamu. Ketiganya merupakan tawanan
titipan dari pemerintah Hindia Belanda. Seorang perempuan tua, renta,
rabun serta menderita encok.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Seorang lagi lelaki tegap
berumur kurang lebih berumur 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15
tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tetap kelihatan tabah. Pakaian
lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang
ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Belakangan
karena melihat perempuan tua itu sangat taat beragama, Pangeran Aria
Suriaatmaja tidak menempatkannya di penjara. Melainkan memilih
menempatkannya disalah satu rumah milik tokoh agama setempat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kepada
Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta
dan menderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 06 November 1908
masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan tua itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perjalanan
sangat panjang telah ditempuh perempuan tua itu sebelum akhirnya
beristirahat dengan damai dan dimakamkan di Gunung Puyuh tak jauh dari
pusat kota Sumedang. Yang mereka tahu, karena kesehatannya yang sangat
buruk, perempuan tua nyaris tak pernah keluar rumah. Kegiatannyapun
terbatas hanya berdzikir atau mengajari mengaji ibu-ibu dan anak-anak
setempat yang datang berkunjung.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sesekali mereka
membawakannya pakaian atau sekadar makanan pada perempuan tua yang
santun itu yang belakangan karena penguasaanya terhadap ilmu-ilmu agama
disebut dengan Ibu Perbu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Waktu itu tak ada yang menyangka bila perempuan tua yang mereka panggil <strong>Ibu Perbu</strong> itu adalah <strong>The Queen of Aceh Batlle</strong>
dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Nyak Dhien. Ya, hari-hari
terakhir Tjoet Nyak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh
dari tanah air dan orang-orang yang dicintai.</div>
<br />
<br />
<span class="photo photo_right" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-photos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/1459930_689684174376228_1182089937_a.jpg" title="" /></span><br />
<div style="text-align: justify;">
Gadis
kecil cantik dan cerdas bernama Cut Nyak Dhien. Dilahirkan dari
keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang tahun 1848. Ayahnya
adalah Uleebalang bernama Teuku Nanta Setia yang merupakan keturunan
perantau Minang yang datang dari Sumatera Barat ke Aceh sekitar abad 18
ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Tumbuh
dalam lingkungan yang memegang tradisi beragama yang ketat membuat
gadis kecil Cut Nyak Dhien menjadi gadis yang cerdas. Pada usianya yang
ke 12 dia kemudian dinikahkan oleh orangtuanya dengan Teuku Ibrahim
Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Suasana
perang yang bergelanyut diatmosfir Aceh pecah ketika 1 April 1873,
F.N. Nieuwenhuyzen memaklumatkan perang terhadap kesultanan Aceh. Sejak
saat itu gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh selalu
berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh. Dan Tjoet Nyak Dhien tentu
ada disana, ditengah tebasan rencong, pekik perang dan dentuman meriam.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dia juga yang berteriak membakar semangat rakyat Aceh ketika Masjid Raya jatuh dan di bakar tentara Belanda.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<blockquote>
<em>“Rakyatku,
sekalian mukmin orang-orang Aceh! Lihatlah! Saksikan dengan matamu
masjid kita dibakar! tempat Ibadah kita dibinasakannya! Mereka
menentang Allah! Camkanlah itu! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah
memaafkan para kafir Belanda! Perlawanan Aceh tidak hanya dalam
kata-kata!” (Szekely Lulofs, 1951:59)</em>.</blockquote>
</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Perang
Aceh adalah cerita tentang keberanian, pengorbanan dan kecintaan
terhadap tanah lahir, begitu juga Tjoet Nyak Dhien. Bersama ayah dan
suaminya, setiap harinya waktu dihabiskan untuk berperang, berperang dan
berperang melawan Kaphe Beulanda. Tetapi perang juga lah yang
mengambil satu-persatu orang yang dicintainya, ayahnya lalu suaminya
menyusul gugur dalam pertempuran di Glee Tarom 29 Juni 1070.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dua
tahun kemudian, Tjoet Nyak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan
pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam
serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Tetapi
bagi Tjoet, perang melawan Belanda bukan hanya milik Teuku Umar,
Teungku Ibrahim Lamnga suaminya bukan juga monopoli Teuku Nanta Setia
ayahnya atau para lelaki Aceh saja. Perang Aceh adalah milik semesta
rakyat. Setidaknya itulah yang ditunjukan Tjoet Nyak Dhien, dia tetap
mengorganisir serangan-serangan terhadap Belanda.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bertahun-tahun
kemudian, segala energi dan pemikiaran putri bangsawan itu hanya
dicurahkan pada perang. Berpindah dari satu persembunyian ke
persembunyian yang lain, kurang makan dan kurangnya rawatan kesehatan
membuat kebugarannya merosot.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Kondisi pasukannya pun tak
jauh berbeda. Pasukan itu bertambah lemah hingga ketika pada pada 16
November 1905 sepasukan Belanda menyerbu ke tempat persembunyiannya,
Tjoet Nyak Dhien dan pasukan kecilnya kalah telak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan
usia yang telah menua, rabun dan sakit-sakitan Tjoet memang tak bisa
berbuat banyak. Rencong pun nyaris tak berguna untuk membela diri. Ya,
Tjoet tertangkap dan dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) lalu dibuang
Sumedang, Jawa Barat.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Perjuangan Tjoet Njak Dien
menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku
yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan,
para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin
perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aceh
mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan
penting dalam berbagai sektor, Jauh sebelum dunia barat berkoar
menyamaratakan persamaan hak yang bernama, Emansipasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i><b>Sumber : </b>http://www.atjehcyber.net/2011/11/dhien-sebuah-akhir-di-tanah-sepi.html </i></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-9216720558336302112013-11-11T08:11:00.000-08:002013-11-11T08:11:07.156-08:00Sosok Soeharto Dimata Orang Aceh<h2 class="_5clb">
</h2>
<div class="_5k3v _5k3w clearfix">
<div>
<div style="text-align: center;">
<span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" height="417" src="https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/1012472_689643157713663_478123648_n.jpg" title="" width="640" /></span></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<em><strong>“...Orang-orang
yang menyakiti orang-orang beriman lelaki dan perempuan tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul
kesalahan dan dosa yang nyata...” (Qur-an, Al-Ahzab: 58)</strong></em></div>
<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Hingga
detik ini, saat Suharto sudah menemui ajal dan dikuburkan di kompleks
pemakaman keluarganya di Imogiri. Namun, perampokan atas seluruh
kekayaan alam negeri Indonesia masih saja terus berjalan dan dikerjakan
dengan sangat leluasa. Sederet fakta-fakta yang tak terbantahkan jika
negeri ini tengah meluncur ke jurang kehancuran. Soeharto dianggap
dalang dari itu semua.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun siapa sangka, walau sudah
banyak sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari dalam
dan luar negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat
Suharto berkuasa selama lebih kuarng 32 tahun, dengan jutaan fakta dan
dokumen yang tak terbantahkan, namun nama Suharto masih saja dianggap
harum oleh sejumlah kalangan.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<span class="photo photo_right" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="123" src="https://fbcdn-photos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/1460088_689644607713518_1411764811_a.jpg" title="" width="200" /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahkan
ada yang begitu konyol mengusulkan agar sosok yang oleh Bung Karno ini
disebut sebagai Jenderal itu diberi penghargaan sebagai pahlawan
nasional dan diberi gelar Guru bangsa. Walau menggelikan, namun
begitulah kenyataannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Sebab itu, tulisan ini berusaha
memaparkan apa adanya tentang Jenderal Suharto. Agar setidaknya, mereka
yang menganggap Suharto layak diberi gelar guru bangsa atau pun
pahlawan nasional, harus bisa bermuhasabah dan melakukan renungan yang
lebih dalam, sudah benarkah tindakan tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Fakta
sejarah harus ditegakkan, bersalah atau tidak seorang Suharto harus
diputuskan lewat jalan hukum yakni lewat jalur pengadilan. Adalah
sangat gegabah menyerukan rakyat ini agar memaafkan dosa-dosa seorang
Suharto sebelum kita semua tahu apa saja dosa-dosa Suharto karena dia
memang belum pernah diseret ke muka pengadilan.</div>
<br />
<br />
<strong>Sejarah itu Bermula</strong><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Aceh,
kenyataannya bukanlah wilayah yang NKRI pada awalnya, namun bergabung
dengan Indonesia saat Agresi militer Belanda dan sekutu pada tahun
1947-1949. Kala seluruh wilayah NKRI dikuasai Tentara sekutu, para
pemimpin Indonesia -<em>yang dimaksud</em>- Ir. Soekarno dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, hijrah ke Aceh. Ketika itu, Aceh belum wilayah NKRI.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Disanalah
Bung Karno membakar semangat rakyat Aceh dengan pidatonya berapi-api
di depan masjid raya Baiturrahman. Didasari persaudaraan se-muslim
(Ukhwah Islamiyah), Para memimpin dan Ulama-ulama Aceh saat itu
tergerak untuk membantu perjuangan Indonesia agar terlepas dari
cengkeraman Belanda kembali.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Para pemimpin Aceh mulai
membentuk suatu lembaga guna menggalang dana perjuangan RI, seluruh
rakyat Aceh ikut andil mengumpulkan sumbangan dalam bentuk, Emas, Uang
dan properti. Hingga terkumpullah dana yang sangat besar, selama
Oktober-Desember 1949 terkumpul S$ 500 ribu. Saat itu, pemerintah
Indonesia sudah nyaris bangkrut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak hanya itu, kemudian
rakyat Aceh mengumpulkan lagi 5 kilogram emas untuk membeli obligasi
pemerintah untuk biaya kantor perwakilan Indonesia di Singapura, untuk
Kedutaan Besar RI di India, serta biaya untuk L.N. Palar-duta besar
Indonesia pertama di PBB (1950-1953)-di New York.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ke mana
saja uang S$ 500 ribu itu dibagikan? Antara lain untuk Angkatan
Bersenjata (S$ 250 ribu), kantor pemerintah Indonesia (S$ 50 ribu),
pengembalian pemerintah RI dari Yogya (S$ 100 ribu), dan S$ 100 ribu
diserahkan kepada Mr. A.A. Maramis. Ini belum lagi cerita dua pesawat
pertama RI jenis Dakota yang juga dari sumbangan rakyat Aceh. Sekali
lagi, saat itu Aceh (masih) bukan bagian NKRI. Sayangnya, semua itu
berakhir dengan pengkhianatan.</div>
<br />
<strong>Lalu, Apa kaitnya Aceh dengan Soeharto?</strong><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
<strong> </strong>
Catatan atas kejahatan HAM rezim Suharto juga dimulai dari wilayah
paling barat negeri ini. Kejahatan HAM atas Muslim Aceh yang pertama
kali diawali oleh VOC Belanda, diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno,
dan ditindas lebih kejam lagi di masa kekuasaan Suharto.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahkan
di zaman Jenderal Suharto-lah, Aceh yang sangat berjasa dalam merebut
dan mempertahankan kemerdekaan RI—dari segi finansial, sebab itu
juga Aceh disebut sebagai ‘Lumbung Uang RI’—justru dijadikan<em> '</em>lapangan tembak', bernama Daerah Operasi Militer (DOM), 1989-1998.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Selama penerapan status DOM, Aceh telah berubah menjadi <em>The Killing Field</em>,
dan keadilan pun pergi dari Bumi Para Ulama itu. Berbagai pola
penyiksaan yang diterapkan militer, dari pembakaran dan penjarahan,
hingga pelecehan seksual (bahkan perkosaan) sampai penghilangan hak
hidup manusia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kekejian benar-benar menemukan bentuknya di
Serambi Mekkah. Pada masa-masa suram ini, hampir saban hari bisa
dipastikan ada mayat yang dibuang di tepi jalan. Seperti kutipan
testimoni Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), T. Ibrahim Alfian
kala itu mengungkapkan;</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
"<em>Nuwun Sewu</em>, Aceh itu
terlalu besar sumbangannya bagi Republik ini. Kenapa dalam negeri
pancasila ini semua bisa terjadi. Dan mengapa rakyat Aceh diperlakukan
seperti itu? Itu kan bangsa kita sendiri! Ini tindakan yang fasistik,
kejam, dan biadab. Mana hati nurani itu? Betul-betul saya sangat sedih.
Apalagi karena saya tahu sejarah." <strong>(T. Ibrahim Alfian)</strong></div>
<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
<em><span class="photo "><img alt="Tragedi Simpang KKA (1998)" class="photo_img img" height="237" src="https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/1463014_689647057713273_719760047_n.jpg" title="Tragedi Simpang KKA (1998)" width="400" /></span></em></div>
<div class="caption" style="text-align: center;">
<em>Tragedi Simpang KKA (1998)</em></div>
<div class="caption">
<em> </em></div>
<div class="caption">
<em> </em></div>
<em></em><br />
<div style="text-align: justify;">
Sesungguhnya,
pembantaian di Aceh bukanlah cerita baru, berbagai kisah memilukan
yang menimpa masyarakat di Aceh selama kurun gelap sejarah perjalanan
peradaban Aceh yang terjadi pada masa invasi Belanda, Jepang, juga Orde
Lama dan Orde Baru.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Wilayah Aceh yang sangat kaya dengan
sumber daya alamnya, dengan minyak dan gas bumi. Sampai dengan akhir
dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih dari 30% total produksi
ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara ditemukan cadangan gas
alam cair (LNG) yang sangat besar.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Mobile Oil, perusahaan
tambang AS, diberi hak untuk mengekploitasinya dan dalam enam tahun
kemudian kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi di dalam areal yang
dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di tempat yang sama,
berabad lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase berdiri,
dan kini oleh Suharto diserahkan kekayaan alam negeri ini yang sungguh
besar kepada AS.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu 30
tahun sejak 1961, Asamera, suatu perusahaan minyak Kanada, telah
menggali tak kurang dari 450 sumur minyak. Sumber gas alam yang
ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari persediaan gas
alam di Aceh Utara. Produksi Pabrik Pupuk ASEAN di Aceh hampir 90
persen diekspor, dan dari kompleks petrokimia diharapkan penjualan
kimia aromatik sebesar US$200 juta setahun.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Pabrik Kertas
Kraft Aceh (KKA) juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak
1989. Dari penghematan impor pembungkus semen saja pemerintah sudah
memperoleh laba US$89 juta setahun, sedang ekspor kertas semen
menghasilkan US$43 juta. Pada 1983 Aceh menyumbang 11 persen dari
seluruh ekspor Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Suharto tahu betul jika kekayaan
alam Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan amat rakus rezim Orde
Baru terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya, nyaris semua
keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam Aceh ini
dibawa kabur ke Jakarta.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Rakyat Aceh tidak mendapatkan
apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan.
Pemerintah Jakarta bukannya mengembalikannya ke rakyat Aceh sebagai
pemilik yang sah, tapi justru mengirim ribuan tentara untuk memerangi
rakyat Aceh yang sudah tidak berdaya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam dasawarsa
1990-an, dari 27 provinsi di Indonesia, Aceh menempati posisi provinsi
ke-7 termiskin di seluruh Indonesia. Lebih dari 40 persen dari 5.643
desa di Aceh telah jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hanya 10 persen
pedesaan Aceh menikmati aliran listrik. Di kawasan ZIL hanya 20%
penduduk yang mendapat saluran air bersih. Yang lain mendapat pasok air
dari sumur galian yang sering tercemar oleh limbah zona industri.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Peneliti
AS, Tim Kell, dalam laporannya menulis, “Friksi dan perbenturan nilai
pun terjadi antara penduduk asli dan pendatang. Para migran menenggak
bir, <em>berdansa-dansi</em>, melambungkan harga-harga di pasar. Mereka
hidup mewah di kolam kemiskinan rakyat Aceh. Limbah industri mencemari
tanah dan masuk ke sumur-sumur penduduk asli. Polusi meluas ke laut,
merusak lahan nelayan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pengangguran meningkat. Pemiskinan
berlanjut. Industrialisasi gagal merombak struktur perekonomian rakyat
Acehsecara fundamental, karena ia memang tak pernah menjadi bagian dari
perekonomian asli rakyat Aceh”. Inilah salah satu “hasil” pembangunan
rezim Suharto di Aceh.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Secara obyektif Tim Kell melanjutkan, <em>“Pada
tahun-tahun 1940-an para ulama PUSA sudah kecewa atas tak
diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia. Pada 1950, status Aceh
sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara.
Pemerintahan sipil, pertahanan, dan perekonomian, diambil dari ruang
lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas perlakuan semacam ini, dan
kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke pemberontakan
1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh.”</em></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Di bawah
rezim Suharto, jenderal ini membawa ideologi pembangunan dan stabilitas
politik, dan dengan kacamata kuda yang “sentralistik-Majapahit”,
Suharto mengangap sama semua orang, semua daerah, semua suku, semua
organisasi, termasuk Aceh. Suharto menganggap semuanya itu sama saja
dengan “Majapahit”. Status “istimewa” sebagai negeri Islam Aceh pun
dihabisi.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Pakar HAM Nasional, Otto Syamsuddin Ishak dalam buku <em>'<strong>Aceh Merdeka dalam Perdebatan</strong>'</em> menulis tertimoninya: <em>"Aceh
hanyalah sebuah sekoci dari 27 buah sekoci dalam kapal besar
indonesia. Kalaulah memang sekoci itu tidak bisa dipakai lagi, tidak
etis bila kapten dan awak kapal ramai-ramai menghancurkan sekoci itu.
Dan jangan pula sekocinya diperlakukan tidak adil jika keadilan tidak
bisa diberikan."</em></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Otonomi Aceh di bidang agama,
pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana tercantum dalam UU No.5/1974
tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada kenyataannya keistimewaan
Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur dipilih hanya dengan
persetujuan Suharto, Bupati hanya bisa menjabat dengan restu Golkar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pelecehan
Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak cukup terhormat untuk
menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer dipindahkan ke
Medan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang notabene
direstui Suharto mewajibkan semua murid sekolah dasar Islam untuk mampu
membaca Al-Qur’an. Peraturan ini dikecam oleh para pejabat di Jakarta.
Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki “penyelewengan”
tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten
melonggarkan peraturan yang melarang murid perempuan memakai jilbab ke
sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab diizinkan untuk menyimpang
dari peraturan tersebut.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Pemerintah Jakarta bereaksi keras
atas pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi secara
nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Suharto di
Aceh.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Ted Robert Gurr dalam "<em><strong>Why Men Rebel?</strong> (Mengapa Orang Berontak?)</em>" juga menulis bahwa orang akan berontak jika <em>way of life</em>-nya
terancam oleh perkembangan baru. Aceh telah kehilangan sumber alamnya,
mata pencariannya, gaya hidupnya. Orang Aceh kehilangan suaminya,
anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan segalanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kendati
tidak terbantahkan, hingga kini masih ada orang yang berpura buta
bertanya, “Mengapa rakyat Aceh berontak?” Aceh jelas telah menjadi
tumbal rezim Orde Baru, Setelah <em>diperkosa </em>habis-habisan
Jakarta. Siapa pun yang punya hati nurani jelas mendukung sikap rakyat
Aceh yang menarik kembali kesediaannya bergabung dengan Republik
Indonesia.</div>
<br />
Sebab itu H.M Amien Rais (1999) pernah menyatakan:<br />
<br />
<blockquote>
<span class="photo photo_right" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="200" src="https://fbcdn-photos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/1393965_689653931045919_611216152_a.jpg" title="" width="130" /></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<em>“Kalau
boleh berterus terang, Aceh ini sebagai salah satu daerah pemegang
saham terbesar di Republik Indonesia. Maka sebagai pemegang saham
terbesar, jika Aceh menarik sahamnya, tentu RI akan guncang
seguncang-guncangnya. Apalagi kalau pemegang saham yang kecil-kecil pun
ikut menjadi makmum, tentu kita akan mengucapkan: <strong>Innalillahi wa inna ilaihi rajiun</strong> buat Republik Indonesia.”</em></div>
</blockquote>
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<i><b>Sumber :</b> http://www.atjehcyber.net/2011/06/soeharto-dimata-ureung-aceh.html </i></div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-63698101109157027892013-10-09T08:40:00.001-07:002013-10-09T08:42:30.820-07:00Sempat Jadi Ibukota RI, Bireuen Aceh Belum Miliki Monumen<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img alt="Suasana malam di Simpang empat Kota Bireuen, yang menjadi lintasan jalan Banda Aceh-Medan. | KOMPAS.COM/DESI SAFNITA SAIFANA" class="photo_img img" height="320" src="https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/s720x720/1379915_671851516159494_1567213389_n.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" title="Suasana malam di Simpang empat Kota Bireuen, yang menjadi lintasan jalan Banda Aceh-Medan. | KOMPAS.COM/DESI SAFNITA SAIFANA" width="640" /></td></tr>
<tr align="left"><td class="tr-caption"><i><span style="font-size: x-small;">Suasana malam di Simpang empat Kota Bireuen, yang menjadi lintasan jalan Banda Aceh-Medan. KOMPAS.COM/DESI SAFNITA SAIFANA</span></i></td></tr>
</tbody></table>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="photo " style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>BIREUEN </b>—
Berjuluk Kota Juang, Kabupaten Bireuen dikenal semasa agresi Belanda
pertama dan kedua (1947-1948) dalam upaya mempertahankan RI dari
penjajah. Ironisnya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka, Bireuen belum
memiliki monumen sebagai Kota Juang.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Demikian diungkapkan Agus
Irwanto, pemerhati budaya dan dosen di STIE Kebangsaan Bireuen, Rabu
(9/10/2013). Kata Agus, sudah sepantasnya Monumen Kota Juang dibangun
sebagai identitas kota perjuangan.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Ia mengurai, sejak 1945, Kota
Bireuen dikenal sebagai pusat kemiliteran Aceh. Divisi X Komandemen
Sumatera Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Kolonel Hussein Joesoef
berdudukan di Bireuen (Pendopo Bupati) sekarang. </div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
“Bahkan
Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga ketika jatuhnya Jogyakarta pada
1948. Sebagai referensi saya temukan, Presiden Soekarno hijrah dari
ibukota RI kedua, yakni Yogyakarta ke Bireuen pada 18 Juni 1948. Selama
seminggu Bireuen menjadi wilayahnya (Soekarno) mengendalikan Republik
Indonesia dalam keadaan darurat,” jelas Agus. <br />
<br />
Julukan Kota Juang
Bireuen dikukuhkan kembali oleh Letjen Purn Bustanil Arifin pada 1987.
Acara itu dihadiri sejumlah tokoh, termasuk gubernur Aceh saat itu,
Ibrahim Hasan. Beberapa tokoh pejuang dan alim ulama pun menjadi saksi
pengukuhan kembali tersebut.<br />
<br />
Agus menyebutkan, sesederhana apapun
bentuknya, monumen selayaknya dibangun agar masyarakat umum tahu
sejarah Kota Bireuen. “Apakah berupa monumen tank atau monumen pemancar
Radio Rimba Raya yang pernah digunakan sebagai sarana perjuangan,” jelas
Agus.<br />
<br />
Pemancangannya pun ia harapkan berada di seputaran Simpang IV Kota Bireuen yang menjadi lintasan jalan negara. </div>
<br />
<i><b>Sumber:</b> kompas.com </i>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-41179486238639534922013-09-19T11:22:00.002-07:002013-09-19T11:30:35.490-07:00Aceh, Mutiara yang Terlupakan<span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/s720x720/1236513_661987310479248_68468302_n.jpg" title="" /></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #999999;"><i><span style="font-size: xx-small;">Turis dari kapal pesiar MV Clipper Odyssey disambut tarian ranup lampuan
saat tiba di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, Kamis (10/1/2013). Kapal
yang mengangkut 150 penumpang dari berbagai negara dalam tour wisata
Zegrahm Expedition tersebut melego jangkar selama enam jam di lepas
pantai Banda Aceh untuk membawa para turis melakukan city tour ke
beberapa situs sejarah dan tsunami Aceh. </span></i></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di
masa lalu, Aceh pernah menjadi ”Mutiara Nusantara”. Kisah sukses
saudagarnya, mendunia. Demikian alamnya yang indah dan kaya raya. Namun,
kisah hebat itu nyaris jadi legenda. Sejumlah daerah kini mencoba
bangkit meskipun tertatih. Ironi inilah yang dipotret Tim Jelajah Sepeda
Kompas PGN Sabang-Padang, hari-hari ini.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Mata Ahmad
Faisal, peserta jelajah sepeda, berbinar saat menceritakan
pengalamannya menjelajahi Aceh selama enam hari terakhir. Meski dihajar
angin kencang, hujan, hingga terik matahari di perjalanan, baginya
Aceh adalah karunia Tuhan tak terhingga, mulai dari pantai hingga
pegunungan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Faisal mengatakan, ia tak berhenti mengagumi
Aceh sejak mulai mengayuh sepeda dari pantai barat Aceh di Pulau Weh di
ujung barat hingga Subulussalam, kota di ujung selatan Aceh. Enam hari
mengayuh pedal sepeda, bertubi-tubi ia disajikan keindahan alam dan
keramahan masyarakatnya. Jauh dari kesan Aceh sebagai daerah rawan
konflik di masa lalu.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Saat napas mulai terengah-engah,
para peserta jelajah sepeda mendapat hiburan saat mendaki Gunung
Geurutee dan jalan bantuan Pemerintah Amerika Serikat (AS), pemandangan
Pantai Daya di Aceh Jaya, Pantai Arongan (Aceh Barat), dan Suak
Gedebang, Lampuu (Aceh Besar). Demikian juga pesona Pantai Arongan
(Aceh Barat) dan Bidari (Aceh Selatan), meluruhkan lelah setelah
menapaki tanjakan curam di sekitar Aceh Selatan.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
”Kehormatan
besar buat kami bisa menjelajahi Aceh dengan tenang dan nyaman di atas
sepeda. Sangat disayangkan kalau keindahan ini tak diketahui
masyarakat Indonesia,” ujar pegiat dan pelaku usaha alat-alat olahraga
petualangan dari Jakarta.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Antonius Purnomo, peserta
lainnya, sudah tak sabar lagi ingin kembali secepatnya ke Pulau Weh.
Sebab, keindahan pulau induknya, Sumatera, yang dihiasai pulau kecil di
ujungnya dengan beberapa pulau lain di sekelilingnya mengingatkan
Phuket di Thailand.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
”Saya akan kembali bersama anak dan
istri. Kebetulan kami suka bersepeda. Rute cantik sekaligus menantang
ini penuh dengan tanjakan curam yang akan saya ulangi bersama mereka,”
kata direktur salah satu perusahaan yang bergerak di bidang properti
ini.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Decak kagum peserta jelajah sepeda mungkin sama
dengan penjelajah Portugis dan Kolonial Belanda pada abad ke-16 hingga
ke-17. Di samping keindahan pantai, kekayaan sumber daya alam dan
letaknya yang strategis menjadi incaran utama.</div>
<br />
<span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/s720x720/530555_661987690479210_1694385389_n.jpg" title="" /></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #999999;"><i><span style="font-size: xx-small;">Turis dari kapal pesiar MV Clipper Odyssey mengenakan pakaian khusus
saat memasuki kompleks Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Kamis
(10/1/2013). Kapal yang mengangkut 150 penumpang dari berbagai negara
dalam tour wisata Zegrahm Expedition tersebut melego jangkar selama enam
jam di lepas pantai Banda Aceh untuk membawa para turis melakukan city
tour ke beberapa situs sejarah dan tsunami Aceh. </span></i></span></div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Belanda
tercatat yang paling lama menancapkan kukunya. Di Pulau Sabang,
pelabuhan dibangun guna memudahkan distribusi logistik untuk memperkuat
pertahanan.</div>
<br />
<b>Sinar yang meredup</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Sebenarnya,
sebagai bandar dagang, Pulau Weh berkembang besar lebih dulu ketimbang
Singapura. Namun, ”sinar”-nya justru meredup setelah Indonesia
merdeka. Difungsikannya Sabang sebagai pangkalan udara justru
mengurangi ”sinar”-nya sebagai pintu masuk Eropa-Asia. Tanpa saingan,
Singapura pun akhirnya melaju menjadi palang pintu perdagangan dunia
sejak tahun 1960-an.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Wajar jika sejumlah bangsa asing
ngotot menguasai Aceh karena dipicu lada yang tumbuh subur. Harganya
yang mahal membuat saudagar Aceh kaya raya. Pala yang ditanam dengan
bibit asal Pulau Banda memang sempat menjadikan Aceh sebagai penghasil
pala terbesar setelah Pulau Banda. Untuk itu, dua pelabuhan dibangun
Belanda untuk ekspor ke berbagai negara Eropa, di Labuhan Haji dan
Tapak Tuan.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Namun, konflik berkepanjangan dan serangan
hama tak berkesudahan menggerogoti kejayaan itu. Misalnya, tanaman
pala. Dari 30.000 hektar lahan pala di akhir tahun 1983, menjadi
tersisa 14.000 hektar tahun 2013. Banyak pohon pala yang juga terserang
hama. Alhasil dua dari empat penyulingan minyak pala pun akhirnya
bangkrut.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Pelabuhan Labuhan Haji yang masyhur, kini terimpit besarnya kapasitas alat tangkap nelayan Sibolga dan Thailand.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kemukiman
Bulohseuma, Kecamatan Trumon, Aceh Selatan, yang disinggahi tim
jelajah sepeda, juga potret sikap abai pemerintah untuk memeratakan
pembangunan. Tak ada akses jalan yang menghubungkan 280 keluarga di tiga
desa di kemukiman ini. Gelap gulita pun senantiasa ”menemani”
malam-malam warga karena ketiadaan listrik. Ironisnya, kondisi tersebut
masih dialami mereka saat Indonesia sudah merdeka 68 tahun lamanya.
Padahal, dari wilayah ini, Aceh Selatan senantiasa menghadirkan madu
termahal dan ternikmat di Aceh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
”Pemerintah tak serius
menganggap keluhan kami. Entah berapa kali kami meminta agar
dibangunkan jalan. Tetapi, janji-janji itu begitu lamban terwujud,”
kata Sekretaris Desa Raket, Bulohseuma, Zaenal.</div>
<br />
<span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/s720x720/1239871_661988380479141_1367582891_n.jpg" title="" /></span><br />
<span style="color: #999999;"><i><span style="font-size: xx-small;">Peserta Jelajah Sepeda Sabang-Padang Kompas-PGN menuju Blangpidie, Aceh Barat Daya, Selasa (3/9/2013). </span></i></span><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Pusat
penyulingan milik H Burhan di Tapak Tuan, yang kosong melompong,
menjadi contoh lonceng kematian investasi. Tabung uap suling pala di
dalam gedung besar seluas 1 hektar itu, kini sudah diangkut ke Medan.
Tanpa mekanisme pembuangan limbah yang baik, pabrik yang sempat diprotes
warga karena pembuangannya, akhirnya terpaksa pindah ke Medan tahun
1997.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Tingginya ongkos pengiriman minyak pala ke Medan
melalui jalan darat juga menjadi kendala besar. Butuh biaya besar
membawa minyak pala untuk selanjutnya dikirim ke Eropa oleh distributor
Medan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
”Harga minyak pala dari Tapak Tuan ke Medan
antara Rp 800.000-Rp 1 juta per kilogram. Tidak tahu juga berapa harga
dari Medan ke konsumen asing,” ujar Deddy Syahputra, warga Aceh
Selatan.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Tinggal di dekat jalan paling bagus di
Indonesia, yang dilalui tim jelajah sepeda, ternyata bukan jaminan
sejahtera. Sudirman, pemilik warung makan di Jalan Calang-Meulaboh,
hanya mendapatkan Rp 50.000-Rp 100.000 per hari.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berada
di sekitar Pantai Suak Debangbrueh, Kecamatan Sama Tiga, Aceh Barat,
juga tak terlalu menolong. Sebab, pantai berpasir putih yang dihiasi
cemara laut dan menghadap Samudra Hindia, jarang dikunjungi wisatawan.
Trauma pascatsunami membuat warga hijrah ke daerah lain. Bahkan, rumah
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Nias, kini tak terurus. Hanya
berjarak 50 kilometer atau satu jam naik motor dari Banda Aceh, Maryati
(45), warga Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, yang berjualan di pinggir
jalan besar itu juga mereguk banyak keuntungan. Jalan mulus bantuan AS
membuat pengguna jalan memacu kendaraannya kencang-kencang sehingga
jualan buahnya hanya laku sekitar Rp 30.000-Rp 50.000 per hari.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebenarnya,
Maryati bisa meraup keuntungan lebih besar jika mau berjualan hingga
malam. Dibandingkan masa lalu, yang jalan sering rusak, maka banyak
pengguna jalan yang beristirahat di warung buah miliknya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat
melintasi etape ketujuh, Budhi Dharma (60), peserta jelajah sepeda
lainnya, juga terngiang saat masa kecilnya di Padang pada sekitar 40
tahun lalu. Orangtuanya dulu kerap bercerita tentang banyak saudagar
Aceh yang kaya raya. Mereka pintar berdagang dan punya banyak kebun
rempah-rempah.</div>
<br />
<span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/s720x720/1239606_661988770479102_1802068716_n.jpg" title="" /></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #999999;"><span style="font-size: xx-small;"><i>Lautan biru di Teluk Balohan, Aceh dengan perbukitan yang mengelilingi.
Lautan ini menjadi pemandangan bagi peserta Jelajah Sepeda Sabang-Padang
Kompas-PGN, Sabtu (31/8/2013). </i></span></span></div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Namun,
enam hari bersepeda mengelilingi Aceh lebih dari 600 km, Budi justru
merasa sedih melihat Aceh di bagian selatan. Bangunan rumah kayu kusam
di pinggir jalan mirip dengan rumahnya tahun 1960-an.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
”Saya
sedih. Ke mana kejayaan Aceh dengan kejayaan para saudagarnya
sekarang? Rumah warga sangat sederhana. Padahal di depannya banyak
berjejer pantai indah dan kaya ikan. Sayang, mereka tak bisa
memanfaatkannya,” kata pengusaha otomotif dan karoseri ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pemimpin
Redaksi Idea dan Ide Bisnis Wahyu Hardana menambahkan, keunggulan
sumber daya alam dan infrastrukur jalan di Aceh harusnya bisa mendorong
Aceh menjadi provinsi termaju. Mungkinkah? <b>(Cornelius Helmy/Mohamad Burhanudin)</b><br />
<br />
<br />
<b><i>Sumber : </i></b><i>http://print.kompas.com/</i><b> </b></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-47764489785724493592013-09-10T05:43:00.003-07:002013-09-10T05:45:22.636-07:00JASA ACEH YANG TERLUPAKAN<span class="userContent"></span><br />
<div class="text_exposed_root text_exposed" id="id_522f1289c0d415f74468748">
<span class="userContent">* Peranana Aceh Dikaburkan Dalam Sejarah Republik. Ini Bukan Rasis Melainkan Jeritan hati Rakyat Aceh</span><br />
<span class="userContent"><br /></span>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="userContent">1. Ketika wilayah Indonesia hampir dikuasai seluruhnya oleh Belanda
saat perang kemerdekaan, Acehlah yang menjadi donatur bagi Indonesia.
Aceh mendanai kegiatan-kegiatan duta dan perwakilan RI ke luar negeri,
juga membiayai perwakilan PBB.</span><br />
<span class="userContent">Selain itu, Aceh juga membiayai misi perjalanan menteri muda Luar Negeri RI, H. Agus Salim, ke Timur Tengah d<span class="text_exposed_show">an
saat mengikuti konferensi Asia di New Delhi. Saat Pemerintahan pusat
yang berada di Yogyakarta vacum, Aceh juga menyediakan dana bagi
pemerintahan.</span></span><br />
<br />
</div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"></span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> </span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> 2. Rakyat Aceh juga pernah menyumbangkan dua
pesawat bagi pemerintahan RI. Pesawat itu adalah pesawat jenis dakota
yaitu Seulawah RI-001 dan Dakota RI-002 yang dibeli di Singapura,
Oktober 1948. Para pengusaha aceh juga memberikan satu pesawat jenis
"Avro Anson RI-004" yang dibeli di Thailand , pesawat -pesawat itu
dibayar dengan menggunakan emas murni sumbangan rakyat Aceh. Jadi, tiga
pesawat pemberian Aceh inilah yang menjadi armada pertama Indonesia yang
dapat menembus blokade udara Belanda.</span></span><br />
<br />
</div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"></span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> </span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> 3. Aceh juga memberikan sebuah kapal yang berbobot 100 ton dengan nomor registrasi PPB 58 LB kepada armada laut RI.</span></span><br />
<br />
</div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"></span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> </span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> 4. Aceh juga memiliki sebuah radio yang dikenal dengan "Radio Rimba Raya" yang bertempatkan di Takengon, Aceh Tengah.</span></span><br />
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show">
Banyak juga yang melupakan peranan Radio rimba raya ini bagi
kemerdekaan Indonesia. Berita tentang kemerdekaan Indonesia diketahui
oleh dunia melalui radio ini.</span></span><br />
<br />
</div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"></span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> </span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> 5. Pasukan dari Aceh juga pernah
melakukan Long March menuju front "Medan Area" ketika Medan, Sumatera
Utara berhasil dikuasai Belanda. Ini merupakan bentuk komitmen Aceh demi
kemerdekaan RI. Sehingga saat itu Aceh dikenal sebagai daerah yang
memiliki basis pertahanan yang paling kuat di wilayah Sumatera.</span></span><br />
<br />
</div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"></span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> </span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show">
6. Emas yang dipajang di puncak tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta
adalah sumbangan dari salah seorang saudagar Aceh yaitu Teuku Markam.</span></span><br />
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show">
Itu baru segelintir sumbangan Putra Aceh teresebut, untuk kepentingan
negeri ini. Sumbangsih lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan
untuk dijadikan pusat olah raga terbesar Indonesia.</span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"></span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> <br /> Balasan Indonesia untuk rakyat ACEH adalah :</span></span><br />
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"><br /> </span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show">
1. Teuku Markam ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat
PKI. Harta kekayaannya diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba.</span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"></span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> </span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show">
Aktivitas bisnisnya ditekan habis-habisan. Ahli warisnya hidup
terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga
kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak pernah
direhabilitir.</span></span><br />
<br />
</div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"></span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> </span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan
segala daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku
Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan
hak-hak orang tuanya.</span></span><br />
<br />
</div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"></span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> </span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> 2. Presiden Soekarno pernah ingkar janji
kepada Aceh. Ketika itu, beliau pernah memohon sambil berlinang air mata
pada Aceh untuk tetap mendukung Indonesia dan tetap menjadi penyuplai</span></span><br />
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show">
dana demi kemerdekaan Indonesia. Beliau berjanji akan memberi otonomi
khusus kepada Aceh untuk menjalankan syariat islam di wilayahnya
sendiri.</span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"></span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> </span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Janji itu meluluh lantakkan hati orang Aceh yang
ternyata tak kunjung ditepati oleh Soekarno. Karena itulah, akhirnya
Aceh memberontak lalu muncullah konflik berkepanjangan hingga perjanjian
damai di Helsinki antara Aceh dan RI digaungkan.</span></span><br />
<br />
</div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"></span></span></div>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> </span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> 3. Konflik
ACEH yang berkecamuk dijawab dengan "Darurat Militer" oleh Indonesia dan
menjadi ajang 'GENOCIDE'. Tragedi Simpang KKA, Rumoh geudong,
Pembantaian Tgk. Bantakiyah cs, Penghilangan paksa Aktivis Ulama yang
menetang Kekerasan RI. Itu sedikit dari banyak kasus yang sampai
sekarang hanya menjadi kisah pilu kami semata.</span></span><br />
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Seolah Komnas HAM berkata : TIDAK ADA HAM UNTUK KALIAN (Rakyat Aceh).</span></span></div>
</div>
<span class="userContent">
</span><span class="userContent"><div class="text_exposed_root text_exposed" id="id_522f1289c0d415f74468748">
</div>
<div class="text_exposed_root text_exposed" id="id_522f1289c0d415f74468748">
</div>
</span><br />
<div class="photoUnit clearfix">
<div class="_53s uiScaledThumb photo photoWidth1" data-ft="{"tn":"E"}" data-gt="{"fbid":"656875674336610"}">
<a class="_6i9" href="https://www.facebook.com/photo.php?fbid=656875674336610&set=a.434768803213966.107123.398156983541815&type=1&relevant_count=1" rel="theater"></a><br />
<div class="uiScaledImageContainer photoWrap">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a class="_6i9" href="https://www.facebook.com/photo.php?fbid=656875674336610&set=a.434768803213966.107123.398156983541815&type=1&relevant_count=1" rel="theater" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Foto: JASA ACEH YANG TERLUPAKAN.
* Peranana Aceh Dikaburkan Dalam Sejarah Republik. Ini Bukan Rasis Melainkan Jeritan hati Rakyat Aceh
1. Ketika wilayah Indonesia hampir dikuasai seluruhnya oleh Belanda saat perang kemerdekaan, Acehlah yang menjadi donatur bagi Indonesia. Aceh mendanai kegiatan-kegiatan duta dan perwakilan RI ke luar negeri, juga membiayai perwakilan PBB.
Selain itu, Aceh juga membiayai misi perjalanan menteri muda Luar Negeri RI, H. Agus Salim, ke Timur Tengah dan saat mengikuti konferensi Asia di New Delhi. Saat Pemerintahan pusat yang berada di Yogyakarta vacum, Aceh juga menyediakan dana bagi pemerintahan.
2. Rakyat Aceh juga pernah menyumbangkan dua pesawat bagi pemerintahan RI. Pesawat itu adalah pesawat jenis dakota yaitu Seulawah RI-001 dan Dakota RI-002 yang dibeli di Singapura, Oktober 1948. Para pengusaha aceh juga memberikan satu pesawat jenis "Avro Anson RI-004" yang dibeli di Thailand , pesawat -pesawat itu dibayar dengan menggunakan emas murni sumbangan rakyat Aceh. Jadi, tiga pesawat pemberian Aceh inilah yang menjadi armada pertama Indonesia yang dapat menembus blokade udara Belanda.
3. Aceh juga memberikan sebuah kapal yang berbobot 100 ton dengan nomor registrasi PPB 58 LB kepada armada laut RI.
4. Aceh juga memiliki sebuah radio yang dikenal dengan "Radio Rimba Raya" yang bertempatkan di Takengon, Aceh Tengah.
Banyak juga yang melupakan peranan Radio rimba raya ini bagi kemerdekaan Indonesia. Berita tentang kemerdekaan Indonesia diketahui oleh dunia melalui radio ini.
5. Pasukan dari Aceh juga pernah melakukan Long March menuju front "Medan Area" ketika Medan, Sumatera Utara berhasil dikuasai Belanda. Ini merupakan bentuk komitmen Aceh demi kemerdekaan RI. Sehingga saat itu Aceh dikenal sebagai daerah yang memiliki basis pertahanan yang paling kuat di wilayah Sumatera.
6. Emas yang dipajang di puncak tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta adalah sumbangan dari salah seorang saudagar Aceh yaitu Teuku Markam.
Itu baru segelintir sumbangan Putra Aceh teresebut, untuk kepentingan negeri ini. Sumbangsih lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat olah raga terbesar Indonesia.
Balasan Indonesia untuk rakyat ACEH adalah :
1. Teuku Markam ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat PKI. Harta kekayaannya diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba.
Aktivitas bisnisnya ditekan habis-habisan. Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak pernah direhabilitir.
Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.
2. Presiden Soekarno pernah ingkar janji kepada Aceh. Ketika itu, beliau pernah memohon sambil berlinang air mata pada Aceh untuk tetap mendukung Indonesia dan tetap menjadi penyuplai
dana demi kemerdekaan Indonesia. Beliau berjanji akan memberi otonomi khusus kepada Aceh untuk menjalankan syariat islam di wilayahnya sendiri.
Janji itu meluluh lantakkan hati orang Aceh yang ternyata tak kunjung ditepati oleh Soekarno. Karena itulah, akhirnya Aceh memberontak lalu muncullah konflik berkepanjangan hingga perjanjian damai di Helsinki antara Aceh dan RI digaungkan.
3. Konflik ACEH yang berkecamuk dijawab dengan "Darurat Militer" oleh Indonesia dan menjadi ajang 'GENOCIDE'. Tragedi Simpang KKA, Rumoh geudong, Pembantaian Tgk. Bantakiyah cs, Penghilangan paksa Aktivis Ulama yang menetang Kekerasan RI. Itu sedikit dari banyak kasus yang sampai sekarang hanya menjadi kisah pilu kami semata.
Seolah Komnas HAM berkata : TIDAK ADA HAM UNTUK KALIAN (Rakyat Aceh)." class="scaledImageFitWidth img" height="331" src="https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/557115_656875674336610_1495851499_n.jpg" width="640" /></a></div>
</div>
<a class="_6i9" href="https://www.facebook.com/photo.php?fbid=656875674336610&set=a.434768803213966.107123.398156983541815&type=1&relevant_count=1" rel="theater">
</a></div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-79542314377455856482013-08-15T00:31:00.004-07:002013-08-15T00:33:42.611-07:00Buku Karangan Hasan Tiro, “Aceh di Mata Dunia” Mulai Diedarkan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="photo " style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="616" src="https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash4/999612_643757442302235_381470906_n.jpg" title="" width="640" /></span></div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
<blockquote>
<i>“SETELAH
peperangan besar dengan Belanda yang dimulai tahun 1873 dan selesai
tahun 1937, tidak ada satu pemimpin Atjèh pun yang hidup, karena semua
memilih syahid dalam peperangan daripada hidup menjadi budak Belanda.
Teladan ini yang diberikan untuk kita sebagai cucunya, adalah suatu
kemutlakan yang tidak bisa dibantah dan tidak perlu menunggu jawaban
dari kita...”</i></blockquote>
</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Begitulah antara
lain penggalan kalimat pada bagian kata pengantar buku “Aceh di Mata
Dunia” yang ditulis Teungku Hasan Muhammad di Tiro, tokoh kunci Gerakan
Aceh Merdeka yang meninggal pada 3 Juni 2010. Kini, karya fenomenal
Hasan Tiro kembali diangkat ke permukaan untuk mengenang kembali jejak
dan pemikiran briliannya dalam sejarah pergolakan politik di Aceh.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di
antara banyak buku yang ditulis Hasan Tiro, “Aceh di Mata Dunia”
adalah salah satu karya yang masih sedikit diketahui orang, karena
ditulis sang proklamator GAM itu dalam bahasa Aceh dengan judul; “Aceh
Bak Mata Donya”</div>
<br />
***<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Bandar Publishing yang
bergerak dalam bidang penerbitan dan penelitian di Banda Aceh, kembali
menerbitkan karya fundamental, Hasan Tiro. Buku yang diterbitkan
berjudul Aceh Di Mata Dunia. Penerbitan buku ini mengambil spirit
Perdamain Helsinki 15 Agustus 2013 dan spirit Kemardekaan 17 Agustus
2013.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
“Ini karya Hasan Tiro naskah aslinya dalam
bahasa Aceh. Edisi dalam bahasa Aceh telah terbit tahun 1968 di New
York, Amerika Serikat. Dan belum pernah di terjemahkan kedalam bahasa
Indonesia. Hasan Tiro dalam menulis bukunya terlihat membawa spirit
identitas (perdamaain). Karya ini ditulis jauh sebelum Hasan Tiro
mendeklarasikan GAM 4 Desember 1976” Ujar penerjemah buku ini, Haikal
Afifa.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Menurut Haikal Afifa, proses penerbitan dan
penerjemahan buku ini sudah mendapat restu dari salah satu ahli waris.
“Kami tidak sembarang menerbitkan dan menerjemahkan karya original
dari Hasan Tiro, kami ketahui Hasan Tiro masih memiliki keluarga baik
di Aceh maupun di eropa. Makanya kita mendapat mandat dari salah satu
kelaurganya yang kini menetap di eropa, Musanna Tiro”, tambahnya.</div>
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="photo " style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="312" src="https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/1150397_643757712302208_2079280856_n.jpg" title="" width="640" /></span></div>
<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Hasan
Tiro, menuru Haikal Afifa dalam buku Aceh Di Mata Dunia mulai menulis
kata pengantar dengan sejumlah pertanyaan. “Hasan Tiro mulai menulis
dengan kalimat Bagaimana seorang Aceh melihat diri sendiri sebagai
Aceh? Inilah sebuah pertanyaan besar untuk bangsa Aceh sekarang yang
harus kita pahami. Jawaban pertanyaan ini sangat menentukan nasib Aceh,
nasib generasi selanjutnya dan nasib Aceh di mata dunia” Begitu
paragraf pertama Hasan Tiro memulainya.</div>
<br />
Kemudian paragraf terakhir pada pengantar awal bukunya, Hasan Tiro menulis;<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
<blockquote>
<i>“Dengan
mengetahui seperti apa ”Atjèh di Mata Donja” dan seperti apa
bangsa-bangsa lain di seluruh dunia melihat bangsa Aceh, maka
pengetahuan ini menjadi satu solusi bagi kita generasi Aceh kini untuk
melihat dan memandang dirinya sebagai sebuah bangsa yang mulia sehingga
tahu bagaimana mencapai hidup mulia dan mati terhormat dalam
mempertahankan harga diri bangsa. Begitu juga, Aceh bisa membangun
kembali apa yang sudah hancur dan mengembalikan kembali apa yang sudah
hilang”</i></blockquote>
</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Haikal menambahkan bahwa buku ini
lahir dari spirit kebersamaan dan gotong ronyong dalam proses
penerjemahan dan percetakannya. “Saya sebagai penerjemah di bantu oleh
Murizal Hamzah, Mukhlisuddin Ilyas, team Bandar Publishing, Teku Rawa,
Abdul Halim (Ayah Papua), Keluarga Besar Teuku Yanuarsyah dan lainnya”
ujar Haikal.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Sebelumnya, pada tahun 2010. Bandar Publishing juga telah menerbitkan buku <i>Hasan Tiro; The Unfinished Story</i>.
Sebuah buku yang di tulis oleh 44 orang dalam beragam perspektif dan
diluncurkan secara sederhana pada hari 44 kematian Hasan Tiro.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
“Kedua
buku Hasan Tiro dan karya-karya Aceh yang ditulis oleh penulis Aceh
lainnya hasil terbitan Bandar Publishing. Tersedia di sejumlah toko
buku di Banda Aceh” Tutup Manager Bandar Buku, M Ikhwanuddin, SE.<br />
<br />
<br />
<i><b>Sumber : http://www.atjehcyber.net/2013/08/buku-karangan-hasan-tiro-aceh-di-mata.html</b></i></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-84558350013869818962013-06-28T00:12:00.004-07:002013-06-28T01:22:45.839-07:00Inilah Kisah Rongsokan Burung Besi Tua<br />
<div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img alt="" class="photo_img img" height="480" src="http://sphotos-e.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-prn1/1010594_620134754664504_704260210_n.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" width="640" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Seulawah RI-001</i></td></tr>
</tbody></table>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<b>CERITA </b>yang
penuh kisah herois ini menjadi sebuah kebanggaan yang diwariskan secara
turun temurun oleh perjuang kemerdekaan dan orang tua di kalangan
masyarakat Aceh kepada anaknya sejak dahulu. Walaupun bukti sejarah
terhadap kenjadian tersebut, kini tinggal ‘rongsokan’ yang akan luput
ditelan zaman.</div>
</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Presiden pertama
Indonesia, Soekarno berhasil membangkitkan patriotisme rakyat Aceh, Pada
16 Juni 1948. Bertempat di Aceh Hotel, ibukota Bandar Aceh, gabungan
saudagar daerah Aceh berhasil mengumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh
berupa beras, ubi, padi, perhiasan, ternak hingga telur yang setara
dengan 20 kg emas.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Dana tersebut kemudian digunakan untuk membeli
pesawat jenis Dakota, yang kemudian diberikan nama RI-001 Seulawah dan
menjadi pesawat angkut pertama yang dimiliki bangsa Indonesia.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Dikisahkan,
KSAU Komodor Udara Suryadarma memprakarsai pembelian pesawat angkut.
Kemudian, Biro Rencana dan Propaganda TNI-AU yang dipimpin oleh OU II
Wiweko Supono dan dibantu oleh OMU II Nurtanio Pringgoadisuryo dipercaya
sebagai pelaksana ide tersebut.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Biro tersebut
kemudian menyiapkan sekira 25 model pesawat Dakota. Kepala Biro
Propaganda TNI AU, OMU I J. Salatun ditugaskan mengikuti Presiden
Soekarno ke Sumatra dalam rangka mencari dana.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya
Pada tanggal 16 Juni 1948 di Hotel Kutaradja (nama pemberian
Belanda-red), Presiden Soekarno berhasil membangkitkan patriotisme
rakyat Aceh. Melalui sebuah kepanitiaan yang diketuai Djuned Yusuf dan
Said Muhammad Alhabsji, dari Orqanisasi Saudagar Aceh atau disingkat
dengan nama Gasida berhasil dikumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh
setara dengan 20 kg emas.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Sumbangan ini di
galang dari hasil bumi, tenak, perhiasan hingga harta benda lainnya
untuk memberikan pesawat ke Soekarno. Pesawat sumbangan dari rakyat Aceh
itu kemudian diberi nama RI-001 Seulawah. Nama Seulawah sendiri diambil
dari nama sebuah gunung di Aceh yang berarti “Gunung Emas” sumbangan
Aceh.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Pesawat Seulawah ini, juga bisa disebut
pesawat Douglas DC-3 ini diproduksi oleh Douglas Aircraft Company pada
tahun 1935. Jenis pesawat Dakota “Seulawah” yang disumbangkan itu
memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28,96 meter. </div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Pesawat
inilah berperanan sangat besar dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia. Bisa dikatakan, pesawat yang langkah penentu kemerdekaan
Indonesia yang sedang dinikmati oleh ribuan warga pada saat ini. </div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Karena,
kehadiran Dakota RI-001 Seulawah telah mendorong untuk dibukanya jalur
penerbangan Jawa-Sumatra, bahkan hingga ke luar negeri. Pada bulan
November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan
keliling Sumatra dengan rute
Maguwo-Jambi-Payakumbuh-Kutaraja-Payakumbuh-Maguwo.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Di
Kutaradja, pesawat tersebut digunakan joy flight bagi para pemuka
rakyat Aceh dan penyebaran pamflet. Pada tanggal 4 Desember 1948 pesawat
digunakan untuk mengangkut kadet ALRI dari Payakumbuh ke Kutaraja,
serta untuk pemotretan udara di atas Gunung Merapi.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Pada
awal Desember 1948 pesawat Dakota RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud
Maguwo-Kutaraja dan pada tanggal 6 Desember 1948 bertolak menuju
Kalkuta, India. Pesawat diawaki Kapten Pilot J. Maupin, Kopilot OU III
Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin Caesselberry. </div>
</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Perjalanan
ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Ketika terjadi
Agresi Militer Belanda II, Dakota RI-001 Seulawah tidak bisa kembali ke
tanah air. </div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Atas prakarsa Wiweko Supono, dengan modal
Dakota RI-001 Seulawah itulah, maka didirikan perusahaan penerbangan
niaga pertama, Indonesian Airways, atau cikal bakal dari penerbangan
garuda.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Sebuah maskapai yang saat ini paling
komersil bagi rakyat dan warga Indonesia, terutama Aceh. Kini, hanya
orang-orang tertentu yang mampu menaiki maskapai penerbangan tersebut.
Pusat kantor Indonesian Airways sendiri, untuk pertama kali di buka di
Birma pada saat itu (kini Myanmar-red).</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Kisah
ini jelas memperlihatkan betapa besar rasa patriotisme rakyat Aceh dalam
perjuangan mempertahankan RI benar-benar heroik, penuh suka-duka dan
cerita mengenai kesetiaan. Rakyat Aceh mampu mengorbankan apapun, dan
perang mempertahankan negeri itu sendiri dianggap sebagai panggilan suci
dari Illahi. </div>
<br /></div>
<br />
<br />
<div>
<span style="font-family: Verdana,sans-serif;"><b><i>Kisah Herois yang Jadi Rongsokan</i> </b></span></div>
<br />
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Seiring
dengan perkembangan teknologi, khususnya di bidang kedirgantaraan,
beberapa jenis pesawat terbang generasi tua pun dinyatakan berakhir masa
operasinya alias dimuseumkan. Beberapa pesawat yang ‘digudangkan’ ini,
salah satunya adalah jenis Dakota atau RI-001 Seulawah.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Hal
ini mengakibatkan kisah romatika antara masyarakat Aceh dengan
pemerintah pusat memasuki babak baru, serta mulai di isi dengan berbagai
pemberontakan. Rakyat Aceh yang merasa dianaktirikan dengan berbagai
peritiswa, mulai merasa tidak pernah dihargai bentuk perjuangannya.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Pertama,
keberadaan pesawat RI-001 Seulawah, yang sudah menjadi ‘rongsokan’ juga
tidak pernah kembali secara utuh ke Provinsi Aceh. Masyarakat Aceh yang
dulu bersusah payah mengumpulkan sumbangan untuk membeli pesawat dengan
nama RI-001 Seulawah, hanya dikembalikan dalam bentuk ‘rongsokan’ besi
tua.<br />
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Pengorbanan masyarakat Aceh ini hanya
‘disanjungkan’ Pada tanggal 30 Juli 1984, oleh Panglima ABRI pada saat
itu, yaitu Jenderal L.B. Moerdani dengan meresmikan monumen rangka
pesawat RI-001 Seulawah (tanpa mesin-red) yang terletak di Lapangan
Blang Padang, kota Banda Aceh.<br />
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Monumen ini
menjadi lambang bahwa sumbangan rakyat Aceh sangatlah besar bagi
perjuangan Republik Indonesia di awal berdirinya. Namun selebihnya,
tidak ada perhargaan yang berarti yang diterima oleh masyarakat selebih
dari momumen tanpa perawatan dan pelestarian yang kini berada di Blang
Padang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua, masyarakat Aceh juga tidak
pernah memperoleh keuntungan balik dari sumbangan pesawat tersebut.
Pesawat yang kini jadi Maskot penerbangan Indonesia ini, bahkan menjadi
perusahaan komersil yang kini susah dijangkau oleh mayoritas masyarakat
miskin di Aceh. </div>
</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Hal-hal seperti inilah yang
kemudian membuat minoritas pencinta sejarah menilai bahwa keberadaan
momumen pesawat RI-001 Seulawah di Blang Padang kini, tidak lebih dari
‘rongsokan’ yang didirikan untuk meredam kemarahan dan menyenangkan hati
masyarakat Aceh.</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Ketiga, pada tahun yang hampir
bersamaan dengan rusaknya pesawat RI-001 Seulawah ketika melakukan
Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Presiden
Soekarno pernah mengucapkan janji di hadapan Daud Beureueh untuk
memberlakukan Aceh dengan sebuah hukum syariat islam.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Namun pada tahun 1951, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.</div>
</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Hal
ini jelas menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda
setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu
menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan
keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih seperti membelikan pesawat
RI-001 Seulawah, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata
kembali, tetapi malah dibiarkan terbengkalai.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Bukan
itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut.
Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang
hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Dibeberapa
tulisan media dan buku, Presiden Sukarno juga dianggap telah menjilat
ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas
nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan
yang tidak termaafkan.</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Selanjutnya, kisah-kisah
romantika yang melambangkan kemesraan Aceh dan Jakarta pun, kian pudar
pada tahun-tahun berikutnya, baik semasa Negara ini diperintahkan oleh
Presiden Suharto maupun semasa Megawati.<br />
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Keberadaan
seribu pesawat seperti RI-001 Seulawah pun, akan tidak ada artinya lagi
bagi keduanya (Aceh dan Jakarta-red). Provinsi Aceh yang dulu sempat
dijadikan sebagai ‘daerah modal’ dan diberikan gelar daerah istimewa pun
bisa berganti menjadi daerah pembangkang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<br />
<br />
<div>
<b><i><span style="font-family: Verdana,sans-serif;">‘Pangkal’ Indonesia yang Terlupakan</span></i> </b></div>
<br />
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Keberadaan
pesawat RI-001 Seulawah yang bisa disebut sebagai modal (pangkai dalam
bahasa Aceh-red) kini terkesan dilupakan. Dalam beberapa cacatan
pengetahuan sejarah, baik yang dipelajari oleh murid di sekolah-sekolah
maupun pengetahuan umum, sangat sedikit yang menjelaskan hal ini.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Pada
saat ini, Indonesia memang telah memiliki ratusan kekuatan militer dan
puluhan pesawat. Hal ini membuat kisah RI-001 Seulawah sepertinya kian
tidak memiliki tempat sebagai pendidikan bagi generasi muda. Padahal,
pesawat tersebutlah yang menjadi cikal bakal dari pengembangan ilmu
kedirgantaraan di Negara ini.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Kebijakan
pemerintah kita yang kurang menghargai sejarah (RI-001 Seulawah-red)
telah menimbulkan pelawanan serta pemberontakan yang berpuluh-puluh
tahun lamanya. Hal ini juga lah yang menyebabkan mengapa negara ini kita
akan bisa pernah menjadi Negara besar, layaknya Negara-negara lain di
dunia.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Rakyat Aceh memang tidak pernah ingin
dipuji dan dibangga-banggakan atas apa yang telah dilakukannya untuk
membela Republic Indonesia. Namun masyarakat Aceh cuma berharap agar apa
yang dilakukan oleh mereka bisa dijadikan cerminan pada hubungan
pembangunan selanjutnya.</div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Hal inilah yang tidak
pernah didapatkan oleh masyarakat Aceh sehingga kekecewaan meledak pada 4
Desember 1976, dengan di deklarasikannya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di
Gunung Halimun, oleh Hasan Tiro. Namun lagi-lagi, perjuangan ini
dianggap selesai pasca tsunami dan gempa melanda Aceh pada akhir tahun
2004 lalu. </div>
</div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan adanya perdamaian yang sedang dirintis
ini, sudah seharusnya pemerintah, baik pemerintah pusat dan Pemerintahan
Aceh dapat lebih menghargai peninggalan sejarah sehingga hal yang sama
tidak akan terulang lagi.</div>
</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Dari kisah ini sebenarnya sudah
menjawab keraguan pimpinan kita selama ini tentang rasa nasionalisme
rakyat Aceh. Jadi jika pada saat ini ada pihak yang mengklaim Aceh
adalah negeri para 'pembangkang', maka jawabannya salah 100 persen.<br />
<br /></div>
<div>
</div>
<div>
</div>
<div>
<i><b>Sumber Kutipan :</b> http://www.atjehcyber.net/2011/05/ri-001-seulawah-romantika-sejarah-dalam.html </i></div>
<div>
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-81162102395119614702013-05-21T22:42:00.000-07:002013-05-21T22:43:49.181-07:00Yang Bernama “Aceh”<div class="mbl notesBlogText clearfix">
<br />
<div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="photo " style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="528" src="http://sphotos-g.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-prn1/935563_603074036370576_1121825547_n.jpg" width="640" /></span></div>
<div>
<b><br /></b>
<div style="text-align: justify;">
<b>SYAHDAN</b>, Bahwa keturunan bangsa Aceh adalah dari <b>Tanah Persia</b>.
Seperti kita sering dengar kepanjangan ACEH sebagai Arab, China,
Eropah, dan Hindia. Namun sampai sekarang jarang para sarjana yang
mengangkat kisah seperti ini. Hanya Affan Jamuda dan A.B. Lila Wangsa
yang menulis “Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pelajaran mengenal diri
sendiri)” menyebutkan: </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<blockquote>
“<i>Wangsa Acheh saboh
wangsa nyang jak meunanggroe rot blah barat pulo Ruja. Wangsa nyan asai
phon nibak wangsa Achemenia, Wangsa Achemenia nyang asai jih phon bah
binak buket Kaukasus di Europa teungoh. Wangsa Achemenia nyang hudep bak
thon 2500 GM (gohlom masehi). Wangsa Achemenia saboh wangsa nyang harok
meurantoe, sampoe wangsa nyang meusipreuk bansaboh Asia, Afrika, Europa
ngon pulo Ruja. Nyang saboh turonan neuweh u tanoh Parsi jeut keuwangsa
Parsia, nyang sabih suke neuweh u pulo Ruja, dudoe teuma jeut
keu-wangsa Acheh. Wangsa Acheh asai phon nibak wangsa
Achemenia-Parsia-Acheh</i>”. Affan Jamuda and AB. Lila Wangsa, Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pidie: Angkasa Muda, 2000).</blockquote>
</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<b>Terjemahannya</b> :
Bangsa Aceh adalah satu bangsa yang membangun negeri di sebelah barat
Pulau Ruja. Bangsa ini asalnya dari bangsa Achemenia, bangsa Achemenis
berasal dari sebuah bukit Kaukasus di Eropa Tengah. Bangsa Achemenia
hidup sekitar 2500 Tahun sebelum Masehi. Bangsa Achemenia satu bangsa
yang suka merantau, sampai bangsa ini tersebar di seluruh Asia, Afrika,
Eropa dan juga Pulau Ruja. Satu keturunan pindah ke tanah Persia,
kemudian menjadi bangsa Persia, yang satu suku lagi pindah ke Pulau
Ruja, kemudian lahir bangsa Aceh. Bangsa Aceh pertama sekali berasal
dari bangsa Achmenia-Parsia-Acheh). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu saja
itu bukan sebuah kebetulan, jika kemudian kita temukan akar sejarah
migrasi manusia dari Persia, bahkan sebelum Raja Darius (521-486 Sebelum
Masehi) yang menguasai Persia, konon beragama Zoroasther. Raja ini
menyebarkan sayap pemerintahannya sampai Eropa, Anatolia, Mesir,
Mesopotamia, dan India Barat. Dalam buku A History of World Societies
disebutkan bahwa: “They had created “world empire” encompassing of the
oldest and most honored kingdoms and peoples of the ancient Near East.”
Jadi, ada benarnya bahwa penggalan lagu Rafly di atas, yaitu “Beek
tabeoh kada wangsa meutuwah; turounan meugah meuri-ri wangsa; khujja
ngoen majja lakap geupajah; turoenan meugah dorius raja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sampai
sekarang, bukti sejarah ini memang masih mengundang sejumlah tanda
tanya. Sebab, di dalam sejarah, selalu disebutkan nama Parsia di dalam
sejarah Aceh, namun jarang yang bisa menarik kembali kemana arah sejarah
Aceh sebelum Masehi atau sebelum Islâm datang ke daerah ini. Pada masa
Darius dan anaknya Xerxes (486-464 Sebelum Masehi), mereka telah
membangun suatu monarki kekuasaan, yang ternyata telah disebutkan
sebagai “world empire” (kerajaan dunia) hingga menjadi cikal bakal
beberapa kerajaan di Timur Tengah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kemudian
Jamuda dan Lilawangsa menulis: hon teuka di tanoh Parsi (Iran-Irak
jinoe). Sabab musabab neueuka sampoe roh neumeunanggroe lam pulo ruja.
Bak zameun Raja Dorius neumat keurajeun di Parsia, lam masa nyang kuasa
keurajeun Raja Dorius luah lagoina mulai di Meuser troh u Hindi ngan lam
pula Ruja. Lam masa nyan keu wangsa-ureung bako-bako di nanggroe Parsia
neujak duek u nanggroe blah barat pulo Ruja nyang dudoe neulakap
Nanggroe Aceh. Yoh goh nyang lam tanoh Acheh kana Aulia-Aulia Allah,
nyang sahe naggroe Acheh milek harta Aulia-Aulia Allah (Bangsa Persia
sebelum menjadi bangsa Aceh, pertama kali datang di tanoh Parsia
(Iran-Irak sekarang). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebab datang sampai
membangun negeri di Pulau Ruja. Pada masa zaman Raja Darius memegang
tampuk kekuasaan di Persia, pada waktu itu wilayah kekuasaan Raja Darius
sangatlah luas sekali mulai dari Mesir hingga ke India sampai ke Pulau
Ruja. Pada zaman itu berbagai bangsa di negeri Persia berangkat menetap
di sebelah Barat Pulau Ruja kemudian diberinama Nanggroe Aceh. Sebelum
itu di tanah Aceh sudah ada wali-wali Allah, yang jaga negeri Aceh milik
harta-harta Aulia Allah). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jadi, dapat
dipastikan bahwa asal usul indatu orang Aceh adalah dari Parsia yang
datang ke Pulau Ruja, sebuah pulau yang kemudian diberi nama Aceh. Namun
yang menarik adalah jika benar pada zaman Raja Darius yang beragama
Zoroasther sudah ada Wali-Wali Allah di Aceh, maka pertanyaannya adalah
apa benar sudah ada agama yang menyembah Allah sebelum Masehi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebab ungkapan bahwa Aceh milik atau tanah para Wali juga ditemukan dalam ungkapan lagu Rafly berikut, <i>Han
geu meu kafe ureung Aceh nyang/’Saweub bumoe nyang tanoh Aulia/
Geutem sut nyawong peudong kheun Allah/ Kameunan reusam geutung
pusaka (Tidak akan menjadi Kafir orang Aceh itu/Sebab bumi ini adalah
tanah Aulia/ Rela mengeluarkan nyawa untuk mempertahankan kalimah Allah/
Begitu adat yang diambil sebagai pusaka)</i> .Sayangnya semua sejarah
itu masih berupa catatan perang. Kegemilangan Aceh sebagai salah satu
kerajaan besar hanya cerita manis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada yang
menarik tentang Aceh, yakni simbol agama yang dikekalkan dalam suasana
dayah, sebagai pusat sumber ilmu agama Islam tempoe doeloe. Ketika Aceh
hendak dijajah, semua suku dan ulama di Aceh sepakat melawan penjajahan.
Karena itu, konsep kebencian orang Aceh terhadap penjajahan, bukan
karena kebencian etnisitas atau sejarah, tetapi karena melawan
penindasan atau penjajahan merupakan jihad. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Hal
itu dibuktikan oleh Tgk Chik Kuta Karang dengan karyanya kitab Hikayat
Prang Sabi yaitu membakar semangat orang Aceh melawan penjajah dengan
ideologi agama. Dalam konteks etnis, orang Aceh adalah orang yang
berjiwa kosmopolitan alias bisa menerima siapa saja atau suku bangsa
apapun. Untuk mengelompokkan etnisitas, sistem kerajaan Aceh menyusun
kependudukan berdasarkan negeri asal suku bangsa tersebut, sebagaimana
dilukiskan dalam hadih maja <i>“Sukee lhee reuthoh bak aneuk drang,
Sukee ja sandang jeura haleuba, Sukee tok bate na bacut bacut, Sukee
imuem peut yang gok-gok donya”</i>.</div>
</div>
<blockquote>
<span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="http://sphotos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/263256_603074143037232_1182427044_n.jpg" /></span></blockquote>
<div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Sukses
di sini dalam kata lain artinya suku sehingga hadih maja ini
menggambarkan keragaman suku bangsa di dunia yang berdomisili di Aceh.
Semuanya berhasil disatukan oleh sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar
(1537-1565) di bawah panji Islam dan terayomi di bawah payung kerajaan
Aceh Darussalam.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mengenai asal usul masyarakat
Aceh, HM. Zainuddin (1961), mengatakan bahwa orang dari suku Batak/Karee
membentuk kaum Lhee Reutoih. Orang asing lainnya seperti Arab, Persia,
Turki, Keling (dagang), Melayu semenanjung, Bugis membentuk kaum Tok
Batee Sultan berasal dari kaum Tok Batee. Kaum percampuran dari Hindu
dan Batak Karee membentuk group baru menjadi kaum Ja Sandang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pimpinannya
diberi gelar dengan panglima kaum dengan gelar kaum imeum peut.
Sedangkan orang Gayo, sebagaimana dikutip Gerini (HM. Zainuddin, 1961)
menghubungkannya dengan Dagroian sesuai dengan catatan- catatan
Marcopolo. Menurutnya, Dagroian berasal dari kata-kata drang - gayu,
yang berarti orang Gayo. Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke
waktu. Perubahan itu bisa saja berpunca di dalam masyarakat itu
sendiri atau bersumber dari luar lingkungan masyarakat yang
bersangkutan. Aceh mempunyai comparative advantage karena menjadi
pusaran dunia, transit pertama sebelum ke bagian Nusantara.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terakhir,
saya ingin menegaskan bahwa dalam sejarah kebudayaan Aceh, persoalan
bersatu dan berpisah adalah hal yang sangat biasa. Artinya, mereka bisa
bersatu dengan kelompok manapun,namun budaya yang sudah mengakar yang
dibalut dengan kualitas tradisi Islam tidak akan pernah dapat
dihentikan. Jiwa nasionalisme orang Aceh yang menjadi bagian dari
Indonesia merupakan satu nafas dalam perjuangan mereka, sejauh itu tidak
dikhianati. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun nasionalisme di Indonesia
walaupun masih didominasi oleh pemahaman kebudayaan Jawa, agaknya memang
telah mewariskan persoalan sejarah yang tercecer. Artinya, sejarah
nasionalisme di Indonesia adalah sejarah yang dikendalikan oleh
pemerintah. Sehingga dinamika kebudayaan di daerah dianggap sebagai
‘aset’ bukan pelaku utama, untuk tidak mengatakan mereka tidak
memberikan arti yang signifikan. Hal ini belum lagi dimana ‘aset’ budaya
Indonesia cenderung dijadikan sebagai objek untuk kepentingan sosial
politik, bukan kepentingan kebudayaan bangsa Indonesia.</div>
<br />
<div>
<i><b>* M. Adli Abdullah; adalah dosen dan Sejarawan Aceh<br /><br />Sumber : </b>http://www.atjehcyber.net/2011/10/yang-bernama-aceh.html<b><br /></b></i></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-25172236343266430092013-05-21T22:17:00.001-07:002013-05-21T22:23:59.861-07:00Memahami “Watak” Orang Aceh<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="photo " style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="465" src="http://sphotos-b.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash3/942073_603069626371017_255266656_n.jpg" width="640" /></span></div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Beranjak dari penelitian disertasi, “<b>Memahami Orang Aceh</b>”
menjadi sebuah buku yang sangat kuat mengangkat karakteristik dan
tipologi masyarakat Aceh. Apalagi, penelitian dititikberatkan pada hadih
maja yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh. Oleh karena itu,
buku setebal 304 halaman ini sangat patut dijadikan cermin dari
kehidupan masyarakat Aceh: tempoe doeloe dan kini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bukan
hanya itu, latar belakang si penulis yang menyandang predikat doktor
bidang pendidikan dan bergelut sebagai pengajar sastra, adat dan budaya
di Universitas Syiah Kuala dalam kesehariannya, semakin mengokohkan
bahwa disertasi ini murni hasil penelitian lapangan. Tentunya ia
memiliki landasan yang sangat kuat sebagai sumber acuan para peneliti
berikutnya, yakni penelitian tentang karakteristik masyarakat Aceh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Membaca
buku mantan wartawan ini, kita semakin menyadari bahwa masyarakat Aceh
sesungguhnya memiliki hati yang lembut dan kasih sayang. Adapun
timbulnya sikap atau sifat iri hati, itu disebutkan bukan sifat mutlak <i>ureueng </i>Aceh, melainkan timbul kemudian hari karena sebab sesuatu semisal dikhianati, dicerca, dimaki, ditipu, dan sebagainya.<br />
<br />
Padahal,
orang Aceh memiliki sifat lembut dan selalu mengalah. Hal itu terungkap
dalam hadih maja pada buku ini, yang dikutip pula oleh Rektor Unsyiah,
Darni M. Daud, pada pengantarnya. Hadih maja tersebut adalah; <i>"</i><br />
<br />
<div>
<i><b><i><b>Surôt lhèe langkah meureundah diri, mangat jituri nyang bijaksana</b>".</i></b></i></div>
<div>
<i>(Surut tiga langkah merendah diri, agar mereka bisa mengenali arti Bijaksana)</i></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Secara
umum, buku ini mengkaji struktur, fungsi, dan nilai hadih maja sebagai
sastra lisan dalam masyarakat Aceh. Hadih maja dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan sebutan peribahasa, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut
proverb, bahasa Arab matsal, bahasa Belanda <i>Spreekword</i>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<b>Dua Karakter Utama Orang Aceh</b><br />
<b><br /></b></div>
<div style="text-align: justify;">
Bukan
tanpa alasan jika penulis buku menyebutkan dua hal di atas sebagai dua
karakter yang paling menonjol dari orang Aceh. Yakni adalah sikap
militansi dan loyal atau patuh kepada pemimpin.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Pertama,
Sikap militansi masyarakat atau orang Aceh sudah ditempa sejak ratusan
tahun lalu, sejak pendudukan Belanda sampai konflik bersenjata antara
GAM-RI. Semangat rela berkorban, berjuang dan berperang sampai titik
darah penghabisan yang ditempa sekian lama itu lantas mengental,
mengkristal jadi sebuah budaya yang melekat erat dalam setiap karakter
masyarakat Aceh.</div>
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="photo photo_right" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="400" src="http://photos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/485483_603069823037664_1044361108_a.jpg" width="295" /></span>Hal ini bisa dibaca melalui syair-syair <b>do daidi</b>,
senandung penina bobo bayi yang mengajarkan dan mengajak sang bayi agar
setelah besar nanti pergilah ke medan perang untuk berjuang membela
bangsa (nanggroe).</div>
<div>
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua, selain sikap
militansi, sikap yang lain yang menonjol adalah loyal dan patuh pada
pemimpin. Loyalitas dan kepatuhan bagi orang Aceh sebenarnya sebuah
nilai dengan harga mahal. Sebab, agar orang Aceh menjadi loyal dan
patuh, sang pemimpin haruslah jujur, setia kepada rakyatnya, tidak
ingkar janji, bijak dalam pelayanan serta percaya kepada rakyat.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Hal
ini dapat dilihat, Pada masa perjuangan merebut kemerdekaan orang Aceh
rela memberikan segala harta bendanya kepada Indonesia lewat sebuah
pesawat bernama RI 01 yang kita tahu sekarang dimuseumkan di Taman Mini
Indonesia Indah. Inilah bukti kepatuhan dan loyalitas orang Aceh
terhadap Soekarno karena beliau menjanjikan penetapan syariat Islam di
Aceh. Janji itu disampaikan Soekarno kepada Tengku Daud Beureuh pada 16
Juni 1948.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Aceh memberikan kemenangan telak kepada
partai Demokrat dan secara khusus kepada SBY dalam pilpres 2009.
Tercatat 93% masyarakat Aceh memilih SBY. Ini juga bukti kepatuhan dan
loyalitas orang Aceh terhadap SBY, karena dalam masa pemerintahannya SBY
telah memberikan sesuatu yang berharga untuk Aceh yakni Perdamaian.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Belajar
dari fakta sejarah masa lulu, SBY yang sekarang dipercayakan oleh
mayoritas masyarakat Aceh hendaknya membangun silaturahmi yang baik
dengan masyarakat Aceh. Sebab bisa saja terjadi, jika kepercayaan itu
tidak dihargai, maka Aceh akan bergejolak kembali.</div>
<br />
<div>
<b>Lima Watak (prototipe) orang Aceh</b></div>
<div>
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="photo photo_right" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="216" src="http://photos-e.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-prn2/970704_603070069704306_302602795_a.jpg" width="320" /></span>Gambaran
singkat masyarakat Aceh, Menurut Dr. Mohd Harun lewat ‘Memahami orang
Aceh’ Kajiannya atas masyarakat Aceh dari penggalan syair hadih maja.<br />
<br />
Melalui hadih maja-hadih maja yang sudah dikumpulnya bertahun-tahun, Harun mencoba memberikan pengetahuan baru kepada kita.<br />
<br />
Bahwa
hadih maja yang selama ini terkesan sekedar jadi penambah pemanis kata
bagi orang tua-orang tua ternyata memiliki nilai filosofis yang sangat
dalam, yang dapat menunjukkan karakteristik masyarakat pemakainya:
tentunya hal ini berdasarkan zaman pula.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Menurut sang penulis ada lima (5) prototipe watak orang Aceh.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<b>MILITAN</b></div>
<div>
Artinya
memiliki semangat juang yang tinggi, bukan hanya dalam memperjuangkan
makna hidup tetapi juga dalam mempertahankan harga diri atau
eksistensinya. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
<div>
<i>Rencong peudeueng pusaka ayah, rudoh siwah kreh peunulang, </i></div>
</div>
<div>
<div>
<i>Nibak udep dalam susah, bah manoe darah teungoh padang’ </i></div>
</div>
<div>
<div>
<i>____</i></div>
</div>
<div>
<div>
<i>(Rencong, pedang pusaka ayah, rudoh, siwah keris warisan. </i></div>
</div>
<div>
<div>
<i>Daripada hidup di dalam susah, biar bermandikan padang di tengah padang)</i></div>
</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<b>REAKTIF</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Artinya
sebagai sebuah sikap awas atas harga diri yang keberadaanya
dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya. Orang Aceh sangat peka
terhadap situasi sosial di sekitarnya. Orang Aceh tidak suka diusik,
sebab jika tersinggung dan menanggung malu reaksi yang timbul adalah
akan dibenci dan bahkan menimbulkan dendam.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Ureueng Aceh hanjeut teupèh, </i><i>Meunyo ka teupèh, bu leubèh han geu peutaba, </i></div>
<div>
<i>Meunyo hana teupèh, boh krèh jeut taraba...</i></div>
<div>
<b><i>____</i></b></div>
<div>
<i>"Orang
Aceh tak boleh tersinggung perasaannya, jika sudah tersinggung nasi
lebih pun untuk kita takkan ditawarkannya. Namun sebaliknya, apapun akan
mereka berikan jika tak menyinggung perasaan mereka)</i></div>
<br />
<div>
<b>KONSISTEN</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Hal
ini tampak dalam sikap dan pendirian yang tidak plin plan, tegas, taat
asas apalagi jika berkaitan dengan harga diri dan kebenaran.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<div>
<i>‘Siploh pinto teutob, na saboh nyang teuhah’ </i></div>
</div>
<div>
<div>
<i>____</i></div>
</div>
<div>
<div>
<i>Sepuluh pintu tertutup, ada satu yang terbuka.</i></div>
</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<b>OPTIMIS</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Hal
tersebut tampak dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu. Orang Aceh
beranggapan bahwa setiap pekerjaan yang kelihatan sulit dan berat harus
dicoba dan dilalui.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<div>
<i>Cab di batee labang di papeuen, lagee ka lon kheun han jeut metuka’ </i></div>
</div>
<div>
<div>
<i>____</i></div>
</div>
<div>
<div>
<i>Cap dibatu paku dipapan, seperti yg sudah saya katakan tak boleh tertukarkan</i></div>
</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<b>LOYAL</b></div>
<div>
Hal
ini amat berkaitan dengan kepercayaan. Jika seseorang, lebih-lebih
pemimpin, menghargai, mempercayai, tidak menipu, tidak mencurigai orang
Aceh maka mereka akan mebaktikan diri sepenuhnya kepada sang pemimpin.‘</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<div>
<i>Adak lam prang pih lon srang-brang. Bah matee di blang ngon sabab gata’ </i></div>
</div>
<div>
<div>
<i>____</i></div>
</div>
<div>
<div>
<i>Walau dalam perang pun saya akan berkorban, biarlah mati dalam perang itu demi Anda</i></div>
</div>
<div>
<br /></div>
<div>
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kendati
tidak semua hadih maja dapat berlaku secara harfiah di segala zaman,
nilai filosofis di dalamnya tetap menggambarkan tipologi masyarakat Aceh
secara keseluruhan. Filosofis yang diemban hadih maja tersebut masih
terlihat dalam masyarakat Aceh hingga saat ini. Oleh karena itu, upaya
pendokumentasian hadih maja apalagi dalam bentuk penelitian ilmiah
seperti yang dilakukan Harun patut mendapatkan apresiasi tinggi.</div>
<div>
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lebih
rinci, Harun membagi beberapa konsep pemikiran dan watak orang Aceh
melalui perspektif hadih maja: konsep nilai filosofis orang Aceh; konsep
nilai etis orang Aceh; dan konsep nilai estetis orang Aceh. Ia mengakui
bahwa ada satu konsep lagi yang tidak dimasukkan di sini, konsep
religius orang Aceh, atas pertimbangan masih belum sempurnanya hasil
penelitian tentang religius dalam masyarakat Aceh. Namun demikian,
konsep dasar religius orang Aceh dapat dilihat pada disertasi Harun,
yang dikeluarkan oleh Universitas Negeri Malang, 2006.</div>
<div>
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya,
membaca buku bersampul gambar orang tua bertopi ke belakang, hasil
lukisan Mahdi Abdullah, ini membuat saya seperti semakin kenal
ke-Aceh-an dalam diri dan masyarakat tempat saya tinggal. Gambar sampul
buku itu pun seperti khas gambar salah seorang masyarakat Aceh, yang
gemar telanjang dada dan memakai topi yang arahnya ke belakang. Pantas
pula Rektor Unsyiah menyebutkan pada pengantarnya bahwa “Memahami Orang
Aceh” adalah buku yang memuat berbagai aspek kehidupan masyarakat Aceh
secara rinci.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Hemat saya, akan lebih rinci lagi
manakala buku ini juga memuat pandangan orang Aceh dari sisi religius,
sebab persoalan agama bagi masyarakat Aceh sudah seperti rapatnya kulit
dengan ari. Namun demikian, buku ini tetap dapat menjadi landasan bagi
para peneliti yang hendak mengkaji seluk beluk masyarakat Aceh, dulu dan
sekarang.</div>
<br />
<div>
<b>Judul Buku: </b>Memahami Orang Aceh</div>
<div>
<b>Penulis:</b> Dr. Mohd. Harun, M.Pd.</div>
<div>
<b>Penerbit: </b>Citapustaka Media Perintis</div>
<div>
<b>Cetakan I:</b> April 2009</div>
<div>
<b>Isi: </b>xvi + 304</div>
</div>
<div>
<br />
<br />
<i><b>Sumber : </b><a href="http://www.atjehcyber.net/2013/01/memahami-watak-orang-aceh.html" rel="nofollow" target="_blank">http://www.atjehcyber.net/2013/01/memahami-watak-orang-aceh.html</a></i></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-65232222111779170362013-04-20T22:34:00.002-07:002013-04-20T22:38:12.309-07:00Kesultanan Samudera Pasai<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img class="imgFull" src="http://www.melayuonline.com/image/history/2009/samudra-pasai-rev-00.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Nisan Pasai</td></tr>
</tbody></table>
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">1. Sejarah</span></b><br />
<b><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Kapan
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat
dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, terdapat
keyakinan bahwa Kesultanan Samudera Pasai berdiri lebih awal dibanding
Dinasti Usmani di Turki yang pernah menjadi salah satu peradaban
adikuasa di dunia. Jika Dinasti Ottoman mulai menancapkan kekuasaannya
pada sekitar tahun 1385 Masehi, maka Kesultanan Samudera Pasai sudah
menebarkan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 1297 Masehi.
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sejumlah
ahli sejarah dan peneliti dari Eropa pada masa pendudukan kolonial
Hindia Belanda telah beberapa kali melakukan penyelidikan untuk menguak
asal-usul keberadaan salah satu kerajaan terbesar di bumi Aceh ini.
Beberapa sarjana dan peneliti dari Belanda, termasuk Snouck Hurgronje,
J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan,
dan lainnya, menyepakati perkiraan bahwa Kesultanan Samudera Pasai baru
berdiri pada pertengahan abad ke-13 serta menempatkan nama Sultan Malik
Al Salih sebagai pendirinya (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo,
2006:50). Nama Malik Al Salih sendiri dikenal dengan sebutan dan
penulisan yang berbeda, antara lain Malik Ul Salih, Malik Al Saleh,
Malikussaleh, Malik Al Salih, atau Malik Ul Saleh.</span><br />
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<b><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">a. Asal-Usul Penamaan Samudera Pasai</span></i></b><br />
<b><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></i></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Nama
lengkap Kesultanan Samudera Pasai adalah “Samudera Aca Pasai”, yang
artinya “Kerajaan Samudera yang baik dengan ibukota di Pasai” (H.M.
Zainuddin, 1961:116). Pusat pemerintahan kerajaan tersebut sekarang
sudah tidak ada lagi namun diperkirakan lokasinya berada di sekitar
negeri Blang Melayu. Nama “Samudera” itulah yang dijadikan sebagai nama
pulau yang kini disebut sebagai Sumatra, seperti yang disebut oleh
orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama wilayah tersebut adalah Pulau
Perca. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sedangkan
para pengelana yang berasal dari Tiongkok/Cina menyebutnya dengan nama
“Chincou”, yang artinya “Pulau Emas”, seperti misalnya yang diketahui
berdasarkan tulisan-tulisan I‘tsing. Raja Kertanegara, pemimpin Kerajaan
Singasari yang terkenal, menyebut daerah ini dengan nama <i>Suwarnabhumi, </i>yang artinya ternyata sama dengan apa yang disebut oleh orang-orang Tiongkok, yakni “Pulau Emas”. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Kesultanan
Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai
utara Sumatra, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara
sekarang. Catatan tertulis yang selama ini diyakini oleh para sejarawan
untuk melacak sejarah Kesultanan Samudera Pasai adalah tiga kitab
historiografi Melayu yakni <i>Hikayat</i> <i>Raja Pasai, Sejarah Melayu</i>, dan <i>Hikayat Raja Bakoy</i>. <i>Hikayat Raja Pasai </i>memberikan
andil yang cukup besar dalam upaya menguak riwayat Kesultanan Samudera
Pasai, meskipun nuansa mitos masih menjadi kendala dalam menafsirkan
kebenarannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Mengenai
nama “Samudera” dan “Pasai”, muncul sejumlah pendapat yang mencoba
mengurai asal-usul penggunaan kedua nama tersebut. Salah satunya adalah
seperti yang dikemukakan oleh sarjana Eropa, J.L. Moens, yang menyebut
bahwa kata “Pasai” berasal dari istilah “Parsi”. Menurut Moens, kaum
pedagang yang datang dari Persia mengucapkan kata “Pasai” dengan lafal
“Pa‘Se”. Analisis Moens ini bisa jadi berlaku, dengan catatan bahwa
sejak abad ke-7 Masehi para saudagar yang datang dari Persia sudah tiba
dan singgah di daerah yang kemudian menjadi tempat berdirinya Kesultanan
Samudera Pasai (M.D. Mansoer, 1963:59). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Pendapat Moens mendapat dukungan dari beberapa kalangan, termasuk Prof. Gabriel Ferrand, melalui karyanya yang berjudul <i>L‘Empire </i>(1922), juga dalam buku <i>The Golden Khersonese </i>(1961)
yang ditulis oleh Prof. Paul Wheatley. Kedua karya itu menyandarkan
data-datanya pada keterangan para pengelana dari Timur Tengah yang
melakukan perjalanan ke wilayah Asia Tenggara. Baik Gabriel Ferrand
maupun Paul Wheatley sama-sama menyepakati bahwa sejak abad ke-7 Masehi,
pelabuhan-pelabuhan besar di Asia Tenggara, termasuk di kawasan Selat
Malaka, telah ramai dikunjungi oleh kaum musafir dan para saudagar yang
berasal dari Asia Barat. Disebutkan juga bahwa pada setiap kota-kota
dagang tersebut telah terdapat fondasi-fondasi atau
permukiman-permukiman dari para pedagang Islam yang singgah dan menetap
di situ.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">H.
Mohammad Said, seorang jurnalis sekaligus penulis yang mendedikasikan
hidupnya untuk meneliti dan menerbitkan buku-buku hal ihwal Aceh,
termasuk tentang Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh
Darussalam, cenderung menyimpulkan bahwa asal-muasal penamaan “Pasai”
berasal dari para pedagang Cina. Menurut Said, istilah “<i>Po Se” </i>yang
populer digunakan pada pertengahan abad ke-8 Masehi, seperti yang
terdapat dalam catatan-catatan dan laporan perjalanan pengelana dari
Cina, identik dan mirip sekali dengan penyebutan kata “Pase” atau
“Pasai” (Said, 1963:2004-205). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Ada pula pendapat yang menyebut bahwa nama “Pasai” berasal dari kata “tapasai”,<i> </i>yang artinya “tepi laut”. Kata “tapa”<i> </i>masih banyak dijumpai dalam bahasa-bahasa Polinesia yang berarti “tepi”. Kata “sai”<i> </i>dapat dimaknai sebagai “laut”, yang juga termasuk dalam kosa kata Melayu-Polinesia atau Nusantara. Kata “Pasai”<i> </i>adalah sinonim dari kata “pantai”. Begitu pula kata “samudera”<i> </i>yang
juga berarti “tidak jauh dari laut”. Jadi, baik “Samudera” atau “Pasai”
mengandung arti yang kurang lebih sama, yaitu “negara yang terletak di
tepi laut” (Slamet Muljana, 2005:136).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Nama
Samudera dan Pasai sering disebut-sebut dalam berbagai sumber yang
berhasil ditemukan, baik sumber yang berasal dari luar maupun
sumber-sumber lokal. Sumber-sumber dari luar nusantara yang kerap
menyebut keberadaan wilayah yang bernama Samudera dan Pasai antara lain
adalah laporan atau catatan perjalanan para musafir asal Cina, Arab,
India, maupun Eropa, yang pernah singgah ke wilayah Samudera Pasai.
Catatan-catatan perjalanan tersebut seperti yang ditulis oleh Marco
Polo, Odorico, Ibnu Batutah, Tome Pires, serta berita-berita dari Cina.</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sedangkan sumber dari dalam negeri salah satunya seperti yang termaktub dalam kitab <i>Negara Kertagama</i> karya Mpu Prapanca yang ditulis dalam kurun abad ke-13 sampai abad ke-14 Masehi. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Ibnu
Batutah, seorang pengembara muslim dari Maghribi, Maroko, misalnya,
dalam catatannya mengatakan bahwa ia sempat mengunjungi Pasai pada 1345
M. Ibnu Batutah, yang singgah di Pasai selama 15 hari, menggambarkan
Kesultanan Samudera Pasai sebagai “sebuah negeri yang hijau dengan kota
pelabuhannya yang besar dan indah.‘‘ Ibnu Batutah menceritakan, ketika
sampai di negeri Cina, ia melihat kapal Sultan Pasai di negeri itu.
Memang, sumber-sumber Cina ada yang menyebutkan bahwa utusan Pasai
secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Catatan
pada Dinasti Mongol di Cina menunjukkan beberapa kerajaan di Sumatra,
termasuk Kerajaan Samudera/Pasai, sempat menjalin relasi dengan Kerajaan
Mongol yang berada di bawah komando Kubhilai Khan. Kerajaan
Samudera/Pasai mulai mengadakan hubungan dengan Dinasti Mongol pada
1282. Kerajaan Samudera/Pasai menjalin hubungan dengan imperium besar di
Asia itu melalui perutusan Cina yang kembali dari India Selatan dan
singgah di Samudera Pasai. Peristiwa ini dianggap sebagai permulaan
kontak antara Samudera Pasai dengan Cina/Mongol (Muhammad Gade Ismail,
1997:23). </span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: center;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img class="imgFull" src="http://www.melayuonline.com/image/history/2009/samudra-pasai-rev-02.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;">Papan Makam Sultan Pertama Samudera Pasai</span></i></span></td></tr>
</tbody></table>
<i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;"></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Informasi
lain juga menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai pernah mengirimkan
utusan ke Quilon, India Barat, pada 1282 M. Ini membuktikan bahwa
Kesultanan Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan
kerajaan-kerajaan lain di luar negeri. Selain itu, dalam catatan
perjalanan berjudul <i>Tuhfat Al-Nazha</i>, Ibnu Batutah menuturkan, pada masa itu Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Pencatat
asal Portugis yang pernah menetap di Malaka pada kurun 1512-1515, Tomi
Pires, menyebutkan bahwa Pasai adalah kota terpenting pada masanya untuk
seluruh Sumatra, karena tidak ada tempat lain yang penting di pulau itu
kecuali Pasai. Nama kota tersebut oleh sebagian orang disebut sebagai
Samudera dan kemudian lekat dengan nama Samudera Pasai serta menjadi
simbol untuk menyebut Pulau Sumatra. Kota Pasai, menurut catatan Tomi
Pires, ditaksir berpenduduk tidak kurang dari 20.000 orang (Ismail,
1997:37). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Marco
Polo melaporkan, pada 1267 Masehi telah berdiri kerajaan Islam pertama
di kepulauan nusantara, yang tidak lain adalah Kesultanan Pasai. Marco
Polo berkunjung ke Pasai pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih,
tepatnya tahun 1292 Masehi, ketika kerajaan ini belum lama berdiri namun
sudah memperlihatkan potensi kemakmurannya. Marco Polo singgah ke
Samudera Pasai dalam rangkaian perjalanannya dari Tiongkok ke Persia.
Kala itu, Marco Polo ikut dalam rombongan dari Italia yang melawat ke
Sumatra sepulang menghadiri undangan dari Kubilai Khan, Raja Mongol,
yang juga menguasai wilayah Tiongkok. Marco Polo menyebutkan, penduduk
di Pasai pada waktu itu masih banyak yang belum memeluk agama (Islam),
namun komunitas orang-orang Arab —yang disebut Marco dengan nama <i>Saraceen</i>—
sudah cukup banyak dan berperan penting dalam upaya mengislamkan
penduduk Aceh. Marco Polo menyebut kawasan yang disinggahinya itu dengan
nama “Giava Minor” atau “Jawa Minor” (H. Mohammad Said, 1963:82-83).
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Selain
sumber-sumber tertulis dan catatan perjalanan dari kaum pengelana,
keterangan lain yang setidaknya dapat sedikit membantu dalam menguak
riwayat Kesultanan Samudera Pasai diperoleh dari sisa-sisa peradaban
yang ditinggalkan, seperti makam-makam kuno yang dibuat dari batu granit
atau pualam dan mata uang—bernama <i>Deureuham</i> atau Dirham— yang
ditemukan di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh
Darussalam. Waktu wafatnya Sultan Malik As Salih, pendiri Kesultanan
Samudera Pasai, sendiri dapat diketahui dari tulisan yang tertera pada
sebuah nisan yang ditemukan di Blang Me, yakni tahun 697 Hijriah atau
bertepatan dengan tahun 1297 Masehi. Sedangkan kapan Malik Al Salih
dilahirkan belum ditemukan keterangan yang lebih jelas. </span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: center;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img class="imgFull" src="http://www.melayuonline.com/image/history/2009/samudra-pasai-rev-03.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;">Mata Uang yang Berlaku di Samudera Pasai</span></i></span></td></tr>
</tbody></table>
<i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;"></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sumber-sumber
tentang asal-muasal Kesultanan Samudera Pasai versi sarjana-sarjana
Barat yang dirumuskan pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda
ternyata berbeda dengan apa yang diyakini tokoh-tokoh sejarawan dan
cendekiawan nasional pada masa setelah Indonesia merdeka. Dalam “Seminar
Sejarah Nasional” yang diselenggarakan di Medan, Sumatra Utara, tanggal
17-20 Maret 1963, maupun dalam seminar "Masuk dan Berkembangnya Islam
di Daerah Istimewa Aceh", yang digelar pada 10-16 Juli 1978 di Banda
Aceh, yang antara lain dihadiri oleh Prof Hamka, Prof A. Hasjmy, Prof
H. Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said, dan M.D. Mansoer, telah
dimunculkan perspektif yang berbeda dalam upaya menelisik riwayat
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Berdasarkan
sejumlah petunjuk dan sumber-sumber yang lebih baru, di antaranya dari
keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara serta dua
naskah lokal yang ditemukan di Aceh yakni "Idhahul Hak Fi Mamlakatil
Peureula" karya Abu Ishaq Al Makarany dan "Tawarich Raja-Raja Kerajaan
Aceh", para pakar sejarah nasional berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam
Samudera Pasai sudah berdiri sejak abad ke-11, atau tepatnya tahun 433
Hijriah alias tahun 1042 dalam penanggalan Masehi (Sufi & Wibowo,
2005:52).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Mengenai
lokasi berdirinya Kesultanan Samudera Pasai, telah dilakukan juga
usaha-usaha penelitian dan penyelidikan, salah satunya upaya penggalian
yang dikerjakan oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. Dari upaya penyelidikan ini diketahui
bahwa lokasi Kesultanan Samudera Pasai terletak di daerah bernama Pasai,
yakni yang sekarang berada di wilayah Kabupaten Aceh Utara, Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Menurut
G.P. Rouffaer, salah seorang sarjana Belanda yang serius menyelidiki
tentang sejarah Kesultanan Samudera Pasai, mengatakan bahwa letak Pasai
mula-mula berada di sebelah kanan Sungai Pasai, sementara Samudera
terletak di sisi kiri sungai. Namun, lama-kelamaan, kedua tempat ini
terhimpun menjadi satu dan kemudian dijadikan tempat berdirinya sebuah
kerajaan besar, yakni Kesultanan Samudera Pasai (T. Ibrahim Alfian,
1973:21). </span><br />
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<b><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">b. Samudera, Pasai, dan Pengaruh Mesir</span></i></b><br />
<b><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></i></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Terdapat
beberapa pendapat berbeda yang merumuskan serta menafsirkan tentang
asal muasal berdirinya Kesultanan Samudera Pasai. Salah satunya adalah
pendapat yang mengatakan bahwa Kesultanan Samudera Pasai merupakan
kelanjutan dari riwayat kerajaan-kerajaan pra Islam yang telah eksis
sebelumnya. Dalam buku berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan
Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara”, Slamet Muljana menulis
bahwa Nazimuddin Al Kamil, Laksamana Laut dari Dinasti Fathimiah di
Mesir, berhasil menaklukkan sejumlah kerajaan Hindu/Buddha yang terdapat
di Aceh dan berhasil menguasai daerah subur yang dikenal dengan nama
Pasai. Nazimuddin Al-Kamil kemudian mendirikan sebuah kerajaan di muara
Sungai Pasai itu pada 1128 Masehi dengan nama Kerajaan Pasai. Alasan
Dinasti Fathimiah mendirikan pemerintahan di Pasai didasarkan atas
keinginan untuk menguasai perdagangan di wilayah pantai timur Sumatra
yang memang sangat ramai. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Untuk
memuluskan ambisi itu, Dinasti Fathimiah mengerahkan armada perangnya
demi merebut Kota Kambayat di Gujarat, membuka kota pelabuhan di Pasai,
dan menyerang daerah penghasil lada yakni Kampar Kanan dan Kampar Kiri
di Minangkabau. Dalam ekspedisi militer untuk merebut daerah di
Minangkabau itu, Nazimuddin Al-Kamil gugur dan jenazahnya dikuburkan di
Bangkinang, di tepi Sungai Kampar Kanan pada 1128 itu juga (Muljana,
2005:133). Pada 1168, Dinasti Fathimiah, yang berdiri sejak tahun 976
Masehi, dikalahkan oleh tentara Salahuddin yang menganut madzhab
Syafi‘i. Dengan runtuhnya Dinasti Fathimiah, maka hubungan Pasai dengan
Mesir otomatis terputus. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Dalam
sumber yang sama disebutkan bahwa penerus Nazimuddin Al-Kamil sebagai
penguasa Kerajaan Samudera adalah Laksamana Kafrawi Al-Kamil, namun pada
1204 Masehi kekuasaan Kerajaan Pasai jatuh ke tangan Laksamana Johan
Jani dari Pulau We. Di bawah kendali Laksamana Johan Jani yang merupakan
peranakan India-Parsi, Kerajaan Pasai bertambah kuat dan sempat
menjelma menjadi negara maritim yang paling kuat di Nusantara (Muljana,
2005:114).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Di
Mesir, muncul dinasti baru untuk menggantikan Dinasti Fathimiah.
Dinasti baru itu adalah Dinasti Mamaluk yang hidup dalam rentang waktu
dari tahun 1285 sampai dengan 1522. Seperti halnya pendahulunya, Dinasti
Mamaluk juga ingin menguasai perdagangan di Pasai. Pada tahun-tahun
awal berdirinya, Dinasti Mamaluk mengirim utusan ke Pasai, yakni seorang
pendakwah yang lama belajar agama Islam di tanah suci Mekkah bernama
Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad, bekas ulama dari Pantai Barat India. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Di
Pasai, kedua utusan ini bertemu dengan Marah Silu yang kala itu menjadi
anggota angkatan perang Kerajaan Pasai. Syaikh Ismail dan Fakir
Muhammad berhasil membujuk Marah Silu untuk memeluk agama Islam.
Selanjutnya, dengan bantuan Dinasti Mamaluk di Mesir, mereka mendirikan
Kerajaan Samudera sebagai tandingan bagi Kerajaan Pasai. Marah Silu
ditabalkan menjadi Sultan Kerajaan Samudera. Baik Kerajaan Samudera
maupun Kerajaan Pasai, keduanya berada di muara Sungai Pasai dan
menghadap ke arah Selat Malaka. </span><br />
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<b><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">c. Riwayat Samudera Pasai dalam Hikayat</span></i></b><br />
<b><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></i></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Versi
lain tentang riwayat muncul dan berkembangnya Kesultanan Samudera Pasai
diperoleh dari sejumlah hikayat yang mengisahkan eksistensi kerajaan
ini, terutama dalam <i>Hikayat Raja Pasai. </i>Menurut pengisahan yang terdapat dalam <i>Hikayat Raja Pasai, </i>kerajaan
yang dipimpin oleh Sultan Malik Al Salih mula-mula bernama Kerajaan
Samudera. Adapun Kerajaan Pasai adalah satu pemerintahan baru yang
menyusul kemudian dan mengiringi eksistensi Kerajaan Samudera. Asal mula
pemberian nama kedua kerajaan ini terdapat cerita yang
melatarbelakanginya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Dalam <i>Hikayat Raja Pasai </i>dikisahkan,
munculnya nama Kerajaan Samudera bermula ketika Marah Silu sedang
berjalan-jalan bersama anjing kesayangannya yang bernama Pasai. Ketika
mereka tiba di suatu tanah tinggi, anjing milik Marah Silu tiba-tiba
menyalak keras karena bertemu dengan seekor semut merah yang berukuran
besar. Marah Silu kemudian menangkap semut raksasa tersebut dan lantas
memakannya. Dari sini timbul ilhamnya untuk menamakan kerajaan yang baru
didirikannya dengan nama Kerajaan Samudera yang dalam bahasa asalnya
bisa diartikan sebagai “semut merah yang besar”. </span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: center;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img class="imgFull" src="http://www.melayuonline.com/image/history/2009/samudra-pasai-rev-04.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;">Salinan Halaman Pertama Hikayat Raja Pasai</span></i></span></td></tr>
</tbody></table>
</div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sedangkan
mengenai asal mula Kerajaan Pasai, hikayat yang sama mencatat, pada
suatu hari, Marah Silu yang kala itu sudah bergelar Sultan Malik Al
Salih setelah memimpin Kerajaan Samudera, bersama para pengawalnya
sedang melakukan kegiatan perburuan di mana anjing sultan yang bernama
Pasai itu pun ikut serta. Terjadi suatu kejadian yang aneh ketika Pasai
dilepaskan ke dalam hutan dan bertemu dengan seekor pelanduk, kedua
binatang berbeda spesies itu saling bercakap-cakap dengan akrabnya.
Ketika Sultan Malik Al Salih hendak menangkapnya, pelanduk tersebut lari
ke pelukan anjing Sultan yang bernama Pasai itu. Dalam keheranannya,
Sultan Malik Al Salih kemudian berpikiran untuk membangun sebuah negeri
di tempat itu. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Setelah
negeri tersebut berdiri, oleh Sultan Malik Al Salih diberi nama Pasai,
seperti nama anjing kesayangannya yang menjadi inspirasi dibangunnya
negeri baru tersebut. Anjing itu sendiri kemudian mati di negeri baru
tersebut. Sebagai wakil Sultan Malik Al Salih yang tetap bersemayam di
Kerajaan Samudera, maka dititahkanlah putra Sultan yang bernama Muhammad
Malikul Zahir untuk memimpin Kerajaan Pasai (Russel Jones [ed.],
1999:23). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Meskipun cukup banyak peneliti yang menyandarkan <i>Hikayat Raja Pasai </i>sebagai
landasan sumber informasi untuk menguak sejarah dan asal-usul
Kesultanan Samudera Pasai, namun tidak sedikit pula yang meragukan
kebenarannya. Hal ini disebabkan karena hikayat bukanlah suatu rangkaian
catatan sejarah murni, melainkan banyak yang disisipi dengan
cerita-cerita yang belum tentu benar-benar terjadi, malah tidak jarang
kisah-kisah itu berupa mitos yang sukar diterima logika, sebagai
legitimasi pemerintahan kerajaan yang ada pada masa itu. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Keraguan atas kebenaran yang terdapat dalam <i>Hikayat Raja Pasai </i>tersebut antara lain seperti yang dikemukakan oleh A.D. Hill yang menyatakan bahwa dari teks <i>Hikayat Raja Pasai </i>ternyata hanya sepertiga bagian awal saja. Demikian pula dengan Teuku Ibrahim Alfian yang karena kecewa terhadap <i>Hikayat Raja Pasai </i>dalam
menyebutkan data sejarah, maka ia terpaksa mengambil informasi dari
sumber-sumber lain. Bahkan, Snouck Hugronje pernah menyebut bahwa <i>Hikayat Raja Pasai</i> adalah “a chlidren fairy story”. Pernyataan pedas Hugronje ini tampaknya merupakan suatu puncak kefatalan <i>Hikayat Raja Pasai </i>sebagai
sumber informasi terhadap sejarah. Data tersebut menujukkan bahwa
selama ini karya-karya tulis tersebut telah dilihat dalam dimensi
pragmatis lewat kajian historis atau pun filologis (Siti Chamamah
Soeratno, 2002:36).</span><br />
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<b><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">d. Perjalanan Eksistensi Samudera Pasai </span></i></b><br />
<b><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></i></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sebelum
memeluk agama Islam, nama asli Malik Al Salih adalah Marah Silu atau
Meurah Silo. “Meurah” adalah panggilan kehormatan untuk orang yang
ditinggikan derajatnya, sementara “Silo” dapat dimaknai sebagai silau
atau gemerlap. Marah Silu adalah keturunan dari Suku Imam Empat atau
yang sering disebut dengan Sukee Imuem Peuet, yakni sebutan untuk
keturunan empat Maharaja/Meurah bersaudara yang berasal dari Mon Khmer
(Champa) yang merupakan pendiri pertama kerajaan-kerajaan di Aceh
sebelum masuk dan berkembangnya agama Islam. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Leluhur
yang mendirikan kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha di Aceh tersebut di
antaranya adalah Maharaja Syahir Po-He-La yang membangun Kerajaan
Peureulak (Po-He-La) di Aceh Timur, Syahir Tanwi yang mengibarkan
bendera Kerajaan Jeumpa (Champa) di Peusangan (Bireuen), Syahir Poli
(Pau-Ling) yang menegakkan panji-panji Kerajaan Sama Indra di Pidie,
serta Syahir Nuwi sebagai pencetus berdirinya Kerajaan Indra Purba di
Banda Aceh dan Aceh Besar. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Dalam <i>Hikayat Raja Pasai </i>diceritakan
bahwa Marah Silu berayahkan Marah Gadjah dan ibunya adalah Putri
Betung. Marah Silu memiliki seorang saudara laki-laki bernama Marah Sum.
Sepeninggal orang tuanya, dua bersaudara ini meninggalkan kediamannya
dan mulai hidup mengembara. Marah Sum kemudian menjadi penguasa di
wilayah Bieruen, sedangkan Marah Silu membuka tanah di hulu Sungai
Peusangan yang terletak tidak jauh dari muara Sungai Pasai hingga
akhirnya ia menjadi pemegang tahta Kerajaan Samudera.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: center;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img class="imgFull" src="http://www.melayuonline.com/image/history/2009/samudra-pasai-rev-05.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;">Batu Nisan Sultan Malik Al Salih</span></i></span></td></tr>
</tbody></table>
<i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;"></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, Marah Silu alias Sultan Malik Al
Salih memeluk Islam atas bujukan utusan Dinasti Mamaluk dari Mesir,
yakni Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad. Keislaman Marah Silu ditegaskan
kembali dalam <i>Hikayat Raja Pasai </i>dengan memberikan catatan bahwa
Nabi Muhammad telah menyebutkan nama Kerajaan Samudera dan juga agar
penduduk di kerajaan tersebut diislamkan oleh salah seorang sahabat
Nabi, dalam hal ini yang dimaksud adalah Syaikh Ismail. Dengan adanya
catatan dari hikayat ini, bukan tidak mungkin ajaran agama Islam sudah
masuk ke wilayah Aceh tidak lama setelah Nabi Muhammad wafat, yakni pada
sekitar abad pertama tahun Hijriah, atau sekitar abad ke-7 atau ke-8
tahun Masehi. Dapat diperkirakan pula bahwa agama Islam yang masuk ke
Aceh dibawa langsung dari Mekkah (Sufi & Wibowo, 2005:58-59). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Data-data tentang Islam di Pasai menurut <i>Hikayat Raja Pasai</i> menunjukkan bahwa Pasai adalah tempat pertama kali yang diislamkan. Tampaknya, demikian seperti yang ditulis dalam <i>Hikayat Raja Pasai</i>,
Nabi Muhammad (Rasulullah) pulalah yang membawa Islam ke
Samudera/Pasai, ialah dalam tatap muka di kala tidur antara Marah Silu
dengan Rasulullah. Nabi Muhammad pula yang mensyahdatkan dan membuat
Marah Silu dapat membaca Alquran sebanyak 30 juz, yakni sesudah
Rasulullah meludahi mulut Marah Silu. Rasulullah pula yang membuat Marah
Silu telah berkhitan. Islamisasi lewat peran langsung Rasulullah
kiranya menunjukkan proses yang esensial bagi Pasai. Dalam proses inilah
Marah Silu tinggal dinobatkan sehingga proses Islamisasi dapat berjalan
dengan lancar (Chamamah, 2002:40).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Ketika
Malik Al Salih dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Samudera pertama,
upacara penobatan dilakukan dengan gaya Arab di mana Malik Al Salih
dinobatkan dengan mengenakan pakaian kerajaan anugerah dari Mekkah. Ini
berarti, penobatan dilakukan secara Arab, bukan dengan cara India.
Artinya lagi, Malik Al Salih kemungkinan besar sudah memeluk agama Islam
pada saat dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Samudera. Setelah upacara
penobatan, sekalian hulubalang dan rakyat serta-merta menjunjung dan
menyembah sultan baru mereka dengan menyerukan: “Daulat Dirgahayu Syah
Alam Zilluilahi fil-alam”. Penyebutan gelar kehormatan kepada raja
tersebut juga sangat lekat dengan nama Arab. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Dalam
rangkaian upacara yang sama, juga telah ditetapkan dua Orang Besar,
sebagai penasehat Sultan, yakni Tun Sri Kaya dan Tun Sri Baba Kaya.
Aroma Islam semakin terasa ketika kedua Orang Besar ini kemudian diberi
gelar berkesan Arab, masing-masing dengan nama Sayid Ali Khiatuddin
untuk Tun Sri Kaya dan Sayid Asmayuddin untuk Tun Sri Baba Kaya (Said,
1963:85).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan
Malik Al Salih menikah dengan Putri Ganggang Sari, keturunan Sultan
Aladdin Muhammad Amin bin Abdul Kadi dari Kerajaan Perlak. Dari
perkawinan ini, Sultan Malik Al Salih dikaruniai dua orang putra, yaitu
Muhammad dan Abdullah. Kelak, Muhammad dipercaya untuk memimpin Kerajaan
Pasai, bergelar Sultan Muhammad Malikul Zahir (Sultan Malik Al Tahir),
berdampingan dengan ayahandanya yang masih tegap memimpin Kerajaan
Samudera. Putra kedua Sultan Malik Al Salih, Abdullah, memilih keluar
dari keluarga besar Kerajaan Samudera dan Pasai, dengan mendirikan
pemerintahan sendiri Kesultanan Aru Barumun pada 1295.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Di
bawah pimpinan Sultan Muhammad Malikul Zahir, Kerajaan Pasai mengalami
masa kejayaan. Ibnu Batutah merekam masa-masa keemasan yang dicapai
Kerajaan Pasai pada era pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Zahir ini.
Ibnu Batutah mencatat bahwa tanah-tanah di wilayah Kerajaan Pasai begitu
subur. Aktivitas perdagangan dan bisnis di kerajaan itu sudah cukup
maju, dibuktikan dengan sudah digunakannya mata uang, termasuk mata uang
yang terbuat dari emas, sebagai alat transaksi dalam kehidupan ekonomi
warga Kerajaan Pasai. Selain menjalin kongsi dengan negara-negara dari
luar Nusantara, hubungan dagang dengan pedagang-pedagang dari Pulau Jawa
pun begitu baik. Bahkan, para saudagar Jawa mendapat perlakuan yang
istimewa karena mereka tidak dipungut pajak. Biasanya, kaum pedagang
dari Jawa menukar beras dengan lada. </span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: center;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img class="imgFull" src="http://www.melayuonline.com/image/history/2009/samudra-pasai-rev-06.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;">Makam Sultan Muhammad Malikul Zahir</span></i></span></td></tr>
</tbody></table>
<i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;"></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Ibnu
Batutah mengisahkan, setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar
(sekarang masuk wilayah Myanmar), ia mendarat di sebuah tempat yang
sangat subur. Ibnu Batutah tidak bisa menutupi rasa kagumnya begitu
berkeliling kota pusat Kerajaan Pasai. Ia begitu takjub melihat sebuah
kota besar yang sangat elok dengan dikelilingi dinding yang megah. Ibnu
Batutah mencatat bahwa ia harus berjalan sekitar empat mil dengan naik
kuda dari pelabuhan yang disebutnya <i>Sahra </i>untuk sampai ke pusat
kota. Pusat pemerintahan kota itu cukup besar dan indah serta dilengkapi
dengan menara-menari yang terbuat dari kayu-kayuan kokoh. Di pusat kota
ini, tulis Ibnu Batutah, terdapat tempat tinggal para penguasa dan
bangsawan kerajaan. Bangunan yang terpenting ialah Istana Sultan dan
masjid (Ismail, 1997:37). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Di
dalam pagar yang mengelilingi kota, terdapat tempat tinggal para
penguasa dan bangsawan kerajaan yang dilindungi oleh rakyat di luar
pagar. Semua kehidupan komersial di kota, para pendatang baru dari desa,
orang-orang asing, para pengrajin, dan segala aktivitas urban lainnya
ditempatkan di luar pagar di sekeliling pusat kota. Orang-orang asing
seringkali tidak diizinkan menetap dalam jarak tertentu dari Istana
Sultan, bahkan adakalanya mereka harus tinggal di luar kota. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Apabila
penjelasan dari Ibnu Batutah ini dianggap benar, maka dapatlah
dikatakan bahwa Kota Pasai sebagai pusat pemerintahan sultan-sultan yang
berkuasa di Pasai, pada tengah-tengah areal terdapat suatu daerah inti
yang ditempati oleh Istana Sultan. Istana tersebut memiliki pagar yang
berfungsi sebagai batas yang membedakan kawasan Istana Sultan dengan
kawasan pasar di mana aktivitas perdagangan dan kegiatan lainnya
berlangsung. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Masih
menurut catatan Ibnu Batutah, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan
sosok pemimpin yang memiliki gairah belajar yang tinggi dalam menuntut
ilmu-ilmu Islam. Batutah juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun
di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit
kerajaan. Ibnu Batutah bahkan memasukkan nama Sultan Muhammad Malikul
Zahir sebagai salah satu dari tujuh raja di dunia yang memiliki
kelebihan luar biasa. Ketujuh raja yang memiliki kemampuan luar biasa
menurut Ibnu Batutah antara lain Raja Melayu Sultan Muhammad Malikul
Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, Raja Romawi
yang sangat pemaaf, Raja Iraq yang berbudi bahasa, Raja Hindustani yang
sangat ramah, Raja Yaman yang berakhlak mulia, Raja Turki yang gagah
perkasa, serta Raja Turkistan yang bijaksana.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Kesan
Ibnu Batutah terhadap sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir memang begitu
mendalam. Sebagai raja, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan orang
yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian
terhadap fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan,
Sultan Muhammad Malikul Zahir tidak pernah bersikap jumawa. Sultan ini,
kata Batutah, adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum
Islam. “Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk
shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan rombongan
biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” begitu Ibnu
Batutah menggambarkan sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir. Kerendahan
hati sang Sultan tersebut salah satunya ditunjukkan saat menyambut
rombongan Ibnu Batutah (<i>Republika</i>, 21 Mei 2008).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Di
masa keemasannya, Kerajaan Pasai dan Kerajaan Samudera menjelma menjadi
pusat perdagangan internasional. Kerajaan pelabuhan Islam itu begitu
ramai dikunjungi para pedagang dan saudagar dari berbagai benua seperti,
Asia, Afrika, Cina, dan Eropa. Wilayah di mana Kerajaan Samudera dan
Pasai berdiri, yakni di kawasan Selat Malaka, memang merupakan bandar
niaga yang sangat strategis. Pada saat itu, kawasan Selat Malaka
merupakan jalur perdagangan laut yang sering menjadi lokasi transaksi
dan disinggahi para saudagar dari berbagai penjuru bumi, seperti dari
Siam (Thailand), Cina, India, Arab, hingga Persia (Iran).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Di
samping sebagai pusat perdagangan, Kesultanan Samudera Pasai juga
merupakan pusat perkembangan agama Islam dan muncul sebagai pemerintahan
pertama di Nusantara yang menganut ajaran Islam. Kejayaan Kesultanan
Samudera dan Kesultanan Pasai yang berlokasi di daerah Samudera Geudong,
Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah
Perlak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Dalam kurun abad ke-13
hingga awal abad ke-16, Pasai merupakan wilayah penghasil rempah-rempah
terkemuka di dunia, dengan lada sebagai salah satu komoditas andalannya.
Setiap tahunnya, Pasai mampu mengekspor lada dengan produksi yang cukup
besar. Tak cuma itu, Pasai pun merupakan produsen komoditas lainnya
seperti sutra, kapur barus, dan emas.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan
Muhammad Malikul Zahir mempunyai dua orang putra, yaitu Malikul Mahmud
dan Malikul Mansur. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir pada akhirnya
meninggal dunia karena sakit, tampuk kepemimpinan Kerajaan Pasai untuk
sementara diserahkan Sultan Malik Al Salih, yang juga memimpin Kerajaan
Samudera, karena kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir masih berusia
sangat belia. Oleh Sultan Malik Al Salih, kedua cucunya itu diserahkan
kepada tokoh-tokoh yang piawai supaya mereka dapat dengan baik memimpin
kerajaan pada suatu saat nanti. Malikul Mahmud diserahkan kepada Sayid
Ali Ghiatuddin, sementara Malikul Mansur dididik oleh Sayid
Semayamuddin. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Ketika
kedua pangeran ini beranjak dewasa dan dirasa sudah siap memimpin
pemerintahan, maka Sultan Malik Al Salih pun mengundurkan diri dari
singgasananya yang meliputi dua kerajaan, yakni Kerajaan Samudera dan
Kerajaan Pasai. Sebagai gantinya, sesuai dengan kesepakatan Orang-Orang
Besar, diangkatlah Malikul Mahmud menjadi Sultan Kerajaan Pasai,
sementara Malikul Mansur sebagai Sultan Kerajaan Samudera. Namun,
keharmonisan kedua sultan kakak-beradik ini tidak berlangsung lama
karena terjadi perseteruan di antara mereka. Penyebabnya adalah ulah
Sultan Mansur yang ternyata menggilai salah seorang istri Sultan Mahmud
yang tidak lain adalah abang kandungnya sendiri. Pada akhirnya, Sultan
Mansur ditangkap dan diusir dari kerajaannya hingga kemudian meninggal
dunia dalam perjalanan. Jadilah Sultan Malikul Mahmud menguasai
singgasana Kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasai hingga digabungkanlah
kedua kerajaan itu menjadi Kesultanan Samudera Pasai. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sejak
tahun 1346, kepemimpinan Kesultanan Samudera Pasai di bawah rezim
Sultan Malikul Mahmud digantikan oleh anaknya yang bernama Ahmad
Permadala Permala. Setelah dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan
Samudera Pasai, ia kemudian dianugerahi gelar kehormatan dengan nama
Sultan Ahmad Malik Az-Zahir. Dalam <i>Hikayat Raja Pasai </i>dikisahkan,
Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dikaruniai lima orang anak, tiga orang di
antaranya laki-laki sementara dua sisanya adalah anak perempuan. Tiga
putra Sultan Ahmad Malik Az-Zahir masing-masing bernama Tun Beraim Bapa,
Tun Abdul Jalil, serta Tun Abdul Fadil. Sedangkan dua anak perempuannya
diberi nama Tun Medam Peria dan Tun Takiah Dara.</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sempat
terjadi hal yang sungguh memalukan dalam perjalanan kepemimpinan Sultan
Ahmad Malik Az-Zahir yang pada akhirnya memang lekat dengan citra
sebagai pemimpin yang buruk. Menurut <i>Hikayat Raja Pasai</i>, Sang
Sultan ternyata menaruh berahi terhadap kedua anak perempuannya sendiri,
yaitu Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara. Sikap yang keterlaluan dari
Sultan Ahmad Malik Az-Zahir ini tentu saja menimbulkan kemurkaan dari
banyak pihak, termasuk Tun Beraim Bapa yang tidak lain adalah putra
sulung Sultan Ahmad Malik Az-Zahir. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Tun
Beraim Bapa sekuat tenaga melindungi kedua saudara perempuannya dari
kebuasan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dengan melarikan mereka untuk
diamankan di suatu tempat. Merasa ditentang oleh anaknya sendiri, Sultan
Ahmad Malik Az-Zahir naik pitam dan kemudian memerintahkan pengawalnya
untuk membunuh Tun Beraim Bapa. Pangeran yang seharusnya menjadi putra
mahkota ini akhirnya tewas setelah memakan racun yang diberikan utusan
sang ayah (Jones [ed.], 1999:35-56). Tidak lama kemudian, kedua saudara
perempuan Tun Beraim Bapa pun menyusul abangnya dengan memakan racun
yang sama. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Keganasan
Sultan Ahmad Malik Az-Zahir belum berhenti sampai di situ. Sang Sultan
kembali berulah biadab ketika mendengar kabar bahwa ada seorang putri
dari Kerajaan Majapahit, Radin Galuh Gemerencang, jatuh cinta kepada
putra kedua Sultan Ahmad Malik Az-Zahir, yakni Tun Abdul Jalil. Sultan
Ahmad Malik Az-Zahir merasa terhina karena ia sendiri juga menaruh hati
pada kecantikan putri Raja Majapahit tersebut. Maka kemudian, seperti
yang termaktub dalam <i>Hikayat Raja Pasai, </i>Sultan Ahmad Malik
Az-Zahir kembali memberikan mandat kepada anak buahnya untuk menghabisi
nyawa Tun Abdul Jalil dan ketika rencana itu berhasil, mayat Tun Abdul
Jalil ditenggelamkan ke laut. Sementara itu, oleh sebab rasa cinta yang
tidak tertahankan, Radin Galuh Gemerencang bertekad pergi ke Pasai
bersama para pengawalnya untuk menemui Tun Abdul Jalil. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sesampainya
di Pasai, rombongan dari Majapahit itu mendapat kabar bahwa pujaan hati
Radin Galuh Gemerencang sudah tewas, dibunuh oleh ayahnya sendiri. Sang
Putri tidak kuasa menahan sedih dan kemudian menenggelamkan diri ke
dalam laut di mana jenazah Tun Abdul Jalil telah dibenamkan sebelumnya.
Sisa rombongan pengawal yang mengiringi Radin Galuh Gemerencang segera
kembali ke Jawa dan melapor kepada Raja Majapahit tentang kejadian
tragis tersebut. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sang
Raja tentu saja murka mendengar kematian putrinya serta kebiadaban
Sultan Pasai itu, dan kemudian segera menitahkan kepada bala tentara
Majapahit untuk bersiap menyerang Kerajaan Pasai. Meski sempat
memberikan perlawanan, ternyata armada perang Kerajaan Majapahit lebih
unggul dan berhasil menduduki Pasai. Karena semakin terdesak, Sultan
Ahmad Malik Az-Zahir melarikan diri ke suatu tempat bernama Menduga,
yang terletak kira-kira lima belas hari perjalanan dari Negeri Pasai. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sementara
itu, seusai meraih kemenangan gemilang dengan menaklukkan Pasai,
pasukan perang Majapahit mulai bersiap untuk kembali ke Jawa setelah
sebelumnya mengambil harta rampasan dan tawanan perang dari Pasai. Dalam
perjalanan menuju Jawa, laskar tentara Majapahit terlebih dahulu
singgah di Palembang dan Jambi untuk menaklukkan kedua negeri itu,
sekaligus membawa barang jarahan yang semakin banyak. Demikianlah kisah
penaklukan oleh Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Pasai seperti yang
dikisahkan dalam kitab <i>Hikayat Raja Pasai </i>(Jones [ed.], 1999:57-65). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Dalam
silsilah para penguasa yang memimpin Kesultanan Samudera Pasai,
ternyata terdapat sultan perempuan yang pernah bertahta di kerajaan
besar tersebut. Sultanah Nahrasiyah (Nahrisyyah) Malikul Zahir bertahta
dari tahun 1420 hingga 1428 atau kurang lebih delapan tahun lamanya.
Sultanah Nahrasiyah memiliki penasehat bernama Ariya Bakooy dengan gelar
Maharaja Bakooy Ahmad Permala. Ariya Bakooy sebenarnya merupakan sosok
kontroversial. Ia pernah diperingatkan kaum ulama agar tidak mengawini
puterinya sendiri namun peringatan itu ditentangnya. Bahkan, Ariya
Bakooy kemudian malah membunuh 40 ulama. Ariya Bakooy akhirnya tewas di
tangan Malik Musthofa yang bergelar Pocut Cindan Simpul Alam, yang tidak
lain adalah suami Sultanah Nahrasiyah, dengan bantuan Sultan Mahmud
Alaiddin Johan Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam (1409-1465). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultanah
Nahrasiyah merupakan seorang perempuan muslimah yang berjiwa besar. Hal
ini dibuktikan dengan hiasan makamnya yang sangat istimewa. Pada
nisannya, tertulis nukilan huruf Arab terjemahannya berbunyi: ”Inilah
kubur wanita yang bercahaya yang suci ratu yang terhormat, almarhum yang
diampunkan dosanya, Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin, putra
Sultan Ahmad, putra Sultan Muhammad, putra Sultan Mailkus Salih. Kepada
mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya. Mangkat dengan
rahmat Allah pada hari Senin, 17 Zulhijjah 832.” (Pocut Haslinda Hamid
Azwar, <i>www.modusaceh-news.com</i>, 2009).</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: center;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img class="imgFull" src="http://www.melayuonline.com/image/history/2009/samudra-pasai-rev-08.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;">Pemugaran Kompleks Makam Sultanah Nahrasiyah (Nahrisyyah)</span></i></span></td></tr>
</tbody></table>
</div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<b><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></i></b><br />
<b><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">e. Keruntuhan dan Peninggalan Peradaban Samudera Pasai </span></i></b><br />
<b><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></i></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Kejayaan
Kesultanan Samudera Pasai mulai mengalami ancaman dari peradaban
terbesar di Jawa waktu itu, yakni dari Kerajaan Majapahit dengan Gadjah
Mada sebagai mahapatihnya yang paling legendaris. Gadjah Mada diangkat
sebagai patih di Kahuripan pada periode 1319-1321 Masehi oleh Raja
Majapahit yang kala itu dijabat oleh Jayanegara. Pada 1331, Gadjah Mada
naik pangkat menjadi Mahapatih ketika Majapahit dipimpin oleh Ratu
Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gadjah Mada menjadi Mahapatih
Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan Sumpah Palapa,
yaitu bahwa Gadjah Mada tidak akan menikmati buah palapa sebelum seluruh
Nusantara berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Mahapatih
Gadjah Mada rupanya sedikit terusik mendengar kabar tentang kebesaran
Kesultanan Samudera Pasai di seberang lautan sana. Majapahit khawatir
akan pesatnya kemajuan Kesultanan Samudera Pasai. Oleh karena itu
kemudian Gadjah Mada mempersiapkan rencana penyerangan Majapahit untuk
menaklukkan Samudera Pasai. Desas-desus tentang serangan tentara
Majapahit, yang menganut agama Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam
Samudera Pasai santer terdengar di kalangan rakyat di Aceh. Ekspedisi
Pamalayu armada perang Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih
Gadjah Mada memulai aksinya pada 1350 dengan beberapa tahapan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Serangan
awal yang dilakukan Majapahit di perbatasan Perlak mengalami kegagalan
karena lokasi itu dikawal ketat oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai.
Namun, Gadjah Mada tidak membatalkan serangannya. Ia mundur ke laut dan
mencari tempat lapang di pantai timur yang tidak terjaga. Di Sungai
Gajah, Gadjah Mada mendaratkan pasukannya dan mendirikan benteng di atas
bukit, yang hingga sekarang dikenal dengan nama Bukit Meutan atau Bukit
Gadjah Mada (Muljana, 2005:140). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Selanjutnya,
Gadjah Mada menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan
laut dan jurusan darat. Serangan lewat laut dilancarkan terhadap
pesisir di Lhokseumawe dan Jambu Air. Sedangkan penyerbuan melalui jalan
darat dilakukan lewat Paya Gajah yang terletak di antara Perlak dan
Pedawa. Serangan dari darat tersebut ternyata mengalami kegagalan karena
dihadang oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Sementara serangan
yang dilakukan lewat jalur laut justru dapat mencapai istana.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: center;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img class="imgFull" src="http://www.melayuonline.com/image/history/2009/samudra-pasai-rev-09.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;">Wilayah Kekuasaan Imperium Majapahit, termasuk Samudera Pasai</span></i></span></td></tr>
</tbody></table>
</div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Selain
alasan faktor politis, serangan Majapahit ke Samudera Pasai dipicu juga
karena faktor kepentingan ekonomi. Kemajuan perdagangan dan kemakmuran
rakyat Kesultanan Samudera Pasai telah membuat Gadjah Mada berkeinginan
untuk dapat menguasai kejayaan itu. Ekspansi Majapahit dalam rangka
menguasai wilayah Samudera Pasai telah dilakukan berulangkali dan
Kesultanan Samudera Pasai pun masih mampu bertahan sebelum akhirnya
perlahan-lahan mulai surut seiring semakin menguatnya pengaruh Majapahit
di Selat Malaka. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Hingga
menjelang abad ke-16, Samudera Pasai masih dapat mempertahankan
peranannya sebagai bandar yang mempunyai kegiatan perdagangan dengan
luar negeri. Para ahli sejarah yang menumpahkan minatnya pada
perkembangan ekonomi mencatat bahwa Pasai pernah menempati kedudukan
sebagai sentrum kegiatan dagang internasional di nusantara semenjak
peranan Kedah berhasil dipatahkan (Said, 1963:125). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Namun
kemudian, peranan Pasai yang sebelumnya sangat penting dalam arus
perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan dunia mengalami kemerosotan
dengan munculnya bandar perdagangan Malaka di Semenanjung Melayu
(Ismail, 1997:24). Bandar Malaka segera menjadi primadona dalam bidang
perdagangan dan mulai menggeser kedudukan Pasai. Tidak lama setelah
Malaka dibangun, kota itu dalam waktu yang singkat segera dibanjiri
perantau-perantau dari Jawa. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Akibat
kemajuan pesat yang diperoleh Malaka tersebut, posisi dan peranan Pasai
kian lama semakin tersudut, nyaris seluruh kegiatan perniagaannya
menjadi kendor dan akhirnya benar-benar patah di tangan Malaka sejak
tahun 1450. Apalagi ditambah kedatangan Portugis yang berambisi
menguasai perdagangan di Semenanjung Melayu. Orang-orang Portugis yang
pada 1521 berhasil menduduki Kesultanan Samudera Pasai (Rusdi Sufi,
2004:57) </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Tidak
hanya itu, Kesultanan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh
berdiri satu lagi kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah peradaban
yang besar dan maju. Pemerintahan baru tersebut yakni Kerajaan Aceh
Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh
Darussalam sendiri dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan yang
pernah ada di Aceh pada masa pra Islam, seperti Kerajaan Indra Purba,
Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura. Pada
1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat
Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai. Akibatnya, pamor kebesaran
Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum benar-benar runtuh.
Sejak saat itu, Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kendali kuasa
Kesultanan Aceh Darussalam.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Jejak-jejak
peninggalan peradaban Kesultanan Samudera Pasai yang berhasil
ditemukan, pada 1913 dan 1915 oleh seorang ilmuwan Belanda bernama J.J.
de Vink, yang berinisiatif mengadakan inventarisasi di bekas peninggalan
Samudera Pasai. Selanjutnya, pada 1937 telah dilakukan upaya pemugaran
pada beberapa makam sultan-sultan Samudera Pasai oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Kemudian, tahun 1972, 1973, serta tahun 1976
peninggalan Kesultanan Samudera Pasai yang ditemukan di Kecamatan
Samudera Geudong, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, telah
diinventarisasi oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Perkembangan
terbaru, dalam tahun 2009 telah ditemukan beberapa peninggalan yang
terkait dengan sejarah Kesultanan Samudera Pasai. Pada bulan Maret 2009,
Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Islam memberitahukan bahwa mereka telah
menemukan makam Al Wazir Al Afdal, yang pernah menjabat sebagai Perdana
Menteri Kesultanan Samudera Pasai. Makam itu berlokasi di Desa Teupin
Ara, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Al
Wazir Al Afdhal diketahui pernah menjabat sebagai perdana menteri pada
masa pemerintahan rezim Samudera Pasai yang terakhir, Sultan Zain Al
Abidin atau yang sering dikenal juga dengan nama Sultan Zainal Abidin,
yang memerintah selama dua periode, yakni pada kurun 1477-1500 dan
1513-1524. Dari penemuan itu diperoleh keterangan bahwa Al Wazir Al
Afdal wafat tanggal 7 bulan Zulkaedah tahun 923 H atau 1518 M. Di tahun
yang sama, Sultan Zainal Abidin pun wafat. Pada nisan makam Al Wazir Al
Afdal, terdapat syair yang menjelaskan tentang kezuhudan bahwa dunia ini
fana, tak ubahnya seperti sarang yang dirajut laba-laba. Syair tersebut
sama dengan yang tertulis pada makam Sultan Malik Al Salih yang
mengungkapkan tenggelamnya peradaban Samudera Pasai (<i>www.indowarta.com</i>, 25 Maret 2009).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Pada
kesempatan yang sama, Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Islam juga
menyatakan telah menemukan sebuah stempel atau cap yang diperkirakan
berusia 683 tahun. Stempel kerajaan yang ditengarai milik Sultan
Muhammad Malikul Zahir, sultan kedua Samudera Pasai, ini ditemukan tidak
jauh dari makam Abdullah bin Muhammad, di Desa Kuta Krueng, Kecamatan
Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Abdullah bin Muhammad (wafat 816 H/1414
M) sendiri adalah salah seorang keturunan Khalifah Abbasiyah,
Al-Mustanshir Billah, yang bergelar Shadr Al Akabir (pemuka para
pembesar) di Kesultanan Samudera Pasai pada waktu itu. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Stempel
yang ditemukan telah patah pada bagian gagangnya tersebut berukuran 2×1
centimeter, dan tampaknya terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Dari
lokasi ditemukannya di Kuta Krueng, diperkirakan cap ini telah
digunakan sampai dengan masa pemerintahan pemimpin terakhir Samudera
Pasai, Sultan Zainal Abidin (<i>www.acehlong.com</i>, 17 Maret 2009).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Selanjutnya,
pada Juni 2009, tim peneliti dari Yayasan Waqaf Nurul Islam (YWNI)
Lhokseumawe mengumumkan bahwa mereka telah menemukan makam yang diyakini
sebagai tempat persemayaman terakhir Raja Kanayan, seorang panglima
perang pada pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin. Makam Raja Kanayan
ditemukan di Desa Meunasah Ujoung Blang Me, Kecamatan Samudera,
Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa Raja
Kanayan wafat pada hari Jum‘at, tanggal 3 Sya‘ban 872 H atau 1468
Masehi. Dengan demikian, Raja Kanayan telah hidup pada masa pemerintahan
beberapa rezim Kesultanan Samudera Pasai dan meninggal dunia pada masa
Sultan Zainal Abidin. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Selain
makam Raja Kanayan, ditemukan pula beberapa makam lainnya. Bahkan, tim
peneliti memprediksi masih ada nisan-nisan lain yang amblas ke dalam
tanah di kompleks makam yang terletak tidak jauh dari tepi Sungai Pasai
sebelah timur itu. Makam-makam yang baru ditemukan tersebut belum
tercatat dalam inventaris situs sejarah Dinas Kebudayaan (<i>www.waspadaonline.com</i>, 20 Juni 2009).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Terakhir,
pada Agustus 2009, Lembaga Penelitian Sejarah Islam (LePSI) Lhokseumawe
mengungkapkan bahwa mereka sedang mengkaji naskah surat Sultan Zainal
Abidin, wafat tahun 923 Hijriah atau 1518 Masehi. Surat itu ditujukan
kepada Kapitan Moran yang bertindak atas nama wakil Raja Portugis di
India. Fotografi naskah tersebut dapat disaksikan di Museum Negeri Aceh,
sementara naskah aslinya tersimpan di Lisabon, Portugal. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Naskah
tersebut memberikan banyak informasi sejarah tentang ihwal Samudera
Pasai di awal abad ke-16, terutama menyangkut kondisi terakhir yang
dialami kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara ini, setelah Portugis
berhasil menguasai Malaka pada 1511 Masehi. Naskah surat berbahasa Arab
itu juga mencantumkan nama beberapa negeri atau kerajaan yang punya
hubungan erat dengan Samudera Pasai sehingga dapat diketahui pengejaan
asli dari nama-nama negeri atau kerajaan tersebut, antara lain Nergeri
Fariyaman (Pariaman) dan Mulaqat (Malaka) (<i>www.waspadaonline.com, </i>21 Agustus 2009). </span><br />
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">2. Silsilah Raja-Raja</span></b><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"></span><br />
<b><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Berikut nama-nama sultan/sultanah yang diketahui pernah memimpin Kesultanan Samudera Pasai:</span></div>
<ol style="text-align: justify;">
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan Malik Al-Salih (1267—1297)</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan Muhammad Malikul Zahir</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan Malikul Mahmud</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan Malikul Mansur</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346—1383)</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir (1383—1405)</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultanah Nahrasiyah atau Sultanah Nahrisyyah (1420—1428) </span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan Sallah Ad-Din (1402)</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan Abu Zaid Malik Az-Zahir 1455)</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1455—1477)</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan Zain Al-Abidin (1477—1500)</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan Abdullah Malik Az-Zahir (1501—1513)</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan Zain Al-Abidin (1513—1524)</span></li>
</ol>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: center;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img class="imgFull" src="http://www.melayuonline.com/image/history/2009/samudra-pasai-rev-10.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;">Silsilah Sultan/Sultanah Kesultanan Samudera Pasai Menurut Hikayat Raja Pasai.</span></i></span></td></tr>
</tbody></table>
<i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;"></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sultan
Malik Al Salih memimpin Kesultanan Samudera, sementara putranya, Sultan
Muhammad Malikul Zahir adalah penguasa Kesultanan Pasai. Ketika Sultan
Muhammad Malikul Zahir wafat, pemerintahan Kesultanan Pasai dipegang
oleh Sultan Malik Al Salih untuk sementara sembari menunggu kedua putra
Sultan Muhammad Malikul Zahir, yakni Malikul Mahmud dan Malikul Mansur,
beranjak dewasa. Setelah kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir
tersebut dinilai mampu untuk menjadi pemimpin, Sultan Malik Al Salih
mengundurkan diri dari sebagai sultan dari kedua kerajaan yang
dipimpinnya tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Selanjutnya,
Sultan Malik Al Salih menyerahkan kendali pemerintahan kepada kedua
cucunya tersebut, masing-masing Kesultanan Pasai kepada Malikul Mahmud
serta Kesultanan Samudera kepada Malikul Mansur. Masa periode
pemerintahan ketiga sultan, yaitu Sultan Muhammad Malikul Zahir, Sultan
Malikul Mahmud, dan Sultan Malikul Mansur, sengaja tidak disebutkan
karena masih terdapat beberapa kejanggalan mengenai hal tersebut,
termasuk yang tercatat dalam <i>Hikayat Raja Pasai</i>. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Kesimpang-siuran
mengenai periode pemerintahan masing-masing sultan/sultanah menjadi
kendala tersendiri, dan karena itulah kurun tahun yang dicantumkan dalam
daftar di atas merupakan interpretasi dari beberapa informasi yang
berhasil ditemukan. Demikian pula dengan penyebutan nama atau gelar dari
masing-masing sultan/sultanah yang ternyata ditemukan banyak sekali
versinya. Selain itu, ketidaklengkapan informasi mengenai siapa saja
sultan/sultanah yang pernah memerintah Kesultanan Samudera Pasai secara
urut dan runtut juga menimbulkan permasalahan lain karena belum tentu
apa yang ditulis dalam silsilah di atas mencatat semua penguasa yang
pernah bertahta di Kesultanan Samudera Pasai.</span><br />
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">3. Wilayah Kekuasaan</span></b><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"></span><br />
<b><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<a href="http://www.melayuonline.com/image/history/2009/samudra-pasai-rev-11.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" class="imgFull" height="320" src="http://www.melayuonline.com/image/history/2009/samudra-pasai-rev-11.jpg" width="208" /></a><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Pada
kurun abad ke-14, nama Kesultanan Samudera Pasai sudah sangat terkenal
dan berpengaruh serta memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas.
Armada perang yang kuat sangat mendukung Kesultanan Samudera Pasai untuk
semakin melebarkan sayap kekuasaannya, baik dengan tujuan menguasai dan
menduduki wilayah kerajaan lain ataupun demi mengemban misi menyebarkan
agama Islam. Wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai pada masa
kejayaannya terletak di daerah yang diapit oleh dua sungai besar di
Pantai Utara Aceh, yaitu Sungai Peusangan dan Sungai Pasai. Daerah
kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai tersebut juga meliputi Samudera
Geudong (Aceh Utara), Meulaboh, Bireuen, serta Rimba Jreum dan
Seumerlang (Perlak).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sementara
itu, ada pula yang menganut pendapat bahwa wilayah Kesultanan Samudera
Pasai meliputi wilayah yang lebih luas lagi ke sebelah selatan, yaitu
hingga ke muara Sungai Jambu Ayer (Ismail, 1997:7). Yang jelas, luas
wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai melingkupi sepanjang aliran
sungai yang hulu-hulunya berasal jauh di pedalaman Dataran Tinggi Gayo,
sekarang berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Tengah,
Nanggroe Aceh Darussalam. Kesultanan Samudera Pasai juga berhasil
meluaskan wilayahnya ke luar dari bumi Aceh. Beberapa daerah luar yang
menjadi negeri taklukan Kesultanan Samudera Pasai antara lain
Minangkabau, Palembang, Jambi, Patani, Malaka, bahkan hingga mencapai
beberapa kerajaan di pesisir pantai di Jawa (Sufi & Wibowo,
2005:61).</span><br />
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">4. Sistem Pemerintahan</span></b><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"></span><br />
<b><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"><br />
</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Komposisi
masyarakat yang menjadi warga Kesultanan Samudera Pasai menunjukkan
sifat yang berlapis-lapis. Menurut Ayatrohaedi, lapisan itu terdiri atas
Sultan dan Orang-Orang Besar kerajaan pada lapisan atas sampai dengan
hamba sahaya pada lapisan yang paling bawah (Ayatrohaedi, 1992). Pada
lapisan kelompok birokrasi terlihat adanya kelompok Orang-Orang Besar,
perdana menteri, menteri, tentara, pegawai, dan kaum bangsawan kerajaan
yang lainnya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Adanya
orang-orang yang bergerak dalam perdagangan, misalnya orang-orang yang
berniaga, orang berlayar, orang pekan, nahkoda, dan lain-lainnya.
Kendati jumlah populasi orang-orang Arab yang berdiam di Pasai tidak
sebanyak orang-orang dari India, namun kalangan orang Arab sangat
berpengaruh dalam jalannya pemerintahan kerajaan, bahkan atas kebijakan
Sultan Pasai sekalipun. Keadaan ini terlihat sejak masa awal
terbentuknya Kesultanan Pasai dan berlangsung lama hingga nama kerajaan
ini berubah menjadi Kesultanan Samudera Pasai. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Pada
masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih sebagai penguasa pertama di
Kesultanan Pasai, terdapat sejumlah Orang-Orang Besar di negeri itu,
antara lain Tun Sri Kaya dan Tun Baba Kaya. Nama-nama itu jelas
menunjukkan kedudukan mereka yang dinamakan Orang-Orang Besar tersebut.
Hal ini sesuai dengan penyebutan Orang-Orang Besar kerajaan di
Semenanjung Melayu dan Kesultanan Aceh Darussalam sebagai Orang Kaya
(Ismail, 1997:39). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Kedua
Orang Besar yang ikut mengontrol jalannya pemerintahan di Kesultanan
Pasai itu masing-masing kemudian diberi gelar Sayid Ali Ghitauddin dan
Sayid Asmayuddin, seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada bagian
keislaman Marah Silu atau Sultan Malik Al Salih. Dalam hikayat
digambarkan dengan jelas bahwa Orang-Orang Besar itu disebutkan sebagai
perdana menteri, satu untuk Kesultanan Pasai dan seorang lagi untuk
Kesultanan Samudera. Kedudukan mereka yang sangat penting di sana
berlangsung sejak rezim Sultan Malik Al Salih sampai era pemerintahan
cucunya yaitu Malikul Mahmud dan Malikul Mansur. </span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: center;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img class="imgFull" src="http://www.melayuonline.com/image/history/2009/samudra-pasai-rev-12.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;">Salah Satu Manuskrip yang Menunjukkan Keberadaan Pasai</span></i></span></td></tr>
</tbody></table>
<i><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;"></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Di
masa kedua cucu Sultan Malik Al Salih itu berkuasa di masing-masing
kerajaannya, terjadi sengketa di antara keduanya, yakni ketika Malikul
Mansur melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadap salah seorang
istri Malikul Mahmud. Mengetahui perbuatan hina saudaranya itu, Sultan
Malikul Mahmud sempat berucap bahwa sekiranya ia tidak menghormati Sayid
Asmayuddin, yang menjadi penasehat Sultan Malikul Mansur di Kesultanan
Samudera, niscaya Sultan Malikul Mahmud sudah membunuh saudaranya
sendiri atas perbuatan hina yang tidak termaafkan. Fragmen ini sudah
cukup membuktikan bahwa betapa kuatnya pengaruh Orang-Orang Besar
tersebut dalam ikut mengendalikan roda pemerintahan kerajaan, bahkan
sampai pada tingkat mempengaruhi kondisi personal dan psikis Sultan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Pada
era kepemimpinan yang berikutnya, yakni di bawah rezim Sultan Ahmad
Malik Az-Zahir (1346-1383), pemerintahan Kesultanan Samudera Pasai
dikawal oleh empat orang perdana menteri, yang masing-masing bernama
Tulus Agung Tukang Sukara, Baba Mentuha, Sulaiman Dendang Air, dan Tun
Syah Alam Kota (Jones [ed.], 1999:36). Masih sama seperti pada masa-masa
sebelumnya, keempat perdana menteri tersebut menjalankan fungsinya
sebagai penasehat Sultan dan ikut mempengaruhi kebijakan kerajaan
kendati keputusan akhir masih tetap berada di tangan Sultan Samudera
Pasai. Kehidupan sosial dan politik warga Kesultanan Samudera Pasai
sangat diwarnai oleh unsur agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahannya
bersifat teokrasi (berdasarkan ajaran Islam) dan sebagian besar
rakyatnya memeluk agama Islam. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">(Iswara NR/Ker/01/10-2009)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Referensi:</span></b></div>
<ul style="text-align: justify;">
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">-------. 25 Maret 2009. “Makam Perdana Menteri Samudera Pasai Ditemukan”, dalam <a href="http://indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=959:makam-perdana-menteri-samudera-pasai-ditemukan-&catid=77:sumatera&Itemid=177">http://indowarta.com</a>. Data Diunduh pada 06 Oktober 2009.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">-------. 17 Maret 2009. “Stempel Usia 683 Tahun Milik Kerajaan Pasai Ditemukan”, dalam <a href="http://acehlong.com/2009/03/17/stempel-usia-683-tahun-milik-kerajaan-pasai-ditemukan/">http://acehlong.com</a>. Data Diunduh pada 06 Oktober 2009.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">-------. 20 Juni 2009. “Peneliti Temukan Makam Panglima Pasai”, dalam <a href="http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=28783:peneliti-temukan-makam-panglima-pasai-&catid=13:aceh&Itemid=26">http://www.waspada.co.id</a>. Data Diunduh pada 06 Oktober 2009.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">-------. 21 Agustus 2009. “LePSI Kaji Naskah Surat Sultan Samudera Pasai”, dalam <a href="http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=46480:lepsi-kaji-naskah-surat-sultan-samudera-pasai&catid=13:aceh&Itemid=26">http://www.waspada.co.id</a>. Data Diunduh pada 06 Oktober 2009.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Alfian, T. Ibrahim. 1973. <i>Kronika Pasai: Sebuah Tinjauan Sejarah. </i>Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. </span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Ayatrohaedi.
1992. “Struktur Masyarakat Pasai”, dalam Makalah yang Disampaikan pada
Diskusi mengenai Pasai dalam Sejarah, Cisarua, 25-28 September 1992.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Azwar, Pocut Haslinda Hamid. 2009. “Sultanah Nahrasiyah”, dalam <a href="http://www.modusaceh-news.com/html/read/8/1450/VI/tarikh-nanggroe/sultanah-nahrasiyah.html/"><i>http://www.modusaceh-news.com</i></a>,28 April 2009.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Ismail, Muhammad Gade. 1997. <i>Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 sampai Awal Abad ke 16. </i>Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Jones, Russell. 1999. <i>Hikayat Raja Pasai. </i>Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan dan Penerbit Fajar Bakti.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Mansoer, M.D. "Beberapa Tjatatan tentang Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Pesisir Sumatera Utara", dalam <i>Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia.</i> 1963. Medan: Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam Ke Indonesia. </span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Muljana, Slamet. 2005. <i>Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. </i>Yogyakarta: LKiS.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Ruslan, Heri. 2009. “Samudera Pasai Khilafah Islam Nusantara”, dalam <i>Republika</i>, 18 Maret 2009 </span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Said, Mohammad, H. 1963. "Mentjari Kepastian tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia", dalam<i> Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia. </i>Medan: Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam Ke Indonesia. </span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">_______. 1981. <i>Aceh Sepanjang Abad (Jilid Pertama). </i>Medan: PT Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan. </span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Soeratno,
Siti Chamamah. 2002. “Islamisasi sebagai Pembina Kebesaran Melayu:
Analisis Kontekstual Data Islamisasi Nusantara dalam Sejarah Melayu dan
Hikayat Raja-Raja Pasai”, dalam Sunaryo Purwo Sumitro. 2002. <i>Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan Kepada Teuku Ibrahim Alfian. </i>Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sufi, Rusdi. “Mata Uang Kerajaan-Kerajaan Aceh”, dalam Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo. 2004. <i>Ragam Sejarah Aceh</i>. Banda Aceh: Badan Perpustakaan NAD.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sufi, Rusdi & Wibowo, Agus Budi. 2006. <i>Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh</i>. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Zainuddin, H.M. 1961. <i>Tarikh Aceh dan Nusantara</i>. Medan: Pustaka Iskandar Muda.<br /><br /><br /><b>Sumber Kutipan :</b> http://www.atjehcyber.net/2011/05/kesultanan-samudera-pasai.html</span></li>
</ul>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-7646053062527484922012-09-29T21:47:00.001-07:002012-09-29T22:19:24.338-07:00“Harga” Orang Aceh<br />
<blockquote style="background-color: white; border-left-color: rgb(221, 221, 221); border-left-style: solid; border-left-width: 5px; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px; margin: 0px; padding: 0px 15px;">
<em><strong>Di mata Snouck Hurgronje, “Orang Aceh wajib disakiti dengan sesakit-sakitnya, dihina dengan sehina-hinanya dan dihancurkan hingga hilang rasa kemuliaannya.” Setelah diuji, ternyata doktrin ini selamanya gagal, jika menyakiti fisik orang Aceh.</strong></em></blockquote>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;">
<em>Oleh <strong>Yusra Habib Abdul Gani</strong> (*</em></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">ORANG Aceh pantas merasa bangga, karena memiliki karakter “Superiority Complex”, yang memandang dirinya lebih mulia daripada Belanda, dengan menyebut dirinya, “Ulôntuan” yang berarti, “Aku adalah Tuan”. Penerapan sebutan ini dalam pertuturan sehari-hari mengalami proses pemèndèkan; yang apabila dipanggil, seseorang akan menyahut, “<em>Wan</em>”, yang akar katanya berasal dari “<em>Ulôntuan</em>.” Artinya, orang Aceh memandang dirinya tetap sebagai “Tuan” dihadapan siapapun juga. Namun, Karakteristik ini secara tidak langsung terbawa-bawa ke dalam strata kehidupan politik.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Di mata Snouck Hurgronje, “Superiority complex” ini disifatkannya sebagai “penyakit jiwa”, angkuh dan sombong, bukan sifat keutamaan, hingga muncul doktrin Snouck, “Orang Aceh wajib disakiti dengan sesakit-sakitnya, dihina dengan sehina-hinanya dan dihancurkan hingga hilang rasa kemuliaannya.” Setelah diuji, doktrin ini selamanya gagal, jika menyakiti fisik orang Aceh. <br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img alt="" class="photo_img img" height="400" src="http://photos-g.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/420444_497507680260546_342563336_a.jpg" style="border: 0px; margin: 0px auto; max-width: 493px; padding: 0px;" width="305" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><br /></td></tr>
</tbody></table>
<span class="photo_left" style="clear: left; float: left; max-width: 180px; padding: 2px 10px 5px 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana, sans-serif;"></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;"> </span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">Sebenarnya, untuk memperdaya atau mengubah mental “ke-tuan-an” Aceh menjadi “babu” atau “lamit”, ada cara yang simpatik, yakni secara perlahan-lahan, rasa “superiority complex” ini digiring, diarahkan dan dimanfaatkan, hingga tidak sadar kalau mereka diperalat sebagai “barang” dagang politik untuk kepentingan politik. Tegasnya sebagai objek politik.</span><br />
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Aceh pernah dipakai sebagai brand (merek), sebab dianggap punya daya pikat dan nilai jual dalam perniagaan politik lokal, nasional maupun Internasional. Nama “Aceh” berpotensi melariskan barang dagang politik kontemporer.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Dalam skala politik internasional misalnya, “Aceh” pernah dipakai sebagai brand oleh Van Sweten tahun 1874, yang berkata, “Aceh sudah kita taklukkan”, yang ternyata bisa mempengaruhi opini dunia internasional pada masa itu. Sampai-sampai Ratu dan rakyat di seluruh pelosok Belanda keluar rumah berpestapora di jalan-jalan, merayakan kemenangan, setelah menerima pengumuman Van Sweten. Walaupun realitas yang terjadi di medan perang justeru sebaliknya.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Isu “kekalahan” Aceh, ternyata mempengaruhi kebijakan British, hingga memberi hak “belligerent power” (kuasa berdagang dalam suasana perang) kepada Aceh dan pihak asing untuk berdagang di Selat Melaka. Maksud pemberian hak ini, selain untuk mendeteksi peta kekuataan Angkatan Laut Aceh, juga menguntungkan perdagangan pihak asing di Selat Melaka khususnya, seperti, Belanda, Inggris, Perancis dan USA dan di kawasan Asia Tenggara umumnya.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Dalam skala nasional, “orang Aceh” pernah dimanfaatkan Soekarno sebagai brand dagang politik untuk menyelamatkan Indonesia, di mana Tgk Hasan Krueng Kaléé, Tgk Daud Beureuéh, Tgk Djafar Sidiq Lamdjabat dan Tgk Ahmad Hasbalah Indrapuri, Teuku Njak Arif dan Tuanku Mahmud dibujuk untuk mengeluarkan Maklumat Ulama Seluruh Aceh, tanggal 5 Oktober 1945, yang menyebut, “<em>...Indonesia tanah tumpah darah kita telah dimaklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia di bawah pimpinan dari yang maha Pemimpin kita Ir Soekarno. Perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut “Perang Sabil”</em>.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Kalimat “maha Pemimpin” dan “Perang Sabil” adalah brand politik made-in Aceh, untuk mempengaruhi orang Aceh melihat figur Soekarno, hingga rela terseret dalam perang Surabaya dan Bandung Lautan Api. Padahal, nasib masa depan Aceh ketika itu tidak menentu. Brand politik ini menciptakan Soekarno sangat populer. Jadi tak heran, kalau dalam kunjungan Soekarno ke Aceh tahun 1948; sekembalinya ke Jawa membawa 10 koper berisi tekstil, setengah kilogram emas dan sejumlah jam tangan berlapis emas, padahal sewaktu berangkat dari Yogyakarta ia hanya membawa sebuah koper saja, bahkan baju jasnya dijahitkan oleh Bantasyam, seorang penjahit di Bireuën.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Diakui, kalau sebutan “Pemimpin Besar Revolusi” kepada Sukarno telah dicabut melalui Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966; melucuti semua sebutan, seperti: “Paduka Yang Mulia” (P.Y.M.), “Yang Mulia” (Y.M.), “Paduka Tuan” (P.T.) diganti dengan sebutan “Bapak/Ibu” atau “Saudara/Saudari” melalui Ketetapan MPRS No. XXXI/MPRS/1966, bahkan mencabut semua atribut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, lewat Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. </span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img alt="" class="photo_img img" height="271" src="http://photos-g.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/199411_497508496927131_1207095786_a.jpg" style="border: 0px; margin: 0px auto; max-width: 493px; padding: 0px;" width="320" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><br /></td></tr>
</tbody></table>
<span class="photo_right" style="clear: right; float: right; max-width: 180px; padding: 2px 0px 5px 10px; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana, sans-serif;"></span></span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-size: 11px; line-height: 16.5px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Anèhnya, sebutan “maha pemimpin” yang tertera dalam Maklumat Ulama Seluruh Aceh, sampai hari ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang mencabutnya. Berarti, secara politik dan yuridis formal, sebutan “maha Pemimpin” made-in Aceh itu masih sah berlaku. Mengapa? Beginilah mahalnya brand Aceh dalam perdagangan politik Indonesia kemaren, hari ini dan esok.</span><br />
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span><span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;">Bukan hanya itu, pencetus idé supaya Soekarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup keluar dari mulut Ali Hasymi, Gubernur Aceh (periode 1957-1964). Ide tersebut mendapat sambutan dari kalangan politisi. Sehingga ide itu kemudian ditetapkan melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang: Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.</span><br />
<span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;"><br /></span>
<span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;">Kemujaraban brand Aceh, telah memansukhkan pasal 5, UUD-1945 (sebelum amandemen yang tertera dalam pasal 7) tahun 1999, 2000,201 dan 2002, tentang: ketentuan Presiden dan Wakil Presiden.</span><br />
<span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;"><br /></span>
<span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;">Dalam memori penjelasan TAP-MPRS ini disebut: “... <em>mengangkat Sukarno sebagai Presiden seumur hidup semata-mata untuk menghidupkan dan memperkaya preceden dalam ketata-negaraan Indonesia...</em>” Soekarno tidak menolak, kendatipun rumusan ini berlawanan dengan UUD-1945. Soal kemudian, TAP-MPRS ini dimansukhkan, itu soal lain. Yang pasti, ucapan orang Aceh, bukan saja dijadikan “barang” dagang politik, tetapi laku dipakai untuk melakukan perbuatan makar terhadap konstitusi.</span><br />
<span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;"><br /></span>
<span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;">Selanjutnya, di tahun 1987, saat Bustanul Arifin (Ketua Bulog ketika itu) bertanya kepada Tengku Daud Beureuéh yang tengah dalam keadaan koma: “<em>Apakah Tengku merestui Golkar menang di Aceh?</em>”. Wartawan bertanya: <em>“apa renpons Tengku?” “Tengku merestui,</em>” Jawab Bustanil. <em>“Suara asing”</em> ini dipasarkan untuk memenangkan Golkar di Aceh ketika itu.</span><br />
<span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;"><br /></span>
<span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;">Dalam situasi dan isu yang berbeda; Tengku Hasan. M di Tiro yang sedang dalam keadaan koma sempat menitip pesan: <em>“Jaga perdamaian Aceh”</em> kepada Malik Mahmud. Demikian pengakuan Malik Mahmud kepada wartawan. [Sumber: Acehkita].</span><br />
<span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;"><br /></span>
<span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;">Sekarang, figur Aceh yang layak jual sudah kosong. Kadar kemampuan ulama, politisi, tokoh masyarakat dan cendekiawan Aceh saat ini berada di bawah standard. Orang Aceh hampir sepenuhnya berubah dari mental “Tuan” menjadi “babu” politik. Oleh sebab itu, “permintaan maaf” sepihak dari Wiranto kepada orang Aceh (06/08/1998) di Lhôkseumawé dan berhasilnya MoU Helsinki ditanda tangani atas inisiatif Jusuf Kalla, terpaksa dipakai oleh pasangan JK-Wiranto sebagai “barang” dagang politik dalam pesta demokrasi di Indonesia. SBY juga dianggap berjasa dalam isu Helsinki. Padahal, kalau mau jujur, tangan siapa (calon Pres-Wapres RI) yang tidak kotor di Aceh? Namun, orang Aceh tetap antusias memenangkan SBY dengan mengantongi 93% suara di Aceh.</span><br />
<span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;"><br /></span>
<span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;">Dari sudut politik, orang Aceh bukan tuan politik. Padahal tuan politik ialah orang yang mampu menempatkan diri sebagai subjek, bukan objek kekuasaan dan bencana yang paling dahsyat dalam peradaban manusia terjadi, ketika predikat “superiority complex” -nilai-nilai ke-Aceh-an- dilucuti dan diremukkan oleh suatu kekuatan yang tidak pernah terpikir sebelumnya.</span><b style="background-color: white; font-size: 11px; line-height: 16.5px;"> </b><span style="background-color: white; font-size: 11px; line-height: 16.5px;"><b><br /></b><i style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif;">* <b>Penulis adalah Dikrektur Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark</b></i></span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16.5px;">
<em><b>Di Kutip dari Harian Serambi Indonesia 19 Agustus 2010.</b></em></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-35567061599418293272012-09-29T21:36:00.003-07:002012-09-29T21:40:52.774-07:00“Wahai Garuda Turunlah!”<br />
<div style="font-size: 12px; line-height: 12px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<div style="font-family: tahoma; font-weight: bold; margin: 0px; padding: 0px; text-align: center;">
<img height="397" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjC0WqhyFpyO-w8yFr3_ynoJkY-IomT-JH8DfyQPdNDYA49vSg2zbSmr8WNh51rDKei7gO7nV_xgEXoioJfcoryaVf_8XS2s0GESDXqc3eYMVoInUPKXeQiB_p-8dRlEQF5N-XylHFLu30/s640/RI001.jpg" style="box-shadow: transparent 0px 0px 0px 0px; margin: 0px; padding: 0px;" width="640" /></div>
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;" /></span>
<br />
<div style="margin: 0px; padding: 0px;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;">PRESIDEN </span>Soekarno tiba di Aceh, lalu singgah di Kutaraja untuk memohon pengertian rakyat Aceh: betapa negeri yang baru merdeka ini sangat membutuhkan kesetiaan rakyat, modal pengusaha, dan doa ulama. Bagi republik yang masih mencari format kenegaraan dan ketatanegaraan, di usia yang belia, tempo dulu, proaktif dan partisipatif daerah dituntut lebih.</span></div>
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;" /></span>
<br />
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Lantaran sedang merancang dan mencoba bentuk ketatanegaraan, wajar rasanya jika wilayah Aceh semula sempat bersama dalam satu provinsi dengan Sumatera, di bawah Gubernur Mr T Muhammad Hasan, kemudian terpilah-pilah dan tergabung kembali dengan beberapa wilayah lain.</span></div>
</div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></span></div>
</div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Beberapa kali Aceh dipisah lagi dalam keresidenan, bersama wilayah tetangga seperti bersama Sumatera Timur dan Tapanuli. Saat Aceh dalam keresidenan, pernah Teuku Nyak Arief dan Teuku Daud Syah pernah menjadi residen yang berpusat di Kutaraja. Aceh juga pernah dipimpin oleh Tgk Muhammad Daud Beureueh--Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo--dalam format provinsi.</span></div>
</div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></span></div>
</div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Nah, tatkala Abu Beureueh didengar dan ditaati rakyat--alasan klasik, karena karismanya--di sebelah selatan Masjid Raya Baiturrahman itu, Presiden Soekarno, dengan jas hitam, kacamata gelap, dan berpeci nasional itu, berdialog dengan elemen masyarakat, unsur ulama, dan saudagar kita. Tentu juga dengan ribuan rakyat Aceh yang dibilang heroik. Kisahnya terurai haru di buku sejarawan: beberapa bulan sebelum peringatan dirgahayu empat tahun kemerdekaan RI, Agustus 1949.</span></div>
<div class="separator" style="clear: both; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></span></div>
</div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Peristiwa kesetiaan orang Aceh dengan republik yang amat penting di kala genting itu, berlangsung di Atjeh Hotel--sekitar 10 tahun lalu sudah terbakar (atau dibakar?). Konon di pertapakannya akan dibangun hotel (Novotel Hotel Aceh) bertaraf internasional. Namun sudah bilangan tahun, baru ada pancangan “angker”, yang usai tsunami telah dicat berwarna-warni. Di sana juga seniman akrab melantunkan puisi. Kalau ada keramaian, pameran, dan nyanyian di Taman Sari, bekas pertapakan Hotel Aceh dijadikan area parkir oleh Pemkot Banda Aceh, atau oleh “preman gampong” sekitar.</span></div>
</div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></span></div>
</div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Hotel Aceh di Jalan Mohammad Jam itu, berdiri persis pada jarak hampir seratus meter dari tempat putrinya, Megawati Soekarno Putri, dengan kerudung cantik--usai shalat dua rakaat--juga sukses berpidato dan berjanji di hadapan ribuan rakyat Aceh, pada suatu siang 8 September 2001, dari halaman Masjid Raya Baiturrahman.</span></div>
</div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></span></div>
</div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Kalau dua pertiga abad yang lalu, ayahnya dan rakyat Aceh mencetuskan pembelian Dakota, lalu 10 tahun yang silam, Megawati berpidato di Masjid Raya Baiturrahman tentang jasa orang Aceh (juga soal pesawat awal kemerdekaan), maka 26 September enam tahun silam, kembali bersama Pemda Aceh di Blang Bintang, dalam hujan deras, lagi-lagi putri Bung Karno itu meresmikan “sayap-sayap Seulawah NAD” untuk “mengepak” kembali. Ini juga sebait nostalgia indah yang aduhai, di awal era otonomi, yang ternyata jadi kisah kelam kembali, karena “sayap Seulawah” patah lagi, patah pate, bersama kasus-kasus korupsi, dan bagi generasi Aceh, ini kegelapan atas kegelapan.</span></div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: center;">
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="background-image: url(https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpntVFNOER83uVbI_M9_y6K6GNEtk4Yz1Ys6Zcy6gC4S8whyfvOQkPKNxcVv7U-utQvzql-GuqRp5wPs7KoicCYUem7tQ6qZfvaE75RXtC7Y_G2X-5zCg1Ee1qKZkbciaaALKC7sSqR-8/s1600/covers.png); background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-left-radius: 4px; border-bottom-right-radius: 4px; border-top-left-radius: 2px; border-top-right-radius: 44px; box-shadow: black 0px 0px 0px 0px; margin: 0px auto 0em; padding: 0px; text-align: center;"><tbody style="margin: 0px; padding: 0px;">
<tr style="margin: 0px; padding: 0px;"><td style="background-image: url(https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpntVFNOER83uVbI_M9_y6K6GNEtk4Yz1Ys6Zcy6gC4S8whyfvOQkPKNxcVv7U-utQvzql-GuqRp5wPs7KoicCYUem7tQ6qZfvaE75RXtC7Y_G2X-5zCg1Ee1qKZkbciaaALKC7sSqR-8/s1600/covers.png); border-bottom-left-radius: 7px; border-bottom-right-radius: 7px; border-top-left-radius: 7px; border-top-right-radius: 7px; border: 0px; box-shadow: black 0px 0px 0px 0px; font-family: ghisa; font-size: 12px; line-height: 12px; margin: 0px; padding: 0px; text-shadow: black 0px 0px 0px;"><img height="278" src="http://febrianaris.files.wordpress.com/2010/01/garuda-indonesia-a330-200-pk-gph-09-visit-indonesia-2009grd-syd-j4lr.jpg" style="box-shadow: transparent 0px 0px 0px 0px; margin: 0px auto; padding: 0px;" width="640" /></td></tr>
<tr style="margin: 0px; padding: 0px;"><td class="tr-caption" style="background-image: url(https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpntVFNOER83uVbI_M9_y6K6GNEtk4Yz1Ys6Zcy6gC4S8whyfvOQkPKNxcVv7U-utQvzql-GuqRp5wPs7KoicCYUem7tQ6qZfvaE75RXtC7Y_G2X-5zCg1Ee1qKZkbciaaALKC7sSqR-8/s1600/covers.png); border-bottom-left-radius: 4px; border-bottom-right-radius: 4px; border-top-left-radius: 2px; border-top-right-radius: 40px; border: 0px solid transparent; box-shadow: black 0px 0px 0px 0px; font-family: ghisa; font-size: 12px; height: 12px; line-height: 12px; margin: 0px; padding: 3px 4px 4px; text-shadow: black 0px 0px 0px;">Maskapai Garuda Indonesia saat ini</td></tr>
</tbody></table>
</div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
Terus, dari lobi Hotel Aceh yang melegenda itu, pesawat udara Seulawah (Pioner Garuda Indonesian Airways) dicatat kisahnya. Untuk ini, salah satu tokoh Aceh--Tgk Mansoer Ismail, Sekretaris Abu Daud Beureueh--yang sempat melihat langkah dan air mata Soekarno merekam untuk kita. “Terakhir ia menumpahkan air mata buayanya untuk memperdaya tokoh masyarakat dan ulama,” kenang Abu Mansoer Ismail di Beureunuen dalam usia rentanya, tanpa tunjangan pensiunan itu, pada Munawardi Ismail, seorang wartawan yang sekampung dengannya.</div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
Dan ternyata proyek Seulawah RI-001--cikal bakal GIA yang repliknya ada di Blang Padang--itu cuma satu yang dapat terbeli. “Satu unit lagi entah di mana rimbanya,” gugat Abu Mansoer agak sesal, pada “cucu”nya itu.</div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
Dalam pertemuan di Hotel Aceh itu, antara Presiden beserta rombongan berdialog dengan GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh). Dia setelah membicarakan situasi negara yang genting, juga saat itu mengusulkan dan meminta pihak GASIDA kiranya sanggup menyediakan sebuah pesawat terbang Dakota yang seharga sekitar M$ 120 (dolar Malaya) atau kira-kira 25 kg emas.</div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
Aneh sekali, menjelang akhir pertemuan itu, Presiden mengatakan tidak mau makan sebelum mendengar jawaban dari para pengusaha, sanggup atau tidak. Atas usul tersebut, Ketua GASIDA, M Djuned Yusuf, Haji Zainuddin dan sesepuh lainnya yang hadir dalam pertemuan itu, mengisyaratkan pada pada T Muhammad Ali Panglima Polem (sebagai jubir) bahwa menerima usul Presiden. Lalu Sang Presiden yang pertama RI itupun mau makan--maaf, kayak anak-anak yang diiming-iming hadiah, sebelum makan saja.</div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
Belakangan GASIDA membentuk suatu panitia, yang diketuai T M Ali Panglima Polem sendiri. Berdasarkan pembicaraan dengan Residen Aceh, kemudian diputuskan akan membeli dua pesawat terbang Dakota. Satu atas nama GASIDA dan yang satu lagi atas nama seluruh rakyat Aceh. Upaya mengumpulkan dana dan emas, menurut Abu Mansoer (lahir di Jangka Buya Ulee Gle, 1902) oleh Abu Beureueh meminta Abu Daoed (staf wakil kepala keuangan kantor gubernur militer), Mansoer Ismail, dan T H Husen Samalanga (pegawai kantor gubernur militer) untuk meminta bantuan dari saudagar dan pedagang emas.</div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
Kedua pesawat yang dibeli dengan uang rakyat itu masing-masing diberi nama Seulawah I dan Seulawah II. Rute semula pesawat ke luar negeri, yakni Ranggoon (Birma) dan India. Soal siapa yang duluan membeli pesawat Dakota ini, tim lain dari residen lain, mungkin belum berhasil membeli seperti yang dilakukan rakyat Aceh.</div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
Padahal selain dana S$ 500 ribu, rakyat Aceh juga menyumbang dalam bentuk hewan (kerbau) untuk perjuangan di ibukota Yogyakarta waktu itu. Kelak, atas sumbangan rakyat Aceh berupa uang dan emas, pemerintah di Yogyakarta, khususnya KSU-AURI (Kepala Staf Angkatan Udara RI) mengucapkan terima kasih, thank you. Telegram juga diterima dari AURI Komandemen Udara di Bukit Tinggi, pada Agustus 1948. T M Ali Panglima Polem selaku Ketua Panitia, menerima sebuah surat dari sana, karena kebetulan Presiden juga sempat ke Sumatera Barat itu.</div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" />
<div class="separator" style="clear: both; margin: 0px; padding: 0px; text-align: center;">
<a href="http://mw2.google.com/mw-panoramio/photos/medium/64703849.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; color: white; float: right; margin: 0px 0px 1em 1em; outline: none; padding: 0px; text-decoration: none;"><img border="0" height="240" src="http://mw2.google.com/mw-panoramio/photos/medium/64703849.jpg" style="box-shadow: transparent 0px 0px 0px 0px; margin: 0px; padding: 0px;" width="320" /></a></div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
Seorang keturunan T M Ali Panglima Polem, T Zainal Arifin di Banda Aceh, beberapa hari yang lalu, dalam Droe Keu Droe (Serambi Indonesia) juga membenarkan kita bahwa T M Ali Panglima Polem sebagai Ketua Panitia saat itu, dan dengan tegas memohon Menteri BUMN “kap igoe”, demi harkat dan marwah Aceh, di tengah ambisi Garuda menjual sahamnya.</div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
</div>
<div style="font-family: tahoma; margin: 0px; padding: 0px; text-align: left;">
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
Akhirnya, hari ini, kita mengharap itikad baik manajemen Garuda untuk--mengutip kata-kata Bung Karno--jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah), sebelum orang Aceh marah dan geram padanya. Turunlah, menunduklah, rendah hatilah pada “kakakmu” Seulawah, pada jasa orang Aceh, yang “melahirkanmu”.</div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
Hari ini, sambil mendengar bisingan pesawat Garuda di langit Aceh, anak cucu kita, siswa dan mahasiswa yang membaca sejarah, atau melihat replikanya di Blang Padang Indonesian Airways, mungkin bertanya kembali;</div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div style="margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
Setelah Seulawah Aceh milik Pemda “jatuh”; di tengah penjualan saham milik Garuda ke pihak asing--tanpa deviden (pembagian hak) apa pun buat Aceh; bagaimana lagi cara kita mengenang pesawat Seulawah, karena “kepak-kepak sayap” yang sudah patah, patah pate; kalau bukan meminta sambil menengadah ke atas pada “burung besi”; Garuda, turunlah!</div>
</div>
<div style="font-family: tahoma;">
<br />
<br /><br /><b><i>Sumber Kutipan :</i></b> <a href="http://www.atjehcyber.net/2011/05/wahai-garuda-turunlah-rendah-hatilah.html"><i>http://www.atjehcyber.net/2011/05/wahai-garuda-turunlah-rendah-hatilah.html</i></a></div>
<div style="font-family: tahoma; font-weight: bold; margin: 0px; padding: 0px; text-align: start;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div style="font-family: tahoma; font-weight: bold; margin: 0px; padding: 0px; text-align: right;">
<br /></div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-14144304562467372662012-09-02T12:14:00.002-07:002012-09-29T21:37:36.362-07:00Surat Kerajaan Aceh Akui Kedaulatan Belanda<br />
<span class=""></span><br />
<span class=""></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="324" src="http://a1.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash3/582668_253819814738737_411760343_n.jpg" width="640" /></span></div>
<i><span style="font-size: x-small;"> Abdul Hamid, diutus oleh Sultan Alauddin Al Mukamil, Diplomat Pertama Asia Asal Aceh Meninggal di Belanda</span></i><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
<b>SATU </b>lagi
sejarah hubungan Aceh dengan Belanda yang harus tetap diingat, di
samping catatan lain yang menyebutkan bahwa Belanda itu gemilang karena
Aceh mulanya. Belanda sengaja mencari celah berdagang ke Aceh, karena
mereka paham benar hasil alam Aceh yang melimpah-ruah. Atas kesadaran
itulah, Belanda mengadakan kerja sama dengan Aceh.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
Belanda juga pernah membuat pengakuan bahwa;<br />
<br />
<blockquote>
<i>“Meski ditanam bom pada setiap helai daun rumput di tanah Aceh, niscaya Aceh tetap takkan habis.” </i></blockquote>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kekaguman Belanda ini tertera dalam karangan H.C. Zentgraaf, jurnalis Belanda yang banyak menulis tentang Aceh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tanggal
1 September, merupakan hari penting bagi Aceh-Belanda. Hari dengan
tanggal yang sama dengan hari ini, tepatnya 1 September 1602 silam,
Laksamana Sri Muhammad dan Mir Hasan dari Kerjaan Aceh memberikan surat
dan dokumen kerja sama Aceh-Belanda kepada Pangeran Mauritz. Pangeran
Mauritz adalah pemegang tampuk kekuasaan Belanda pada Dinasti Orange.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kerja
sama tersebut disambut baik oleh Belanda, karena Mauritz yakin
dilomasi dan kerja sama dengan Aceh akan dapat mengimbangi dominasi
Portugis di Belanda. Sebelumnya, Belanda terjepit oleh penguasaan
dagang Portugis dan Spanyol yang mampu mengontrol jalur laut mulai
Giblaltar, Samudera Atlantik, hingga Samudera Hindia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kerja
sama Aceh dan Belanda itu juga atas permintaan negeri Kincir Angin
tersebut. Pangeran Mauritz sengaja mengirimkan utusan ke Aceh, yang
tiba pada 25 Agustus 1601. Utusan tersebut membawa surat permohonan
kerja sama Belanda untuk Aceh. Surat tersebut ditandatangani langsung
oleh Pangeran Mauritz di Den Haag, tertanggal 11 Desember 1600.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam
surat bujukan kerja sama itu, Belanda mencoba “merayu” Aceh dengan
mengatakan bahwa Portugis telah menjajah Aceh dan Belanda siap bekerja
sama dengan Aceh. Tanpa berburuk sangka, Aceh lantas mengirimkan utusan
ke Belanda, di bawah pimpinan Abdul Hamid, yang kemudian meninggal di
Belanda.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karena meninggalnya pimpinan utusan Kerajaan
Aceh itu, Laksamana Sri Muhammad turun tangan langsung menyerahkan
berkas dan dokumen sebagai bukti kerja sama Aceh-Belanda. Dengan surat
kerja sama ini pula, Aceh secara de facto dan de jure mengakui
kemerdekaan Belanda di bawah pimpinan Pangeran Mauritz dari Dinasti
Orange van Nassau.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari catatan sejarah ini dapat
dipastikan Kerajaan Aceh adalah yang pertama dari seluruh negara di
dunia mengakui Belanda sebagai sebuah negara, yang memiliki wilayah dan
kekuasaan. Sebelumnya, Belanda merupakan jajahan Spanyol.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pengakuan
ini pula awal kerja sama Aceh dengan Belanda. Namun, dalam perjalanan
sejarah, Belanda mengkianati perjanjian diplomatik tersebut dengan
mengeluarkan maklumat “PERANG” terhadap Aceh pada 26 Maret 1873.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sejarah pula yang membuktikan bahwa Aceh tidak pernah takut dan takluk oleh <i>kaphe Beulanda</i> (Kafir
Belanda). Negara kincir angin itu akhirnya meninggalkan Aceh setelah
membuat pengakuan bahwa Aceh adalah negara yang berdaulat. Artinya, Aceh
terlebih dulu berdaulat ketimbang Belanda.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<i><b>Sumber Kutipan :</b> http://www.atjehcyber.net/2012/09/surat-kerajaan-aceh-akui-kedaulatan.html</i>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-36828787573866877732012-08-25T20:00:00.003-07:002012-08-25T20:02:08.870-07:00Kisah Kasih Aceh untuk Republik<div style="text-align: center;">
<img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUQ4STeNKne5wug_R3ahWbuG1RnBJ0uJ04FpuaYdeL47ZYUi8Ubz_6M259fTJ1Cm1lpED5Ez16H-7LqrchYkElTC2LJ8zirOk_KfC5mpRwEdYfS4pefUhPSYxA77OvOh1ig-gHphdOZ0c/s1600/image024.jpg" /></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Tanggal </b>17 Agustus 1945
Indonesia di proklamirkan kemerdekaannya oleh Soekarno - Hatta.
Pernyataan kemerdekaan itu tidak langsung diterima baik oleh semua
pihak, terutama pihak Belanda yang dengan gigih berusaha untuk kembali
menguasai seluruh kepulauan Indonesia. Pertentangan pihak Belanda dengan
Indonesia sampai menjelang tahun 1950. mereka menjalankan politik adu
domba dan pecah belah diantara rakyat Indonesia dengan maksud dapat
menduduki kembali seluruh kepulauan Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam upaya menjajah Indonesia
kembali, Belanda menyiarkan berita-berita melalui surat kabar dan radio,
bahwa kedatangan mereka ke Indonesia bukan untuk berperang dan
menjajah, tetapi menjaga keamanan yang diakibatkan oleh perang Dunia II.
Selain melalui siaran propaganda, pihak Belanda juga melakukan dua kali
agresi bersenjata terhadap Indonesia, yaitu agresi pertama tahun 1947
dan kedua tahun 1948. Akibat serangan itu dalam waktu relatif singkat
hampir seluruh wilayah Indonesia dapat mereka duduki kembali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Daerah yang belum mereka kuasai
satu-satunya adalah Aceh, sehingga Republik Indonesia yang berusia muda
itu masih mempunyai modal yang sangat kuat untuk mempertahankan
kedaulatan kemerdekaannya. Belanda berkali-kali berusaha menghancurkan
perlawanan rakyat Indonesia di daerah Aceh dengan pendaratan pasukannya
yang selalu dapat digagalkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pasukan marinir Belanda juga
selalu berusaha melakukan percobaan pendaratan pada tempat-tempat
strategis dan pelabuhan-pelabuhan sepanjang pantai Aceh, seperti Ulee
Lheue, Ujong Batee, Krueng Raya, Sigli, Ulee Kareueng,Lhoksumawe,
Langsa, Meulaboh, Tapak Tuan dan lain-lain. Armada-armada perang Belanda
yang sering beroperasi pada waktu itu, antara lain Jan Van Bukker, Ban
Jan Van Gallaen.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Oleh karena kuatnya pertahanan
pantai yang dilengkapi dengan meriam-meriam pantai hasil rampasan dari
tentara Jepang serta dilandasi pula oleh semangat rakyat yang bergelora,
maka wilayah Aceh terus dapat dipertahankan kemerdekaannya dengan
selalu mengagalkan rencana pendaratan Belanda. Untuk mengetahui situasi
di darat, Belanda sering menangkap para nelayan dengan menyeret mereka
ke kapal. Rencana Belanda untuk menduduki daerah Aceh tidak pernah
terlaksana sampai saat mereka mengakui kemerdekaan Indonesia pada akhir
tahun 1949.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Setia meski selalu di khianati</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan di Aceh pasukan angkatan perangAceh tidak hanya berjuang di
Aceh saja akan tetapi juga terus-menerus dikirim ke Medan atau pun ke
tempat-tempat lain di Sumatera Timur (sekarang: Sumatera Utara). Di sana
pasukan Aceh berjuang di Medan Area dan berbagai medan pertumpuran yang
hendak dicaplok musuh. Menghadapi tentara Belanda yang bersenjata
mutakhir, panglima tentara RI Mayor Jenderal R. Suharjo Harjowardoyo
menumpahkan harapan besar kepada pasukan Aceh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYGjhV8uxNx01SZDQ_7OBeELAPiatM7UJaDGVxooTya75N8NXGDSI_A_bYL56W17CZ9Y0NKPWU6zUhu8Pb6uoDgn53_OfcLj8aDkD0Xu2Pf9bR6qcDGryNtXO1XzXnQZLYGac6-2vqKZF9/s1600/TKR-moberangkat.jpg" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="241" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYGjhV8uxNx01SZDQ_7OBeELAPiatM7UJaDGVxooTya75N8NXGDSI_A_bYL56W17CZ9Y0NKPWU6zUhu8Pb6uoDgn53_OfcLj8aDkD0Xu2Pf9bR6qcDGryNtXO1XzXnQZLYGac6-2vqKZF9/s320/TKR-moberangkat.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Pertempuran medan Area</td></tr>
</tbody></table>
Dalam sebuah telegramnya, panglima meminta kepada
pemimpin rakyat Acehsupaya menyediakan terus kekuatan dari Aceh ke
Medan. Pengembalian kota Medan terletak di tangan saudara-saudara
segenap penduduk Aceh. Akibat agresi pertama Belanda ini menyebabkan
negara republik Indonesia dihadapkan kepada suatu tantangan besar.<br />
<br />
Dalam situasi yang krisis itu wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkat
Tgk. Muhammad Daud Breu-eh menjadi gubernur militer untuk daerah Aceh,
Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat Jenderal Mayor. Akibat agresi
Belanda pertama banyak pasukan dan rakyat Sumatera Timur mengungsi ke
Aceh yang masih aman dari tekanan pihak Belanda.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada masa Tgk. Muhammad Daud
Beureu-eh menjadi Gubernur Militer Daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo;
terjadilah agresi Belanda kedua. Pada hari pertama agresi tersebut
tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta dapat di
duduki oleh Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Prsiden Muhammad Hatta
beserta beberapa menteri dan beberapa tokoh lainnya dapat ditawan oleh
Belanda. Tanggal 19 Desember 1948 pemerintah memberikan kuasa kepada Mr.
Syarifuddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukit Tinggi untuk
membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang lebih dikenal
dengan PDRI, sedangkan di Jawa dibentuk Komisariat Pemerintahan yang
terdiri dari Mr. Sukiman. Mr. Susanto Tirtiprodjo.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan agresi Belanda yang kedua
dapat dilakatakan, bahwa hampir seluruh wilayah di Sumatera telah
berada di bawah kekuasaan Belanda. Satu-satunya daerah yang masih utuh
belum dimasuki Belanda adalah Daerah Aceh. Untuk menghadapi kekuatan
Belanda di Sumatera Timur(Sumatera Utara) dan didasarkan kepada
pertimbangan, bahwa lebih baik pasukan Aceh menyerang Belanda dari pada
bertahan di Aceh, Laskar berjumlah 60 orang yang diperbantukan pada
batalion TRI Devisi juga dikirimkan ke kesatuan laskar Aceh dari Devisi
Tgk. Chik Di Tiro, Divisi Direncong, Devisi Tgk. Chik Paya Bakong dan
Tentara Pelajar.<br />
<br />
Oleh karena semakin hari semakin banyak yang datang ke Medan Area, maka
terpaksa dibentuk suatu badan koordinasi yang disebut dengan RIMA
(Resimen Istimewa Medan Area) yang terdiri dari 4 batalion yaitu
batalion Wiji Alfisah, batalion Altileri Devisi Rencong, Devisi Tgk.
Chik Di Tiro, dan Devisi Tgk. Chik Paya Bakong.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tugas pertama dari pasukan
tersebut adalah untuk merebut kembali daerah yang diduduki Belanda.
Namun hal ini kurang berhasil karena kurang terkoordinirnya pasukan
bersenjata Republik Indonesia, bahkan sering terjadi pasukan komando itu
tidak dapat menjalin kerjasama, sehingga tidak dapat menggerakkan suatu
serangan yang serentak terhadap Belanda. Walaupun tugas utamanya tidak
berhasil, namun untuk menghalau gerak maju pasukan Belanda ke Aceh cukup
berhasil. Ini dapat dilihat karena tidak ada satu daerah pun di Aceh
dapat di duduki kembali oleh Belanda.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Sumbangan Rakyat Aceh</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Daerah Aceh merupakan daerah
yang tidak pernah dikuasai oleh musuh dan merupakan modal utama Republik
Indonesia dalam perjuangan kemerdekaannya. Pernyataan ini didukung
kenyataan, bahwa satu-satunya daerah dalam wilayah Republik Indonesia
pada waktu itu yang tidak pernah diduduki oleh Belanda adalah daerah
Aceh. Hal ini pulalah yang dijadikan modal utama utusan Indonesia dalam
Konferensi Meja Bundar (KBM) di Den Haag itu, bahwa Republik Indonesia
masih memiliki wilayah bebas penguasaan Belanda.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjypGrMT7q-2SKCreeynjfWl9s31oUEJWQ8BT3nEZYPBm9y9-YkUjn9GGN9PFKFB-903XwWKb8_TX3dr9VQTCKAOqoJppNwj0hYJX8V353qBITZt7sYDSbeiwuDz_zvh1oauZg66Gox5xo/s1600/Seulawah.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjypGrMT7q-2SKCreeynjfWl9s31oUEJWQ8BT3nEZYPBm9y9-YkUjn9GGN9PFKFB-903XwWKb8_TX3dr9VQTCKAOqoJppNwj0hYJX8V353qBITZt7sYDSbeiwuDz_zvh1oauZg66Gox5xo/s320/Seulawah.jpg" style="text-align: center;" /></a></div>
Selain
itu ucapan Presiden diatas berhubungan dengan berbagai sumbangan yang
telah diberikan rakyat Aceh kepada perjuangan bangsa Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaannya, seperti sumbangan sebuah pesawat.<br />
<br />
Mengenai antusias rakyat Aceh dalam membantu pembelian pesawat udara ini
di ceritakan oleh beberapa informan, bahwa rakyat begitu rela pintu
rumah mereka digedor di waktu malam hari untuk menyumbangi sebagian dari
emas atau barang lainnya demi untuk negara. Pesawat yang dibeli dengan
sumbangan rakyat Aceh ini diberi nama “Seulawah” yaitu nama sebuah
gunung yang terdapat di perbatasan Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, dan
pesawat ini diberi nimor RI-001.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahwa uang yang disumbangkan
rakyat Aceh untuk membeli pesawat udara jenisDakota tersebut cukup untuk
dua pesawat. Namun sebuah diantaranya masih merupakan teka-teki, karena
menurut kenyataan yang ada hanya sebuah pesawat (RI-001). Menurut A.
Hasjmy, bahwa penyelewengan ini dilakukan di Singapura, tetapi pelakunya
belum diketahui. Namun sebuah sumber lain menyebutkan bahwa pesawat
yang satu lagi telah dihadiahkan kepada pemerintah Birma, sebagai tanda
terima kasih atas semua fasilitas yang diberikan perwakilan Garuda
beroperasi di Birma.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada mulanya pesawat ini
merupakan jajaran dalam angkatan udara Republik Indonesia dan rute luar
negeri, yaitu Birma dan Calkutta. Sedangkan fungsinya didalam negeri
selain dapat menjembatani pulau Sumatera dan Jawa; juga untuk menerobos
blokade Belanda menerbangkan tokoh-tokoh politik bangsa Indonesia.
Kemudian pada tanggal 26 Januari 1949 RI-001 menjadi pesawat komersil
yang dicarter oleh Indonesia Airways, yang kemudian dikenal denganGaruda
Indonesia Airways. Adapun menagernya yang pertama adalah Wiweko Supeno.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selain telah menyumbang pesawat
udara untuk kepentingan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaannya, rakyat Aceh juga menyumbang kepada pemerintah Republik
Indonesia berupa senjata,makanan, pakaian dan lain-lain untuk membantu
perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Timur.
Pada tahun 1948 rakyat Aceh telah mengirimkan ke daerah Medan Area
sebanyak 72 ekor kerbau.[20]</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Peranan Radio Rimba Raya</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Salah satu modal perjuangan
Bangsa Indonesia pada masa perang kemerdekaan adalah alat komunikasi,
yaitu Radio Rimba Raya. Sejak masa awal perang kemerdekaan 1946 daerah
Aceh telah memiliki sebuah pemancar radio yang ditempatkan di Kutaraja.
Dan dalam perkembangan selanjutnya dalam tahun1947 ditambah sebuah
pemancar lagi yang ditempatkan di Aceh Tengah dan dikenal dengan nama
Radio Rimba Raya.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/hs1143.snc4/148521_134704829916910_127876370599756_169293_288596_n.jpg" style="clear: right; display: inline !important; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em; text-align: center;"><img border="0" height="240" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/hs1143.snc4/148521_134704829916910_127876370599756_169293_288596_n.jpg" width="320" /></a></div>
Kedua
pemancar ini telah memegang peranan cukup besar pada masa perang
kemerdekaan, sehingga sarana ini dapat dikatakan Modal Perjuangan Bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mengenai Radio Republik
Indonisia Kutaraja, pertama kali mengumandang di udara pada tanggal 11
Mei 1947 dengan kekuatan 25 watt melalui gelombang 68 meter. Jangkauan
siarannya hanya sekitar Kutaraja, namun dalam perkembangannya tahun 1947
radio ini berhasil di kembangkan menjadi 100 watt, yang jangkauan
siarannya sampai ke kota Medan dan Bukti Tinggi. Selanjutnya pada bulan
April 1948 radio ini di kembangkan lagi hingga menjadi 325 watt dan
mengudara melalui gelombang 33,5 meter dan penyiarannya sudah dapat di
tangkap di luar negeri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bersidang membicarakan masalah
pertikaian antara Republik Indonesia dengan Belanda, Radio Republik
Indonesia Kuta Raja ini berulang-ulang mengadakan siaran dengan
menyiarkan hasrat/keinginan dan tekad bangsa Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mengenai Radio Rimba Raya
berbeda dengan Radio Republik Indonesia Kutaraja. Pemancar Radio Rimba
Raya ini mempunyai kekuatan cukup besar yaitu 1 kilowatt yang dikelola
oleh Devisi X TNI yang dipimpin Mayor John Lie.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pemancar ini pertama sekali
dipasang di Krueng Simpo sekitar 20 km dari kota Bireuen, kemudian atas
perintah Gubernur Militer radio ini dipindahkan ke Cot Gu (Kutaraja).
Lalu dipindahkan lagi ke Aceh Tengah karena para pemimpin memperkirakan,
bahwa pada gilirannya Belanda akan menyerbu ke Aceh. Radio ini di
tempatkan di sebuah gunung yang dikenal dengan Burmi Bius yang letaknya
10 km dibagian barat kota Takengon.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam waktu singkat sesuai
dengan suasana yang mencekam dan kebutuhan mendesak, pemancar Radio
Rimba Raya selesai di bangun yang dikerjakan oleh W. Schultz seorang
warga negara RI keturunan Indonesia-Jerman bersama rekannya. Maka
semenjak itulah ketika pemancar-pemancar utama di berbagai kota tidak
mengudara lagi; karena dikuasai Belanda, maka Radio Rimba Rayamengisi
kekosongan ini dengan hasil yang baik sekali.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Ketika radio Batavia dan Radio
Hilversum memberitakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi,
karena setelah Yogyakarta dapat direbut disusul pula dengan jatuhnya
daerah-daerah kekuasaan Republik Indenesia lainnya,Radio Rimba Raya
membantah dengan tegas, yang menandaskan; </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<blockquote class="tr_bq">
<i>“Bahwa Republik Indonesia masih ada,
Tentara Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik Indonesia
masih ada, dan wilayah Republik Indonesia masih ada. Dan disini, adalah
Aceh...” </i></blockquote>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian siaran radio
tersebut, Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah
itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu
dan Arab. Berita ini dikutip oleh All India Radio; kemudian menyiarkan
lagi, sehingga dunia pun mengetahui kebohongan Belanda.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Tidaklah berlebihan bila dikatakan
bahwa “Aceh adalah nafas terakhir Indonesia”. Dan kita tidak berani
mengatakan bahwa kalau tidak ada Aceh saat itu mungkin “Indonesia telah
tamat riwayatnya”.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<img src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash2/hs597.ash2/154974_134706573250069_127876370599756_169296_7847965_n.jpg" /></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aceh pula pemompa darah dan
mendenyutkan semangat jihad perang kemerdekaan dengan segala
sumbangsihnya hingga negeri ini tetap berdiri tegak sampai saat ini.
Aceh pula modal utama perjuangan kemerdekaan Republik ini, yang tidak
pernah dikuasai oleh musuh dan masih utuh sepenuhnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aceh juga daerah yang selalu
menyumbang atau selalu memberi segala bantuan yang di butuhkan Republik
Indonesia tanpa pamrih; baik berupa senjata, makanan, dan pakaian untuk
membantu perjuangan di daerah lain dalam menegakkan kemerdekaan. Unsur
Islam yakni semangat jihad fisabilillah atau Perang di “Jalan
Allah” sangat berperan dalam perang kemerdekaan Indonesia di Aceh. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hikayat <i>Prang Sabi</i>
(Perang Sabil) yang mendorong rakyat Aceh melawan Belanda pada zaman
penjajahan, juga kembali bergema pada era perang kemerdekaan Indonesia.
Pertanyaannya, atas segala bentuk sumbangsih kebaikan Rakyat Aceh untuk
Republik ini, Pantaskan rakyat Aceh selama ini menderita...? <i>Wallahu'alambishawab</i>....<br /><br /><i><b>Sumber Kutipan : </b>http://www.atjehcyber.net/2012/07/kisah-kasih-aceh-untuk-republik.html</i></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-86168196191108111932012-07-07T07:37:00.000-07:002012-07-07T07:42:53.995-07:00Hasan Tiro “Ganteng” Karena Sejarahnya<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="545" src="http://a1.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/293104_465846346760013_962510554_n.jpg" width="640" /></span></div>
<br />
<br />
<i>Oleh <b>Mariska Lubis</b> (*</i><br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tepat
seperti yang sudah saya duga, almarhum Hasan Tiro yang luar biasa
gantengnya itu, pasti menjadi ganteng karena sejarah dan menulis. Tidak
mungkin beliau dapat menjadi seorang Aceh sejati, sangat mencintai
Aceh, dan setia pada perjuangannya untuk Aceh bila beliau tidak
mengenal Aceh dengan baik lewat sejarah yang dipelajarinya. Tidak
mungkin juga beliau dapat bertahan sekian lama dan memiliki pemikiran
yang sangat jenius dan luar biasa, bila beliau tidak selalu mengasah
pikirannya lewat menulis.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Senang sekali hati ini mendapat
kesempatan bertemu dengan Bapak Dr. Zaini Abdullah untuk mendengarkan
banyak kisah dan cerita serta pelajaran berharga. Saya dan Gen-K
ingin bertemu dengan beliau, selain untuk silaturahmi, juga sekaligus
ingin mendengarkan langsung dari seorang pejuang Aceh yang sangat
dihormati, tentang apa dan siapa Aceh, GAM, dan Hasan Tiro. Tentunya
tidak sembarang orang mampu untuk menjawabnya dengan benar karena
terlalu banyak pembenaran di luar sana sehingga sulit membedakan mana
yang sebenarnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya sangat menyesal sekali karena tak
dapat berbahasa Aceh padahal, Dr. Zaini sangat dengan bahasa Aceh.
Saya yakin, meski tak mengerti bahasa Aceh, namun dari caranya
bertutur dalam bahasa Indonesia, bahasa Aceh yang digunakannya berkelas
diplomat. Tidak pernah sekalipun beliau tidak mampu memberikan jawaban
dan selalu positif. Selalu mampu menempatkan dirinya dengan baik,
menggunakan intonasi yang lembut, dan kata-kata yang digunakan pun
ditata dengan sebaik mungkin. Bagi saya, itu saja sudah menunjukkan
"kelasnya" tersendiri.</div>
<br />
<span class="photo_right" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="155" src="http://photos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-prn1/548163_465846463426668_1149553900_a.jpg" width="320" /></span><br />
<div style="text-align: justify;">
Meskipun
banyak yang menilai bahwa para pejuang Aceh yang sekarang berada di
Partai Aceh sangatlah tertutup, namun bagi saya itu menjadi sebuah
kelebihan tersendiri. Ekslusifitas kaum elite memang seharusnya tidak
sembarangan bicara. Segala sesuatunya harus sesuai dengan posisi, waktu,
dan tempatnya. Jika obral sana obral sini, meskipun tampaknya lebih
dekat dengan masyarakat, namun kecenderungannya lebih kepada eksistensi
dan pengakuan, bahkan pembodohan. Toh, mereka yang benar tak perlu
harus menjdi difensif dan ofensif dengan membuat pembenaran-pembenaran
agar dipercaya dan diakui.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Mereka yang
menjunjung tinggi kebenaran dan yakin pada kebenaran pasti akan membela
mereka yang benar. Lain lagi kalau urusan "peng", itu, sih tergantung
ke mana angin membawa banyak uang untuk kantong pribadi. Olah-olah
kecil, sedang, dan besar untuk urusan seperti ini, biasa terjadi.
Maklum, banyak yang merasa dan mengaku ekslusif dan elite namun
sesungguhnya tak ada apa-apanya, sehingga nyaringlah bunyinya, ya?!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di
sisi lain, saya sangat menganjurkan agar ke depannya, Partai Aceh dan
para pejuang Aceh serta semua yang benar-benar Aceh sejati, hendaknya
lebih membuka diri untuk urusan arsip dan sejarah. Adalah hak dan
kewajiban bagi generasi muda Aceh untuk mengetahui yang
sebenar-benarnya tentang Aceh, para pahlawannya, dan para pejuangnya
dari semua bidang yang membuat Aceh berhasil dan berjaya. Sudah terlalu
lama semua ini ditutupi dan diputar balik, sehingga Aceh seperti
sudah tidak mengenal dirinya sendiri. Sudah terlalu banyak yang merasa
lebih bangga dengan menjadi yang lain, tidak memiliki rasa hormat dan
harga diri, sangat mudah goyah dan terus saling menjatuhkan karena
tidak memiliki jati diri yang kuat, dan bahkan sama sekali tidak
memiliki hati dan cinta untuk Aceh-nya sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="photo_left" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="320" src="http://photos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/380736_465846693426645_1713233593_a.jpg" width="292" /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
Banyak
alasan bisa dibuat untuk dijadikan alasan, apalagi bila terus
membandingkannya dengan bangsa dan negara lain, tetapi siapakah yang
telah membuat semua ini bisa terjadi? Bila pun memang terjadi pembodohan
dan pemutarbalikkan fakta dan sejarah, kenapa sampai ada orang Aceh
sendiri yang tega melakukannya?! Tidak mungkin nasional ataupun asing
mampu melakukannya bila tidak memiliki kaki tangan yang kuat di Aceh
sendiri. Untung saya bukan orang Aceh, saya bisa lebih keras dalam
bersikap terhadap para penghianat ini. Lebih baik hilang satu dan
sekelompok daripada lebih dari empat juta masyarakat Aceh menjadi
korban. Siapapun yang melakukannya, sama sekali tidak patut untuk
dihormati, perbuatannya pun sudah sangat tidak terhormat, kok! Jahat!!!</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Jika
tidak dilakukan pembenahan sesegera mungkin, maka sulit bagi Aceh
untuk dapat kembali berjaya. Sudah terlalu lama Aceh "hilang" dan kapan
lagi mau bangkit?! Masa yang lalu biarlah berlalu namun hendaknya
tidak pernah dilupakan begitu saja. Jadikan pelajaran berharga dan
fokuslah dengan masa yang akan datang. Prioritas tetap utama, kebenaran
adalah mutlak, dan idealisme haruslah dipegang teguh dan tanpa
kompromi. Perjuangan Hasan Tiro sendiri pun karena melawan dusta dan
kebohongan, kebenaranlah yang menjadi keyakinan dan pegangannya,
sehingga idealismenya pun tak akan pernah goyah sedikit pun. Begitulah
yang saya tangkap tentang perjuangan seorang Hasan Tiro dari yang
diceritakan oleh Dr. Zaini Abdullah. Keren banget, ya!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tentunya
semua disesuaikan dengan posisi, waktu, dan tempat serta keadaan
sekarang ini. Sekarang, kan, Aceh sudah damai, maka tentunya itu dulu
yang diutamakan. Perang terus juga tidak akan berbuah apa-apa selain
dendam, duka, dan derita. Sebuah bangsa yang dipenuhi dengan damai
adalah bangsa yang merdeka. Bahagia itupun akan senantiasa membuahkan
keindahan yang abadi.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Arsip, sejarah, dan menulis
tentang apa yang benar akan membantu mempercepat perbaikan keadaan.
Seperti yang disampaikan juga oleh Dr. Zaini, bahwa ketekunan Almarhum
Hasan Tiro di dalam mengumpulkan arsip serta dokumentasi sejarah Aceh,
dan kerja kerasnya di dalam berpikir dan menulis, membuat beliau
menjadi pribadi yang sangat hebat. Boleh saya katakan, pemikiran Hasan
Tiro adalah salah satu yang terbaik di Indonesia dan di dunia. Oleh
karena itulah, saya jatuh cinta pada beliau.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari
kesimpulan setelah mempelajari Aceh sejak tahun 1993, yang seringkali
saya uraikan dalam tulisan, saya berani mengatakan bahwa bukan
perjuangan fisik dan materilah yang telah memenangkan Aceh, namun
kehebatan pemikiran yang menghasilkan strategi dan juga hasil-hasil
karya ilmiah dari berbagai bidang. Mudah sekali untuk menghancurkan
fisik dan materi, tetapi hati dan pemikiran yang penuh dengan
keyakinan tidak akan pernah bisa dihancurkan begitu saja. Jadi, jangan
sombonglah mengaku hebat meski berkuasa dan memiliki jabatan serta
uang banyak, bila tidak mampu juga membuktikannya lewat pemikiran dan
sikap ke-Acehan yang sejatinya. Malulah pada Wali Nanggroe kalian,
wahai Aceh!!!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="photo_right" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="234" src="http://photos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/314857_465847206759927_117660113_a.jpg" width="320" /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
Bayangkan,
beliau dulu harus rela meninggalkan semua materi dan bahkan istri
serta anaknya hanya untuk memperjuangkan apa yang diyakini sebagai
sebuah kebenaran. Beliau juga terus berpikir lewat menulis meski dalam
kegelapan dan hanya menggunakan lampu minyak atau lilin hanya untuk
dapat terus membela Aceh. Beliau harus keluar masuk hutan dan makan ala
kadarnya karena kesetiaan dan dedikasinya terhadap Aceh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Masa
sekarang, saat teknologi sudah modern, laptop, internet, ipad, dan bb
di mana-mana, hanya sibuk dipakai untuk chat dan pacaran saja?!
Listrik meski sering mati tapi masih banyak penerangan yang lebih
canggih dari lampu minyak, kan?! Makan pun tidak sesulit di hutan,
sekolah dan belajar bisa di mana-mana, bahkan sudah sangat
tinggi-tinggi, tapi mana hasilnya?! Biarpun ada, apa sebanding dengan
pengorbanan yang dilakukan oleh Hasan Tiro?! Duh, saya sendiri harus
mengakui, saya malu betul!!!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sekali lagi, saya bukan
orang Aceh tapi saya ingin sekali melihat Aceh ini berjaya kembali.
Disadari tidak disadari, diakui tidak diakui, pengatuh Aceh pada
Indonesia sangat besar sekali. Aceh adalah contoh dari bagaimana
Indonesia secara umum. Apa yang terjadi di Aceh selalu saja merembet
ke daerah yang lainnya dengan disesuaikan pada kondisi masing-masing
tentunya. Sehingga, bila ada yang bertanya, apa kepentingan saya atas
Aceh ini?! Saya tidak memiliki kepentingan apapun selain saya ingin
melihat seluruh masyarakat Indonesia memiliki jati diri sepenuhnya dan
tiada lagi harus ada dusta yang membodohi. Biar bagaimanapun juga,
the truth is the truth and nothing but the truth.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika
memang ingin Aceh seganteng Hasan Tiro, maka belajarlah untuk
menghargai, menghormati, dan mempelajari sejarah dengan baik.
Menulislah karena tidak ada seorang pun di dunia ini yang memiliki
pemikiran hebat, yang tak mampu untuk menulis dengan baik dan benar
sepenuh hati dan jiwa untuk kemuliaan dan kehormatan semua sebagai
makhluk ciptaan Tuhan. Ingatlah selalu, fisik dan materi bukanlah yang
utama meski diperlukan bila memang ingin menjadi terhormat tetapi
hati dan jiwa yang penuh dengan cinta dan ketulusan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>*) <b>Penulis buku "Ayahku Inspirasiku", atjehpost.com</b></i></div>
<br />
<i><i><b>Sumber Kutipan : </b></i><span class="commentBody" data-jsid="text"><a href="http://www.atjehcyber.net/2012/04/hasan-tiro-ganteng-karena-sejarahnya.html" rel="nofollow nofollow" target="_blank">http://www.atjehcyber.net/<wbr></wbr><span class="word_break"></span>2012/04/<wbr></wbr><span class="word_break"></span>hasan-tiro-ganteng-karena-s<wbr></wbr><span class="word_break"></span>ejarahnya.html</a></span></i>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-84141342826861966992012-07-05T18:59:00.001-07:002012-07-07T07:44:47.984-07:00Sejarah Asal Mula GAM, Penyebab Gerakan GAM di Aceh<b> </b><span class=""><img alt="" class="photo_img img" src="http://a3.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/s720x720/250806_465058563505458_1595588617_n.jpg" /></span><br />
<br />
<b> Sejarah Asal Mula GAM (1)</b><br />
<b> Lahir karena Penindasan dan Pelecehan Tanah Adat</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Putus
sudah harapan damai di Aceh. Sejak kemarin, pemerintah mulai
memberlakukan darurat militer di Aceh. Enam bulan lamanya operasi bakal
dilakukan TNI. Militer diterjunkan untuk melumpuhkan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Mengapa dan bagaimana lahirnya ''si Anak Nakal'' di Aceh
itu?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b> </b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>BICARA GAM</b>,
mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik Indonesia. Sebab,
dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima hari
setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap
kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Di bawah Residen
Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan
janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak
terpisahkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada
23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan
sumpah. ''Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik
Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.'' Kecuali Mohammad
Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul
10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu
Chokan (kini, kantor gubernur). Tengku Nyak Arief gubernur di bumi
Serambi Mekah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi,
ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para
hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan
Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola
sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan.
Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh
ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El
Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini
dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang
1.500 orang selama setahun hingga 1946.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tahun
1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin
Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI),
Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh
ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Oleh
karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali,
muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur.
Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli,
Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi,
dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye
kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti,
Beureueh memobilisasi dana rakyat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setahun
kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000
dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu
diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran
pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan
RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada
pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan
untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI
di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan
para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama
kemerdekaan RI.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setahun
berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi
Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni
1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
syariat Islam tak juga dipenuhi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Intinya,
Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan
dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan
agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide
pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa
Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima
bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII
Kartosuwiryo.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari
sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene
Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk,
bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan
DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi
di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64
warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini
mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan
perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah
istimewa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b> </b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Dikhianati</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beureueh
merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur
kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan
bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada
ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke
Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti
Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji
akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun
2001).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
GAM
lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di
Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan
rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan
segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh.
Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai
orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin.
Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Melihat
hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian
bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan
agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan
pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan
penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai
tanpa senjata.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lalu
diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di
Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim
senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak
juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin,
Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi
berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977,
para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selama
empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin
tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu
ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat
setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan
rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto. <b>*</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b> Heru B. Arifin </b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah
didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia
internasional terus dibangun. Kekuatan bersenjata pun disusun. Berapa
anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya, dan
dananya?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
------------------------------</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
MASIH
ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei lalu. Hingga batas waktu
ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan sebagai tanda
awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah menghitung
kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui
perang gerilya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Secara tidak langsung, kabar ini
menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah
anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh. Filosofinya begini. Jika
rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan.
Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu.
Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat Aceh. Rakyat
yang lama ternista dan teraniaya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sambil berkelakar,
Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah
Syafei (alm) sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh telah disediakan
senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara
GAM dan segera pergi berperang melawan TNI.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sejatinya,
basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan
bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia.
Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan
dari markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM
dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah
wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani
(Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap
GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di
seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase
Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan
Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima wilayah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sejak
berdiri tahun 1977, GAM dengan cepat melakukan pendidikan militer bagi
anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih
di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi
mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di
seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah
satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam
latihan di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin
Laden.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya
terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat.
Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM
dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar
5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jalur
ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim
melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke
Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga,
yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur
penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi,
dan patroli TNI-AL.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di era Syafei hingga sekarang
dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri atas pasukan tempur,
intelijen, polisi, pasukan inong baleh (pasukan janda korban DOM) dan
karades (pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Wakil
Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim,
jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk
jumlah korban DOM 6.169 orang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber resmi Mabes TNI
cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan Machfud MD
menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di
Libia dan 115 dilatih di Filipina -- Moro. Persediaan senjatanya
terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar granat,
pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di antaranya AK-47,
M-16, FN, Colt, dan SS-1.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari mana persenjataan itu
diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara
disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia,
gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis
Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan
Afghanistan. GAM juga membuat pabrik senjata. Di antaranya, di Kreung
Sabe, Teunom -- Aceh Barat -- dan di Lhokseumawe dan Nisau-Aceh Utara
serta di Aceh Timur. Jenis senjata yang diproduksi seperti bom,
amunisi, senjata laras panjang dan pendek, pabrik senjata ini bisa
dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI,
pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata
disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Senjata-senjata GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pasar
gelap senjata ini dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus
kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah. Sebab,
faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah
pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah
penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kuitansi
Rp 3 milyar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kini,
senjata yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM
adalah senjata berat. Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata
itu harus memiliki mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab,
strategi perangnya yang hit and run. GAM bahkan mengaku memiliki
senjata yang lebih modern daripada TNI. Misalnya, senjata otomatis yang
dimiliki para karades. Senjata otomatis, berbentuk kecil mungil itu
bisa tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa
menyusup ke kota-kota dan menyergap anggota TNI/Polri yang teledor.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Membeli
senjata tentu dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak murah.
Lantas, dari mana mereka mendapatkan dana? GAM memiliki donatur tetap
dari pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya,
di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga
didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan
lokal dan multinasional di Aceh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai gambaran, tahun
2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal
bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi surat
berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang
ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mantan
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut Pupuk Iskandar
Muda pernah menyetor Rp 10 milyar ke GAM untuk biaya keamanan. GAM
kerap melakukan gangguan bila tidak mendapatkan sumbangan wajib
tersebut. Makanya, setiap bulan, GAM mendapat upeti dari para pengusaha
''sahabat GAM'' itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sistem komunikasi GAM juga sangat
canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan GAM sebagai benteng
pertahanan dan propaganda. Selain handytalky, GAM juga memiliki radio
tranking, radar dan telepon satelit. GAM juga memiliki penyadap
telepon. Acap kali gerakan TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan
ini. Penggerebekan sering kali gagal total.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sistem
organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive.
Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang
ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang
tidak berhubungan, tidak saling mengenal.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketua Umum
Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah
menuturkan, sejak zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah
menang. Tetapi, rakyat Aceh tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah
pula, gerakan rakyat Aceh menentang pusat tidak pernah menang. Tetapi,
TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
- - - - - - - - - - - - - - -</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
kalau
boleh jujur gw salute banget sama organisasi2 yang GAM pimpin...
sebegitu rapinya, hingga tidak dipungkiri TNI AL kewalahan dalam
menghadapi aksi mereka...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari kutipan diatas ada 1 hal
yang berhasil gw ambil dan bagi gw hal itu merupakan hal yang sangat
penting dalam kehidupan kita. "Jangan mengucapkan kata kata atau sebuah
janji, bila kita sendiri masih meragukan untuk menepati janji
tersebut..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<b><i>Sumber Kutipan :</i></b><i> http://putraaceh.multiply.com</i>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-3322271809276998992012-07-05T18:55:00.002-07:002012-07-07T08:29:21.654-07:00ACEH : Mengapa Dia Berontak, Mengapa Mereka Berontak<div class="mbl notesBlogText clearfix">
<div>
<b><i>Aceh : Mengapa Dia Berontak, Mengapa Mereka Berontak</i></b><br />
<br />
<span class="photo_right" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="204" src="http://photos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/394699_465048286839819_785765154_a.jpg" width="320" /></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
58
tahun negara ini berdiri: Aceh masih bergolak. Indonesia memang kenyang
dengan gerakan separatis, tapi mungkin tak cukup arif menarik
pelajaran dari pengalaman. Di Aceh, seorang ulama, tokoh masyarakat
karismatik, Teungku Daud Beureueh, mengangkat senjata melawan
pemerintah pusat pada 1953. Ironis sekali. Teungku Daud adalah orang
yang menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945 dengan sumpah
setia. Ia mencintai Indonesia merdeka: dihimpunnya dana masyarakat Aceh
untuk membiayai perjuangan militer dan diplomatik RI melawan tekanan
Belanda.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Lantas mengapa dia berontak? Operasi militer di
Aceh kini telah memasuki minggu ke-12. Ada banyak alasan untuk tetap
bergabung atau berpisah. Tapi dibutuhkan lebih banyak lagi alasan untuk
mengangkat senjata atau menggunakan senjata demi menciptakan damai.
Dan 17 Agustus adalah saat yang tepat untuk merenung: mengapa mereka
yang pernah jatuh cinta itu kemudian berontak.</div>
<br />
<b>Mengapa Aceh Berontak?</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Apa
yang disebut Indonesia? Pertanyaan ini layak kita renungkan di saat
merayakan hari ulang tahun kemerdekaan ke-58 republik yang kita sayangi
ini. Terutama setelah rasa penat mengikuti upacara—atau setelah balap
karung di RT—mulai hilang. Sebab, tak semua daerah merayakan acara 17
Agustus ini dengan tawa-ria tarik tambang ataupun berbagai perlombaan
lain yang diadakan untuk merangsang suasana gembira bersama. Di beberapa
daerah Aceh, misalnya, kegembiraan tak kelihatan sosoknya. Lupakan
soal pesta lomba, karena soal sepele seperti apakah sebaiknya memasang
bendera Merah Putih atau tidak saja bisa bermuara pada keselamatan jiwa
sang pemilik rumah. Simbol resmi negara Indonesia itu dimusuhi oleh
sejumlah warga yang ingin menjadikan Aceh sebagai negara merdeka,
terlepas dari RI.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perbedaan suasana yang mencolok di
provinsi paling barat itu sungguhlah ironis. Bagaimana tidak. Sejarah
telah mencatat betapa tingginya gairah rakyat Aceh ketika menyambut
kelahiran Republik Indonesia, sehingga secara spontan dinyatakan oleh
Bung Karno sebagai "daerah modal Republik", ketika Bapak Bangsa dan
Presiden Indonesia ini berkunjung untuk pertama kalinya, 1948. Namun,
tak sampai lima tahun kemudian, kekecewaan terhadap pemerintah pusat,
yang dirasakan tidak tanggap terhadap aspirasi daerah, mulai tumbuh.
Pemberontakan bersenjata pun meletus sejak 1953. Mula-mula karena janji
otonomi khusus tak kunjung ditepati dan, belakangan, karena pengerukan
hasil alam daerah oleh pusat menyinggung rasa keadilan penduduk Aceh
yang merasa nyaris tak mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi itu.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Terlepas
dari apa pun alasannya, kekurangtanggapan Jakarta terhadap kekecewaan
itu—yang malah sempat mengirim tentara untuk membungkam protes—telah
menuai konflik bersenjata yang membuat ribuan warga tewas, terluka, dan
jutaan lainnya menderita. Itu sebabnya perayaan proklamasi kemerdekaan
kali ini tak bisa hanya diisi dengan kegiatan bersenang-senang, tapi
juga perhatian pada saudara sebangsa di Aceh. Kita semua perlu
meluangkan waktu untuk memahami mengapa Aceh berontak, karena hanya
dengan pemahaman itu solusi yang tepat untuk menyelesaikannya dapat
diraih.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu bukan solusi penaklukan. Kita perlu belajar
dari pengalaman Indonesia masa lalu agar tak mengulangi kesalahannya.
Penaklukan Jawa oleh kekuatan luar Jawa, seperti pada masa kejayaan
Kerajaan Sriwijaya, terbukti jauh dari langgeng. Demikian pula
penaklukan luar Jawa oleh kekuatan Jawa, seperti di era Majapahit,
bermuara pada keruntuhan. Kita justru perlu belajar dari anak-anak muda
bangsa ini yang pada 28 Oktober 1928 bersepakat mendirikan Indonesia
atas dasar kesetaraan dan saling menguntungkan, yang melahirkan tekad
untuk membangun satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bila
kerangka pemikiran Sumpah Pemuda ini yang dijadikan patokan, jawaban
atas pertanyaan "mengapa Aceh berontak?" jadi mudah ditebak. Sebab, gaya
sentralistik pemerintahan Orde Baru, bahkan juga di paruh akhir
pemerintahan Orde Lama, pada dasarnya adalah Majapahit babak II. Karena
itu, sangat wajar jika sebagian penduduk Aceh melawannya dengan modus
Sriwijaya babak II pula. Mereka mungkin tak secara sadar melakukannya,
tapi simaklah mengapa baik Daud Beureueh ataupun Hasan Tiro menggunakan
masa kejayaan Sultan Iskandar II sebagai modal pembangkit semangat
gerakan separatisnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lantas, bagaimana menyelesaikan
kemelut separatisme yang dipicu oleh proses Majapahitisasi separuh abad
ini? Jawabnya adalah dengan kembali ke Indonesia dengan semangat
Sumpah Pemuda 1928. Kesepakatan untuk menjadi satu bangsa, satu nusa,
dan satu bahasa atas dasar kesetaraan dan kepentingan bersama dan bukan
oleh dominasi atau penaklukan yang kuat terhadap yang lemah. Mufakat
ini hanya dapat dibangun melalui rentetan dialog yang jujur, rasional,
dan melihat ke depan. Karena itu, perlu dibangun di atas kesepahaman
rekonsiliasi nasional yang menyeluruh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rekonsiliasi pada
dasarnya adalah saling memaafkan kesalahan masa lalu, tapi bukan
melupakannya. Ini berarti masing-masing pihak harus menyadari telah
melakukan kesalahan, mengakui secara terbuka, dan bertekad tak
mengulanginya. Setelah proses ini dilalui, langkah selanjutnya adalah
melakukan debat publik untuk menentukan Indonesia seperti apa yang
diinginkan. Soalnya, jatidiri sebuah bangsa tak dapat dicari dari masa
lampau, tapi justru harus terus-menerus dibangun. Mengutip apa yang
dikatakan pemikir sohor Ignas Kleden, "Indonesia bukanlah suatu Gabe,
sebuah karunia, melainkan sebuah Aufgabe, suatu tugas, yang mungkin akan
merupakan ein unvollendetes Projekt, sebuah proyek yang tak kunjung
selesai."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Cara penyelesaian seperti ini bukan orisinal,
bahkan telah terbukti kemujarabannya di berbagai negeri. Portugal
melakukannya untuk menyelesaikan pemberontakan bersenjata di Kepulauan
Azores dan Madeira setelah negara ini mengalami proses demokratisasi di
pertengahan 1970-an. Hal yang sama juga dilakukan negara kesatuan
Spanyol untuk menyelesaikan gerakan separatis provinsi seperti
Catalonia dan Basque setelah rezim diktator Jenderal Franco tumbang.
Maka, tak ada alasan untuk pesimistis bahwa keampuhannya tak akan
berlaku buat menyelesaikan pemberontakan Aceh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Memang bukan pekerjaan gampang, tapi bukan pula sebuah mission impossible.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Pejuang Kemerdekaan yang Berontak</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
TIDAK
pernah saya lupakan kemarahannya ketika saya katakan ada baiknya kalau
undangan Dr. Mansyur untuk menghadiri konferensi se-Sumatera diterima
saja. Ia memukul saya dengan tongkatnya sambil berkata: di mana akan
kamu dapatkan negara yang jelas-jelas mengatakan dirinya berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa?". Begitulah cerita seorang tokoh Partai
Persatuan Pembangunan Daerah Istimewa Aceh tentang sebuah episode yang
dialaminya dengan Teungku Daud Beureueh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kalau cerita
diteruskan, usaha Negara Sumatera Timur (NST) menggalang kekuatan
Sumatera menghadapi RI yang dipimpin Sukarno-Hatta, yang telah ditawan
Belanda (1949), pun gagal. Cerita anekdotal ini hanyalah salah satu dari
sekian banyak kisah tentang Teungku Daud Beureueh yang saya dapatkan
di Aceh di awal tahun 1980-an.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Golkar kalah di Aceh pada
pemilu tahun 1982. Entah kenapa saya disuruh meneliti soal ini.
Konon—jika "laporan pandangan mata" pimpinan yang menyuruh saya itu
bisa dipercaya—kekalahan itu menyebabkan Presiden mengajukan
pertanyaan: "Apakah Aceh anti-Pancasila?" Singkat cerita, saya pun
berangkat ke Aceh untuk mencari jawab atas pertanyaan yang agak aneh
ini (Emangnyé Golkar ajé yang Pancasilais?). Tetapi sudahlah.
Sebab-sebab kekalahan Golkar dengan mudah bisa diketahui. Saya pun
lebih asyik meneliti visi Aceh tentang dirinya dan tentang tempatnya
dalam sejarah dan masyarakat-bangsa. Selama dua minggu saya berkeliaran
di sepanjang pantai timur, membelok dua hari ke Takengon, sampai
akhirnya sampai di Medan. Jadi, praktis saya menjalani wilayah etnis
Aceh dan Gayo saja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Apakah yang tidak saya dapatkan dalam
seri diskusi dan wawancara yang nyaris non-stop ini? Sejarah,
folklore, mitos, kebanggaan sejarah, harapan, keluhan, ocehan, dan
entah apa lagi. Kisah Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam tertua,
perang kolonial di Aceh yang terlama dan termahal, Hamzah Fansuri,
Abdurrauf al-Singkili, dan sebagainya dengan lancar keluar dari mulut
para tokoh—dari birokrat dan ulama sampai pedagang, dari yang telah
mantan sampai yang masih sibuk menggapai karier. "Aceh daerah modal."
Kapal terbang Seulawah dan sebagainya adalah kebanggaan yang tak
terlupakan. Tetapi seketika berbagai kisah yang membanggakan itu
berakhir, helaan napas panjang pun tak selamanya bisa terelakkan. "Aceh
telah sangsai," kata seorang tokoh di Aceh Timur. Kalau telah begini,
kebanggaan daerah kembali dikemukakan, tetapi dengan nada yang menuntut
kewajaran dalam penghargaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kalau telah begini pula
berbagai cerita dari revolusi diulang-ulang dan pengalaman getir dari
"Peristiwa Daerah" 1950-an diingat-ingat. Dalam ingatan kolektif yang
disampaikan kepada saya itu, sering kali Tgk. Daud Beureueh tampil
sebagai tokoh yang paling dominan. Kadang-kadang timbul juga keraguan
dalam diri saya, "Apakah memang demikian halnya?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya
telah tahu bahwa persaingan ini terjadi, kata para pengecam Snouck
Hurgronje, adalah akibat kemampuan ilmuwan kolonial ini melihat celah
dalam sistem kepemimpinan Aceh. Ia berhasil menjadikan perbedaan peran
sosial sebagai landasan bagi persaingan ideologis. Seandainya para
pengecam ini benar, saya tentu bisa berkata bahwa, biarpun sebuah policy
bertolak dari landasan pengetahuan yang salah, jika dijalankan dengan
konsisten akhirnya akan menciptakan realitasnya sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya
juga telah tahu bahwa sejarah masa revolusi nasional di Aceh tidak
hanya menghamparkan kisah tentang pengorbanan bagi negara yang baru
diproklamasikan, tetapi juga tentang konflik berdarah golongan
uleebalang, dengan para pengikut ulama, yang bergabung dalam Persatuan
Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Bahkan, jika saja bacaan saya tidak
mengkhianati saya, "Peristiwa Daerah" di tahun 1950-an tidak pula
terbebas dari persaingan kedua corak kepemimpinan Aceh itu. Hanya, dalam
wawancara saya, kisah tentang konflik internal ini disebut sepintas
lalu saja, sebelum kisah beralih kembali pada masalah penghadapan Aceh
dengan kekuatan luar—entah Belanda, entah pemerintah pusat. Kalau telah
begini, nama Tgk. Daud Beureueh pun diulang-ulang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan
mudah saya mendapatkan verifikasi yang sahih tentang cerita bahwa
keterlibatan Aceh dalam revolusi nasional semakin intensif setelah Daud
Beureueh dan tiga kawannya sesama ulama mengeluarkan maklumat dukungan
pada Republik Indonesia, di bulan Oktober 1945. Maklumat itu juga
ditandatangani oleh T. Nyak Arief, Residen Aceh, dan Tuanku Mahmud,
Ketua Komite Nasional. Sepintas lalu keikutsertaan Residen dan Ketua
Komite Nasional Indonesia hal yang biasa saja. Tetapi, besar dugaan
saya, di masa awal revolusi—sebelum arus bawah dari konflik internal
tampil ke permukaan— keikutsertaan mereka secara simbolis ingin
mengatakan keutuhan kepemimpinan Aceh. Ulama, uleebalang, dan
aristokrat kerajaan bersatu dalam memberikan dukungan kepada RI. Hanya,
"Peristiwa Cumbok" dan kemudian gerakan pemuda PUSA, yang mengadakan
"revolusi sosial" terhadap apa yang mereka sebut "feodalisme",
memorak-porandakan "bulan madu" yang singkat ini. Maka, seperti halnya
"perang Aceh", para ulama pun semakin memantapkan diri sebagai "perumus
realitas" Aceh. Dan kedudukan sentral Daud Beureueh semakin kukuh
juga. Konon ketika inilah Bung Karno datang ke Aceh dan ketika ini
pulalah ia berjanji kepada sang ulama—yang menurut kisahnya
dipanggilnya "kakak"—bahwa ia akan ikut memperjuangkan agar hukum
syariah bisa dijalankan di Aceh. Entah sejarah, entah folklore. Yang
jelas, kisah ini selalu diulang dan ditulis. Karena dianggap sebagai
kebenaran yang sahih, mestikah diherankan kalau kejujuran Bung Karno
disangsikan?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Revolusi adalah kisah yang membangkitkan
rasa bangga bagi Aceh. Bukan saja daerah mereka terbebas dari
pendudukan Belanda dan sebagainya, tetapi juga ketika itulah Aceh
merasakan nikmat dan tantangan sebagai provinsi yang otonom. Tgk. Daud
Beureueh adalah gubernur militer, yang didukung oleh mata rantai
kepemimpinan lokal yang kuat. Kedudukan ini semakin diperkuat ketika
"Yogya telah kembali" dan Sjafruddin Prawiranegara menjadi wakil
perdana menteri yang berkedudukan di Kutaraja/Banda Aceh. Tetapi,
ketika kedaulatan negara telah didapatkan dan Republik Indonesia
Serikat (RIS) telah berdiri, Aceh dijadikan sebagai bagian dari
Sumatera Utara. Ketika RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdiri, keputusan diperkuat. Memang benar pemerintah pusat menghadapi
berbagai corak situasi yang dilematis—sebagai akibat pilihan yang tak
mudah antara keharusan rasionalisasi administrasi pemerintahan dan
keberlanjutan aspirasi revolusioner—tetapi bagi masyarakat Aceh
pembubaran provinsi dirasakan sebagai pengkhianatan dan penghinaan.
Maka, lagi-lagi saya diingatkan pada berbagai insiden kerdil yang
dilakukan aparat pemerintah terhadap Tgk. Daud Beureueh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika
para tokoh pemerintah pusat masih bersedia menyibukkan diri untuk
mendengar keinginan masyarakat Aceh dan menyabarkan kemarahan yang telah
telanjur dicetuskan, situasi dialogis masih bisa dipertahankan.
Tetapi, ketika kabinet telah berganti dan pemerintah pusat hanya
melihat masalah Aceh sebagai pantulan dari persaingan internal antara
para pemimpin Aceh, hal yang mestinya telah diduga itu pun terjadi.
Tgk. Daud Beureueh "ke hutan" di hari Pekan Olahraga Nasional III di
Medan, 21 September 1953, secara resmi dimulai. Ironis juga ia
memisahkan diri ketika persatuan bangsa secara simbolis ingin
diwujudkan dalam pekan olahraga. Tetap, bukankah ironis juga kalau sang
pendekar kemerdekaan dengan begitu saja disingkirkan dengan dalih
ketertiban pemerintahan?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam masa "di hutan" itu ia,
seperti juga halnya Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, bergabung dengan
NII/Darul Islam, yang berpusat di Jawa Barat. Kemudian ia mendekatkan
diri dengan Republik Persatuan Indonesia/PRRI. Dengan kata lain, sang
ulama-politikus ini hanya menginginkan Aceh sebagai bagian dari
alternatif NKRI—negara Islam atau/dan negara federal, tetapi bukan
negara yang terpisah. Ia berontak, tetapi ia bukankah seorang
separatis. Sembilan tahun kemudian ia turun ke bawah, kalah, tetapi
diterima dengan segala kehormatan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Peristiwa Daerah"
telah berakhir. Aceh pun menjadi daerah istimewa, yang dibolehkan
menjalankan hukum syariah. Tetapi pertanyaan yang sering dilontarkan
kepada saya: dalam hal apa Aceh diistimewakan? Atau pertanyaan ini:
jika saja 10 persen dari hasil Aceh dikembalikan kepada kami, rakyat
Aceh sudah puas dan berterima kasih? Seorang pedagang di Lhok Seumawe
berkata, "Di manakah keadilan mau dicari kalau semeter tanah dihargai
lebih murah dari semeter plastik?" Ia mungkin melebih-lebihkan masalah,
tetapi tuntutan terhadap ketidakadilan semakin nyaring juga. Sementara
itu, Tgk. Daud Beureueh telah diharuskan, dengan segala cara, hanya
berperan sebagai "museum sejarah"—untuk dinikmati dan direnungkan. Orde
Baru bukan saja telah menguasai politik dan ekonomi, tetapi juga
penguasa kesadaran dan pemegang monopoli ingatan kolektif bangsa.
Ketika monopoli ini goyah, mestikah diherankan kalau semuanya meletup
keluar? Yang tampil bukan lagi alternatif terhadap tatanan negara,
melainkan hasrat pemisahan dari bangsa dan negara yang pernah
diperjuangkan Aceh dengan gigih. (Taufik Abdullah Sejarawan).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<i><b>Sumber Kutipan :</b> http://putraaceh.multiply.com/journal/item/812/Aceh-Mengapa-Dia-Berontak-Mengapa-Mereka-Berontak</i></div>
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-80144597514841761682012-07-05T18:51:00.003-07:002012-07-05T18:51:59.309-07:00Dari Daud Beureueh ke Hasan Tiro<div class="mbl notesBlogText clearfix">
<div>
<span>Kontroversi ini
sebenarnya masih mengalir sampai sekarang. Ada yang menganggap, setelah
Daud Beureueh turun gunung, ia tidak pernah lagi terlibat dalam
gerakan politik. Perlawanan yang diusung GAM, sama sekali tidak terkait
dengan DI/TII. </span><br />
<br />
"Kalau Hasan Tiro
kan menuntut kemerdekaan, sedangkan DI/TII melawan karena kecewa," kata
M Jasin, mantan Pangdam Iskandar Muda yang dianggap berhasil mengajak
Daud Beureueh turun gunung.<br />
<br />
Tak hanya Jasin, tokoh-tokoh senior di Aceh juga banyak yang mendukung argumen itu. Dalam sebuah tulisannya di <em>Republika</em>,
almarhum Ali Hasjmy, mantan Gubernur Aceh, memutus kaitan GAM dan Abu
Beureueh. Menurutnya, GAM dan Hasan Tiro adalah gerakan kriminal,
sedangkan DI/TII adalah gerakan politik murni.<br />
<br />
Tak heran
jika awal-awal perlawanan GAM, Pemerintah Indonesia menuding mereka
sebagai gerombolan pengacau keamanan (GPK). Stigma kriminal dimunculkan
untuk memutus dukungan pengikut Daud Beureueh yang dikenal sebagai
legenda bagi warga Aceh.<br />
<br />
Nyatanya, upaya membumikan GAM
sebagai kelompok kriminal tetap gagal. Hasan Tiro kadung jadi ikon
perlawanan rakyat yang baru, terutama di masa Orde Baru. Lihat saja
daftar tokoh pertama yang bergabung dalam GAM. Banyak di antara mereka
adalah bekas pendukung DI/TII. Sebut saja Teungku Ilyas Leube dan Daud
Husin alias Daud Paneuek (<em>paneuek </em>artinya pendek). Ilyas
adalah ulama yang disegani di Aceh Tengah dan merupakan pendukung setia
Daud Beureueh. Dalam susunan kabinet GAM pertama, Ilyas duduk sebagai
Menteri Kehakiman, sedangkan Daud Paneuek sebagai Panglima Angkatan
Bersenjata.<br />
<br />
Menurut Baihaqi, mantan pasukan DI/TII,
keputusan Ilyas mendukung GAM semata-amata karena kecewa dengan sikap
pemerintah yang ternyata hanya memberi janji omong kosong kepada Aceh.
"Ilyas orangnya sangat peka terhadap agama. Ketika Syariat Islam tidak
berjalan di Aceh, ia orang yang paling marah" kata Baihaqi yang juga
sepupu Ilyas.<br />
<br />
Padahal, saat Daud Beureueh turun gunung,
pemerintah berjanji memberikan tiga keistimewaan untuk Aceh: syariat
Islam, pendidikan, dan budaya. Nyatanya, semua janji itu tak dipenuhi.
Tak heran, begitu Hasan Tiro mengumandangkan perlawanan di paruh akhir
tahun 1970-an, Ilyas pun menjadi orang pertama yang mendukung.<br />
Ketika
GAM masih dalam bentuk rancangan, menurut Baihaqi, sebenarnya Daud
Beureueh sudah diberi tahu masalah itu. Hanya saja, Beureueh tak
mungkin lagi angkat senjata karena di tahun 1976, saat Hasan Tiro
datang ke Aceh untuk kedua kalinya, Abu Beureueh sudah berusia 77
tahun.<br />
<br />
"Ayahanda tidak perlu berperang. Biar kami saja
yang melakukan perlawanan. Kami hanya perlu dukungan dari Ayahanda,"
demikian bujuk Hasan Tiro kepada Daud Beureueh seperti ditirukan
Baihaqi kepada <em>acehkita</em>.<br />
<br />
Sebagai asisten pribadi
Abu Beureueh, Baihaqi tahu persis dialog itu. Apalagi, ia masih
memiliki hubungan darah dengan Ilyas Leube. "Jadi kalau dikatakan Daud
Beureueh mendukung Hasan Tiro, itu bisa jadi benar," katanya. Bedanya,
di masa DI/TII, Daud Beurueh mengumumkan perlawanan secara resmi dan
terbuka kepada seluruh masyarakat Aceh, tetapi di masa GAM, ia lebih
banyak diam.<br />
<br />
Hubungan Daud Beureueh dan Hasan Tiro sebenarnya pernah memburuk. Dalam bukunya, <em>Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka</em>,
wartawan Neta S Pane menulis, saat pulang ke Aceh pada 1975, Daud
Beureueh pernah memberikan uang sebesar Rp 12,5 juta kepada Tiro untuk
membeli senjata. Singkat cerita, saat muncul lagi pada 1977, alangkah
terkejutnya tokoh-tokoh GAM karena tak mendapatkan apa yang diharap.
"Hasan Tiro hanya membawa tiga pucuk pistol jenis <em>colt</em> dan dua pucuk senjata <em>double loop</em>.
Beberapa tokoh GAM mengejeknya bahwa senjata itu hanya cukup untuk
membunuh babi hutan," tulis Neta yang kini mengelola Lembaga Pengamat
Polri (Gamatpol).<br />
<br />
Meski demikian, Daud Beureueh tak pernah
marah kepada Hasan Tiro. Dukungan Daud Beureueh kepada GAM juga
dibenarkan Zakaria, seorang tokoh GAM yang tinggal di Thailand.
Menurutnya, saat Hasan Tiro melakukan pendidikan politik di hutan,
beberapa kali Daud Beuerueh mengirimkan bantuan kepada mereka. "Saya
sering sekali disuruh Daud Beureueh menyampaikan bantuan itu," akunya.<br />
<br />
Bantuan
tak hanya berupa uang, tapi juga bahan makanan untuk Hasan Tiro dan
pendukungnya. Dukungan Daud Beureueh kepada GAM pada masa itu diberikan
karena Hasan Tiro bertekad mendirikan negara Islam di Aceh. Zakaria
sendiri termasuk pendukung Hasan Tiro paling setia. Ketika operasi
militer berlangsung pada 1983, ia berhasil melarikan diri ke Malaysia.
Pertemuan terakhir <em>acehkita</em> dengan Zakaria berlangsung di Thailand, dua tahun lalu.<br />
<br />
Dalam
barisan GAM, Zakaria yang saat ini berusia sekitar 69 tahun, menjabat
sebagai Menteri Pertahanan yang ditempatkan di Thailand. Dia orang
penting yang berperan sebagai penyedia senjata untuk GAM. Senjata itu
dibeli dari perbatasan Kamboja dan Vietnam, selanjutnya dikirim melalui
pesisir pantai Malaysia menuju pantai Aceh Timur.<br />
<br />
Zakaria
mengisahkan, untuk menyampaikan bantuan dari Daud Beureueh kepada
Hasan Tiro, ia harus berhati-hati. Soalnya, sejak 1977, setahun setelah
kemerdekaan GAM diproklamasikan, pemerintah mulai mendatangkan pasukan
ke Aceh.<br />
<br />
Setelah Hasan Tiro kembali ke Amerika pada
1979, kekuatan GAM tak luntur. Semakin lama, pengikutnya kian banyak.
Intelijen TNI sendiri disebut-sebut mengetahui kalau Daud Beureueh
memberi dukungan moral kepada GAM. Untuk mencegah meluasnya pengaruh
ulama itu, dalam sebuah operasi intelijen yang dipimpin Lettu Sjafrie
Sjamsoeddin (sekarang Sekjen Departemen Pertahanan berpangkat Mayjen),
pada 1 Mei 1978, Daud Beureueh dibawa secara paksa. Ia tak kuasa melawan
karena sudah dibius. Daud Beuereueh dibawa ke Medan selanjutnya
diterbangkan ke Jakarta untuk selanjutnya ditempatkan di sebuah rumah
mewah di bilangan Tomang, Jakarta Barat, sebagai tahanan di sangkar
emas.<br />
<br />
Ini upaya mengungsikan Daud Beureueh kedua kalinya
setelah pada 1971 ia ‘dipaksa’ keliling Eropa untuk mencegah
pengaruhnya meluas di Aceh saat berlangsungnya pemilu. Daud Beureueh
sendiri adalah pendukung PPP.<br />
<br />
Saat Abu Beuereueh menetap
di Jakarta, operasi penumpasan GAM dilakukan besar-besaran. Satu demi
satu orang-orang dekat Hasan Tiro tewas. Sebut saja Dr Muchtar Hasbi,
seorang intelektual muda Aceh, 35 tahun, yang tewas setelah disiksa.
Mayatnya dikembalikan ke keluarganya dalam keadaan tanpa pakaian.
Muchtar Hasbi adalah Perdana Menteri pertama GAM.<br />
<br />
Dr
Zubir Mahmud, 29 tahun, yang dalam kabinet GAM menduduki jabatan
sebagai Menteri Sosial, juga tewas ditembak tak jauh dari rumahnya pada
Mei 1980. Selain itu, Teungku Haji Ilyas Leube yang menggantikan
posisi Muchtar sebagai Perdana Menteri, juga tewas di ujung peluru pada
Juli 1982.<br />
<br />
Para sejarawan Aceh menyebut, Daud Beureueh
sebenarnya sangat kecewa dipindahkan ke Jakarta. Selain karena ruang
gerak yang selalu diawasi, ia juga sedih karena dijauhkan dengan
murid-muridnya. Ia menjadi terhalang menyampaikan ajaran-ajaran Islam.
Ia pun tak lagi bisa tampil sebagai imam masjid. Tapi ia sendiri tak
kuasa melawan karena kesehatannya sudah menurun. Ia menetap di Jakarta
bersama anak dan cucunya dengan fasilitas dari pemerintah.<br />
<br />
Kegelisahan
Teungku Daud itu dirasakan sahabat dan murid-muridnya. Beberapa orang
yang penah dekat dengannya, antara lain Ali Hasjmy (saat itu sebagai
Rektor IAIN Ar-Raniry setelah pensiun dari Gubernur Aceh) dan Teungku H
Abdullah Ujongrimba (Ketua MUI Aceh), melobi Wakil Presiden Adam Malik
agar memulangkan Daud Beureueh ke Aceh. Mereka menjamin, selama di
Aceh, Daud Beureueh tak akan memberikan perlawanan kepada pemerintah,
apalagi ikut mendukung GAM.<br />
<br />
Harapan itu terkabul. Pada
1982 ulama simbol perlawanan itu kembali ke Bumi Seulanga. Malangnya,
pada 1985, ia terjatuh dari tempat tidur sehingga engsel pinggulnya
mengalami gangguan. Sejak itu ia tidak bisa berdiri. Tamu-tamu yang
datang mengunjunginya tetap disambut secara terbuka. Legenda Aceh itu
akhirnya meninggal dunia pada 10 Juni 1987.<br />
<br />
Jasadnya
dimakamkan di bawah pohon mangga di pekarangan Masjid Baitul A’la lil
Mujahidin di Beureunen. Seluruh Aceh berduka. Sejak itu, tragedi demi
tragedi berkali-kali singgah di bumi Serambi Mekkah. Dua tahun setelah
kepergian sang tokoh, Tanah Rencong bersimbah darah dengan digelarnya
Operasi Jaring Merah atau pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM).<br />
<br />
Sepeninggal Daud Beureueh, Hasan Tiro pun menjadi simbol perlawanan baru, lengkap dengan segala kontroversinya.<strong> </strong><br />
<br />
<br />
<strong><em>Sumber Kutipan :</em> </strong><em>http://putraaceh.multiply.com</em></div>
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-27347232982346898362012-07-05T18:49:00.000-07:002012-08-25T20:44:22.764-07:00Yang Dikagumi, Yang Dikhianati<div class="mbl notesBlogText clearfix">
<div>
<div style="text-align: justify;">
Pada 1893,
Teuku Umar membuat terkejut pejuang Aceh ketika ia bersekutu dengan
Belanda. Tapi dua tahun kemudian, setelah mendapatkan senjata dan
logistik, ia berbalik mengkhianati Belanda. Versi lain menyebut,
pembelotan Teuku Umar terjadi karena kecewa dengan Belanda. Artinya,
bila tak kecewa, Teuku Umar tetap ikut Belanda. Entah mana yang benar,
yang pasti, setelah itu muncul istilah yang populer: tipu Aceh. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi
di era Daud Beureueh, giliran orang Aceh yang ditipu. Kali ini
pelakunya adalah Presiden Soekarno yang pernah menjanjikan otonomi untuk
menerapkan Syariah Islam. Alih-alih dipenuhi, Soekarno justru melebur
Aceh menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Gubernur Militer
Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Daud Beureueh pun kemudian memberontak.
Tapi Beureueh pun belakangan juga menjadi korban tipu Aceh yang
dilancarkan para pengikutnya sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Putri Presiden
Soekarno, Megawati, juga pernah memraktikkan ‘tipu Aceh’. Pada 30 Juli
1999, sesaat setelah partainya memenangkan pemilu, Megawati berpidato
dengan iringan tetes air mata. "Untuk rakyat Aceh, percayalah, Cut Nyak
tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah Rencong,"
katanya. Tapi setelah menjadi presiden, Megawati justru mengirim 40.000
pasukan ke Aceh dalam rangka darurat militer, Mei 2003.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Cerita
tipu menipu inilah yang membuat dialog antara GAM dan Pemerintah
Indonesia berjalan alot. Pihak GAM khawatir Indonesia tak menjalankan
kesepakatan damai. "Semua kesepakatan harus jelas. Kami tidak ingin
lagi didustai," kata Jurubicara GAM, Bakhtiar Abdullah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika
Belanda melakukan agresi kedua, pada Desember 1948-1949, semua wilayah
Indonesia nyaris mereka kuasai. Soekarno dan Hatta ditawan. Ibukota
Yogyakarta jatuh. Pemerintahan terpaksa diserahkan kepada Wakil Perdana
Menteri Syafruddin Prawiranegara yang membentuk Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) berpusat di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Praktis, hanya secuil itulah wilayah Indonesia. Tapi Aceh masih tak
tersentuh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berdasarkan wewenangnya sebagai penguasa
pemerintahan darurat, Syafruddin, pada 17 Desember 1949, menetapkan
Aceh sebagai provinsi dengan mengangkat Teungku Daud Beureueh sebagai
gubernur militer. Sebelumnya, Aceh berada satu provinsi dengan Sumatera
Utara, berpusat di Medan. Dengan adanya provinsi, maka diplomasi
Indonesia di kancah internasional kembali menguat, karena yang namanya
Republik Indonesia ternyata masih memiliki wilayah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kita
jadi punya bukti bahwa Belanda tidak menguasai seluruh Indonesia.
Masih ada Aceh yang tidak bisa mereka masuki," kata AK Jacobi, wartawan
senior yang juga mantan Tentara Pelajar Divisi X TNI.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ironisnya,
Provinsi Aceh hanya berumur setahun. Setelah situasi aman, pemerintah
menghapus status provinsi itu dan mengembalikannya ke Sumatera Utara,
sekaligus mencabut jabatan gubernur militer dari Daud Beureueh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sejak
itu kekecewaan demi kekecewaan mewarnai situasi Aceh. Luka lama meruap
ke permukaan. Warga teringat kembali janji-janji pemerintah soal
penegakan syariat Islam. Situasi makin memanas setelah aparat melakukan
penangkapan terhadap sejumlah tokoh yang dianggap bersuara keras.
Kebanyakan yang ditangkap adalah ulama yang dulunya pernah berjasa
dalam perang mengusir Belanda.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada 21 September 1953,
Daud Beureueh akhirnya memutuskan mengangkat senjata melawan Pemerintah
Indonesia. Ia menyatakan bergabung dengan gerakan Kartosuwiryo yang
lebih dulu mendeklarasikan negara Islam di Jawa Barat pada 17 Agustus
1949 lewat perjuangan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Sebagian besar rakyat mendukung perlawanan itu. Banyak pasukan TNI yang
warga Aceh, pejabat negara, dan tokoh masyarakat yang balik kanan,
bergabung dalam barisan Daud Beureueh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibrahim Saleh,
komandan militer di Sidikalang, datang dengan membawa senjata dan
beberapa truk berisi pasukan untuk mendukung gerakan Beureueh. Hasan
Saleh, mantan pasukan TNI yang berpengalaman dalam berbagai medan
perang, turut pula naik gunung. Tak ketinggalan, tokoh Pidie, Amir Husin
Al-Muhajid dan Abdul Gani.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Nama-nama di atas adalah
orang-orang penting yang terlibat dalam sejarah perlawanan Daud
Beureueh. Hasan Saleh sebagai Menteri Pertahanan, adiknya, Hasan Aly,
didaulat menjadi Perdana Menteri. Sementara Abdul Gani menjabat Menteri
Penerangan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kami kerap bersembunyi antara hutan wilayah
Aceh tengah dan Aceh Utara," kata Prof Dr Baihaqi, mantan Kepala Staf
Resimen 5 DI/TII kepada <em>acehkita</em>. Hampir tiga tahun lamanya
Baihaqi mengikuti jejak Daud Beureueh dalam berjuang. Kini, pria ini
menginjak usia 74 tahun kendati masih terlihat tegap.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurutnya,
jumlah pasukan DI/TII masa itu diperkirakan mencapai 10 ribu orang.
Namun Baihaqi yakin, hampir semua rakyat Aceh mendukung perlawanan
mereka. "Kami tidak pernah lapar selama di hutan. Warga selalu membantu
kami," katanya. Tak hanya orang dewasa, anak-anak dan wanita juga
mendukung aksi gerilya itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Satu-satunya masalah adalah
peluru. "Banyak senjata tetapi kami sulit mendapatkan peluru," ujar
Baihaqi. Bahkan pasukan DI/TII mampu membeli senjata dari Malaysia yang
didatangkan lewat pantai. DI/TII juga memiliki perwakilan di Malaysia
untuk urusan pembelian senjata. Pembelian dilakukan lewat barter dengan
hasil pertanian penduduk.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk kampanye di Amerika
Serikat, Daud Beureueh menjalin komunikasi dengan Hasan Tiro, mantan
muridnya yang belajar di Colombia University. Hasan Tiro bahkan sempat
membuat heboh Pemerintah Indonesia ketika ia mengadukan kekejaman
militer Jakarta ke PBB, tempat di mana ia bekerja sebagai staf
perwakilan Indonesia. Kelak, Hasan Tiro inilah yang menjadi motor
perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Jaringan internasional yang
dibangun DI/TII membuktikan bahwa cara berpikir Daud Beureueh sudah
sangat maju di masanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Senjata yang dibeli DI/TII dari
Malaysia biasanya dibawa dengan kapal nelayan dan merapat ke pantai
pada subuh. Pada pagi hari, memang penjagaan pantai sangat kurang,
sehingga para gerilyawan leluasa memasok senjata.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sejak munculnya
perlawanan DI/TII, personel TNI semakin banyak didatangkan ke Aceh.
Bak kisah perang saudara di Amerika—di mana para jenderal alumni West
Point harus berperang dengan bekas kawan kuliahnya—demikian halnya yang
terjadi di Aceh. Mereka yang pernah sama-sama melawan Belanda, kini
harus saling menghunus senapa satu sama lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aksi
penumpasan pun dilakukan terhadap semua pengikut Daud Beureueh. Salah
satunya adalah pembantaian di Cot Jeumpa, Kutaradja (Banda Aceh), saat
sejumlah petani dan nelayan ditangkap dalam sebuah operasi militer.
Semua dibunuh dan mayatnya dibiarkan bergelimpangan di jalan-jalan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi
perlawanan anak-cucu Malahayati ini tak pernah padam. Sampai akhirnya
pemerintah Indonesia mengubah siasat perang. Pemerintah menawarkan
dialog untuk menyelesaikan Aceh. Gencatan senjata pun dilakukan pada
1957-1959. Pada masa itulah pemerintah menerapkan strategi
menghamburkan banyak uang ke Aceh. Iming-iming harta diberikan kepada
gerilyawan yang mau turun gunung dan menyerahkan bedil.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hasilnya
lumayan. Hari demi hari, semakin banyak pengikut Daud Beureueh yang
tergoda bujukan itu. Beberapa jajaran elit DI/TII juga tunduk. Panglima
Perang Hasan Saleh dan Menteri Penerangan Abdul Gani serta Husin Al
Mujahid, memilih turun gunung. Bersamaan dengan mereka, banyak pula
anggota militer DI/TII yang meninggalkan Daud Beureueh di hutan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bagi
AK Jakobi, mereka bukan pengkhianat, melainkan tokoh- tokoh DI/TII
yang ingin menyelesaikan konflik secara damai. Hasan Saleh, Abdul Gani,
dan Husin Al Mujahid beberapa kali melakukan dialog dengan delegasi
pemerintah. Termasuk dengan Mr Hardi, utusan dari Jakarta.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi
sumber lain menyebut, mereka turun gunung karena tergoda harta yang
ditawarkan pemerintah. Tanpa seizin Daud Beureueh, mereka melakukan
berbagai perundingan dengan utusan Jakarta, termasuk perundingan di
Lamteh pada 5 April 1957 yang dikenal dengan Ikrar Lamteh yang juga
dihadiri Pangdam Iskandar Muda, Kolonel Syamaun Gaharu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari
berbagai perundingan itu, pemerintah pusat akhirnya mengakui beberapa
kesalahan yang pernah dilakukan di Aceh. Aceh kembali dinyatakan
sebagai provinsi. Ali Hasjmy, salah seorang ulama yang cerdas, dipilih
sebagai gubernur. Sejak itu, pemerintah semakin gigih menawarkan janji
damai bagi gerilyawan. Diplomasi politik dan pemberian uang
dilanjutkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Meski ditinggal beberapa pendukung utamanya,
Daud Beureueh tetap tak berubah sikap. Gerilya jalan terus. Baihaqi
mengatakan, Hasan Saleh sebenarnya pernah ingin melancarkan kudeta
berdarah kepada Daud Beureueh. "Tadinya ia akan menampatkan Husin Al
Mujahid sebagai pemimpin rakyat. Tapi rencana kudeta itu bocor kepada
kami," kata Baihaqi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk mencegah kudeta, anggota
pasukan yang masih setia, yakni Resimen 3 di bawah pimpinan Razali
Idris dan dan Resimen 5 yang dipimpin Teungku Ilyas Leube dan Baihaqi,
melarikan ulama tersebut tempat ke lokasi persembunyian lain, di
perbatasan Aceh Utara dan Aceh Timur.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kabar kudeta itu
belakangan terbukti, kendati melalui cara lain. Pada 15 Maret 1959,
Hasan Saleh mengumumkan pengambilalihan semua kekuatan pasukan rakyat
yang selama ini di bawah kendali Teungku Daud Beureueh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Para
pengikut setia DI/TII yang masih bersembunyi di hutan, jelas membantah
klaim Hasan Saleh. Tapi harus diakui, sejak pengakuan itu, semakin
banyak anggota militer DI/TII yang memilih turun gunung.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Yang
setia dengan DI/TII memang dari unsur ulama. Unsur politisi dan para
desertir TNI, memang lebih dahulu menyerah," kata Otto Syamsuddin Ishak,
sosiolog Aceh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang mengejutkan, Komandan Resimen 3,
Razali Idris, yang tadinya dikenal sangat setia mendukung perjuangan
Daud Beureueh, malah ikut membelot. Hingga penghujung 1959, praktis
hanya Resimen 5 yang setia menemani Abu Beureueh. Menurut Baihaqi,
jumlah mereka hanya sekitar 40 orang. Dah hebatnya, sebagian besar
berasal dari Aceh Tengah. Daerah yang belakangan kerap dibenturkan
secara etnis dengan warga Aceh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di daerah ini pula, hidup
Ilyas Leube, seorang ulama yang berasal dari Desa Keunawat. Kemampuan
militernya mengagumkan, dan tak ada satupun yang meragukan kesetiaannya
kepada Daud Beureueh. Ketika banyak pengikut Abu Daud turun gunung dan
tergiur dengan tawaran harta oleh pemerintah, Ilyas Leube memilih
tetap bertahan di hutan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari sekian banyak kasus
pembelotan, menurut Baihaqi, hanya Razali lah yang paling disayangkan
Daud Beureueh. "Selama bertahun-tahun saya ikut beliau, baru sekali itu
saya melihat dia menangis. Dia sangat menyesali Razali yang ikut
berkhianat tuntuk ke TNI hanya karena uang," papar Baihaqi. Dalam
tangisnya, nama Razali berkali-kali disebut. Meski demikian, tidak
sekalipun Daud Beureueh menyatakan akan menyerah kepada Pemerintah
Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
Setidaknya, hingga September 1962.<br />
<br />
<br />
<em><strong>Sumber Kutipan :</strong> http://putraaceh.multiply.com</em></div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-17087302145379828472012-07-05T18:44:00.002-07:002012-07-05T18:44:16.300-07:00Warisan Daud Beureueh yang Terlantar<span class=""><img alt="" class="photo_img img" src="http://a6.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-prn1/s720x720/548506_465028370175144_1322083836_n.jpg" /></span><br />
<br />
<span><span>Sudah
banyak orang bercerita tentang daya magis kepemimpinan Daud Beureueh.
Tokoh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) itu tak hanya
dikenal sepak terjangnya memimpin perang gerilya dan berpidato menyihir
massa, tetapi juga tak segan-segan mengayun cangkul dan bergelimang
lumpur bersama rakyatnya. </span></span><br />
<br />
Salah
satu kisah yang abadi adalah apa yang terjadi di Desa Paya Raof,
Pidie, 14 Juli 1963. Saat itu, Daud Beureueh yang sudah turun gunung,
memimpin kerja bakti yang melibatkan 2.000 orang untuk membuat saluran
irigasi. Rakyat yang kecewa karena bupati setempat tak kunjung
menyelesaikan masalah pengairan sawah, mendatangi Daud Beureueh. Di
tangan ulama itu, masalah pun terpecahkan.<br />
<br />
Desa Paya Raof terletak 10 kilometer dari tepi jalan lintas Banda Aceh - Medan. Saat <em>acehkita </em>menelusuri
kembali saluran irigasi sepanjang 17 kilometer itu, banyak orang tak
lagi mengenalnya. Ditambah lagi letaknya yang memang jauh, yakni di
bawah kaki gunung Cot Kuta. Apalagi kondisi keamanan yang tak menentu,
cukup sudah alasan bagi orang untuk semakin melupakannya.<br />
<br />
Satu-satunya
cara mengembalikan ingatan warga Pidie akan Desa Paya Raof, Kecamatan
Teupin Raya, adalah saluran irigasi tua yang dibangun Teungku Daud
Beureueh. Irigasi yang dikelilingi bukit dan hutan itu kini dalam
kondisi tak berfungsi dengan baik. Menurut petani setempat, air yang
mengalir pun tak lagi sebanyak dulu.<br />
<br />
Dulu, saluran irigasi
itu bisa mengairi sawah di tujuh desa seperti Tunong, Baroh, Amud,
Amud Masjid, Tanah Mirah, Geumuroh, dan Teupin Raya. Tak heran, sebab
kondisinya selalu dipelihara dan telah beberapa kali mengalami sentuhan
renovasi. Ada empat orang tokoh setempat yang menyokong ayunan cangkul
Daud Beureueh. Mereka adalah Teungku Raof, Imuem Leman, Alamsyah, dan
Cut Ka Oy.<br />
<br />
Saluran irigasi itu bermula dari sepetak dam
air yang terbuat dari tanah. Saat Daud Beureueh hendak membedahnya
menjadi saluran air, tanpa dipaksa warga masyarakat datang
berbondong-bondong membantu. Dari orang tua hingga yang muda, semua
tumpah ruah di lokasi tersebut. Bahkan, tak jarang Daud Beureueh
terpaksa mengusir pulang anak-anak yang terlalu muda usia untuk
bekerja.<br />
<br />
"Waktu itu saya tidak dikasih ikut gotong royong
oleh Abu karena usia saya masih muda. Saya diusir dengan dipukul pakai
tongkatnya," kenang Syakhwat sambil tersenyum. Kini usianya sudah 58
tahun. Dia adalah warga Desa Cot Tunong, Geulumpang Tiga, Pidie.<br />
<br />
Abu
Beureueh sendiri bukan sarjana teknik sipil. Karena itu, menurut
Syakhwat, saat itu ada seorang insinyur dan para tukang terampil yang
didatangkan khusus dari Sigli. "Kontraktor dan tukangnya semua dari
Sigli," kata Syahkwat.<br />
<br />
Sementara bahan bangunan seperti
semen didatangkan dari Medan dan Banda Aceh dengan truk. Beberapa hari
sekali, kenang Syahkwat kecil, dia melihat truk tersebut singgah untuk
membongkar muatan. Menurut Nur El Ibrahimy yang juga menantu Daud
Beureueh, proyek tersebut sepeserpun tak menggunakan dana pemerintah.
Konon dana yang dihabiskan mencapai Rp 100 juta di masa itu.<br />
<br />
Di
bawah pengawasan langsung Abu Beureueh, masyarakat dan para tukang
yang membangun irigasi, bekerja bergantian siang dan malam. Sedangkan
untuk tempat tinggal bagi mereka yang bekerja, dibangunlah semacam
rumah sementara yang terbuat dari bambu, bak gubuk-gubuk semasa Daud
Beureueh masih bergerilya.<br />
<br />
Ruhama Daud (65), anak ketujuh Daud Beureueh yang ditemui <em>acehkita</em>
di Beureunuen, Pidie, mengakui bahwa semasa pembuatan irigasi tersebut,
sang ayah sama sekali tak pernah pulang ke rumah. Abu Beureueh tinggal
di lokasi irigasi tersebut bersama warga masyarakat dan para tukang
yang dipimpinnya. Ruhama yang saat itu masih remaja harus datang ke
sana bila ingin bertemu sang ayah.<br />
<br />
"Waktu buat irigasi di gunung sana, Abu memang tidak pulang," katanya.<br />
<br />
Padahal,
irigasi itu dibangun dari 14 Juli sampai 18 Agustus 1963. Setelah itu,
proses perampungannya membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Menurut
Ruhama hal tersebut disebabkan karena minimnya bahan-bahan bangunan yang
tersedia. Hal itu juga yang diyakininya menyebabkan pondasi awal
irigasi yang dibuat oleh sang ayah, tak terlalu bertahan lama. Bagian
pondasi yang dibuat Abu Beureueh akhirnya memang jebol tak lama setelah
digunakan. Namun setelah direnovasi, irigasi pun dapat digunakan
kembali.<br />
<br />
Kini, sudah enam tahun saluran irigasi selebar
2,5 meter dan dalam 1,5 meter itu tak lagi mampu mengairi sawah
masyarakat secara optimal. Selain karena debit air yang sedikit,
selurannya pun sudah banyak yang tersumbat. Dan tak ada satu lembaga
pun yang mau mengelolanya. Apalagi pemerintah.<br />
<br />
Saat <em>acehkita</em>
menjenguknya, pertengahan Juli lalu, bagian gorong-gorong memang
terlihat sedang diperbaiki. Tapi anehnya, tak seorang pun pekerja di
sana. Menurut warga, pekerjaan itu sudah berlangsung lama. Namun hingga
kini belum mencapai sepuluh persen dari penyelesaian. Sehingga banyak
warga yang terpaksa harus main kucing-kucingan dengan warga yang lain
supaya bisa lebih cepat mematok air untuk mengairi sawah masing-masing.<br />
<br />
"Waktu
zaman Abu kami tidak begini. Air banyak, tidak sampai rebutan. Kini
orang-orang main patok saja ambil airnya, makanya banyak yang berkelahi
karena tidak kebagian air," tutur Syahkwat menutup cerita.<br />
<br />
<br />
<strong><span><span>Ditakuti Hingga Ajal Menjelang</span></span></strong><span> </span><br />
<span class="photo_right" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="320" src="http://photos-b.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/409644_465025166842131_942076719_a.jpg" width="215" /></span><br />
<br />
<span>Setelah
43 tahun Daud Beureueh turun gunung, tak banyak lagi pejuang DI/TII
yang bisa ditemui. Dari sedikit itu, tercatat nama seorang mantan Guru
Besar IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Baihaqi AK. Ia bukan saja pengikut setia
Abu Beureueh, tetapi juga sekretaris pribadinya. Saat Beureueh dijemput
dari persembunyiannya pada 9 Mei 1962, Baihaqi ikut dalam rombongan
itu.</span><br />
<br />
<br />
Semasa
pergolakan terjadi, Baihaqi yang saat itu berusia 18 tahun, sebenarnya
baru saja menyelesaikan pendidikan guru di Bandung. Pada 1954, ia
diangkat menjadi pegawai negeri sipil dan bertugas sebagai guru di Banda
Aceh. Simpatinya dengan perjuangan DI/TII muncul setelah melihat
kebijakan pemerintah pusat. Dalam beberapa aksi protes di Banda Aceh,
Baihaqi kerap terlibat.<br />
<br />
Tak disangka, suatu malam ia
ditangkap polisi dan diseret ke pengadilan. "Saya divonis 30 bulan
penjara dengan tuduhan subversif," kenangnya.<br />
<br />
Setelah
bebas, tadinya Baihaqi ingin hidup tenang. Nyatanya, dia mengaku selalu
diintai petugas. Karena kesal, ia memutuskan lari ke hutan, bergabung
dengan pasukan Daud Beureueh. Dari semua pengikut DI/TII kala itu,
Baihaqi tergolong paling muda.<br />
<br />
Sebagai anak desa yang
dibesarkan di Keunawat, Aceh Tengah, Baihaqi sangat menguasai seluk
beluk hutan di Aceh Tengah, tempat pasukan DI/TII bersembunyi. Dia
merasa tentram di lingkungan itu, apalagi dalam jajaran pengikut Daud
Beureueh, ada Teungku Ilyas Leube, abang sepupunya.<br />
<br />
Bersama
Iyas Leube, Baihaqi ditempatkan sebagai anggota pasukan Resimen 5.
Semula hanya prajurit biasa, tapi berkat kecerdasannya, ia dipercaya
sebagai kepala staf. Sementara Ilyas Leube sebagai panglima.<br />
<br />
Selama
di hutan, Baihaqi banyak belajar tentang kepemimpinan Daud Beureueh.
Ia kerap mengamati gerak-gerik Beureueh, mulai cara dia mandi,
berpakaian, hingga shalat. "Jarang saya temukan ada pemimpin seperti
Abu Beureueh," katanya.<br />
<br />
Yang paling dikagumi Baihaqi
adalah shalat Beureueh yang amat khusuk. Sebagai pemimpin, Daud
Beureueh sama sekali tak pernah memegang uang. Meski demikian, ia
sangat ketat mengawasi pengeluaran uang.<br />
<br />
<span> </span><span><span>"Kami
pernah tidur sebantal di dalam pondak setelah lelah berdiskusi,"
cerita mantan anggota DPR RI dari Fraksi PPP itu. Saat makan pun,
Beureueh hanya menggunakan daun pisang sebagai piring. Lalu ia mengajak
pengikutnya makan bersama di daun itu.</span></span><br />
<br />
<br />
Ketika
mengetahui banyak pengikutnya berdamai dengan Pemerintah Indonesia,
Daud Beureueh hanya mencibir. Ia menyesali sikap anak buahnya yang
dianggap berkhianat karena tertarik harta yang dijanjikan pemerintah.<br />
<br />
Namun
sikap keras Beureueh berubah juga. Baihaqi termasuk pengikut Daud
Beureueh yang turun gunung paling akhir. Setelah berdamai dengan
pemerintah, Baihaqi kembali ditawarkan menjadi guru. Namun ia menolak.
"Saya memilih melanjutkan pendidikan S-1 di IAIN Ar-Raniry," katanya.
Setelah memperoleh sarjana, Baihaqi pun diangkat sebagai dosen di kampus
itu. Sampai akhirnya sukses meraih gelar profesor bidang pendidikan
Islam.<br />
<br />
Usai pemberontakan DI/TII, Baihaqi sempat diajak
Hasan Tiro bergabung dalam GAM. Apalagi abang sepupunya, Ilyas Leube,
ikut dalam kelompok itu. Tapi ia menolak. Baihaqi memilih berkarir di
bidang politik sebagai politisi PPP dan duduk sebagai anggota DPR pada
periode 1999-2004. Kini, memasuki usia 74, ayah empat anak ini menetap
di sebuah rumah asri di Pamulang, Banten. Ia memiliki ruangan khusus
berisi koleksi buku-buku tua. Di ruang itulah dia menghabiskan waktu.<br />
<br />
"Saya
juga tengah menulis buku tentang sejarah Aceh," ujarnya. Dalam sejarah
bukunya itu, ia memaparkan banyak hal tentang Daud Beureueh. Baginya,
sosok ulama Aceh itu tidak akan mungkin dilupakan. Dalam setiap shalat,
Baihaqi selalu mengirim doa untuk Daud Beureueh. Selain sebagai
pemimpin, baginya, Daud Beureh juga sebagai guru dan seorang ayah.<br />
<br />
<br />
<strong>Ditakuti Hingga Ajal Menjemput</strong><br />
<br />
Beureunuen
berjarak 124 kilometer arah timur Kota Banda Aceh. Di tempat ini, tak
ada yang tak kenal Daud Beurueueh. Kini sudah 18 tahun Abu Beureueh
meninggal dunia. Atas permintaannya sendiri, jasadnya pun disemayamkan
di areal pekarangan masjid A’la Lil Mujahiddin, atau yang sekarang lebih
dikenal dengan nama Masjid Abu Beureueh, yang terletak di tepi jalan
Banda Aceh-Medan.<br />
<br />
Dahulu, ketika mendengar Abu Beureueh
meninggal dunia, mereka berduyun-duyun ke masjid itu untuk melihat
pemakaman Daud Beureueh dan memberikan penghormatan terakhir.<br />
<br />
Seiring
dengan bergulirnya waktu dan perubahan kondisi di Aceh, perlahan nama
besar Daud Beureueh seakan tenggelam. Bila di awal-awal wafatnya, warga
datang untuk menziarahi makam hampir dari seluruh pelosok Aceh, namun
kini, para penziarah hanyalah orang-orang tertentu saja. Itu pun mereka
yang singgah karena waktu shalat atau yang sedang dalam perjalanan.<br />
<br />
"Sekarang
sudah lain. Dari orang, hingga cara shalat semua sudah beda. Apalagi
orang muda sudah sibuk sendiri. Mana ingat lagi ke kita yang tua,<em>"</em> sebut Azhari, 70 tahun, ulama asal Desa Tiba.<br />
<br />
Kini, makam berukuran 3 x 1 meter yang bernisankan marmer dan berukir nama almarhum itu seakan sepi sendiri.<br />
<br />
"Masih
ada satu dua yang datang ziarah ke sini. Kemarin juga ada pejabat yang
datang, tapi itu sangat jarang sekali," ucap Zulkifli (36), warga Desa
Baroh Barat Yaman.<br />
<br />
Menurut Zulkifli yang datang dari
generasi baru—belum lahir saat DI/TII—Daud Beureueh adalah tokoh yang
disegani dan disayangi masyarakat. Namun yang disesalkannya, perhatian
pemerintah terhadap makam tokoh tersebut sangat kecil.<br />
<br />
"Saya harap pemerintah mau lebih memperhatikan makam ini, sesuai dengan jasa beliau kepada negara," tandasnya.<br />
Pada
usia 89 tahun, Abu Beureueh menghadap sang Khalik. Tepatnya pada 10
Juni 1987 di sebuah bilik sederhana di tanah kelahirannya, Desa
Beureueh, Beureuneun, Kecamatan Mutiara (sekarang Mutiara Barat), Pidie.
Sebelum meninggal, kondisi kesehatannya terus menurun sejak kembali ke
Aceh 1982.<br />
<br />
Melihat kondisinya fisik yang sudah renta
inilah, pemerintah Orde Baru menganggap Abu Beureueh tak mungkin lagi
melanjutkan perlawanan atau mendukung Gerakan Aceh Merdeka. Sebelumnya,
kendati sudah menyerah dan turun gunung, ABRI masih menganggap Beureueh
sebagai tokoh yang berbahaya. Karena itu, pada 1 Mei 1978, sebuah tim
yang dipimpin Sjafrie Sjamsoeddin—kini Sekjen Departemen
Pertahanan—menciduk Abu Beureueh di depan istrinya, Teungku Nyak Alisah,
untuk dibawa ke Jakarta.<br />
<br />
Proses pengambilan Abu Beureueh
ditingkahi dengan upaya menyuntikkan obat bius yang mendapat
perlawanan dan melukai badan tuanya. Menurut menantu Abu Beureueh, M
Nur El Ibrahimy, tindakan pemerintah tersebut dianggap berlebihan.<br />
<br />
Selama
di Jakarta, Abu Beureueh tinggal di sebuah rumah kontrakan atas biaya
pemerintah. Namun menurut El Ibrahimy, hal tersebut membuat Abu
Beureueh seperti tahanan rumah. "Seperti di sangkar emas. Mata lepas,
badan terkurung," kata El Ibrahimy.<br />
<br />
Sejak 1980, sudah dua
kali Abu Beureueh mengirim surat permohonan kepada Presiden Soeharto
agar diperbolehkan kembali ke Aceh. Itu belum termasuk surat kepada
Pangkopkamtib, Sudomo. "Setelah keadaan badan yang semakin uzur,
sehingga harus dipapah, dan mata yang hampir tidak bisa melihat, Daud
Beureueh diizinkan pulang ke Aceh," sesal El Ibrahimy.<br />
<br />
Menurut
Panglima Kodam Iskandar Muda saat itu, Brigjen Abdurrahman,
sesampainya di Aceh pun, Abu Beureueh masih berada di bawah pengawasan
Laksusda Aceh. Para intel itu, misalnya, ditempatkan di Beureunuen dan
membaur di antara jamaah shalat Jumat. Abu Beureueh pun tak dapat pergi
sekehendak hatinya, kecuali dengan seizin atau sepengetahuan petugas
Laksusda.<br />
<br />
"Ini semua dilakukan, kabarnya untuk menjaga
ketentraman dan ketertiban yang telah mantap di daerah Aceh," tandas El
Ibrahimy setengah menyindir.<br />
<br />
Terbukti, upaya itu tak
manjur. Aceh bukannya tambah tenteram. Justru Abu Beureueh lah yang
kini menikmati ketentraman di bawah rindangnya pohon mangga.<strong> </strong><br />
<br />
<br />
<em><strong>Sumber Kutipan </strong>: http://putraaceh.multiply.com</em>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-6547482990069599252012-07-04T21:36:00.002-07:002012-07-04T21:43:07.644-07:00Merekam Jejak Keluarga Teuku Markam<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img alt="" class="photo_img img" height="320" src="http://a6.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/487837_464810103530304_766623_n.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" width="640" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Hotel Aceh</td></tr>
</tbody></table>
<span class=""></span><br />
<br />
<div style="text-align: left;">
Nama <b>Teuku Markam</b>
memang seperti lenyap dalam sejarah pembangunan Monas. Furqon
menggeleng ketika mendengar nama Teuku Markam. Mahasiswa semester dua
di Universitas Indraprasta, Jakarta, itu memicingkan mata,
mempertanyakan kesahihan cerita, bahwa Teuku Markam itu saudagar kaya
asal Aceh yang menyumbang 28 kilogram emas buat Monas.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
”Soekarno
saya tahu, kalau Markam, saya baru dengar,” kata dia seperti yang
dilansir merdeka.com di museum diorama perjuangan kemerdekaan Monumen
Nasional (Monas), pertengahan bulan lalu.<br />
<br />
Annisa,
pengunjung lainya berkata, sejak duduk di sekolah dasar hingga
mahasiswa, belum pernah ada guru atau dosen bercerita tentang Markam.
Bahkan Nursamin, bagian Informasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelola
Monas, pun mengaku tak tahu Markam adalah saudagar kaya penyumbang
emas itu.<br />
<br />
Menurut dia, ada banyak versi sejarah
pembangunan monumen yang menjadi ikon Ibu Kota Jakarta ini. Setahu dia,
dalam sejarah, nama Soekarno paling populer sebagai pemrakarsa
pembangunan. Ide dasarnya dari Sarwoko Martokusumo. Ada pendapat
berbeda, gagasan pembangunan Monas juga dari Soekarno.<br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img alt="" class="photo_img img" src="http://photos-h.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash3/548210_464810656863582_883508779_a.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Soekarno</td></tr>
</tbody></table>
<span class="photo_right" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"></span><br />
”Tapi kalau nama Markam saya tidak tahu,” ujarnya.<br />
<br />
Anhar
Gonggong, sejarawan dari Universitas Indonesia, mengaku tidak tahu
soal kebenaran bahwa Markam adalah saudagar kaya yang menyumbang emas
buat Monas. Namun demikian, berdasar cerita sejarah, ia membenarkan
jika Markam dekat dengan Soekarno. Bersama dua saudagar kaya lain,
Aslam dan Panggabean, mereka orang-orang kaya pada masa pemerintahan
presiden pertama itu.<br />
<br />
Tapi setelah Soekarno lengser dan
pemerintahan berganti kepada rezim Soeharto, orang-orang kaya itu ada
yang bertahan, ada juga yang namanya tenggelam. Markam, termasuk orang
kaya yang disisihkan.<br />
<br />
”Pada rezim Orde Baru, harta Markam dirampas oleh Soeharto.” tuturnya. Namun dia enggan bercerita penyebabnya.<br />
<br />
”Jujur, saya kurang paham kalau soal Monas ini dan Markam ini.”<br />
<br />
Yuke
Ardiati, Anggota Tim Ahli Cagar Budaya dan Tim Pemugaran Monumen,
mengaku pernah membaca cerita tentang Markam yang menyumbang emas untuk
Monas di Internet. Dia juga sempat mendengar dari beberapa orang.
Namun hingga kini dia belum mendapatkan bukti-bukti yang membenarkan
cerita itu. Belum ada saksi mata proses penyerahan emas dan bukti
kuitansi.<br />
<br />
”Andai benar, ada atau tidak saksi mata
peleburan emas sampai proses pelapisan pada lidah api, jangan-jangan
emasnya tidak dipakai?” ujarnya.<br />
<br />
Merdeka.com yang
menelusuri jejak keluarga Markam tidak mendapat banyak informasi.
Dimulai dari rumah kediaman Teuku Syauki Markam, salah satu putra
saudagar Aceh itu, di Jalan Bhakti Nomor 48, Kelurahan Cilandak Timur,
Pasar Minggu. Rumah tembok itu berdiri di halaman bekas pabrik PT
Markam Jaya. Indah Yuliarti, istri dari Syauki, menolak menjelaskan
soal Markam dan Monas.<br />
<br />
”Silakan tanya bapak saja, itu sejarah masa lalu. Saya tidak bisa, takut salah,” kata dia.<br />
<br />
Dia
lantas menunjukkan alamat kantor suaminya di kompleks rumah toko
(ruko) PT Superindo, Jalan Hayam Wuruk nomor 103 H, Jakarta Pusat.
Salah satu ruko tua; cat putihya memudar menjadi kekuning-kuningan, itu
adalah kantor pemasaran tempat Syauki Markam bekerja selama satu
dasawarsa. Ruang kantor yang disekat-sekat dengan triplek ini berada di
lantai dua. Lantai dasar digunakan sebagai kantor notaris.<br />
<br />
Sofa
hitam khusus tamu dibiarkan berdebu. Menurut sekretarisnya,
Mungkiatun, perusahaan Syauki bergerak pada bidang penyewaan gedung
kantor dan gudang. Di situlah klien-klien bosnya datang. Sayang, Syauki
tidak bisa ditemui. Mungki mengatakan, bosnya sedang pergi ke luar
kota. Dia tidak bisa memastikan kapan si bos kembali.<br />
<br />
“Kadang tidur di kantor, kadang tidur di hotel,” kata dia.<br />
<br />
Mungki
mengaku hafal betul perilaku bosnya yang tidak pernah bisa dihubungi
itu. Dia lantas memberi dua nomor telepon. Benar saja, hingga berita
ini diturunkan, beberapa kali nomor Syauki dihubungi tidak diangkat.
Begitu juga pesan pendek minta wawancara tidak dibalas, dilansir
merdeka.com.<br />
<br />
”Bapak tidak pernah bisa dihubungi. Kalau ada yang penting, biasanya dia menelepon ke kantor,” kata Mungki.<br />
<br />
***<br />
<br />
<b>Siang </b>itu
matahari serasa sejengkal dari kepala ketika seekor kerbau betina
mengaso di samping pintu belakang rumah Teuku Syauki Markam. Kerbau itu
milik Syauki, salah satu anak dari saudagar kaya asal Aceh, Teuku
Markam, yang konon termasuk orang terkaya di Indonesia pada era
Soekarno. Dari luar, sepintas rumah Syauki seperti tanpa penghuni.
Lengang. Pintu depan dan belakang rumah tembok bercat putih yang
sebagian warnanya berubah kecoklatan itu terkunci.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img alt="" class="photo_img img" height="356" src="http://a2.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/306565_464811893530125_1308104200_n.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" width="640" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Monas</td></tr>
</tbody></table>
<span class=""></span><br />
<br />
Bau
tengik dari kubangan lumpur bercampur tahi kerbau yang jaraknya
kira-kira sedepa dari sekat tembok belakang rumah Syauki menyengat
hidung. Setelah beberapa kali merdeka.com mengetuk pintu belakang
rumah, Indah Yuliarti, istri Syauki, akhirnya membuka pintu. Tapi saat
ditanya soal sejarah keluarga Markam, dia menolak bicara.<br />
<br />
”Silakan
tanya bapak saja,” kata dia saat ditemui di rumahnya itu, Jalan Bhakti
nomor 48, Kelurahan Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan,
bulan lalu.<br />
<br />
Besoknya, tempat kerbau itu berubah menjadi
tempat parkir mobil Volvo hitam buatan Swedia. Menurut Anton, warga
sekitar, mobil itu biasa dikendarai Syauki. Namun saat pintu rumah
diketuk, justru Putri, anak ketiga Syauki, yang muncul. Putri
mengatakan bapaknya tidak ada di rumah. Saat merdeka.com bertanya soal
sejarah Markam, dia memberi penuturan mirip ibunya.<br />
<br />
”Silakan tanya bapak saja. Nanti saya salah bicara, bapak bisa marah-marah.”<br />
<br />
Tapi
dari Putri ada sedikit cerita. Menurut dia, sudah belasan tahun
keluarga Markam berpencar ke mana-mana, ada yang tinggal di Aceh,
beberapa lagi di Jakarta. Kakeknya, Markam, memang memiliki lebih dari
dua istri. Syauki adalah anak dari salah satu istri tua Markam. Menurut
perempuan dengan kawat gigi itu, bapaknya memiliki empat saudara
kandung.<br />
<br />
”Tapi rumah mereka di mana saya tidak tahu, mereka seperti trauma, susah diajak bicara,” ujarnya.<br />
<br />
Syauki
tidak berhasil ditemui di rumah dan kantornya, komplek rumah toko
(ruko) Superindo, di Jalan Hayam Wuruk nomor 103H, Jakarta Pusat.
Mungkiatun, pegawai kantor, mengatakan bosnya sedang ke luar kota.<br />
<br />
Ketika
dua nomor telepon milik Syauki dihubungi, tidak ada jawaban. Menurut
Mungki hal itu sudah biasa. Syauki, dia menambahkan, selama ini tidak
pernah mau mengangkat telepon dari siapapun, kecuali keluarga dan
kantor.<br />
<br />
Begitu juga dengan kiriman pesan pendek
permintaan wawancara, Syauki tetap tidak membalas. Tapi Mungki sempat
bercerita ihwal perjuangan keluarga Markam merebut harta keluarga.
Syauki, kata dia, sempat dua kali masuk penjara lantaran sengketa
kepemilikan lahan dan perusahaan. Pertama, dia ditahan lantaran
terbelit kasus jual beli lahan.<br />
<br />
”Yang kedua dia dipenjara lagi karena membacok kepala seorang preman gara-gara sengketa lahan,” tuturnya.<br />
<br />
Hal
itu dibenarkan Ambarwati, pegawai lain. Dia menyarankan, kalau menemui
Syauki hendaknya malam hari, atau lebih dulu membuat janji. Kalau
tidak begitu, bosnya sangat sulit ditemui.<br />
<br />
Mungkiatun
kemudian menghubungkan merdeka.com dengan Cut Martaleta, adik tiri
Syauki, yang kebetulan menginap di sebuah wisma tepat di depan kantor.
Martaleta adalah anak Markam dari istri yang lain. Namun ketika
ditemui, Martaleta juga menolak wawancara.<br />
<br />
”Maaf tidak bisa, saya sedang sakit," kata dia.<br />
<br />
Akhirnya, melalui pertanyaan singkat lewat pesan pendek, Martaleta bersedia menjawab. Isinya begini:<br />
<br />
<blockquote>
<i>saya
minta disediakan uang Rp 30 juta karena saya jujur dengan Anda,
keadaan saya sangat-sangat di bawah standar. Saya minta uang ditransfer
di muka, setelah itu kita adakan pertemuan di rumah kakak saya, yang
juga ahli waris Haji Teuku Markam.</i></blockquote>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img alt="" class="photo_img img" height="155" src="http://photos-f.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash3/559204_464813300196651_256192414_a.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" width="200" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Toyota Hardtop</td></tr>
</tbody></table>
<span class="photo_right" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"></span><br />
Jejak
kejayaan Markam memang masih ada. Rumah Syauki di Jalan Bhakti,
Cilandak Timur, itu misalnya, berdiri di pojok halaman depan gudang PT
Markam Jaya, sebuah perusahaan kontraktor milik Markam pada era Presiden
Soekarno.<br />
<br />
Konon, Teuku Markam merupakan salah satu
saudagar Aceh yang sukses di masanya. Dia sempat membangun
infrastruktur di Aceh, termasuk jalan Medan-Banda Aceh,
Bireuen-Takengon, Meulaboh, dan Tapaktuan.<br />
<br />
Markam juga
disebut-sebut memiliki sejumlah dok kapal di Jakarta, Makassar, Medan,
dan Palembang. Dia tercatat sebagai eksportir pertama mobil Toyota
Hardtop dari Jepang. Usaha lain adalah mengimpor pelat baja, besi beton
sampai senjata untuk militer. Orang kaya ini juga disebut-sebut
menyumbangkan 28 kilogram emasnya buat pembangunan tugu Monas.<br />
<br />
Peran
Markam mulai hancur dan runtuh ketika kekuasaan Soeharto semakin
besar. Ia pernah ditahan delapan tahun dengan tuduhan terlibat Partai
Komunis Indonesia (PKI). Harta kekayaannya dirampas. Dia mencoba
bangkit setelah keluar dari penjara, tapi tidak bertahan lama.
Pengambilalihan harta Markam ini dibenarkan oleh sejarawan Anhar
Gonggong.<br />
<br />
”Salah satunya Bank Duta milik Soeharto dulu kemungkinan adalah asetnya Markam.”<br />
<br />
***<br />
<br />
<i><b>Sumber Kutipan : </b></i>http://www.atjehcyber.net/2012/07/merekam-jejak-keluarga-teuku-markam.htmlAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-39685085114373890792012-06-25T00:15:00.000-07:002012-06-25T00:19:01.074-07:00Soekarnoisme Tidak Usah Ajari Rakyat Aceh!<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="323" src="http://a5.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-prn1/552579_455937747750873_1022473950_n.jpg" width="640" /><span class="caption"></span></span></div>
<b></b><b></b><br />
<br />
<b><i>BANDUNG, 12 June 2012 | Kompasiana</i></b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
<b>Aceh</b>,<b> </b>berbeda
dengan wilayah lainnya di Indonesia, karenanya tidak perlu memaksakan
diri untuk menyamakannya. Rakyat Aceh sudah sangat memahaminya
bagaimana membangun dirinya dari berbagai ekses yang terjadi sebagai
dampak perlawanan terhadap rezim korup sebelumnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rakyat
Aceh sangat memahami bagaiamana karakteristik rejim Orde lama dan
juga rejim Orde Baru yang mengkhianati kesetiaan rakyat Aceh,
kesetiaan mereka dibalas dengan pengkhianatan sebagaimana susu dibalas
dengan tuba. Berbagai konflik terjadi yang menelan korban begitu
banyak, yang coba diselesaikan oleh Henry Dunant Center di era Presiden
Gus Dur.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span class="photo_right" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="132" src="http://photos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/602547_455938414417473_127918164_a.jpg" width="200" /><span class="caption"></span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
Apa yang dirintis Gus Dur disabot oleh rejim selanjutnya pimpinan Megawati Sukarnoputri dukungan kelompok Sukarnoisme.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Upaya-upaya
perdamaian yang mulai tampakpun kembali hancur berkeping-keping,
Presiden Megawati Sukarnoputri mengobarkan perang terhadap rakyat Aceh
sebagaimana dilakukan rejim Orde Lama pimpinan Sukarno sebelumnya.
Selain itu kelompok-kelompok Sukarnoisme coba memecah wilayah Aceh
sebagaimana mereka lakukan terhadap Papua, namun gagal karena rakyat
Aceh sudah bertekas untuk tetap bersatu dan <i>enggan </i>wilayahnya dipecah belah oleh siapapun.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Operasi
militer besar-besaran berhasil di akhiri menysul terpentalnya Megawati
Sukarnoputri dari kursi kepresidenan, yang kemudian dilanjutkan SBY
salah seorang anggota kabinet Gotong royong yang terpental dan
bergabung Demokrat yang bersama JK terpilih menjadi kepala pemerintahan
selanjutnya. Pada masa SBY upaya perdamaian di Aceh dilanjutkan
kembali, yang berhasil mengakhirinya dengan menandatangani MOU
Helsinki, 15 Agustus 2005.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span class=""><img alt="" class="photo_img img" src="http://a6.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/s720x720/198279_455938741084107_565402019_n.jpg" /></span><br />
<span class=""><span class="caption"></span></span><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
MOU
Helsinki yang diprakarsai oleh Marty Achtisary, PBB dan EU berhasil
mengakhiri konflik yang ditanda tangani oleh pihak GAM dan Indonesia.
Konsekuwensinya Aceh memiliki Partai -Partai Politik Lokal, serta
pemberlakuan syariat islam di Aceh. Sekali lagi hanya di Aceh, bukan
di daerah lainnya.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Dan bagi kelompok yang coba mengutik
atik MOU Helsinki sebagaimana yang senantiasa dilakukan oleh kelompok
nasionalis sekuler Sukarnois dan Marhenis tersebut, maka perlu
menyadarinya bahwa Aceh memang berbeda dengan daerah lainnya. Karena
memang latar belakang historis wilayah Aceh jauh berbeda dengan daerah
lainnya, sehingga wajar saja jika hal itu bisa membedakannya dengan
daerah lainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Soal toleransi beragama di Aceh sudah
berlangsung lama, bahkan sejak NKRI belum ada kesultanan Aceh sudah
memberlakukannya dengan baik. Sultan Iskandar Muda menghukum mati
putranya sendiri karena melakukan perbuatan keji, karena Aceh menerapkan
hukum Islam. Ketika Belanda membatalkan perjanjian London dengan
traktat Sumatra 1871, lalu menyerang Aceh hingga meletuslah peperangan
yang terlama di kawasan Asia, dan nomor dua terlama di dunia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span class=""><img alt="" class="photo_img img" src="http://a3.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash3/s720x720/539321_455939247750723_939653831_n.jpg" /></span><br />
<span class=""><span class="caption"></span></span><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Ketika
perang dunia berakhir Aceh tidak pernah dikuasai kembali oleh Belanda,
sehingga tidak termasuk kedalam BFO (RIS) buatan NICA yang selanjutnya
menjadi Indonesia sebagai konsekuwensi Konferensi Meja Bundar. Selama
Hindia Belanda masih diduduki, Rakyat Aceh menyediakan wilayahnya bagi
PDRI seiring membeli pesawat terbang Seulawah yang oleh Indonesia
dinamakan RI.001, serta bantuan finasial lainnya bagi Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karenanya
Aceh seperti halnya Yogya berbeda dengan lainnya,makanya keduanya
memiliki keunikan yang tidak diperoleh daerah lainnya. Ya sudahlah,
jangan diungkit-ungkit lagi masa lalu yang luka menganga tersebut,
sekarang tepati saja janjinya, urusi saja urusan masing-masing.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di
Aceh tepatnya dekat Mesjid raya Baiturrahman terdapat Gereja, Wihara,
yang senantiasa dilindungi oleh rakyat Aceh meskipun dalam keadaan
perang sekalipun.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span class="photo_right" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="150" src="http://photos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash3/562685_455939637750684_660161937_a.jpg" width="200" /><span class="caption"></span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
Namun
bagi wilayah Aceh ada atau tanpa SKB pun toleransi beragama sudah
sejak lama dipraktekkan disana, namun sekitar tahun-tahun berikutnya
seiring maraknya PKI di zaman Orde lama-terjadi migrasi non muslim ke
Singkil dari Sumatera Utara.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam konteks terjadilah
konflik dengan penduduk setempat, tetapi bagi jemaat yang sudah ada
sebelumnya bebas menjalankan ajaran agamanya. Gereja mereka dihormati
oleh penduduk setempat, akan tetapi melalui strategi khusus untuk
memperoleh ijin warga setempat banyak jemaat dari luar Aceh di bawa
kesana sehingga menimbulkan konflik. Dan beberapa hari yang lalu aparat
keamanan Aceh menangkap dua orang diantara tokoh intelektualnya, dan
sudah diserahkan kepada polisi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jadi keadaan Aceh yang sudah damai tidak usah diusik-usik lagi, jika <i>enggak</i> cocok dengan aturan (Qanun) Aceh <i>enggak </i>apa-apa,
memang syariat Islam hanya berlaku di Aceh. Dan jika sekiranya
Marhenisme atau Soekarnoisme dan sejenisnya tidak suka, jangan ke Aceh
titik!.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<br />
<i><b>Sumber :</b></i><br />
<i><b>Muhammad Nurdin</b>, Bandung, 8 Juni 2012</i><br />
<i>Guru sejarah dan sosiologi di SMA di kota Bandung.<b></b></i><br />
<i></i><i></i>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-35148884270309472832012-06-09T01:48:00.001-07:002012-06-09T01:48:12.797-07:00Teuku Markam, Nestapa Sang Penyumbang Emas Monas<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2ZYexvwswJ7V9s5ONndt-2JZsTTAgAwPo6_NkZZq79i4NIIFng8hsvJRb57mPv7e38omahchmUXJofaUw9eAMVZqwcvjSwwcnk99o3pS6XDDMyhlfGBhgcyFmMYZO-VF3BSHELTKgLw4/s1600/monas.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2ZYexvwswJ7V9s5ONndt-2JZsTTAgAwPo6_NkZZq79i4NIIFng8hsvJRb57mPv7e38omahchmUXJofaUw9eAMVZqwcvjSwwcnk99o3pS6XDDMyhlfGBhgcyFmMYZO-VF3BSHELTKgLw4/s1600/monas.jpg" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br />
</div>
<span style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Ternyata
38 kg emas yang dipajang di puncak tugu Monumen Nasional (Monas)
Jakarta, 28 kg di antaranya adalah sumbangan dari Teuku Markam, salah
seorang saudagar Aceh yang pernah menjadi orang terkaya Indonesia.
Orang-Orang hanya tahu bahwa emas tersebut memang benar sumbangan
saudagar Aceh. Namun tak banyak yang tahu, bahwa Teuku Markamlah
saudagar yang dimaksud itu.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Itu
baru segelintir karya Teuku Markam untuk kepentingan negeri ini. Karya
lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat
olah raga terbesar Indonesia. Tentu saja banyak bantuan-bantuan Teuku
Markam lainnya yang pantas dicatat dalam memajukan perekonomian
Indonesia di zaman Soekarno, hingga menempatkan Markam dalam sebuah
legenda.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5qv3ezm5dTLUDBuS5PeeUaNUUBUFmnhEz1y_DicvrbmGFCS4z1cVsGL4FlRe1QlBVp1iuxuxG_jlkgz6EAy_kg3YuxjMyMNRJ3XsQIeX7sqK6DzftSejLd9d8BrDMQqMXFjAot4kHHls/s1600/228563_115495565200527_105930562823694_140303_2442400_n.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5qv3ezm5dTLUDBuS5PeeUaNUUBUFmnhEz1y_DicvrbmGFCS4z1cVsGL4FlRe1QlBVp1iuxuxG_jlkgz6EAy_kg3YuxjMyMNRJ3XsQIeX7sqK6DzftSejLd9d8BrDMQqMXFjAot4kHHls/s1600/228563_115495565200527_105930562823694_140303_2442400_n.jpg" /></a><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Di
zaman Orba, karyanya yang terbilang monumental adalah pembangunan
infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Jalan Medan-Banda Aceh,
Bireuen-Takengon, Meulaboh, Tapaktuan dan lain-lain adalah karya lain
dari Teuku Markam yang didanai oleh Bank Dunia. Sampai sekarang pun,
jalan-jalan itu tetap awet. Teuku Markam pernah memiliki sejumlah kapal,
dok kapal di Jakarta, Makassar, Medan, Palembang. Ia pun tercatat
sebagai eksportir pertama mobil Toyota Hardtop dari Jepang. Usaha lain
adalah mengimpor plat baja, besi beton sampai senjata untuk militer.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Mengingat
peran yang begitu besar dalam percaturan bisnis dan perekonomian
Indonesia, Teuku Markam pernah disebut-sebut sebagai anggota kabinet
bayangan pemerintahan Soekarno. Peran Markam menjadi runtuh seiring
dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto. Ia ditahan selama delapan
tahun dengan tuduhan terlibat PKI. Harta kekayaannya diambil alih begitu
saja oleh Rezim Orba. Pernah mencoba bangkit sekeluar dari penjara,
tapi tidak sempat bertahan lama. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Tahun
1985 ia meninggal dunia. Aktivitas bisnisnya ditekan habis-habisan.
Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi
mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak
pernah direhabilitir. Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala
daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam.
Dan hingga kini, ahli waris Teuku Markam masih berjuang mengembalikan
hak-hak orang tuanya.</span></div>
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<b><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Siapakah Teuku Markam ?</span></b><br />
<span style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Teuku Markam turunan uleebalang.
Lahir tahun 1925. Ayahnya Teuku Marhaban. Kampungnya Seuneudon dan Alue
Capli, Panton Labu, Aceh Utara. Sejak kecil Teuku Markam sudah menjadi
yatim piatu. Ketika usia 9 tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia.
Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian
diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas
4 SR (Sekolah Rakyat).</div>
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://lovely.indonesia123.com/wp-content/uploads/2010/12/gatotsubroto.jpg" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="200" src="http://lovely.indonesia123.com/wp-content/uploads/2010/12/gatotsubroto.jpg" width="163" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Jenderal Gatot Subroto</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Teuku
Markam tumbuh lalu menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib militer
di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan
satu. Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan
ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jendral
Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan lain-lain. Selama
bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai lapangan
pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan clash antara pasukan Simbolon
dengan pasukan Manaf Lubis.</span></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Sebagai
prajurit penghubung, Teuku Markam lalu diutus oleh Panglima Jenderal
Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan, Teuku
Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot
Soebroto. Tugas itu diemban Markam sampai Gatot Soebroto meninggal
dunia.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Adalah
Gatot Soebroto pula yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu
dengan Presiden Soekarno. Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan
adanya pengusaha pribumi yang betul-betul mampu menghendel masalah
perekonomian Indonesia. Tahun 1957, ketika Teuku Markam berpangkat
kapten (NRP 12276), kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam. Ia sempat
bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda) karena
"disiriki" oleh orang lain. Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru
keluar tahun 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan
oleh Sjamaun Gaharu.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://pictures.topspeed.com/IMG/crop/200605/2007-toyota-fj-cruiser-44_460x0w.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="155" src="http://pictures.topspeed.com/IMG/crop/200605/2007-toyota-fj-cruiser-44_460x0w.jpg" width="200" /></a></div>
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Keluar
dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam.
Perusahaan itu dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola pampasan perang
untuk dijadikan dana revolusi. Selanjutnya Teuku Markam benar-benar
menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa
dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya. </span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Bisnis
Teuku Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor - impor
dengan sejumlah negara. Antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari
Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas
persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Komitmen
Teuku Markam adalah mendukung perjuangan RI sepenuhnya termasuk
pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu
digenjot habis-habisan oleh Soekarno. Hasil bisnis Teuku Markam konon
juga ikut menjadi sumber APBN serta mengumpulkan sejumlah 28 kg emas
untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas). Sebagaimana kita
tahu bahwa proyek Monas merupakan salah satu impian Soekarno dalam
meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Peran Teuku Markam menyukseskan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tidak kecil berkat bantuan
sejumlah dana untuk keperluan KTT itu.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Teuku
Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat
dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain seperti Menteri
PU Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin
Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo dan
lain-lain. Pada zaman Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa
populer. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet
bayangan Soekarno.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Sejarah
kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun
perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata pemerintahan
Orba. Ia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan
Soekarnoisme. Tuduhan itulah yang kemudian mengantarkan Teuku Markam ke
penjara pada tahun 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses
pengadilan. Pertama-tama ia dimasukkan tahanan Budi Utomo, lalu
dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba Jln
Percetakan Negara. Lalu dipindah lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir
dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di kawasan Pondok
Gede Jakarta Timur. Tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di
RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://www.indonesia-pusaka.com/Photos/suharto/012708/suharto2.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="187" src="http://www.indonesia-pusaka.com/Photos/suharto/012708/suharto2.jpg" width="200" /></a></div>
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Peralihan
kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat hidup Teuku Markam menjadi
sulit dan prihatin. Ia baru bebas tahun 1974. Ini pun, kabarnya, berkat
jasa- jasa baik dari sejumlah teman setianya. Teuku Markam dilepaskan
begitu saja tanpa ada konpensasi apapun dari pemerintahan Orba. "Memang
betul, saat itu Teuku Markam tidak akan menuntut hak- haknya. Tapi waktu
itu ia kan tertindas dan teraniaya," kata Teuku Syauki Markam, salah
seorang putra Teuku Markam.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Soeharto
selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil
alih aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang
kemudian dikelola PT PP Berdikari yang didirikan Suhardiman untuk dan
atas nama pemerintahan RI. Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami
(dua orang terakhir ini adalah tokoh Aceh di Jakarta) termasuk
teman-teman Markam. Namun tidak banyak menolong mengembalikan asset PT
Karkam. Justru mereka ikut mengelola aset-aset tersebut di bawah bendera
PT PP Berdikari. Suhardiman adalah orang pertama yang memimpin
perusahaan tersebut. Di jajaran direktur tertera Sukotriwarno, Edhy
Tjahaja, dan Amran Zamzami. Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen
Achmad Tirtosudiro, Drs Ahman Nurhani, dan Bustanil Arifin SH.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Pada
tahun 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974 yang isinya
antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT
Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus
"pinjaman" yang nilainya Rp 411.314.924,29 sebagai penyertaan modal
negara di PT PP Berdikari Kepres itu terbit persis pada tahun
dibebaskannya Teuku Markam dari tahanan.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Sekeluar
dari penjara, tahun 1974, Teuku Markam mendirikan PT Marjaya dan
menggarap proyek-prorek Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur di
Aceh dan Jawa Barat. Tapi tidak satupun dari proyek-proyek raksasa yang
dikerjakan PT Marjaya baik di Aceh maupun di Jawa Barat, mau diresmikan
oleh pemerintahan Soeharto. Proyek PT Marjaya di Aceh antara lain
pembangunan Jalan Bireuen - Takengon, Aceh Barat, Aceh Selatan,
Medan-Banda Aceh, PT PIM dan lain-lain.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">Teuku
Syauki menduga, Rezim Orba sangat takut apabila Teuku Markam kembali
bangkit. Untuk itulah, kata Teuku Syauki, proyek-proyek Markam
"dianggap" angin lalu. Teuku Markam meninggal tahun 1985 akibat
komplikasi berbagai penyakit di Jakarta. Sampai akhir hayatnya,
pemerintah tidak pernah merehabilitasi namanya. Bahkan sampai sekarang.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">"<i><span class="Apple-style-span" style="color: orange;">Air susu dibalas air tuba," itulah nasib ayah kami</span>"</i>,
kata Teuku Syauki mengenai prilaku penguasa Orba. Untuk mengembalikan
aset PT Karkam yang dikuasai oleh pemerintah, selaku ahli waris, Teuku
Syauki Markam menyurati Presiden Gus Dur dan Wapres Megawati
Soekarnoputri. Kekayaan Teuku Markam yang diambil alih itu ditaksir
bernilai Rp 40 triliun lebih. </span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;">"<i><span class="Apple-style-span" style="color: orange;">Kami menuntut kepada pemerintahan sekarang untuk mengembalikan seluruh aset kekayaan orang tua kami</span></i>," kata Teuku Syauki Markam. "<i><span class="Apple-style-span" style="color: orange;">Seumur hidup saya akan berjuang mendapatkan kembali hak kelurga kami yang telah dirampas oleh pemerintahan Orba</span></i>,"
tekad Teuku Syauki yang nampak geram atas tingkah pola kekuasaan Orba
yang menyebabkan keluarga mereka menderita lahir batin.</span></div>
<br />
<div style="text-align: center;">
***</div>
</div>
<i><b>Sumber :</b></i> http://www.atjehcyber.net/2011/07/teuku-markam-nestapa-sang-penyumbang.htmlAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4837155769678717905.post-22950233969591007052012-06-09T01:34:00.002-07:002012-06-09T01:38:42.654-07:00Buku Hasan Tiro: "ATJEH DI MATA DUNIA" Dialihbahasakan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtPH-CMknCC6pAlkB1u6cTIa9k4ZTREqilzLJzSNAEUbESPyEHF-H-aGBgFeDknQD0CpZ1j-INIxk0j9ZAX8B5aKReEdti7UwZUdJ6NqPksBsYHKTicMtCaLnFKp9QQdryQYL0qBxWVoA/s1600/Hasan+M.+di+Tiro+-+ATJEH+DI+MATA+DUNIA.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtPH-CMknCC6pAlkB1u6cTIa9k4ZTREqilzLJzSNAEUbESPyEHF-H-aGBgFeDknQD0CpZ1j-INIxk0j9ZAX8B5aKReEdti7UwZUdJ6NqPksBsYHKTicMtCaLnFKp9QQdryQYL0qBxWVoA/s1600/Hasan+M.+di+Tiro+-+ATJEH+DI+MATA+DUNIA.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<blockquote class="tr_bq" style="text-align: justify;">
<i><b>“SETELAH
peperangan besar dengan Belanda yang dimulai tahun 1873 dan selesai
tahun 1937, tidak ada satu pemimpin Atjèh pun yang hidup, karena semua
memilih syahid dalam peperangan daripada hidup menjadi budak Belanda.
Teladan ini yang diberikan untuk kita sebagai cucunya, adalah suatu
kemutlakan yang tidak bisa dibantah dan tidak perlu menunggu jawaban
dari kita...” </b></i></blockquote>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Begitulah antara lain penggalan
kalimat pada bagian kata pengantar buku “Aceh di Mata Dunia” yang
ditulis Teungku Hasan Muhammad di Tiro, tokoh kunci Gerakan Aceh Merdeka
yang meninggal pada 3 Juni 2010. Kini, karya fenomenal Hasan Tiro
kembali diangkat ke permukaan untuk mengenang kembali jejak dan
pemikiran briliannya dalam sejarah pergolakan politik di Aceh. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di antara banyak buku yang
ditulis Hasan Tiro, “Aceh di Mata Dunia” adalah salah satu karya yang
masih sedikit diketahui orang, karena ditulis sang proklamator GAM itu
dalam bahasa Aceh dengan judul; Aceh Bak Mata Donya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baru kali ini buku yang ditulis
tahun 1968 itu mulai dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul “Aceh di Mata Dunia”. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Proses penerjemahannya sekarang
masih berlangsung, untuk bagian kata pengantar sudah siap. Rencananya
juga akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,” kata penerjemah buku
itu, Haekal Afifa kepada Serambi, Senin (4/6). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada Senin kemarin, sejumlah
akademisi dan politisi membedah buku Aceh di Mata Dunia (edisi
Indonesia) ini dalam sebuah diskusi. Acara ini diselenggarakan atas
kerja sama Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, The Atjeh Ethnic Institute,
dan Bandar Publishing. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada sejumlah nara sumber yang
hadir mengulasnya, seperti penulis dan pengamat sejarah Aceh M Adli
Abdullah, Dosen Fakultas Dakwah Baharuddin AR, dan anggota DPRA Adnan
Beuransah. Acara itu dimediatori Mukhlisudin Ilyas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Buku “Aceh Bak Mata Donya”,
selain melukiskan sejarah panjang Aceh, kejayaan Aceh pada abad ke-17,
juga mengupas keheroikan pejuangannya dalam peperangan melawan Belanda
tahun 1873 sampai 1937. Gambaran ini seperti ditulis Hasan Tiro pada
salah satu bagian bab kata pengantar buku tersebut. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hasan Tiro menyebut perjuangan
berabad lamanya melawan penjajah merupakan upaya mempertahankan
kemuliaan tanah Aceh yang sudah dipertahankan secara turun temurun oleh
para raja Aceh dahulu. Tapi, dalam bukunya itu Hasan Tiro sempat
menyiratkan keresahannya setelah peperangan besar dengan Belanda tahun
1873-1937, yakni tidak ada satu pemimpin Aceh pun yang hidup. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Semua pemimpin kita sudah
syahid dalam perang Belanda-Atjèh. Kita yang lahir setelah peperangan
sudah hilang hubungan dengan generasi sebelum perang. Baik hubungan
politik, sejarah, maupun adab. Generasi sekarang sudah hilang pedoman
hidup (meuneumat). Tidak ada lagi tali hubungan yang bisa menyambung
kita dengan generasi di masa lalu, generasi pemberani yang syahid serta
buku-buku yang sudah dibakar oleh penjajah,” sebut pria yang lazim
disapa “Wali” itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kepada generasi Aceh, dia
menyebut hidup di dunia bukan sekadar hidup. Hidup adalah sebuah
kemuliaan. Lebih baik mati daripada hidup sebagai budak bangsa lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Risalah Atjèh di Mata Donja ini
saya tulis untuk generasi muda Atjèh sekarang, baik laki-laki maupun
perempuan. Sebagai jembatan yang bisa menghubungkan masa lalu dengan
masa depan. Sebagai sambungan dari tali hubungan yang telah putus agar
generasi Atjèh paham seperti apa negara yang sudah dibangun dan
dipertahankan oleh nenek moyangnya dulu. Seperti apa kemuliaan yang
sudah diraih dan bagaimana Atjèh diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain
di muka Bumi,” tulis Hasan Tiro. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menariknya, buku ini lahir dari
hasil beberapa catatan penting tentang Atjèh yang ditulis oleh orang
Eropa, Amerika dan juga catatan-catatan penting lain yang ditulis dalam
bahasa Inggris, Portugis, Prancis, Jerman, Belanda, Italia, dan Arab
yang diperoleh Hasan Tiro melalui penelitian di Museum Lisabon, Madrid,
Paris, London, Istanbul, New York, dan Washington.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut rencana, Buku Aceh di Mata Dunia ini akan diterbitkan pada 25 September 2012 oleh Bandar Publishing Banda Aceh.</div>
<br />
<div style="text-align: right;">
<b><span style="color: #999999; font-size: xx-small;"></span></b></div>
<b><i>Sumber : </i></b>Serambinews.com<b><span style="color: #999999; font-size: xx-small;"></span></b>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06513564952032055712noreply@blogger.com0