Kamis, 05 Juli 2012

Sejarah Asal Mula GAM, Penyebab Gerakan GAM di Aceh

 

                                                              Sejarah Asal Mula GAM (1)
                                         Lahir karena Penindasan dan Pelecehan Tanah Adat

Putus sudah harapan damai di Aceh. Sejak kemarin, pemerintah mulai memberlakukan darurat militer di Aceh. Enam bulan lamanya operasi bakal dilakukan TNI. Militer diterjunkan untuk melumpuhkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mengapa dan bagaimana lahirnya ''si Anak Nakal'' di Aceh itu?


BICARA GAM, mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Di bawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan.


Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ''Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.'' Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Tengku Nyak Arief gubernur di bumi Serambi Mekah.


Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946.


Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.


Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat.


Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.


Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi.


Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo.


Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.

Dikhianati


Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).


GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.


Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata.


Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM.


Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto. *
Heru B. Arifin

Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia

Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun. Kekuatan bersenjata pun disusun. Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya, dan dananya?

------------------------------

MASIH ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei lalu. Hingga batas waktu ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan sebagai tanda awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah menghitung kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui perang gerilya.

Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh. Filosofinya begini. Jika rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya.

Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI.

Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya.

Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima wilayah.

Sejak berdiri tahun 1977, GAM dengan cepat melakukan pendidikan militer bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam latihan di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin Laden.

Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus).

Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI-AL.

Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong baleh (pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita).

Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang.

Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Filipina -- Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di antaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1.

Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom -- Aceh Barat -- dan di Lhokseumawe dan Nisau-Aceh Utara serta di Aceh Timur. Jenis senjata yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek, pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.

Senjata-senjata GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung.
Pasar gelap senjata ini dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah. Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kuitansi Rp 3 milyar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI.

Kini, senjata yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah senjata berat. Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang hit and run. GAM bahkan mengaku memiliki senjata yang lebih modern daripada TNI. Misalnya, senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata otomatis, berbentuk kecil mungil itu bisa tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa menyusup ke kota-kota dan menyergap anggota TNI/Polri yang teledor.

Membeli senjata tentu dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak murah. Lantas, dari mana mereka mendapatkan dana? GAM memiliki donatur tetap dari pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya, di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh.

Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura.

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut Pupuk Iskandar Muda pernah menyetor Rp 10 milyar ke GAM untuk biaya keamanan. GAM kerap melakukan gangguan bila tidak mendapatkan sumbangan wajib tersebut. Makanya, setiap bulan, GAM mendapat upeti dari para pengusaha ''sahabat GAM'' itu.

Sistem komunikasi GAM juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan GAM sebagai benteng pertahanan dan propaganda. Selain handytalky, GAM juga memiliki radio tranking, radar dan telepon satelit. GAM juga memiliki penyadap telepon. Acap kali gerakan TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering kali gagal total.

Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive. Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak berhubungan, tidak saling mengenal.

Ketua Umum Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat Aceh tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh menentang pusat tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka.

- - - - - - - - - - - - - - -

kalau boleh jujur gw salute banget sama organisasi2 yang GAM pimpin... sebegitu rapinya, hingga tidak dipungkiri TNI AL kewalahan dalam menghadapi aksi mereka...

Dari kutipan diatas ada 1 hal yang berhasil gw ambil dan bagi gw hal itu merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan kita. "Jangan mengucapkan kata kata atau sebuah janji, bila kita sendiri masih meragukan untuk menepati janji tersebut..."


Sumber Kutipan : http://putraaceh.multiply.com

ACEH : Mengapa Dia Berontak, Mengapa Mereka Berontak

Aceh : Mengapa Dia Berontak, Mengapa Mereka Berontak



58 tahun negara ini berdiri: Aceh masih bergolak. Indonesia memang kenyang dengan gerakan separatis, tapi mungkin tak cukup arif menarik pelajaran dari pengalaman. Di Aceh, seorang ulama, tokoh masyarakat karismatik, Teungku Daud Beureueh, mengangkat senjata melawan pemerintah pusat pada 1953. Ironis sekali. Teungku Daud adalah orang yang menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945 dengan sumpah setia. Ia mencintai Indonesia merdeka: dihimpunnya dana masyarakat Aceh untuk membiayai perjuangan militer dan diplomatik RI melawan tekanan Belanda.

Lantas mengapa dia berontak? Operasi militer di Aceh kini telah memasuki minggu ke-12. Ada banyak alasan untuk tetap bergabung atau berpisah. Tapi dibutuhkan lebih banyak lagi alasan untuk mengangkat senjata atau menggunakan senjata demi menciptakan damai. Dan 17 Agustus adalah saat yang tepat untuk merenung: mengapa mereka yang pernah jatuh cinta itu kemudian berontak.

Mengapa Aceh Berontak?

Apa yang disebut Indonesia? Pertanyaan ini layak kita renungkan di saat merayakan hari ulang tahun kemerdekaan ke-58 republik yang kita sayangi ini. Terutama setelah rasa penat mengikuti upacara—atau setelah balap karung di RT—mulai hilang. Sebab, tak semua daerah merayakan acara 17 Agustus ini dengan tawa-ria tarik tambang ataupun berbagai perlombaan lain yang diadakan untuk merangsang suasana gembira bersama. Di beberapa daerah Aceh, misalnya, kegembiraan tak kelihatan sosoknya. Lupakan soal pesta lomba, karena soal sepele seperti apakah sebaiknya memasang bendera Merah Putih atau tidak saja bisa bermuara pada keselamatan jiwa sang pemilik rumah. Simbol resmi negara Indonesia itu dimusuhi oleh sejumlah warga yang ingin menjadikan Aceh sebagai negara merdeka, terlepas dari RI.

Perbedaan suasana yang mencolok di provinsi paling barat itu sungguhlah ironis. Bagaimana tidak. Sejarah telah mencatat betapa tingginya gairah rakyat Aceh ketika menyambut kelahiran Republik Indonesia, sehingga secara spontan dinyatakan oleh Bung Karno sebagai "daerah modal Republik", ketika Bapak Bangsa dan Presiden Indonesia ini berkunjung untuk pertama kalinya, 1948. Namun, tak sampai lima tahun kemudian, kekecewaan terhadap pemerintah pusat, yang dirasakan tidak tanggap terhadap aspirasi daerah, mulai tumbuh. Pemberontakan bersenjata pun meletus sejak 1953. Mula-mula karena janji otonomi khusus tak kunjung ditepati dan, belakangan, karena pengerukan hasil alam daerah oleh pusat menyinggung rasa keadilan penduduk Aceh yang merasa nyaris tak mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi itu.

Terlepas dari apa pun alasannya, kekurangtanggapan Jakarta terhadap kekecewaan itu—yang malah sempat mengirim tentara untuk membungkam protes—telah menuai konflik bersenjata yang membuat ribuan warga tewas, terluka, dan jutaan lainnya menderita. Itu sebabnya perayaan proklamasi kemerdekaan kali ini tak bisa hanya diisi dengan kegiatan bersenang-senang, tapi juga perhatian pada saudara sebangsa di Aceh. Kita semua perlu meluangkan waktu untuk memahami mengapa Aceh berontak, karena hanya dengan pemahaman itu solusi yang tepat untuk menyelesaikannya dapat diraih.

Tentu bukan solusi penaklukan. Kita perlu belajar dari pengalaman Indonesia masa lalu agar tak mengulangi kesalahannya. Penaklukan Jawa oleh kekuatan luar Jawa, seperti pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, terbukti jauh dari langgeng. Demikian pula penaklukan luar Jawa oleh kekuatan Jawa, seperti di era Majapahit, bermuara pada keruntuhan. Kita justru perlu belajar dari anak-anak muda bangsa ini yang pada 28 Oktober 1928 bersepakat mendirikan Indonesia atas dasar kesetaraan dan saling menguntungkan, yang melahirkan tekad untuk membangun satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa.

Bila kerangka pemikiran Sumpah Pemuda ini yang dijadikan patokan, jawaban atas pertanyaan "mengapa Aceh berontak?" jadi mudah ditebak. Sebab, gaya sentralistik pemerintahan Orde Baru, bahkan juga di paruh akhir pemerintahan Orde Lama, pada dasarnya adalah Majapahit babak II. Karena itu, sangat wajar jika sebagian penduduk Aceh melawannya dengan modus Sriwijaya babak II pula. Mereka mungkin tak secara sadar melakukannya, tapi simaklah mengapa baik Daud Beureueh ataupun Hasan Tiro menggunakan masa kejayaan Sultan Iskandar II sebagai modal pembangkit semangat gerakan separatisnya.

Lantas, bagaimana menyelesaikan kemelut separatisme yang dipicu oleh proses Majapahitisasi separuh abad ini? Jawabnya adalah dengan kembali ke Indonesia dengan semangat Sumpah Pemuda 1928. Kesepakatan untuk menjadi satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa atas dasar kesetaraan dan kepentingan bersama dan bukan oleh dominasi atau penaklukan yang kuat terhadap yang lemah. Mufakat ini hanya dapat dibangun melalui rentetan dialog yang jujur, rasional, dan melihat ke depan. Karena itu, perlu dibangun di atas kesepahaman rekonsiliasi nasional yang menyeluruh.

Rekonsiliasi pada dasarnya adalah saling memaafkan kesalahan masa lalu, tapi bukan melupakannya. Ini berarti masing-masing pihak harus menyadari telah melakukan kesalahan, mengakui secara terbuka, dan bertekad tak mengulanginya. Setelah proses ini dilalui, langkah selanjutnya adalah melakukan debat publik untuk menentukan Indonesia seperti apa yang diinginkan. Soalnya, jatidiri sebuah bangsa tak dapat dicari dari masa lampau, tapi justru harus terus-menerus dibangun. Mengutip apa yang dikatakan pemikir sohor Ignas Kleden, "Indonesia bukanlah suatu Gabe, sebuah karunia, melainkan sebuah Aufgabe, suatu tugas, yang mungkin akan merupakan ein unvollendetes Projekt, sebuah proyek yang tak kunjung selesai."

Cara penyelesaian seperti ini bukan orisinal, bahkan telah terbukti kemujarabannya di berbagai negeri. Portugal melakukannya untuk menyelesaikan pemberontakan bersenjata di Kepulauan Azores dan Madeira setelah negara ini mengalami proses demokratisasi di pertengahan 1970-an. Hal yang sama juga dilakukan negara kesatuan Spanyol untuk menyelesaikan gerakan separatis provinsi seperti Catalonia dan Basque setelah rezim diktator Jenderal Franco tumbang. Maka, tak ada alasan untuk pesimistis bahwa keampuhannya tak akan berlaku buat menyelesaikan pemberontakan Aceh.

Memang bukan pekerjaan gampang, tapi bukan pula sebuah mission impossible.


Pejuang Kemerdekaan yang Berontak

TIDAK pernah saya lupakan kemarahannya ketika saya katakan ada baiknya kalau undangan Dr. Mansyur untuk menghadiri konferensi se-Sumatera diterima saja. Ia memukul saya dengan tongkatnya sambil berkata: di mana akan kamu dapatkan negara yang jelas-jelas mengatakan dirinya berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa?". Begitulah cerita seorang tokoh Partai Persatuan Pembangunan Daerah Istimewa Aceh tentang sebuah episode yang dialaminya dengan Teungku Daud Beureueh.

Kalau cerita diteruskan, usaha Negara Sumatera Timur (NST) menggalang kekuatan Sumatera menghadapi RI yang dipimpin Sukarno-Hatta, yang telah ditawan Belanda (1949), pun gagal. Cerita anekdotal ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah tentang Teungku Daud Beureueh yang saya dapatkan di Aceh di awal tahun 1980-an.

Golkar kalah di Aceh pada pemilu tahun 1982. Entah kenapa saya disuruh meneliti soal ini. Konon—jika "laporan pandangan mata" pimpinan yang menyuruh saya itu bisa dipercaya—kekalahan itu menyebabkan Presiden mengajukan pertanyaan: "Apakah Aceh anti-Pancasila?" Singkat cerita, saya pun berangkat ke Aceh untuk mencari jawab atas pertanyaan yang agak aneh ini (Emangnyé Golkar ajé yang Pancasilais?). Tetapi sudahlah. Sebab-sebab kekalahan Golkar dengan mudah bisa diketahui. Saya pun lebih asyik meneliti visi Aceh tentang dirinya dan tentang tempatnya dalam sejarah dan masyarakat-bangsa. Selama dua minggu saya berkeliaran di sepanjang pantai timur, membelok dua hari ke Takengon, sampai akhirnya sampai di Medan. Jadi, praktis saya menjalani wilayah etnis Aceh dan Gayo saja.

Apakah yang tidak saya dapatkan dalam seri diskusi dan wawancara yang nyaris non-stop ini? Sejarah, folklore, mitos, kebanggaan sejarah, harapan, keluhan, ocehan, dan entah apa lagi. Kisah Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam tertua, perang kolonial di Aceh yang terlama dan termahal, Hamzah Fansuri, Abdurrauf al-Singkili, dan sebagainya dengan lancar keluar dari mulut para tokoh—dari birokrat dan ulama sampai pedagang, dari yang telah mantan sampai yang masih sibuk menggapai karier. "Aceh daerah modal." Kapal terbang Seulawah dan sebagainya adalah kebanggaan yang tak terlupakan. Tetapi seketika berbagai kisah yang membanggakan itu berakhir, helaan napas panjang pun tak selamanya bisa terelakkan. "Aceh telah sangsai," kata seorang tokoh di Aceh Timur. Kalau telah begini, kebanggaan daerah kembali dikemukakan, tetapi dengan nada yang menuntut kewajaran dalam penghargaan.

Kalau telah begini pula berbagai cerita dari revolusi diulang-ulang dan pengalaman getir dari "Peristiwa Daerah" 1950-an diingat-ingat. Dalam ingatan kolektif yang disampaikan kepada saya itu, sering kali Tgk. Daud Beureueh tampil sebagai tokoh yang paling dominan. Kadang-kadang timbul juga keraguan dalam diri saya, "Apakah memang demikian halnya?"

Saya telah tahu bahwa persaingan ini terjadi, kata para pengecam Snouck Hurgronje, adalah akibat kemampuan ilmuwan kolonial ini melihat celah dalam sistem kepemimpinan Aceh. Ia berhasil menjadikan perbedaan peran sosial sebagai landasan bagi persaingan ideologis. Seandainya para pengecam ini benar, saya tentu bisa berkata bahwa, biarpun sebuah policy bertolak dari landasan pengetahuan yang salah, jika dijalankan dengan konsisten akhirnya akan menciptakan realitasnya sendiri.

Saya juga telah tahu bahwa sejarah masa revolusi nasional di Aceh tidak hanya menghamparkan kisah tentang pengorbanan bagi negara yang baru diproklamasikan, tetapi juga tentang konflik berdarah golongan uleebalang, dengan para pengikut ulama, yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Bahkan, jika saja bacaan saya tidak mengkhianati saya, "Peristiwa Daerah" di tahun 1950-an tidak pula terbebas dari persaingan kedua corak kepemimpinan Aceh itu. Hanya, dalam wawancara saya, kisah tentang konflik internal ini disebut sepintas lalu saja, sebelum kisah beralih kembali pada masalah penghadapan Aceh dengan kekuatan luar—entah Belanda, entah pemerintah pusat. Kalau telah begini, nama Tgk. Daud Beureueh pun diulang-ulang.

Dengan mudah saya mendapatkan verifikasi yang sahih tentang cerita bahwa keterlibatan Aceh dalam revolusi nasional semakin intensif setelah Daud Beureueh dan tiga kawannya sesama ulama mengeluarkan maklumat dukungan pada Republik Indonesia, di bulan Oktober 1945. Maklumat itu juga ditandatangani oleh T. Nyak Arief, Residen Aceh, dan Tuanku Mahmud, Ketua Komite Nasional. Sepintas lalu keikutsertaan Residen dan Ketua Komite Nasional Indonesia hal yang biasa saja. Tetapi, besar dugaan saya, di masa awal revolusi—sebelum arus bawah dari konflik internal tampil ke permukaan— keikutsertaan mereka secara simbolis ingin mengatakan keutuhan kepemimpinan Aceh. Ulama, uleebalang, dan aristokrat kerajaan bersatu dalam memberikan dukungan kepada RI. Hanya, "Peristiwa Cumbok" dan kemudian gerakan pemuda PUSA, yang mengadakan "revolusi sosial" terhadap apa yang mereka sebut "feodalisme", memorak-porandakan "bulan madu" yang singkat ini. Maka, seperti halnya "perang Aceh", para ulama pun semakin memantapkan diri sebagai "perumus realitas" Aceh. Dan kedudukan sentral Daud Beureueh semakin kukuh juga. Konon ketika inilah Bung Karno datang ke Aceh dan ketika ini pulalah ia berjanji kepada sang ulama—yang menurut kisahnya dipanggilnya "kakak"—bahwa ia akan ikut memperjuangkan agar hukum syariah bisa dijalankan di Aceh. Entah sejarah, entah folklore. Yang jelas, kisah ini selalu diulang dan ditulis. Karena dianggap sebagai kebenaran yang sahih, mestikah diherankan kalau kejujuran Bung Karno disangsikan?

Revolusi adalah kisah yang membangkitkan rasa bangga bagi Aceh. Bukan saja daerah mereka terbebas dari pendudukan Belanda dan sebagainya, tetapi juga ketika itulah Aceh merasakan nikmat dan tantangan sebagai provinsi yang otonom. Tgk. Daud Beureueh adalah gubernur militer, yang didukung oleh mata rantai kepemimpinan lokal yang kuat. Kedudukan ini semakin diperkuat ketika "Yogya telah kembali" dan Sjafruddin Prawiranegara menjadi wakil perdana menteri yang berkedudukan di Kutaraja/Banda Aceh. Tetapi, ketika kedaulatan negara telah didapatkan dan Republik Indonesia Serikat (RIS) telah berdiri, Aceh dijadikan sebagai bagian dari Sumatera Utara. Ketika RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, keputusan diperkuat. Memang benar pemerintah pusat menghadapi berbagai corak situasi yang dilematis—sebagai akibat pilihan yang tak mudah antara keharusan rasionalisasi administrasi pemerintahan dan keberlanjutan aspirasi revolusioner—tetapi bagi masyarakat Aceh pembubaran provinsi dirasakan sebagai pengkhianatan dan penghinaan. Maka, lagi-lagi saya diingatkan pada berbagai insiden kerdil yang dilakukan aparat pemerintah terhadap Tgk. Daud Beureueh.

Ketika para tokoh pemerintah pusat masih bersedia menyibukkan diri untuk mendengar keinginan masyarakat Aceh dan menyabarkan kemarahan yang telah telanjur dicetuskan, situasi dialogis masih bisa dipertahankan. Tetapi, ketika kabinet telah berganti dan pemerintah pusat hanya melihat masalah Aceh sebagai pantulan dari persaingan internal antara para pemimpin Aceh, hal yang mestinya telah diduga itu pun terjadi. Tgk. Daud Beureueh "ke hutan" di hari Pekan Olahraga Nasional III di Medan, 21 September 1953, secara resmi dimulai. Ironis juga ia memisahkan diri ketika persatuan bangsa secara simbolis ingin diwujudkan dalam pekan olahraga. Tetap, bukankah ironis juga kalau sang pendekar kemerdekaan dengan begitu saja disingkirkan dengan dalih ketertiban pemerintahan?

Dalam masa "di hutan" itu ia, seperti juga halnya Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, bergabung dengan NII/Darul Islam, yang berpusat di Jawa Barat. Kemudian ia mendekatkan diri dengan Republik Persatuan Indonesia/PRRI. Dengan kata lain, sang ulama-politikus ini hanya menginginkan Aceh sebagai bagian dari alternatif NKRI—negara Islam atau/dan negara federal, tetapi bukan negara yang terpisah. Ia berontak, tetapi ia bukankah seorang separatis. Sembilan tahun kemudian ia turun ke bawah, kalah, tetapi diterima dengan segala kehormatan.

"Peristiwa Daerah" telah berakhir. Aceh pun menjadi daerah istimewa, yang dibolehkan menjalankan hukum syariah. Tetapi pertanyaan yang sering dilontarkan kepada saya: dalam hal apa Aceh diistimewakan? Atau pertanyaan ini: jika saja 10 persen dari hasil Aceh dikembalikan kepada kami, rakyat Aceh sudah puas dan berterima kasih? Seorang pedagang di Lhok Seumawe berkata, "Di manakah keadilan mau dicari kalau semeter tanah dihargai lebih murah dari semeter plastik?" Ia mungkin melebih-lebihkan masalah, tetapi tuntutan terhadap ketidakadilan semakin nyaring juga. Sementara itu, Tgk. Daud Beureueh telah diharuskan, dengan segala cara, hanya berperan sebagai "museum sejarah"—untuk dinikmati dan direnungkan. Orde Baru bukan saja telah menguasai politik dan ekonomi, tetapi juga penguasa kesadaran dan pemegang monopoli ingatan kolektif bangsa. Ketika monopoli ini goyah, mestikah diherankan kalau semuanya meletup keluar? Yang tampil bukan lagi alternatif terhadap tatanan negara, melainkan hasrat pemisahan dari bangsa dan negara yang pernah diperjuangkan Aceh dengan gigih. (Taufik Abdullah Sejarawan).


Sumber Kutipan : http://putraaceh.multiply.com/journal/item/812/Aceh-Mengapa-Dia-Berontak-Mengapa-Mereka-Berontak

Dari Daud Beureueh ke Hasan Tiro

Kontroversi ini sebenarnya masih mengalir sampai sekarang. Ada yang menganggap, setelah Daud Beureueh turun gunung, ia tidak pernah lagi terlibat dalam gerakan politik. Perlawanan yang diusung GAM, sama sekali tidak terkait dengan DI/TII.

"Kalau Hasan Tiro kan menuntut kemerdekaan, sedangkan DI/TII melawan karena kecewa," kata M Jasin, mantan Pangdam Iskandar Muda yang dianggap berhasil mengajak Daud Beureueh turun gunung.

Tak hanya Jasin, tokoh-tokoh senior di Aceh juga banyak yang mendukung argumen itu. Dalam sebuah tulisannya di Republika, almarhum Ali Hasjmy, mantan Gubernur Aceh, memutus kaitan GAM dan Abu Beureueh. Menurutnya, GAM dan Hasan Tiro adalah gerakan kriminal, sedangkan DI/TII adalah gerakan politik murni.

Tak heran jika awal-awal perlawanan GAM, Pemerintah Indonesia menuding mereka sebagai gerombolan pengacau keamanan (GPK). Stigma kriminal dimunculkan untuk memutus dukungan pengikut Daud Beureueh yang dikenal sebagai legenda bagi warga Aceh.

Nyatanya, upaya membumikan GAM sebagai kelompok kriminal tetap gagal. Hasan Tiro kadung jadi ikon perlawanan rakyat yang baru, terutama di masa Orde Baru. Lihat saja daftar tokoh pertama yang bergabung dalam GAM. Banyak di antara mereka adalah bekas pendukung DI/TII. Sebut saja Teungku Ilyas Leube dan Daud Husin alias Daud Paneuek (paneuek artinya pendek). Ilyas adalah ulama yang disegani di Aceh Tengah dan merupakan pendukung setia Daud Beureueh. Dalam susunan kabinet GAM pertama, Ilyas duduk sebagai Menteri Kehakiman, sedangkan Daud Paneuek sebagai Panglima Angkatan Bersenjata.

Menurut Baihaqi, mantan pasukan DI/TII, keputusan Ilyas mendukung GAM semata-amata karena kecewa dengan sikap pemerintah yang ternyata hanya memberi janji omong kosong kepada Aceh. "Ilyas orangnya sangat peka terhadap agama. Ketika Syariat Islam tidak berjalan di Aceh, ia orang yang paling marah" kata Baihaqi yang juga sepupu Ilyas.

Padahal, saat Daud Beureueh turun gunung, pemerintah berjanji memberikan tiga keistimewaan untuk Aceh: syariat Islam, pendidikan, dan budaya. Nyatanya, semua janji itu tak dipenuhi. Tak heran, begitu Hasan Tiro mengumandangkan perlawanan di paruh akhir tahun 1970-an, Ilyas pun menjadi orang pertama yang mendukung.
Ketika GAM masih dalam bentuk rancangan, menurut Baihaqi, sebenarnya Daud Beureueh sudah diberi tahu masalah itu. Hanya saja, Beureueh tak mungkin lagi angkat senjata karena di tahun 1976, saat Hasan Tiro datang ke Aceh untuk kedua kalinya, Abu Beureueh sudah berusia 77 tahun.

"Ayahanda tidak perlu berperang. Biar kami saja yang melakukan perlawanan. Kami hanya perlu dukungan dari Ayahanda," demikian bujuk Hasan Tiro kepada Daud Beureueh seperti ditirukan Baihaqi kepada acehkita.

Sebagai asisten pribadi Abu Beureueh, Baihaqi tahu persis dialog itu. Apalagi, ia masih memiliki hubungan darah dengan Ilyas Leube. "Jadi kalau dikatakan Daud Beureueh mendukung Hasan Tiro, itu bisa jadi benar," katanya. Bedanya, di masa DI/TII, Daud Beurueh mengumumkan perlawanan secara resmi dan terbuka kepada seluruh masyarakat Aceh, tetapi di masa GAM, ia lebih banyak diam.

Hubungan Daud Beureueh dan Hasan Tiro sebenarnya pernah memburuk. Dalam bukunya, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, wartawan Neta S Pane menulis, saat pulang ke Aceh pada 1975, Daud Beureueh pernah memberikan uang sebesar Rp 12,5 juta kepada Tiro untuk membeli senjata. Singkat cerita, saat muncul lagi pada 1977, alangkah terkejutnya tokoh-tokoh GAM karena tak mendapatkan apa yang diharap. "Hasan Tiro hanya membawa tiga pucuk pistol jenis colt dan dua pucuk senjata double loop. Beberapa tokoh GAM mengejeknya bahwa senjata itu hanya cukup untuk membunuh babi hutan," tulis Neta yang kini mengelola Lembaga Pengamat Polri (Gamatpol).

Meski demikian, Daud Beureueh tak pernah marah kepada Hasan Tiro. Dukungan Daud Beureueh kepada GAM juga dibenarkan Zakaria, seorang tokoh GAM yang tinggal di Thailand. Menurutnya, saat Hasan Tiro melakukan pendidikan politik di hutan, beberapa kali Daud Beuerueh mengirimkan bantuan kepada mereka. "Saya sering sekali disuruh Daud Beureueh menyampaikan bantuan itu," akunya.

Bantuan tak hanya berupa uang, tapi juga bahan makanan untuk Hasan Tiro dan pendukungnya. Dukungan Daud Beureueh kepada GAM pada masa itu diberikan karena Hasan Tiro bertekad mendirikan negara Islam di Aceh. Zakaria sendiri termasuk pendukung Hasan Tiro paling setia. Ketika operasi militer berlangsung pada 1983, ia berhasil melarikan diri ke Malaysia. Pertemuan terakhir acehkita dengan Zakaria berlangsung di Thailand, dua tahun lalu.

Dalam barisan GAM, Zakaria yang saat ini berusia sekitar 69 tahun, menjabat sebagai Menteri Pertahanan yang ditempatkan di Thailand. Dia orang penting yang berperan sebagai penyedia senjata untuk GAM. Senjata itu dibeli dari perbatasan Kamboja dan Vietnam, selanjutnya dikirim melalui pesisir pantai Malaysia menuju pantai Aceh Timur.

Zakaria mengisahkan, untuk menyampaikan bantuan dari Daud Beureueh kepada Hasan Tiro, ia harus berhati-hati. Soalnya, sejak 1977, setahun setelah kemerdekaan GAM diproklamasikan, pemerintah mulai mendatangkan pasukan ke Aceh.

Setelah Hasan Tiro kembali ke Amerika pada 1979, kekuatan GAM tak luntur. Semakin lama, pengikutnya kian banyak. Intelijen TNI sendiri disebut-sebut mengetahui kalau Daud Beureueh memberi dukungan moral kepada GAM. Untuk mencegah meluasnya pengaruh ulama itu, dalam sebuah operasi intelijen yang dipimpin Lettu Sjafrie Sjamsoeddin (sekarang Sekjen Departemen Pertahanan berpangkat Mayjen), pada 1 Mei 1978, Daud Beureueh dibawa secara paksa. Ia tak kuasa melawan karena sudah dibius. Daud Beuereueh dibawa ke Medan selanjutnya diterbangkan ke Jakarta untuk selanjutnya ditempatkan di sebuah rumah mewah di bilangan Tomang, Jakarta Barat, sebagai tahanan di sangkar emas.

Ini upaya mengungsikan Daud Beureueh kedua kalinya setelah pada 1971 ia ‘dipaksa’ keliling Eropa untuk mencegah pengaruhnya meluas di Aceh saat berlangsungnya pemilu. Daud Beureueh sendiri adalah pendukung PPP.

Saat Abu Beuereueh menetap di Jakarta, operasi penumpasan GAM dilakukan besar-besaran. Satu demi satu orang-orang dekat Hasan Tiro tewas. Sebut saja Dr Muchtar Hasbi, seorang intelektual muda Aceh, 35 tahun, yang tewas setelah disiksa. Mayatnya dikembalikan ke keluarganya dalam keadaan tanpa pakaian. Muchtar Hasbi adalah Perdana Menteri pertama GAM.

Dr Zubir Mahmud, 29 tahun, yang dalam kabinet GAM menduduki jabatan sebagai Menteri Sosial, juga tewas ditembak tak jauh dari rumahnya pada Mei 1980. Selain itu, Teungku Haji Ilyas Leube yang menggantikan posisi Muchtar sebagai Perdana Menteri, juga tewas di ujung peluru pada Juli 1982.

Para sejarawan Aceh menyebut, Daud Beureueh sebenarnya sangat kecewa dipindahkan ke Jakarta. Selain karena ruang gerak yang selalu diawasi, ia juga sedih karena dijauhkan dengan murid-muridnya. Ia menjadi terhalang menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Ia pun tak lagi bisa tampil sebagai imam masjid. Tapi ia sendiri tak kuasa melawan karena kesehatannya sudah menurun. Ia menetap di Jakarta bersama anak dan cucunya dengan fasilitas dari pemerintah.

Kegelisahan Teungku Daud itu dirasakan sahabat dan murid-muridnya. Beberapa orang yang penah dekat dengannya, antara lain Ali Hasjmy (saat itu sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry setelah pensiun dari Gubernur Aceh) dan Teungku H Abdullah Ujongrimba (Ketua MUI Aceh), melobi Wakil Presiden Adam Malik agar memulangkan Daud Beureueh ke Aceh. Mereka menjamin, selama di Aceh, Daud Beureueh tak akan memberikan perlawanan kepada pemerintah, apalagi ikut mendukung GAM.

Harapan itu terkabul. Pada 1982 ulama simbol perlawanan itu kembali ke Bumi Seulanga. Malangnya, pada 1985, ia terjatuh dari tempat tidur sehingga engsel pinggulnya mengalami gangguan. Sejak itu ia tidak bisa berdiri. Tamu-tamu yang datang mengunjunginya tetap disambut secara terbuka. Legenda Aceh itu akhirnya meninggal dunia pada 10 Juni 1987.

Jasadnya dimakamkan di bawah pohon mangga di pekarangan Masjid Baitul A’la lil Mujahidin di Beureunen. Seluruh Aceh berduka. Sejak itu, tragedi demi tragedi berkali-kali singgah di bumi Serambi Mekkah. Dua tahun setelah kepergian sang tokoh, Tanah Rencong bersimbah darah dengan digelarnya Operasi Jaring Merah atau pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM).

Sepeninggal Daud Beureueh, Hasan Tiro pun menjadi simbol perlawanan baru, lengkap dengan segala kontroversinya. 


Sumber Kutipan :  http://putraaceh.multiply.com

Yang Dikagumi, Yang Dikhianati

Pada 1893, Teuku Umar membuat terkejut pejuang Aceh ketika ia bersekutu dengan Belanda. Tapi dua tahun kemudian, setelah mendapatkan senjata dan logistik, ia berbalik mengkhianati Belanda. Versi lain menyebut, pembelotan Teuku Umar terjadi karena kecewa dengan Belanda. Artinya, bila tak kecewa, Teuku Umar tetap ikut Belanda. Entah mana yang benar, yang pasti, setelah itu muncul istilah yang populer: tipu Aceh.


Tapi di era Daud Beureueh, giliran orang Aceh yang ditipu. Kali ini pelakunya adalah Presiden Soekarno yang pernah menjanjikan otonomi untuk menerapkan Syariah Islam. Alih-alih dipenuhi, Soekarno justru melebur Aceh menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Daud Beureueh pun kemudian memberontak. Tapi Beureueh pun belakangan juga menjadi korban tipu Aceh yang dilancarkan para pengikutnya sendiri.

Putri Presiden Soekarno, Megawati, juga pernah memraktikkan ‘tipu Aceh’. Pada 30 Juli 1999, sesaat setelah partainya memenangkan pemilu, Megawati berpidato dengan iringan tetes air mata. "Untuk rakyat Aceh, percayalah, Cut Nyak tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah Rencong," katanya. Tapi setelah menjadi presiden, Megawati justru mengirim 40.000 pasukan ke Aceh dalam rangka darurat militer, Mei 2003.

Cerita tipu menipu inilah yang membuat dialog antara GAM dan Pemerintah Indonesia berjalan alot. Pihak GAM khawatir Indonesia tak menjalankan kesepakatan damai. "Semua kesepakatan harus jelas. Kami tidak ingin lagi didustai," kata Jurubicara GAM, Bakhtiar Abdullah.

Ketika Belanda melakukan agresi kedua, pada Desember 1948-1949, semua wilayah Indonesia nyaris mereka kuasai. Soekarno dan Hatta ditawan. Ibukota Yogyakarta jatuh. Pemerintahan terpaksa diserahkan kepada Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara yang membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) berpusat di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Praktis, hanya secuil itulah wilayah Indonesia. Tapi Aceh masih tak tersentuh.

Berdasarkan wewenangnya sebagai penguasa pemerintahan darurat, Syafruddin, pada 17 Desember 1949, menetapkan Aceh sebagai provinsi dengan mengangkat Teungku Daud Beureueh sebagai gubernur militer. Sebelumnya, Aceh berada satu provinsi dengan Sumatera Utara, berpusat di Medan. Dengan adanya provinsi, maka diplomasi Indonesia di kancah internasional kembali menguat, karena yang namanya Republik Indonesia ternyata masih memiliki wilayah.

"Kita jadi punya bukti bahwa Belanda tidak menguasai seluruh Indonesia. Masih ada Aceh yang tidak bisa mereka masuki," kata AK Jacobi, wartawan senior yang juga mantan Tentara Pelajar Divisi X TNI.

Ironisnya, Provinsi Aceh hanya berumur setahun. Setelah situasi aman, pemerintah menghapus status provinsi itu dan mengembalikannya ke Sumatera Utara, sekaligus mencabut jabatan gubernur militer dari Daud Beureueh.

Sejak itu kekecewaan demi kekecewaan mewarnai situasi Aceh. Luka lama meruap ke permukaan. Warga teringat kembali janji-janji pemerintah soal penegakan syariat Islam. Situasi makin memanas setelah aparat melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh yang dianggap bersuara keras. Kebanyakan yang ditangkap adalah ulama yang dulunya pernah berjasa dalam perang mengusir Belanda.

Pada 21 September 1953, Daud Beureueh akhirnya memutuskan mengangkat senjata melawan Pemerintah Indonesia. Ia menyatakan bergabung dengan gerakan Kartosuwiryo yang lebih dulu mendeklarasikan negara Islam di Jawa Barat pada 17 Agustus 1949 lewat perjuangan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sebagian besar rakyat mendukung perlawanan itu. Banyak pasukan TNI yang warga Aceh, pejabat negara, dan tokoh masyarakat yang balik kanan, bergabung dalam barisan Daud Beureueh.

Ibrahim Saleh, komandan militer di Sidikalang, datang dengan membawa senjata dan beberapa truk berisi pasukan untuk mendukung gerakan Beureueh. Hasan Saleh, mantan pasukan TNI yang berpengalaman dalam berbagai medan perang, turut pula naik gunung. Tak ketinggalan, tokoh Pidie, Amir Husin Al-Muhajid dan Abdul Gani.

Nama-nama di atas adalah orang-orang penting yang terlibat dalam sejarah perlawanan Daud Beureueh. Hasan Saleh sebagai Menteri Pertahanan, adiknya, Hasan Aly, didaulat menjadi Perdana Menteri. Sementara Abdul Gani menjabat Menteri Penerangan.

"Kami kerap bersembunyi antara hutan wilayah Aceh tengah dan Aceh Utara," kata Prof Dr Baihaqi, mantan Kepala Staf Resimen 5 DI/TII kepada acehkita. Hampir tiga tahun lamanya Baihaqi mengikuti jejak Daud Beureueh dalam berjuang. Kini, pria ini menginjak usia 74 tahun kendati masih terlihat tegap.

Menurutnya, jumlah pasukan DI/TII masa itu diperkirakan mencapai 10 ribu orang. Namun Baihaqi yakin, hampir semua rakyat Aceh mendukung perlawanan mereka. "Kami tidak pernah lapar selama di hutan. Warga selalu membantu kami," katanya. Tak hanya orang dewasa, anak-anak dan wanita juga mendukung aksi gerilya itu.

Satu-satunya masalah adalah peluru. "Banyak senjata tetapi kami sulit mendapatkan peluru," ujar Baihaqi. Bahkan pasukan DI/TII mampu membeli senjata dari Malaysia yang didatangkan lewat pantai. DI/TII juga memiliki perwakilan di Malaysia untuk urusan pembelian senjata. Pembelian dilakukan lewat barter dengan hasil pertanian penduduk.

Untuk kampanye di Amerika Serikat, Daud Beureueh menjalin komunikasi dengan Hasan Tiro, mantan muridnya yang belajar di Colombia University. Hasan Tiro bahkan sempat membuat heboh Pemerintah Indonesia ketika ia mengadukan kekejaman militer Jakarta ke PBB, tempat di mana ia bekerja sebagai staf perwakilan Indonesia. Kelak, Hasan Tiro inilah yang menjadi motor perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Jaringan internasional yang dibangun DI/TII membuktikan bahwa cara berpikir Daud Beureueh sudah sangat maju di masanya.

Senjata yang dibeli DI/TII dari Malaysia biasanya dibawa dengan kapal nelayan dan merapat ke pantai pada subuh. Pada pagi hari, memang penjagaan pantai sangat kurang, sehingga para gerilyawan leluasa memasok senjata.
Sejak munculnya perlawanan DI/TII, personel TNI semakin banyak didatangkan ke Aceh. Bak kisah perang saudara di Amerika—di mana para jenderal alumni West Point harus berperang dengan bekas kawan kuliahnya—demikian halnya yang terjadi di Aceh. Mereka yang pernah sama-sama melawan Belanda, kini harus saling menghunus senapa satu sama lain.

Aksi penumpasan pun dilakukan terhadap semua pengikut Daud Beureueh. Salah satunya adalah pembantaian di Cot Jeumpa, Kutaradja (Banda Aceh), saat sejumlah petani dan nelayan ditangkap dalam sebuah operasi militer. Semua dibunuh dan mayatnya dibiarkan bergelimpangan di jalan-jalan.

Tapi perlawanan anak-cucu Malahayati ini tak pernah padam. Sampai akhirnya pemerintah Indonesia mengubah siasat perang. Pemerintah menawarkan dialog untuk menyelesaikan Aceh. Gencatan senjata pun dilakukan pada 1957-1959. Pada masa itulah pemerintah menerapkan strategi menghamburkan banyak uang ke Aceh. Iming-iming harta diberikan kepada gerilyawan yang mau turun gunung dan menyerahkan bedil.

Hasilnya lumayan. Hari demi hari, semakin banyak pengikut Daud Beureueh yang tergoda bujukan itu. Beberapa jajaran elit DI/TII juga tunduk. Panglima Perang Hasan Saleh dan Menteri Penerangan Abdul Gani serta Husin Al Mujahid, memilih turun gunung. Bersamaan dengan mereka, banyak pula anggota militer DI/TII yang meninggalkan Daud Beureueh di hutan.

Bagi AK Jakobi, mereka bukan pengkhianat, melainkan tokoh- tokoh DI/TII yang ingin menyelesaikan konflik secara damai. Hasan Saleh, Abdul Gani, dan Husin Al Mujahid beberapa kali melakukan dialog dengan delegasi pemerintah. Termasuk dengan Mr Hardi, utusan dari Jakarta.

Tapi sumber lain menyebut, mereka turun gunung karena tergoda harta yang ditawarkan pemerintah. Tanpa seizin Daud Beureueh, mereka melakukan berbagai perundingan dengan utusan Jakarta, termasuk perundingan di Lamteh pada 5 April 1957 yang dikenal dengan Ikrar Lamteh yang juga dihadiri Pangdam Iskandar Muda, Kolonel Syamaun Gaharu.

Dari berbagai perundingan itu, pemerintah pusat akhirnya mengakui beberapa kesalahan yang pernah dilakukan di Aceh. Aceh kembali dinyatakan sebagai provinsi. Ali Hasjmy, salah seorang ulama yang cerdas, dipilih sebagai gubernur. Sejak itu, pemerintah semakin gigih menawarkan janji damai bagi gerilyawan. Diplomasi politik dan pemberian uang dilanjutkan.

Meski ditinggal beberapa pendukung utamanya, Daud Beureueh tetap tak berubah sikap. Gerilya jalan terus. Baihaqi mengatakan, Hasan Saleh sebenarnya pernah ingin melancarkan kudeta berdarah kepada Daud Beureueh. "Tadinya ia akan menampatkan Husin Al Mujahid sebagai pemimpin rakyat. Tapi rencana kudeta itu bocor kepada kami," kata Baihaqi.

Untuk mencegah kudeta, anggota pasukan yang masih setia, yakni Resimen 3 di bawah pimpinan Razali Idris dan dan Resimen 5 yang dipimpin Teungku Ilyas Leube dan Baihaqi, melarikan ulama tersebut tempat ke lokasi persembunyian lain, di perbatasan Aceh Utara dan Aceh Timur.

Kabar kudeta itu belakangan terbukti, kendati melalui cara lain. Pada 15 Maret 1959, Hasan Saleh mengumumkan pengambilalihan semua kekuatan pasukan rakyat yang selama ini di bawah kendali Teungku Daud Beureueh.

Para pengikut setia DI/TII yang masih bersembunyi di hutan, jelas membantah klaim Hasan Saleh. Tapi harus diakui, sejak pengakuan itu, semakin banyak anggota militer DI/TII yang memilih turun gunung.

"Yang setia dengan DI/TII memang dari unsur ulama. Unsur politisi dan para desertir TNI, memang lebih dahulu menyerah," kata Otto Syamsuddin Ishak, sosiolog Aceh.

Yang mengejutkan, Komandan Resimen 3, Razali Idris, yang tadinya dikenal sangat setia mendukung perjuangan Daud Beureueh, malah ikut membelot. Hingga penghujung 1959, praktis hanya Resimen 5 yang setia menemani Abu Beureueh. Menurut Baihaqi, jumlah mereka hanya sekitar 40 orang. Dah hebatnya, sebagian besar berasal dari Aceh Tengah. Daerah yang belakangan kerap dibenturkan secara etnis dengan warga Aceh.

Di daerah ini pula, hidup Ilyas Leube, seorang ulama yang berasal dari Desa Keunawat. Kemampuan militernya mengagumkan, dan tak ada satupun yang meragukan kesetiaannya kepada Daud Beureueh. Ketika banyak pengikut Abu Daud turun gunung dan tergiur dengan tawaran harta oleh pemerintah, Ilyas Leube memilih tetap bertahan di hutan.

Dari sekian banyak kasus pembelotan, menurut Baihaqi, hanya Razali lah yang paling disayangkan Daud Beureueh. "Selama bertahun-tahun saya ikut beliau, baru sekali itu saya melihat dia menangis. Dia sangat menyesali Razali yang ikut berkhianat tuntuk ke TNI hanya karena uang," papar Baihaqi. Dalam tangisnya, nama Razali berkali-kali disebut. Meski demikian, tidak sekalipun Daud Beureueh menyatakan akan menyerah kepada Pemerintah Indonesia.

Setidaknya, hingga September 1962.


Sumber Kutipan : http://putraaceh.multiply.com

Warisan Daud Beureueh yang Terlantar



Sudah banyak orang bercerita tentang daya magis kepemimpinan Daud Beureueh. Tokoh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) itu tak hanya dikenal sepak terjangnya memimpin perang gerilya dan berpidato menyihir massa, tetapi juga tak segan-segan mengayun cangkul dan bergelimang lumpur bersama rakyatnya.

Salah satu kisah yang abadi adalah apa yang terjadi di Desa Paya Raof, Pidie, 14 Juli 1963. Saat itu, Daud Beureueh yang sudah turun gunung, memimpin kerja bakti yang melibatkan 2.000 orang untuk membuat saluran irigasi. Rakyat yang kecewa karena bupati setempat tak kunjung menyelesaikan masalah pengairan sawah, mendatangi Daud Beureueh. Di tangan ulama itu, masalah pun terpecahkan.

Desa Paya Raof terletak 10 kilometer dari tepi jalan lintas Banda Aceh - Medan. Saat acehkita menelusuri kembali saluran irigasi sepanjang 17 kilometer itu, banyak orang tak lagi mengenalnya. Ditambah lagi letaknya yang memang jauh, yakni di bawah kaki gunung Cot Kuta. Apalagi kondisi keamanan yang tak menentu, cukup sudah alasan bagi orang untuk semakin melupakannya.

Satu-satunya cara mengembalikan ingatan warga Pidie akan Desa Paya Raof, Kecamatan Teupin Raya, adalah saluran irigasi tua yang dibangun Teungku Daud Beureueh. Irigasi yang dikelilingi bukit dan hutan itu kini dalam kondisi tak berfungsi dengan baik. Menurut petani setempat, air yang mengalir pun tak lagi sebanyak dulu.

Dulu, saluran irigasi itu bisa mengairi sawah di tujuh desa seperti Tunong, Baroh, Amud, Amud Masjid, Tanah Mirah, Geumuroh, dan Teupin Raya. Tak heran, sebab kondisinya selalu dipelihara dan telah beberapa kali mengalami sentuhan renovasi. Ada empat orang tokoh setempat yang menyokong ayunan cangkul Daud Beureueh. Mereka adalah Teungku Raof, Imuem Leman, Alamsyah, dan Cut Ka Oy.

Saluran irigasi itu bermula dari sepetak dam air yang terbuat dari tanah. Saat Daud Beureueh hendak membedahnya menjadi saluran air, tanpa dipaksa warga masyarakat datang berbondong-bondong membantu. Dari orang tua hingga yang muda, semua tumpah ruah di lokasi tersebut. Bahkan, tak jarang Daud Beureueh terpaksa mengusir pulang anak-anak yang terlalu muda usia untuk bekerja.

"Waktu itu saya tidak dikasih ikut gotong royong oleh Abu karena usia saya masih muda. Saya diusir dengan dipukul pakai tongkatnya," kenang Syakhwat sambil tersenyum. Kini usianya sudah 58 tahun. Dia adalah warga Desa Cot Tunong, Geulumpang Tiga, Pidie.

Abu Beureueh sendiri bukan sarjana teknik sipil. Karena itu, menurut Syakhwat, saat itu ada seorang insinyur dan para tukang terampil yang didatangkan khusus dari Sigli. "Kontraktor dan tukangnya semua dari Sigli," kata Syahkwat.

Sementara bahan bangunan seperti semen didatangkan dari Medan dan Banda Aceh dengan truk. Beberapa hari sekali, kenang Syahkwat kecil, dia melihat truk tersebut singgah untuk membongkar muatan. Menurut Nur El Ibrahimy yang juga menantu Daud Beureueh, proyek tersebut sepeserpun tak menggunakan dana pemerintah. Konon dana yang dihabiskan mencapai Rp 100 juta di masa itu.

Di bawah pengawasan langsung Abu Beureueh, masyarakat dan para tukang yang membangun irigasi, bekerja bergantian siang dan malam. Sedangkan untuk tempat tinggal bagi mereka yang bekerja, dibangunlah semacam rumah sementara yang terbuat dari bambu, bak gubuk-gubuk semasa Daud Beureueh masih bergerilya.

Ruhama Daud (65), anak ketujuh Daud Beureueh yang ditemui acehkita di Beureunuen, Pidie, mengakui bahwa semasa pembuatan irigasi tersebut, sang ayah sama sekali tak pernah pulang ke rumah. Abu Beureueh tinggal di lokasi irigasi tersebut bersama warga masyarakat dan para tukang yang dipimpinnya. Ruhama yang saat itu masih remaja harus datang ke sana bila ingin bertemu sang ayah.

"Waktu buat irigasi di gunung sana, Abu memang tidak pulang," katanya.

Padahal, irigasi itu dibangun dari 14 Juli sampai 18 Agustus 1963. Setelah itu, proses perampungannya membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Menurut Ruhama hal tersebut disebabkan karena minimnya bahan-bahan bangunan yang tersedia. Hal itu juga yang diyakininya menyebabkan pondasi awal irigasi yang dibuat oleh sang ayah, tak terlalu bertahan lama. Bagian pondasi yang dibuat Abu Beureueh akhirnya memang jebol tak lama setelah digunakan. Namun setelah direnovasi, irigasi pun dapat digunakan kembali.

Kini, sudah enam tahun saluran irigasi selebar 2,5 meter dan dalam 1,5 meter itu tak lagi mampu mengairi sawah masyarakat secara optimal. Selain karena debit air yang sedikit, selurannya pun sudah banyak yang tersumbat. Dan tak ada satu lembaga pun yang mau mengelolanya. Apalagi pemerintah.

Saat acehkita menjenguknya, pertengahan Juli lalu, bagian gorong-gorong memang terlihat sedang diperbaiki. Tapi anehnya, tak seorang pun pekerja di sana. Menurut warga, pekerjaan itu sudah berlangsung lama. Namun hingga kini belum mencapai sepuluh persen dari penyelesaian. Sehingga banyak warga yang terpaksa harus main kucing-kucingan dengan warga yang lain supaya bisa lebih cepat mematok air untuk mengairi sawah masing-masing.

"Waktu zaman Abu kami tidak begini. Air banyak, tidak sampai rebutan. Kini orang-orang main patok saja ambil airnya, makanya banyak yang berkelahi karena tidak kebagian air," tutur Syahkwat menutup cerita.


Ditakuti Hingga Ajal Menjelang 


Setelah 43 tahun Daud Beureueh turun gunung, tak banyak lagi pejuang DI/TII yang bisa ditemui. Dari sedikit itu, tercatat nama seorang mantan Guru Besar IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Baihaqi AK. Ia bukan saja pengikut setia Abu Beureueh, tetapi juga sekretaris pribadinya. Saat Beureueh dijemput dari persembunyiannya pada 9 Mei 1962, Baihaqi ikut dalam rombongan itu.


Semasa pergolakan terjadi, Baihaqi yang saat itu berusia 18 tahun, sebenarnya baru saja menyelesaikan pendidikan guru di Bandung. Pada 1954, ia diangkat menjadi pegawai negeri sipil dan bertugas sebagai guru di Banda Aceh. Simpatinya dengan perjuangan DI/TII muncul setelah melihat kebijakan pemerintah pusat. Dalam beberapa aksi protes di Banda Aceh, Baihaqi kerap terlibat.

Tak disangka, suatu malam ia ditangkap polisi dan diseret ke pengadilan. "Saya divonis 30 bulan penjara dengan tuduhan subversif," kenangnya.

Setelah bebas, tadinya Baihaqi ingin hidup tenang. Nyatanya, dia mengaku selalu diintai petugas. Karena kesal, ia memutuskan lari ke hutan, bergabung dengan pasukan Daud Beureueh. Dari semua pengikut DI/TII kala itu, Baihaqi tergolong paling muda.

Sebagai anak desa yang dibesarkan di Keunawat, Aceh Tengah, Baihaqi sangat menguasai seluk beluk hutan di Aceh Tengah, tempat pasukan DI/TII bersembunyi. Dia merasa tentram di lingkungan itu, apalagi dalam jajaran pengikut Daud Beureueh, ada Teungku Ilyas Leube, abang sepupunya.

Bersama Iyas Leube, Baihaqi ditempatkan sebagai anggota pasukan Resimen 5. Semula hanya prajurit biasa, tapi berkat kecerdasannya, ia dipercaya sebagai kepala staf. Sementara Ilyas Leube sebagai panglima.

Selama di hutan, Baihaqi banyak belajar tentang kepemimpinan Daud Beureueh. Ia kerap mengamati gerak-gerik Beureueh, mulai cara dia mandi, berpakaian, hingga shalat. "Jarang saya temukan ada pemimpin seperti Abu Beureueh," katanya.

Yang paling dikagumi Baihaqi adalah shalat Beureueh yang amat khusuk. Sebagai pemimpin, Daud Beureueh sama sekali tak pernah memegang uang. Meski demikian, ia sangat ketat mengawasi pengeluaran uang.

"Kami pernah tidur sebantal di dalam pondak setelah lelah berdiskusi," cerita mantan anggota DPR RI dari Fraksi PPP itu. Saat makan pun, Beureueh hanya menggunakan daun pisang sebagai piring. Lalu ia mengajak pengikutnya makan bersama di daun itu.


Ketika mengetahui banyak pengikutnya berdamai dengan Pemerintah Indonesia, Daud Beureueh hanya mencibir. Ia menyesali sikap anak buahnya yang dianggap berkhianat karena tertarik harta yang dijanjikan pemerintah.

Namun sikap keras Beureueh berubah juga. Baihaqi termasuk pengikut Daud Beureueh yang turun gunung paling akhir. Setelah berdamai dengan pemerintah, Baihaqi kembali ditawarkan menjadi guru. Namun ia menolak. "Saya memilih melanjutkan pendidikan S-1 di IAIN Ar-Raniry," katanya. Setelah memperoleh sarjana, Baihaqi pun diangkat sebagai dosen di kampus itu. Sampai akhirnya sukses meraih gelar profesor bidang pendidikan Islam.

Usai pemberontakan DI/TII, Baihaqi sempat diajak Hasan Tiro bergabung dalam GAM. Apalagi abang sepupunya, Ilyas Leube, ikut dalam kelompok itu. Tapi ia menolak. Baihaqi memilih berkarir di bidang politik sebagai politisi PPP dan duduk sebagai anggota DPR pada periode 1999-2004. Kini, memasuki usia 74, ayah empat anak ini menetap di sebuah rumah asri di Pamulang, Banten. Ia memiliki ruangan khusus berisi koleksi buku-buku tua. Di ruang itulah dia menghabiskan waktu.

"Saya juga tengah menulis buku tentang sejarah Aceh," ujarnya. Dalam sejarah bukunya itu, ia memaparkan banyak hal tentang Daud Beureueh. Baginya, sosok ulama Aceh itu tidak akan mungkin dilupakan. Dalam setiap shalat, Baihaqi selalu mengirim doa untuk Daud Beureueh. Selain sebagai pemimpin, baginya, Daud Beureh juga sebagai guru dan seorang ayah.


Ditakuti Hingga Ajal Menjemput

Beureunuen berjarak 124 kilometer arah timur Kota Banda Aceh. Di tempat ini, tak ada yang tak kenal Daud Beurueueh. Kini sudah 18 tahun Abu Beureueh meninggal dunia. Atas permintaannya sendiri, jasadnya pun disemayamkan di areal pekarangan masjid A’la Lil Mujahiddin, atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Masjid Abu Beureueh, yang terletak di tepi jalan Banda Aceh-Medan.

Dahulu, ketika mendengar Abu Beureueh meninggal dunia, mereka berduyun-duyun ke masjid itu untuk melihat pemakaman Daud Beureueh dan memberikan penghormatan terakhir.

Seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan kondisi di Aceh, perlahan nama besar Daud Beureueh seakan tenggelam. Bila di awal-awal wafatnya, warga datang untuk menziarahi makam hampir dari seluruh pelosok Aceh, namun kini, para penziarah hanyalah orang-orang tertentu saja. Itu pun mereka yang singgah karena waktu shalat atau yang sedang dalam perjalanan.

"Sekarang sudah lain. Dari orang, hingga cara shalat semua sudah beda. Apalagi orang muda sudah sibuk sendiri. Mana ingat lagi ke kita yang tua," sebut Azhari, 70 tahun, ulama asal Desa Tiba.

Kini, makam berukuran 3 x 1 meter yang bernisankan marmer dan berukir nama almarhum itu seakan sepi sendiri.

"Masih ada satu dua yang datang ziarah ke sini. Kemarin juga ada pejabat yang datang, tapi itu sangat jarang sekali," ucap Zulkifli (36), warga Desa Baroh Barat Yaman.

Menurut Zulkifli yang datang dari generasi baru—belum lahir saat DI/TII—Daud Beureueh adalah tokoh yang disegani dan disayangi masyarakat. Namun yang disesalkannya, perhatian pemerintah terhadap makam tokoh tersebut sangat kecil.

"Saya harap pemerintah mau lebih memperhatikan makam ini, sesuai dengan jasa beliau kepada negara," tandasnya.
Pada usia 89 tahun, Abu Beureueh menghadap sang Khalik. Tepatnya pada 10 Juni 1987 di sebuah bilik sederhana di tanah kelahirannya, Desa Beureueh, Beureuneun, Kecamatan Mutiara (sekarang Mutiara Barat), Pidie. Sebelum meninggal, kondisi kesehatannya terus menurun sejak kembali ke Aceh 1982.

Melihat kondisinya fisik yang sudah renta inilah, pemerintah Orde Baru menganggap Abu Beureueh tak mungkin lagi melanjutkan perlawanan atau mendukung Gerakan Aceh Merdeka. Sebelumnya, kendati sudah menyerah dan turun gunung, ABRI masih menganggap Beureueh sebagai tokoh yang berbahaya. Karena itu, pada 1 Mei 1978, sebuah tim yang dipimpin Sjafrie Sjamsoeddin—kini Sekjen Departemen Pertahanan—menciduk Abu Beureueh di depan istrinya, Teungku Nyak Alisah, untuk dibawa ke Jakarta.

Proses pengambilan Abu Beureueh ditingkahi dengan upaya menyuntikkan obat bius yang mendapat perlawanan dan melukai badan tuanya. Menurut menantu Abu Beureueh, M Nur El Ibrahimy, tindakan pemerintah tersebut dianggap berlebihan.

Selama di Jakarta, Abu Beureueh tinggal di sebuah rumah kontrakan atas biaya pemerintah. Namun menurut El Ibrahimy, hal tersebut membuat Abu Beureueh seperti tahanan rumah. "Seperti di sangkar emas. Mata lepas, badan terkurung," kata El Ibrahimy.

Sejak 1980, sudah dua kali Abu Beureueh mengirim surat permohonan kepada Presiden Soeharto agar diperbolehkan kembali ke Aceh. Itu belum termasuk surat kepada Pangkopkamtib, Sudomo. "Setelah keadaan badan yang semakin uzur, sehingga harus dipapah, dan mata yang hampir tidak bisa melihat, Daud Beureueh diizinkan pulang ke Aceh," sesal El Ibrahimy.

Menurut Panglima Kodam Iskandar Muda saat itu, Brigjen Abdurrahman, sesampainya di Aceh pun, Abu Beureueh masih berada di bawah pengawasan Laksusda Aceh. Para intel itu, misalnya, ditempatkan di Beureunuen dan membaur di antara jamaah shalat Jumat. Abu Beureueh pun tak dapat pergi sekehendak hatinya, kecuali dengan seizin atau sepengetahuan petugas Laksusda.

"Ini semua dilakukan, kabarnya untuk menjaga ketentraman dan ketertiban yang telah mantap di daerah Aceh," tandas El Ibrahimy setengah menyindir.

Terbukti, upaya itu tak manjur. Aceh bukannya tambah tenteram. Justru Abu Beureueh lah yang kini menikmati ketentraman di bawah rindangnya pohon mangga. 


Sumber Kutipan : http://putraaceh.multiply.com