Senin, 25 Juni 2012

Soekarnoisme Tidak Usah Ajari Rakyat Aceh!



BANDUNG, 12 June 2012 | Kompasiana

Aceh, berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia, karenanya tidak perlu memaksakan diri untuk menyamakannya. Rakyat Aceh sudah sangat memahaminya bagaimana membangun dirinya dari berbagai ekses yang terjadi sebagai dampak perlawanan terhadap rezim korup sebelumnya.


Rakyat Aceh sangat memahami bagaiamana karakteristik rejim Orde lama dan juga rejim Orde Baru yang mengkhianati kesetiaan rakyat Aceh, kesetiaan mereka dibalas dengan pengkhianatan sebagaimana susu dibalas dengan tuba. Berbagai konflik terjadi yang menelan korban begitu banyak, yang coba diselesaikan oleh Henry Dunant Center di era Presiden Gus Dur.


Apa yang dirintis Gus Dur disabot oleh rejim selanjutnya pimpinan Megawati Sukarnoputri dukungan kelompok Sukarnoisme.

Upaya-upaya perdamaian yang mulai tampakpun kembali hancur berkeping-keping, Presiden Megawati Sukarnoputri mengobarkan perang terhadap rakyat Aceh sebagaimana dilakukan rejim Orde Lama pimpinan Sukarno sebelumnya. Selain itu kelompok-kelompok Sukarnoisme coba memecah wilayah Aceh sebagaimana mereka lakukan terhadap Papua, namun gagal karena rakyat Aceh sudah bertekas untuk tetap bersatu dan enggan wilayahnya dipecah belah oleh siapapun.

Operasi militer besar-besaran berhasil di akhiri menysul terpentalnya Megawati Sukarnoputri dari kursi kepresidenan, yang kemudian dilanjutkan SBY salah seorang anggota kabinet Gotong royong yang terpental dan bergabung Demokrat yang bersama JK terpilih menjadi kepala pemerintahan selanjutnya. Pada masa SBY upaya perdamaian di Aceh dilanjutkan kembali, yang berhasil mengakhirinya dengan menandatangani MOU Helsinki, 15 Agustus 2005.




MOU Helsinki yang diprakarsai oleh Marty Achtisary, PBB dan EU berhasil mengakhiri konflik yang ditanda tangani oleh pihak GAM dan Indonesia. Konsekuwensinya Aceh memiliki Partai -Partai Politik Lokal, serta pemberlakuan syariat islam di Aceh. Sekali lagi hanya di Aceh, bukan di daerah lainnya.

Dan bagi kelompok yang coba mengutik atik MOU Helsinki sebagaimana yang senantiasa dilakukan oleh kelompok nasionalis sekuler Sukarnois dan Marhenis tersebut, maka perlu menyadarinya bahwa Aceh memang berbeda dengan daerah lainnya. Karena memang latar belakang historis wilayah Aceh jauh berbeda dengan daerah lainnya, sehingga wajar saja jika hal itu bisa membedakannya dengan daerah lainnya.

Soal toleransi beragama di Aceh sudah berlangsung lama, bahkan sejak NKRI belum ada kesultanan Aceh sudah memberlakukannya dengan baik. Sultan Iskandar Muda menghukum mati putranya sendiri karena melakukan perbuatan keji, karena Aceh menerapkan hukum Islam. Ketika Belanda membatalkan perjanjian London dengan traktat Sumatra 1871, lalu menyerang Aceh hingga meletuslah peperangan yang terlama di kawasan Asia, dan nomor dua terlama di dunia.




Ketika perang dunia berakhir Aceh tidak pernah dikuasai kembali oleh Belanda, sehingga tidak termasuk kedalam BFO (RIS) buatan NICA yang selanjutnya menjadi Indonesia sebagai konsekuwensi Konferensi Meja Bundar. Selama Hindia Belanda masih diduduki, Rakyat Aceh menyediakan wilayahnya bagi PDRI seiring membeli pesawat terbang Seulawah yang oleh Indonesia dinamakan RI.001, serta bantuan finasial lainnya bagi Indonesia.

Karenanya Aceh seperti halnya Yogya berbeda dengan lainnya,makanya keduanya memiliki keunikan yang tidak diperoleh daerah lainnya. Ya sudahlah, jangan diungkit-ungkit lagi masa lalu yang luka menganga tersebut, sekarang tepati saja janjinya, urusi saja urusan masing-masing.

Di Aceh tepatnya dekat Mesjid raya Baiturrahman terdapat Gereja, Wihara, yang senantiasa dilindungi oleh rakyat Aceh meskipun dalam keadaan perang sekalipun.


Namun bagi wilayah Aceh ada atau tanpa SKB pun toleransi beragama sudah sejak lama dipraktekkan disana, namun sekitar tahun-tahun berikutnya seiring maraknya PKI di zaman Orde lama-terjadi migrasi non muslim ke Singkil dari Sumatera Utara.

Dalam konteks terjadilah konflik dengan penduduk setempat, tetapi bagi jemaat yang sudah ada sebelumnya bebas menjalankan ajaran agamanya. Gereja mereka dihormati oleh penduduk setempat, akan tetapi melalui strategi khusus untuk memperoleh ijin warga setempat banyak jemaat dari luar Aceh di bawa kesana sehingga menimbulkan konflik. Dan beberapa hari yang lalu aparat keamanan Aceh menangkap dua orang diantara tokoh intelektualnya, dan sudah diserahkan kepada polisi.

Jadi keadaan Aceh yang sudah damai tidak usah diusik-usik lagi, jika enggak  cocok dengan aturan (Qanun) Aceh enggak  apa-apa, memang syariat Islam hanya berlaku di Aceh. Dan jika sekiranya Marhenisme atau Soekarnoisme dan sejenisnya tidak suka, jangan ke Aceh titik!.



Sumber :
Muhammad Nurdin, Bandung, 8 Juni 2012
Guru sejarah dan sosiologi di SMA di kota Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar