Selasa, 29 Mei 2012

Pram Pernah Bilang “Aceh punya Keberanian Individu”




Pram begitulah sebutan lelaki ini, nama panjangnya Pramoedya Ananta Toer seorang sastrawan Indonesia yang telah banyak menghasilkan karya dan bahkan sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

Suatu hari, Pram pernah mengatakan bawah keberanian individu orang Aceh berbeda dengan suku-suku lainnya di Indonesia, yang cenderung berkelompok.

Hal itu disampaikan oleh Pram pada acara “80 Tahun Pramoedya Ananta Toer; Orasi Pram: Tsunami Aceh dan Indonesia Masa Depan”, di TIM, Jakarta awal tahun 2005 silam.

Pram sendiri mengaku merasakan kelumpuhan pada dirinya saat serangan tsunami menerjang Aceh. “Saya percaya bahwa Aceh akan bangkit kembali, karena keberanian individual yang dimiliki rakyat Aceh,” ujar Pram.

Penulis buku, yang semua karyanya dilarang beredar oleh pemerintah Orba itu, mengaku sempat didatangi sejumlah tamu asal Aceh, untuk berdiskusi seputar banyak hal. Pada kesempatan itu, Pram ingin meminta maaf pada rakyat Aceh, karena sejak jaman kumpeni (Belanda) sampai sekarang, Jawa telah mengirimkan pembunuh bayaran ke Aceh.


“Lebih dari seratus tahun. Saya minta maaf,” kata Pram, lelaki tua asal Blora Jawa Tengah itu, mewakili etnisnya.

Keberanian individu rakyat Aceh itu, menurutnya, terbentuk sejak Belanda menduduki Aceh. Kala itu, Jenderal Van Heusch, yang diangkat jadi Gubernur Aceh, mengakui tak mampu menundukkan Aceh.

“Dia hanya membikin Aceh pasif.”

Sedangkan keberanian orang-orang zaman sekarang, diklasifikasikan Pram sebagai keberanian kelompok. Ia mencontohkan, seringnya terjadi tawuran antar-kampung, desa, kelompok, bahkan antar-mahasiswa.

“Tidak ada keberanian keberadaban, dan tak ada tertukaran pikiran secara jernih. Tawur adalah tanda keberanian kelompok,” tegas lelaki yang sempat mendekam di LP Pulau Nusakambangan itu.

Di akhir pembicaraan mengenai Aceh, Pram menghimbau pada para sejarawan untuk mencoba kembali menyusun sejarah Aceh. Ia juga berharap, kumpulan sejarah tersebut dapat dijadikan bacaan wajib agar masyarakat tahu keberanian individu yang dimiliki rakyat Aceh.

“Saya yakin, Aceh bangkit kembali. Apa pun yang terjadi,” kata Pram sambil mengepalkan tangan.

***

Sumber :
http://wap.gatra.com/artikel.php?id=52889
http://seputaraceh.com/read/8199/2012/05/28/pram-pernah-bilang-aceh-punya-keberanian-individu
  http://www.atjehcyber.net/2012/05/pram-pernah-bilang-aceh-punya.html

Jejak Aceh di Tanah Arab

”Asyi”, sebutan marga Aceh dikalangan orang Arab. Gelar Asyi ini adalah merupakan sebuah pengakuan identitas bagi setiap orang Aceh di Arab Saudi yang terhormat, sehingga gelar "al-Asyi" ini kemudian bisa dikatakan sebagai salah satu marga Aceh yang wujud di Tanah Arab.

***




Penulis M. Adli Abdullah (*

Sebutan negeri Aceh adalah tidak asing bagi sebagian orang Arab walaupun sekarang hanyalah salah satu propinsi di negeri ini. Karena itu, saya memandang bahwa martabat orang Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa. Sejauh ini, gelar ini memang tidak begitu banyak, namun mengingat kontribusi para Asyi ini pada kerajaan Saudi Arabia, saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang cukup kuat secara emosional antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu Aceh.

Banyak sekali orang Arab keturunan Aceh mendapat kedudukan bagus di kerajaan Saudi Arabia seperti alm Syech Abdul Ghani Asyi mantan ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah, Alm Dr jalal Asyi mantan wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi, DR Ahmad Asyi mantan wakil Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana.

Kita akan menguak tradisi sumbang menyumbang masyarakat Aceh di Tanah Hijaz (Mekkah, Saudi Arabia) pada abad ke-17 Masehi. Ini menarik agar kita tahu bagaimana kontribusi Aceh atas tanah hijaz (sekarang bernama Saudi Arabia, red), dimana orang Aceh tidak hanya mewakafkan tanah, melainkan juga emas yang didatangkan khusus dari Bumi Serambi ke negeri Mekkah Al-Mukarramah ini.

Diriwayatkan bahwa pada tahun 1672 M, Syarif Barakat penguasa Mekkah pada akhir abad ke 17 mengirim duta besarnya ke timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mareka ke Aceh setelah Raja Moghol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun rombongan Mekkah ini terkatung katung di Delhi India. Atas nasehat pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681M).

Sampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan utusan syarif Mekkah ini menyulut semangat kelompok wujudiyah yang anti pemerintahan perempuan. Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).

Utusan Arab sangat gembira diterima olehSri Ratu Zakiatuddin, karena mareka tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan empat tahun mareka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb.

Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.

Pada tahun 1094 (1683 M) mareka kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 H (September 1683 M). Dua orang bersaudara dari rombongan duta besar Mekkah ini yakni Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim, tetap menetap di Aceh atas permintaan para pembesar negeri Aceh yang dalam anti raja perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap tinggal di Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama dan salah satu dari mereka, kawin dengan Kamalat Syah, adik Zakiatuddin Syah.

Lima tahun kemudian setelah duta besar Mekkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Kamalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu pemerintahan kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).

Baru setelah meninggalnya Syeikh Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H (1695M), konflik mengenai kedudukan pemerintahan Aceh dibawah pemerintahan ratu yang telah berlangsung 54 tahun sejak Safiatuddin Syah(1641-1675M), terguncang kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari Qadhi Mekkah tiba. Menurut sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan “jasa baik” dari golongan oposisi ratu. Lalu pemerintah Aceh, diserahkan kepada penguasa yang berdarah Arab, yaitu salah satu dua utusan Syarif dari Mekkah, yakni suami Ratu Kemalatsyah, Syarif Hasyim menjadi raja pada hari Rabu 20 Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M).

Menurut sejarah, Ratu tersebut dimakzulkan akibat dari “fatwa import” tersebut. Lalu kerajaan Aceh memiliki seorang pemimpin yang bergelar Sultan Jamalul Alam Syarif Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan berkuasanya Syarif Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai dengan tahun 1728 M. Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di Aceh yang telah berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya campur tangan pihak Mekkah, paska para ratu ini menyumbang emas ke sana. Aceh yang dipimpin oleh perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti bagaimana sebenarnya tingkatemansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra, 1999).

Terkait dengan sumbangan emas yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa sejarah ini tercatat dalam sejarah Mekkah dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sultanah Aceh tiba di Mekkah di bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M). Snouck Hurgronje, menuturkan “Pengiriman Seorang Duta Mekkah ke Aceh Pada Tahun 1683” sempat kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, dimana sewaktu dia tiba di Mekkah pada tahun 1883. Karena Kedermawaan Bangsa dan Kerajaan Aceh masa itu, Masyarakat Mekkahmenyebut Aceh Sebagai "Serambi Mekkah" di sana.


Ternyata sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih selalu hangat dibicarakan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Begitu juga tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah.

Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram.

Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial per jamaah. Peninggalan Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini juga harta harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti :

  • Wakaf Syeikh Habib Bugak Al Asyi',
  • Wakaf Syeikh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah,
  • Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng),
  • Wakaf Muhammad Abid Asyi,
  • Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi,
  • Wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina,
  • Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,
  • Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina,
  • Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah,
  • Rumah Wakaf di Taif,
  • Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah.
  • Rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Mekkah,
  • Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah.
  • Wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya.
  • Rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Mekkah,
  • Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.

Inilah bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Mekkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang. Fenomena dan spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada orang Aceh saat ini, karena tradisi wakaf tanah tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh yang banyak mewakafkan tanah di Arab Saudi perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh kejujuran pengelolalaan wakaf di negeri ini, dimana semua harta wakaf masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia.

Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan Pasar Seng. Akibatnya ada 5 persil tanah wakaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi.

Di Mekkah juga penulis sempat bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna perluasan halaman utara Mesjidil haram Mekkah al Mukarramah yang terdaftar petak persil penggusuran no 608. Yang diwakafkan oleh Syech Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) dan adiknya Syech Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga).

Memang pada asalnya 75 persen tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah wakaf apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan Aceh Darussalam di Asia tenggara.

Menurut peraturan pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan proses yang lama ie menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan agama Mekkah menutut ganti rugi dan penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga tanah wakaf tersebut tidak hilang. Kalau seandainya tidak ada keluarga pewakaf lagi khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai dengan ikrar wakaf akan beralih milik mesjidil haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau hikmah tradisi wakaf di Mekkah yang semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi pengelolaan wakaf di Aceh.

Mekkah Tempo Dulu
Itulah secuil catatan yang tercecer, tentang wakaf orang Aceh di Tanah Arab, walaupun generasi sekarang hanya mengenal bahwa Aceh adalah Serambi Mekkah. Namun sebenarnya ada rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh memang pernah memberikan kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah Islam di Timur Tengah. Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama, ternyata dari segi materi, rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan wakaf yang masih bisa ditelusuri hingga hari ini.

Karena itu, saya menduga kuat bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan oleh orang Aceh saat itu, dimana “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”. Akibatnya, kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah “berjasa” merekam beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang Aceh. Inilah pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh, dimana selain bukti-bukti otentik, sejarah juga bisa ditulis melalui oral history (sejarah lisan). Pelajaran ini sangat penting bagi generasi sekarang untuk melacak dimana peran orang Aceh di beberapa negara, termasuk di Timur Tengah.

Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan pengakuan identitas "Asyi" dan pola pengelolaan wakaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia.

***

Sumber :  http://www.atjehcyber.net/2011/06/jejak-aceh-di-tanah-arab.html

Tahukah Anda: "Aceh Tidak Pernah Berontak Pada NKRI"


Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Aceh, kita sering mendengar istilah ‘Pemberontakan Rakyat Aceh’ atau ‘Pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah—terutama dari Jawa—dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI.

Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan tidak tepat? Karena sesungguhnya—dan ini fakta sejarah—bahwa Aceh sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda.

NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan Aceh Darussalam  berabad-abad sebelumnya telah merdeka, memiliki hukum kenegaraan (Qanun) nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah.
Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20?

Aceh Darussalam merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkanAceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya.

Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyatAceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.

Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak Rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abadKerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai “Negara” yang merdeka dan berdaulat.

Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasayang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedangkan “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendirisaja belumlah mampu melakukannya.

Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanyaRakyat Aceh. Karena Aceh sedari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.

Kesediaan rakyat Aceh mendukung perjuangan bangsa Indonesia, bahkan dengan penuh keikhlasan menyumbangkan segenap sumber daya manusia dan hartanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia—lebih dari daerah mana pun di seluruh Nusantara, adalah semata-mata karena rakyat Acehmerasakan ikatan persaudaraan dalam satu akidah dan satu iman dengan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.

Ukhuwah Islamiyah inilah yang mempersatukan rakyat Aceh dengan bangsa Indonesia. Apalagi Bung Karno dengan berlinang airmata pernah berjanji bahwa untuk Aceh, Republik Indonesia akan menjamin dan memberi kebebasan serta mendukung penuh pelaksanaan syariat Islam di wilayahnya. Sesuatu yang memang menjadi urat nadi bangsa Aceh.

Namun sejarah juga mencatat bahwa belum kering bibir Bung Karno mengucap, janji yang pernah dikatakannya itu dikhianatinya sendiri. Bahkan secara sepihak hak rakyat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dilenyapkan. Aceh disatukan sebagai Provinsi Sumatera Utara. Hal ini jelas amat sangat menyinggung harga diri rakyat Aceh.

Dengan kebijakan ini, pemerintah Jakarta sangat gegabah karena sama sekali tidak memperhitungkan sosio-kultural dan landasan historis rakyat Aceh. Bukannya apa-apa, ratusan tahun lalu ketika rakyat Aceh sudah sedemikian makmur, ilmu pengetahuan sudah tinggi, dayah dan perpustakaan sudah banyak menyebar seantero wilayah, bahkan sudah banyak orang Aceh yang menguasai bahasa asing lebih dari empat bahasa, di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Utara pada waktu itu, manusia-manusia yang mendiami wilayah itu masih berperadaban purba. Masih banyak suku-suku kanibal, belum mengenal buku, apa lagi baca-tulis. Hanya wilayah pesisir yang sudah berperadaban karena bersinggungan dengan para pedagang dari banyak negeri.

Saat perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda pun, bantuan dariAceh berupa logistik dan juga pasukan pun mengalir ke Medan Area. Bahkan ketika arus pengungsian dari wilayah Sumatera Utara masuk ke wilayah Aceh,rakyat Aceh menyambutnya dengan tangan terbuka dan tulus. Jadi jelas, ketika Jakarta malah melebur Aceh menjadi Provinsi Sumatera Utara, rakyat Aceh amat tersinggung.

Tak mengherankan jika rakyat Aceh, dipelopori PUSA dengan Teungku Daud Beureueh, menarik kembali janji kesediaan bergabung dengan Republik Indonesia di tahun 1953 dan lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih dulu diproklamirkan S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Ini semata-mata demi kemaslahatan dakwah dan syiar Islam. Dengan logika ini,Aceh bukanlah berontak atau separatis, tapi lebih tepat dengan istilah: menarik kembali kesediaan bergabung dengan republik karena tidak ada manfaatnya.

Pandangan orang kebanyakan bahwa Teungku Muhammad Daud Beureuehdan pengikutnya tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan a-historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa rakyat Aceh danDaud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-gempita dan sumpah setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang ada berjibaku mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi rongrongan konspirasi Barat.

Cara Pandang ‘Majapahitisme’

Mengatakan Aceh pernah melakukan pemberontakan terhadap NKRI merupakan cara pandang yang berangkat dari paradigma ‘Majapahitisme’. Bukan hal yang perlu ditutup-tutupi bahwa cara pandang Orde Lama maupun Baru selama ini terlalu Majapahitisme', semua dianggap sama dengan kultur Hindu. Bahkan simbol-simbol negara pun diistilahkan dengan istilah-istilah sansekerta, yang kental pengaruh Hindu dan paganisme yang dalam Akidah Islam dianggap sebagai syirik, mempersekutukan Allah SWT dan termasuk dosa yang tidak terampunkan.
Bukankah suatu hal yang amat aneh, suatu negeri mayoritas Islam terbesar dunia tapi simbol negaranya sarat dengan istilah Hindu. Ini merupakan suatu bukti tidak selarasnya aspirasi penguasa dengan rakyatnya. Padahal Islam tidak mengenal, bahkan menentang mistisme atau hal-hal berbau syirik lainnya. Rakyat Aceh sangat paham dan cerdas untuk menilai bahwa hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.
Khususnya di Jawa, Sosio-kultural raja-raja dan masyarakat Jawa sampai saat ini sangat kental dengan nuansa Hinduisme, ini bisa dilihat dari berbagai macam Ritual dalam budaya masyarakat di Jawa hingga saat ini. Raja merupakan titisan dewa, suara raja adalah suara dewa. Sebab itu, di Jawa ada istilah “Sabda Pandhita Ratu” yang tidak boleh dilanggar. Ini sangat bertentangan dengan sosio-kultural para Sultan dan Sultanah di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam Islam, penguasa adalah pemegang amanah yang wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hari akhir kelak kepada Allah SWT.

Kerajaan Aceh Darussalam saat diperintah oleh Sultan Iskandar Mudatelah memiliki semacam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR-MPR) yang hak dan kewajibannya telah di atur dalam ‘Konstitusi Negara” Qanun Meukuta Alam. Ada pula Dewan Syuro yang berisikan sejumlah ulama berpengaruh yang bertugas menasehati penguasa dan memberi arahan-arahan diminta atau pun tidak. Aceh juga telah memiliki penguasa-penguasa lokal yang bertanggungjawab kepada pemerintahan pusat. Jadi, seorang penguasa di Kerajaan Aceh Darussalam tidak bisa berbuat seenaknya, karena sikap dan tindak-tanduknya dibatasi oleh Qanun Meukuta Alam yang didasari oleh nilai-nilai Qur'aniyah.

Jadi, jelaslah bahwa sosio-kultur antara Aceh dengan kerajaan-kerajaan Hindu amat bertolak-belakang. Aceh bersedia mendukung dan menyatukan diri dengan NKRI atas bujukan Soekarno, semata-mata karena meyakini tali ukhuwah Islamiyah. Namun ketika Aceh dikhianati dan bahkan di masa Orde Lama maupun Orde Baru diperah habis-habisan seluruh sumber daya alamnya, disedot ke Jawa, maka dengan sendirinya Aceh menarik kembali kesediaannya bergabung dengan NKRI. Aceh menarik kembali kesepakatannya, bukan memberontak. Ini semata-mata karena kesalahan yang dilakukan “Pemerintah Jakarta” terhadap Aceh.
Dan ketika Aceh Darussalam sudah mau bersatu kembali ke dalam NKRI,Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia meletakkan senjatanya dan memilih jalan berparlemen, Aceh sekarang dipimpin seorang putera daerahnya lewat sebuah pemilihan yang sangat demokratis, maka sudah seyogyanya NKRI memperlakukan Aceh dengan adil dan proporsional.

Puluhan tahun sudah Aceh menyumbangkan kekayaannya untuk kesejahteraan seluruh Nusantara, terutama Tanah Jawa, maka sekarang sudah saatnya “Jawa” membangun Aceh. Mudah-mudahan ‘kesepakatan’ ini bisa menjadi abadi, semata-mata dipeliharanya prinsip-prinsip keadilan dan saling harga-menghargai.

Sumber : http://www.atjehcyber.net/2010/12/aceh-tidak-pernah-berontak-pada-nkri.html

Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun


Dalam sejarah Kebudayaan Yunani terkenallah suatu zaman yang bernama "Epic Era" (900—700 sb.M.). Masa Kepahlawanan. Dalam zaman yang penuh semangat perang ini terciptalah sekumpulan syair yang bernama "Hias Dan Odyssea", karya penyair kenamaan Homerus, Syair ini berisi kissah-kissah yang membangkit-bangkit dan njenyentak-nyentak semangat perang bangsa Yunani untuk melawan musuh-musuhnya.

Dalam sejarah kesusasteraan dunia, Hias Dan Odyssea sangat terkenal. Selama masa hampir 3000 tahun setelah Hias Dan Odyssea, pujangga-pujangga dunia belum lagi dapat mempersembahkan kepada ummat manusia sebuah karya sastra kepahlawanan yang menyamai, apalagi mengatasi Hias Dan Odyssea.

Syukurlah, dalam nyalanya api peperangan antara Aceh dengan Belanda yang berlangsung selama lebih 50 tahun itu, seorang Ulama-Penyair Haji Muhammad, yang lebih terkenal dengan nama julukan Teungku Tjhik Pante Kulu, telah berhasil mempersembahkan kepada Dunia-Kemanusiaan sebuah karya sastra besar.

Karya sastra tersebut, kemudian termasyhur dengan nama Hikayat Prang Sabi, yang telah menyala bakarkan semangat rakyat Aceh melawan Belanda. Lama sudah Hikayat Prang Sabi berlalu sepi dalam perjalanan sejarah, sehingga hampir-hampir ia seakan-akan tidak pernah ada, oleh karena untuk sekian lamanya belum ada satu usaha untuk mengungkapkan kembali karya sastra besar itu dengan satu studi yang mendalam.

Karena itu, kami menganggap bahwa usaha Saudara A. Hasjmy yang telah berhasil menyusun sebuah buku, yang menguraikan hal ihwal sekitar Hikayat Prang Sabi, adalah usaha yang patut mendapat sambutan hangat dari masyarakat bangsa Indonesia. Semoga buku yang bernama "Hikayat Prang Sabi menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda" akan dapat memperkaya Dunia Kesusastraan Indonesia, di samping mengungkap apa sebenarnya Hikayat Prang Sabi itu, sehingga membuat serdadu-serdadu Kolonial Belanda mati ketakutan apabila mendengar namanya saja.

Di samping itu ingin kami nyatakan pula bahwa selain dari Hikayat Prang Sabi, yang memang satu karya sastra, besar, juga masih banyak karya-karya sastra yang lain dalam bahasa Aceh, yang bermutu tinggi, baik yang diciptakan di zaman Kerajaan Aceh atau yang dikarang dalam masa peperangan dengan Belanda, seperti Hikayat Putroe Bungsu, Hikayat Maleem Dagang, Hikayat Banta Beuransah, Hikayat Tajool Mulook Bangkawali, Hikayat Nun Parisi dan lain-lainnya.

Sumber : http://www.atjehcyber.net/2011/11/apa-sebab-rakyat-aceh-sanggup-berperang.html

Jejak Sejarah Antara Aceh dan Libya


  • Tewasnya mantan pemimpin Libya Muammar Khadafi meninggalkan duka bagi sebagian orang Aceh. Setidaknya, itulah yang dirasakan Ligadinsyah, mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang pernah kuliah, sekaligus ikut pelatihan militer di kamp Tajura, Libya. Bagi Liga, tanpa Khadafi, tak pernah ada angkatan perang GAM. Bahkan, sebagian anggota GAM pernah jadi pengawal Khadafi.


Dua tahun di Libya, meninggalkan kenangan mendalam bagi Ligadinsyah. Liga yang ketika itu masih berusia 24 tahun terpilih sebagai salah satu dari lima pemuda Aceh yang mendapat beasiswa kuliah di Al Fatah University, Tripoli, tahun 1986. Dia mengambil jurusan bahasa Arab. "Kami kuliah di sana atas rekomendasi almarhum Teungku Hasan Tiro," kata Liga yang kini berusia 48 tahun .


Menurut Ligadinsyah, tak lama setelah dia ke Libya, barulah gelombang pemuda Aceh lainnya dikirim ke sana untuk ikut pelatihan militer. "Tahun 1987, saya dipercaya sebagai penerjemah untuk kawan-kawan dalam latihan militer. Saat libur kuliah, saya juga ikut bergabung dalam pelatihan militer," kenangnya.

Meski pemberontakan GAM dimulai tahun 1977, pendidikan militer secara besar-besaran memang baru dimulai pada 1986-1990.

Maka tumpah ruahlah sekitar seribuan pemuda Aceh ke Libya. Mereka dikirim dalam tiga gelombang. Alumni Libya inilah yang kemudian menjadi tulang punggung pergerakan GAM. Bahkan, Muzakir Manaf, mantan Panglima GAM yang kini menjadi ketua Partai Aceh adalah mantan alumni Libya.

Terletak sekitar 10 kilometer dari pusat kota Tripoli dan berada di pinggir laut, kamp Tajura adalah salah satu kamp pelatihan yang diperuntukkan bagi kelompok 'bermasalah' dengan negaranya. Khadafi menyebutnya: "pelatihan untuk orang-orang tertindas dan terzalimi di negaranya".

"Setahu saya, dananya dari anggaran belanja resmi Libya. Khadafi bilang itu bantuan resmi untuk orang-orang yang terzalimi di negaranya," kata Liga.

Selain dari Aceh, pelatihan militer itu diikuti 'pejuang' dari Pattani (Thailand), Moro (Philipina), Amerika Latin dan Afrika.


  • Sejauhmana kedekatan Hasan Tiro dengan Khadafi? Menurut Ligadinsyah, hubungan keduanya cukup dekat. Bahkan, Hasan Tiro dipercaya sebagai ketua Makbatabah Al Alami, sebuah lembaga nonstruktural yang menjadi penasehat politik Khadafi. 

Selain itu, Tiro juga didaulat menjadi President Committee peserta pelatihan militer, membawahi peserta dari negara-negara lain.

"Tingkat kepercayaannya kepada Teungku Hasan sangat tinggi. Teungku Hasan juga cukup populer di kalangan tangan kanan Khadafi," kata Ligadinsyah.

Ligadinsyah juga masih ingat benar, sejumlah lulusan terbaik GAM di Tanjura pernah menjadi pengawal pribadi di ring satu Khadafi. Baginya, Libya dan Khadafi adalah cikal bakal angkatan perang Aceh Merdeka."Kalau Indonesia standar militernya Amerika, angkatan perang GAM dulu kiblatnya ke Libya."

Sederet kenangan dan hubungan itulah yang membuat Ligadinsyah merasa terenyuh ketika di televisi, ia melihat Khadafi tewas dan diperlakukan tidak manusiawi. "Secara pribadi saya sedih juga dan tidak simpati kepada tindakan-tindakan kekerasan seprti itu.

Apapun cerita, dia pemimpin yang pernah membebaskan Libya dari tirani Raja Idris itu dan pemimpin yang disegani di negara-negara Arab. Harusnya dia diperlakukan lebih manusiawi," ujarnya.

Kini, Khadafi dan Hasan Tiro telah tiada. Mereka pergi dengan meninggalkan jejak sejarah antara Aceh dan Libya.[]

***

Sumber : http://www.atjehcyber.net/2011/10/sepenggal-kisah-khadafi-dan-aceh.htm

Aceh Kaya Milik Siapa ?


Oleh Aiyub Ilyas , Opini (*

DARI masa kemasa Aceh adalah sebuah wilayah yang kaya akan sumber daya alam, baik itu hasil pertanian, perkebunan maupun hasil tambang. Pada era masa kesultanan, Aceh pernah terkenal karena penghasilan dan perdagangan rempah-rempah, terutama lada hitam yang menjadi komoditas ekspor yang sangat penting dan menyumbang devisa paling besar bagi kesultanan Aceh. Karena begitu terkenalnya hingga dalam kehidupan rakyat Aceh dikenal sebuah pepatah “Ban trok kapai, baro tapula lada (begitu kapal tiba, baru menanam lada)”. Pepatah ini ingin menjelaskan kepada kita bahwa diperlukan persiapan matang dalam hidup kalau ingin meraih kesuksesan.

Karena kekayaan yang dimiliki, hingga pada tahun 1607 tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh mengalami masa keemasan dengan mampu menguasai seluruh Sumatra hingga ke Pahang yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Di masa ini Aceh telah mampu duduk bersanding dengan kerajaan-kerajaan hebat di dunia, seperti Turki, hindia, inggris dan lainnya.

Kegemilangan Aceh pada masa kesultanan telah memberi kemakmuran yang besar bagi masyarakatnya, sehingga kemakmuran rakyat berjalan seiring dengan perkembangan negara. Rakyat terurus dengan baik karena adanya rasa keadilan dan kepastian hukum yang tidak pandang bulu. Para penyelenggara kerajaan sadar bahwa mereka ada untuk memakmurkan rakyatnya, bukan untuk menggerogoti kekayaan rakyat, sehingga rakyat ternafikan dalam kemiskinan dan kemelaratan. Karena begitu gemilangnya zaman kesultanan Iskandar Muda ini, hingga sekarang banyak orang yang merindukan kembali akan datangnya masa itu.

Keruntuhan masa kesultanan dimulai ketika Aceh dipimpin oleh para sultanah, sehingga perlahan-lahan kekuatan kesultanan Aceh mulai melemah dan akhirnya banyak daerah dalam kekuasaan kesultanan Aceh melpaskan diri. Hal ini diperparah dengan datangnya penjajah, dimana sebagian besar energi rakyat Aceh dihabiskan untuk mempertahankan wilayah dari pendudukan bangsa asing. Praktis perjalanan panjang perjuangan rakyat Aceh melawan kaum penjajah hingga mencapai usia 31 tahun telah menghancurkan sendi-sendi sosial ekonomi masyarakat. Namun hal ini tidak lantas membuat rakyat Aceh menyerah.

Dengan segala kemampuan, kekayaan dan patriotisme rakyat Aceh pantang membiarkan sejengkal tanah Aceh dikuasai penjajah. Sehingga dalam sejarah Indonesia soekarno menyebut Aceh sebagai daerah modal yang sangat berperan penting dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Karena dengan kekayaan dan kedermawanan rakyat Aceh pulalah, Indonesia dapat membeli dua pesawat terbang yang kemudian digunakan untuk mensosialisasi kemerdekaan Indoensia ke seluruh dunia.

Setelah era perang dan penjajah angkat kaki dari bumi Iskandar muda dan bumi Indonesia, rakyat Aceh pun menyambut kata merdeka dengan penuh suka ria. Dan atas prakarsa Tgk. Daud Beureueh, Aceh bergabung dengan Indonesia dan menjadi salah satu provinsi dengan sebutan daerah kemiliteran dan Tgk. Daud Beureueh sebagai Gubernur Militernya. Dalam sejarah Aceh yang hilang, dikatakan penggabungan ini dilakukan dengan syarat bahwa Aceh dapat melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan masyarakatnya.

Selanjutnya Aceh pun berkeingan untuk menjadikan daerahnya sebagai daerah dengan pemberlakuan syariat Islam, yang telah lama berlaku dalam kultur rakyat Aceh sejak zaman kesultanan Aceh. Hal ini pula menjadi titik awal dari pertikaian rakyat Aceh dengan pemerintah Indonesia.

Pemerintah Indoensia tidak mengamini apa yang menjadi kehendak rakyat Aceh, dan diperparah dengan peleburan daerah kemiliteran Aceh menjadi satu dengan sumatra. Sehingga rakyat Aceh merasa kecewa bahwa nilai patriotisme rakyat Aceh tidak dibalas sepantasnya, bahkan bisa dikatakan air susu dibalas air tuba. Keadaan ini memunculkan pergerakan Darul Islam atau dikenal dengan DITII pada tahun 1949. Perang kembali berlanjut diantara sesama anak bangsa, hanya karena keangkuhan penguasa yang tidak mengakui perbedaan dan kekhasan masyarakat dalam menjalankan kehidupannya. Penguasa memandang kebenaran menurut pengertian mereka, tidak melihat kultur dan keinginan rakyat.

Perang kembali memposisikan rakyat sebagai korban yang terus terzalimi dengan alasan keberpihakan terhadap salah satu pihak yang bertikai. Kematian orang-orang tak berdausa tidak dapat dihindari dengan alasan bagian dari taktik anti gerilya untuk menjaga kedaulatan NKRI. Ketidak adilan tidak pernah menjadi pertimbangan penguasa, hanya persatuan dan kedaulatan negara yang menjadi nilai emas dalam benak penguasa. Praktis rakyat Aceh kembali ditimpa musibah setelah sejenak rehat dari perang panjang melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Karena kalah kekuatan dan persenjataan, DITII pimpinan Tgk Daut Bereueh pun melemah dan akhirnya mereka berdamai yang dikenal dengan perjanjian Lamteh, dimana untuk menunjukkan rasa belas kasih kepada rakyat Aceh, pemerintah pusat pun pada tahun 1959 menentapkan Aceh sebagai provinsi yang menyandang daerah istemewa dalam bidang agama, pendidikan dan budaya. Pemberian ini ibarat seteguk air ditengah teriknya padang sahara, sehingga rakyat aceh mengalami eforia karena akan melaksanakan hukum syariah yang sudah lama diidam-idamkan. Walaupun pada akhirnya daerah otonomi yang diberikan hanya sebagai lambang, tampa ada hak dan wewenang untuk melaksanakan isinya. Praktis hukum syariah yang diinginkan tidak pernah bisa di jalankan di bumi serambi mekah.

Setelah masa DITII, rakyat Aceh sedikit bisa beristirahat dari dentuman senapan dan bau mesiu yang tidak pernah mengenal tuan, kawan atau sahabat. Rakyat kembali larut dalam rutinitas kehidupan untuk mempertahankan hidup. Sampai pada awal tahun 1970 pemerintah Indonesia menandatangani kontrak kerja dengan Amecican oil dan gas company untuk melakukan eksplorasi gas alam cair di bumi Aceh.

Kembali Aceh menjadi sorotan baik nasional maupun internasional karena kapasitas gas yang dikeluarkan dari perut bumi Aceh begitu besar. Pemasukan negara pun bertambah signifikan dari pembagian hasil dengan perusahaan Amerika.

PT. Arun LNG

Namun semprotan dolar yang dikeluarkan dari bumi Aceh, tidak membuat pemerintah sadar akan tanggung jawabnya dalam melaksanakan butir pasal 23 UUD 1945, dimana bumi dan air harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pemerintah larut dan berselemak dengan prilaku korup yang menguntungkan pribadi dan golongan. Manajemen perusahaanpun tidak pernah memandang masyarakat sekitar sebagai manusia yang perlu diberdayakan. Para pegawai dan pekerja pun banyak yang berasal dari luar daerah dengan alasan kualitas diberi hal meraup gemerlapnya dolar. Sehingga rakyat disekitar perusahaan PT Mobil Oil dan PT Arun tidak memperoleh keuntungan apapun dan tetap hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Tidak hanya itu, pengembalian bagi hasil keuntungan kepada pemeritah provinsi Aceh pun tidak sampai 2 % dari apa yang dibawa ke Jakarta. Keadaan ini akhirnya menimbulkan gejolak sehingga muncullah Gerakan Aceh Merdeka, yang secara lantang menangtang pemerintah karena ketidak adilan ekonomi yang diterima Aceh.

Apakah hati pemerintah terenyuh?, mau mendengar tuntutan?, mau melihat sedikit kesalahan apa yang telah dikerjakan?, tidak, pemerintah Soeharto pada saat itu langsung mengirimkan mesin perang untuk menumpas habis separatisme di Aceh karena telah mengancam keutuhan NKRI. Kembali nilai NKRI ditukar dengan ribuan nyawa tidak berdosa, demi memuaskan hati dan keinginan penguasa. Permberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh kembali merusak sendi-sendi ekonomi dan budaya rakyat Aceh. Perang anti gerilya diperankan dengan molek oleh serdadu, tanpa menghiraukan jerit tangis dan nyawa insan yang tak berdausa. Keadaan ini berlangsung selama 10 tahun hingga akhirnya DOM dicabut pada tahun 1999 karena bergulirnya era reformasi yang menuntut pengunduran diri Soeharto sebagai presiden Indoensia.

Di era reformasi terjadi perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini juga berimbas bagi pemerintah provinsi Aceh. Banyak janji-janji pemerintah pusat yang ditebarkan di Aceh, mulai dari pengusutan kejahatan militer semasa DOM, pembayaran diat bagi korban DOM, pemberian daerah otonomi khusus untuk Aceh dan pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Namun hal ini tidak menjadi obat mujarab bagi rakyat Aceh, ditambah lagi dengan ketidak seriusan pemerintah pusat menangani masalah kejahatan DOM di Aceh. Kembali paham dan ide Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tumbuh dan berkembang dan bahkan secara masiv menyebar ke seluruh wilayah Aceh.

Pemerintah pusat pun bereaksi dengan mengirim serdadu dalam jumlah yang terukur untuk menumpas gerakan separatis tersebut. Namun karena kekuatan dan ide separatis terus meluas sehingga pada era pemerintahan Mega Wati Soekarno Putri, perberlakuan DOM jilid II di Aceh menjadi solusi. Praktis banyak serdadu dikrim ke Aceh untuk mengejar para anggota GAM. Sehingga pelanggaran HAM kembali terjadi di bumi Iskandar Muda. Banyak orang kehilangan harta benda, kehilangan anggota keluarga dan bahkan kehilangan nyawa. Rakyat tak berdosa kembali dirundung malang dari keangkuhan kekuasaan.

Banjir uang dari pemberlakuan otonomoi khusus tidak dapat dirasakan masyarakat, karena korupsi, kolusi dan nepostisme tumbuh subur di tengah ketidak pastian hukum. Penguasa dengan leluasa dan berjamaah mengkorup uang rakyat tanpa ada rasa bersalah. Uang trilyunan rupiah dari bagi hasil minyak dan gas bumi Aceh tidak menjadikan rakyat Aceh sejahtera malah makin sengsara. Keadaan ini diperparah dengan adanya kutipan pajak nanggroe yang dilakukan dengan alasan perjuangan telah membebani rakyat, ditambah dengan situasi tidak aman telah mengganggu mata pencaharian masyarakat.

Allah SWT tidak lagi sanggup melihat permainan para orang yang merasa dirinya berkuasa dan tidak pernah berkeluh kesah terhadap nyawa, darah dan penderitaan orang lain. Akhirnya teguran keras Allah SWT diberikan dengan dengan terjadinya musibah Gempa bumi dan Tsunami yang melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004. Kekuasaan Allah SWT tidak dapat dibendung, gelombang raksasa datang meluluhlantakkan hampir seluruh pesisir Aceh dan menewaskan lebih dari 200.000 jiwa.

Keadaan maha dahsyat ini telah menebarkan simpati semua orang dan negara di seluruh dunia, sehingga puluhan trilyunan uang mengalir untuk kembali membangun daerah serambi mekah. Tidak hanya itu, konflik antara GAM dan RI pun berakhir. Sehingga inilah awal rakyat kembali mengharap untuk bisa hidup damai dan makmur. Namun apa yang terjadi, uang puluhan trilyun yang dikelola BRR NAD NiAS, tidak dapat memberi keuntungan besar bagi masyarakat. Para pejabat BRR dan orang yang dekat dengan kekuasaan BRR memperoleh keuntungan yang besar, bahkan bisa dikatakan ada yang kaya mendadak. Namun rakyat dibalik sana di dinding-dinding barak terduduk lumpuh melihat permainan para penguasa yang selalu merasa dirinya berkuasa. Praktis sampai akhir masa tugasnya BRR bisa dikatakan meninggalkan banyak dausa dan kemudaratan bagi rakyat Aceh korban Tsunami.

Tidak hanya melalui BRR, pemda Aceh pun kebanjiran trilyunan rupiah dari pemberlakukan otonomi khusus, namun pengelolaan keuagang yang amburadul dan sarat dengan kolusi dan korupsi telah membuat pembangunan jalan ditempat dan tidak memberi keuntungan besar bagi masyarakat. Sampai akhirnya era baru datang setelah perundingan Helsinki antara pemerintah RI dan GAM mencapai kesepakatan.

Terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan berdemokrasi rakyat Aceh. Dimana pemilihan kepala daerah di hampir seluruh kabupaten kota di Aceh kebanyakan dimenangkan oleh calon-calon independen, termasuk kepala pemerintahan Aceh. Dan lebih memberi harapan lagi, bahwa calon independen yang menang hampir selurunya adalah para bekas pejuang yang selama ini berjuang untuk kejayaan masyarakat Aceh yang adil, makmur dan bermartabat. Kemudian dilajutkan dengan pemilihan umum legislatif yang digelar baru-baru ini, baik untuk provinsi Aceh maupun kabupaten kota di Aceh hampir seluruhnya dimenangkan oleh para pejuang eks kombatan GAM.

Keadaan ini jelas memberi harapan baru bagi kemajuan Aceh setelah bertahun-tahun rakyat Aceh menanti dalam ketidak pastian. Rakyat Aceh berharap adanya perubahan yang mendasar dalam kehidupan mereka. Oleh karena itulah mereka memilih partai PA dengan harapan mereka mampu membawa perubahan sesuai dengan arah perjuanganya dalam membangun Aceh yang lebih makmur dan bermartabat.

Apakah mimpi wali nanggroe Tgk Muhammad Hasan Di Tiro yang ingin mengulang kejayaan masa lalu seperti jamannya Sultan Iskandar Muda akan terwujud? Apakah kekayaan Aceh akan bisa di nikmati oleh rakyat Aceh, atau kekayaan Aceh hanya dinikmati oleh segelintir pengusa? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Namun perlu diingat, sejarah Aceh mencatat, sekali kepercayaan diberikan rakyat dan amanah yang diberikan dikhianati, jangan pernah berharap, rakyat Aceh akan melupakan dan menguburnya sepanjang sejarah. Lebih sakit ditupu bangsa sendiri ketimbang ditipu bangsa lain.

***

Sumber :  http://www.atjehcyber.net/2012/02/aceh-kaya-milik-siapa.html

Makam Cut Nyak Dien

Makam Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh


Cut Nyak Dien merupakan salah satu pahlawan nasional bangsa Indonesia yang semasa perjuangannya dahulu cukup diperhitungkan dan membuat repot bangsa penjajah. Lahir di Aceh sekitar tahun 1848. Cut Nyak Dien sengaja diasingkan oleh pihak Belanda ke Sumedang sebagai upaya meredam pengaruhnya terhadap rakyat Aceh dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Hingga akhir hayatnya srikandi nasional ini harus dimakamkan di bumi pasundan, Sumedang pada 06 November 1908. Makam Cut Nyak Dien ini ditemukan pertama kali pada tahun 1959, selanjutnya dilakukan renovasi disekitar makam 28 tahun kemudian, 1987.

Nisan Cut Nyak Dien

 
Nisan makam Cut Nyak Dien yang artistik
 
sumber:
http://www.sumedangdailyphoto.com/2010/08/nisan-cut-nyak-dien.html

Meunasah Cut Nyak Dien

 
 Meunasah Cut Nyak Dien di Sumedang

Meunasah secara sederhana dapat kita artikan sebagai mushola. Namun, bagi masyarakat Aceh sendiri meunasah tidak begitu saja diartikan sebagai sebuah tempat interaksi-suci antara manusia dengan Sang Pencipta, sekaligus juga tempat beraktivitas dan berinteraksi sesama manusia dan lingkungannya. Menusah ini, berada tepat disekitar Makam Cut Nyak Dien.

Sumber : http://www.sumedangdailyphoto.com/2010/01/makam-cut-nyak-dien.html

Sepotong Sejarah Aceh Yang Dibelokkan

Untuk apa Indonesia merdeka?" Sukarno menjawab: "Untuk Islam kak". Dia memanggil kakak kepada saya. Saya tanya lagi, "betulkah ini?". Jawabnya, "betul kak". Saya tanya sekali lagi, "betulkah ini?". Dia jawab, "betul kak". Saya ulangi lagi, "betulkah ini ?".
(Tgk Muhammad Daud Beureu'eh)

Sepotong sejarah Republik menyangkut Aceh yang banyak dilupakan. Yaitu soal peran Aceh penyelamatan krisis fatal pada akhir tahun 1949. Bila ini penulis kemukakan, bukan penulis ingin Aceh dipuji. Tetapi karena sejarah harus ditulis apa adanya, tidak boleh ditutup, distorted atau direkayasa.

Sejarah mesti murni untuk diwariskan kepada generasinya. Dan apa yang penulis lihat meski itu singkat, tidak terdapat dalam buku- buku sejarah RI yang diajarkan di sekolah-sekolah. Juga penulis tidak melihjat di media yang ditulis sejarawan kita, hatta oleh ahli sejarah Aceh sendiri.


Penulis bukanlah ahli sejarah, tapi salah seorang pelaku sejarah Aceh. Dan kesempatan ini mencoba memaparkan apa yang banyak dilupakan orang. Misalnya, tentang perjuangan Tgk Muhammad Daud Beureueh (akrab disapa Abu). Beliau ulama besar, bukan saja bersaja untuk Aceh, tapi untuk republik tercinta ini. Ia tidak saja berhasil menegmbangkan syiar Islam secara luas tapi juga menjadi pemimpin rakyat (people leader). Abu membangun "Aceh Baru" yang demokratis, bebas dari penghisapan atau penindasan manusia oleh manusia (exploitation delhomme par home).



Sedangkan bagi Republik Indonesia beliau berjasa sebagai penyelamat. Sejarah itu yang tak tertulis di buku-buku sejarah sekolah mana pun. Kecuali beliau diklaim sebagai pemerontak Republik hingga akhir hayatnya. Begitu juga dua pejuang penyalamat lainnya, yaitu Mr Sjafruddin Prawiranegara, Kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan LN Palar, Duta Besar Indonesia di PBB.


Sekilas tentang sejarah, bahwa pada akhir tahun 1949, RI ditimpa kritis yang fatal. Hampir seluruh wilayah sudah diduduki Belanda. lbukota Republik pun sudah dikuasainya. Presiden dan wakil Presiden sudah ditangkap Belanda dan dibuang --kalau saya tidak salah dibuang ke Pulau Bangka.


Mr Sjafruddin Prawiranegara yang sempat diangkat sebagai Kepala Pemerintah Republik Indonesia, bergegas-gegas mengungsi ke Bukit Tinggi. Karena merasa tidak aman di Bukit Tinggi, beliau mengungsi ke Aceh, sebuah wilayah Republik yang belum dapat diduduki oleh Belanda. Jadi, masih tetap sebagai territory legal dari Republik Indonesia. Mengikuti Pak Sjafruddin Prawiranegara Tinggi dari ketiga Angkatan pun mengungsi ke Aceh. Dari Staff Angkatan Darat Kol Hidayat, dari staff Angkatan Udara Suyoso, dan dari Staff Angkatan Laut Komodor Subiyakto. Pada kali pertama pemimpin-pemimpin Aceh yang terdiri dari Abu Beureueh, Tgk Abdul Wahab Seulimum, Hasan Ali dan penulis sendiri berkunjung kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara.



Pertama-tama yang dituntut adalah membentuk Propinsi Aceh, yang dijanjikan oleh Presiden Soekarno. Di depan Abu Beureueh pada waktu beliau datang ke Aceh pada tahun 1947, Soekarno bersumpah dua kali, ternyata dua tahun ditunggu, janji itu tidak dipenuhi.


Saat itu Pak Sjaf (panggilan Syafruddin) menjawab "jangan khawatir, dalam dua tiga hari ini, Propinsi Aceh akan saya bentuk, seperti yang diinginkan oleh rakyat Aceh. Seperti yang dijanjikan", Propinsi Aceh pun terbentuklah dengan PP Pengganti Undang-undang yang mulai berlaku pada tanggal 8 Desember 1949. Sebagai Gubernur Aceh yang Pertama diangkat Abu Beureueh. Beliau dibantu oleh sebuah badan yang disebut Badan Pemerintah Provinsi Aceh, yang terdiri dari T M Amien, Orang Kaya Salamuddin, A.R. Hasjim dan Saya sendiri.


Di seluruh Aceh rakyat bergembira karena keinginannya yang sejak lama tercapai, dan terbentuknya Provinsi Aceh, gampanglah bagi Jendral Mayor Tituler, Mantan Gubernur Militer Aceh, langkat dan tanah Karo Abu beureueh Sebagai Gubernur Areh sekarang untuk mengajak rakyat berjuang mati-matian mempertahankan Aceh jangan sampai dapat diduduki Belanda. Sebab kalau Aceh dapat diduduki Belanda, berarti tamatlah riwayat Republik Indonesia.



Untuk dimaklumi bahwa pertarungan yang sengit antara Aceh dan Belanda berpusat di perbatasan Aceh-Sumatera Utara (dikenal Medan Area). Yang dipertahankan dengat gigih oleh rakyat Aceh bersama TNI Devisi X Aceh, Barisan- Barisan mujahidin yang ketuanya Abu Beureueh, TP (Tentara Pelajar) dan TPI (Tentara Pelajar Islam). Maka berkat pimpinan yang solid dari Abu Beureueh pertahanan rakyat Aceh begkitu gigih, dan Medan Area tak bisa ditembusi tentara Belanda. Penjajah akhirnya kembali ke baraknya di kota Medan. Maka Republik Indonesia yang berada sekarat hidup kembali.


Semangat juang rakyat Aceh yang gigih diketahui LN Palar, Duta Besar RI di PBB yang sebelumnya sudah loyo, menjadi bangkit kembali. Beliau segera meminta PBB untuk memerintahkan kembali kedaulatan atas seluruh territory Republik Indonesia dikembalikan kepada pemerintah Indonesia Serikat, pada 17 Agustus 1950. Sayang sekali pada hari upacara penyerahan kembali kedaulatan atas RI kepada Pemerintah Indonesia oleh Belanda, Jendral Mayor Tituler Abu Daud yang saya anggap salah seorang penyelamat Republik Indoensia tidak diundang ke upacara tersebut.



Perlu dijelaskan bahwa sebelum penyerahan kedaulatan, di Aceh terjadi heboh besar, karena dibubarkan Propinsi Aceh. Heboh ni yang tadinya terjadi di Kota Raja (Banda Aceh sekarang) meluas sampai ke seluruh Aceh. Maka dilayangkanlah poster-poster dan Resolusi- resolusi kepada pemerintah. Heboh ini tidak dapat diatasi hingga terpaksalah pembesar-pembesar Negara dari pusat datang ke Aceh untuk menyenangkan rakyat, antara lain Mr Assaat (Mendagri)--namun rakyat tidak lagi mendengarkannya. Maka Bung Hatta yang kembali menjadi Wakil Presiden Negara Kesatuan NRI datang ke Aceh. Rakyat juga tidak menghiraukan apa yang dikatakannya.


Abu Beureueh Mantan Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo, dan mantan Gubernur Aceh, menyatakan dengan tegas " Bahwa kalau Provinsi Aceh tidak dibentuk kembali, saya akan naik ke Gunung untuk membentuk Provinsi Aceh menurut keinginan kami sendiri". Zaini Bakri, Bupati Aceh Besar juga dengan tegas mengatakan kalau provinsi Aceh tidak kembali dibentuk pegawai RI di seluruh Aceh meletakan jabatan.



Karena rakyat tidak bisa ditenangkan, Muhammad Natsir (Perdana Menteri Kabinet pertama NRI datang ke Aceh). Beliau mula - mula mengatakan pertemuan dengan petinggi - petinggi Aceh, kemudian melalui radio. Ia mengajak rakyat supaya tenang dan tidak khawatir. Beliau akan berusaha sekuat tenaga akan terbentuk kembali Propinsi Aceh. "Secara Intergral", artinya membentuk Propinsi di seluruh Indonesia. Betul-betul Natsir telah mengubah situasi yang panas menjadi suasana yang sejuk sehingga rakyat di seluruh Aceh tenang kembali, dan dengan penuh kepercayaan menunggu janji Perdana Menteri Pertama Natsir itu.


Sayang kabinet Natsir setelah kira-kira satu tahun bekerja, dijatuhkan oleh anggota - anggota DPR yang tidak menyetujui Provinsi Aceh yaitu PKI, PNI, Partai Indonesia Raya dan beberapa partai lainnya. Harapan rakyat Aceh untuk tegaknya sebuah Provinsi seperti yang diinginkan di tanah Rencong buyarlah semua. Provinsi Aceh baru dibentuk kembali setelah Abu Beureueh "naik gunung" (sebagai yang ditegaskan di depan Bung Hatta), beberapa waktu setelah jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo ( dari PNI) yang menggantikan
Kabinet Natsir.



Namun ternyata sumpah Soekarno bukanlah untuk membentuk propinsi Aceh, melainkan sumpah Soekarno untuk menipu Teungku Muhammad Daud Beureueh agar menyokong dan membantu RI. Dimana cerita sumpah Soekarno dihadapan Teungku Muhammad Daud Beureueh itu adalah:


"Teungku Daud Beureueh pernah menyatakan: "Lebih setahun sesudah proklamasi kemerdekaan, pada waktu tentara Belanda dan Sekutu sedang melancarkan serangan secara besar-besaran, dimana para pemuda kita sudah ribuan bergelimpangan gugur di medan perang, datanglah Sukarno ke Aceh...Dia datang menjumpai saya menerangkan peristiwa-peristiwa dan perkembangan revolusi."
Dalam pertemuan itu saya tanya Sukarno: "Untuk apa Indonesia merdeka?" Sukarno menjawab: "Untuk Islam kak". Dia memanggil kakak kepada saya. Saya tanya lagi, "betulkah ini?". Jawabnya, "betul kak". Saya tanya sekali lagi, "betulkah ini?". Dia jawab, "betul kak". Saya ulangi lagi, "betulkah ini ?".
Pada waktu inilah Sukarno berikrar: "Kakak! Saya adalah seorang Islam. Sekarang kebetulan ditakdirkan Tuhan menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama yang baru kita proklamasikan. Sebagai seorang Islam, saya berjanji dan berikrar bahwa saya sebagai seorang presiden akan menjadikan Republik Indonesia yang merdeka sebagai negara Islam dimana hukum dan pemerintahan Islam terlaksana. Saya mohon kepada kakak, demi untuk Islam, demi untuk bangsa kita seluruhnya, marilah kita kerahkan seluruh kekuatan kita untuk mempertahankan kemerdekaan ini".
(S.S. Djuangga Batubara, Teungku Tjhik Muhammad Dawud di Beureueh Mujahid Teragung di Nusantara, Gerakan Perjuangan & Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan, cetakan pertama, 1987, hal. 76-77)




Ternyata akhirnya, ikrar Soekarno itu hanyalah alat penipu saja, karena apa yang disumpahkan Soekarno: "akan menjadikan Republik Indonesia yang merdeka sebagai negara Islam dimana hukum dan pemerintahan Islam terlaksana" hanyalah tipu muslihat saja. Sehingga Teungku Muhammad Dawud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia pada tanggal 20 September 1953, yang sebagian isinya menyatakan bahwa "Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam."

Sumber :  http://vtemplateblog.blogspot.com/2011/08/sepotong-sejarah-aceh-yang-dibelokkan.html

Krueng Aceh

Krueng Aceh merupakan salah satu sungai yang terletak di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sungai ini berhulu di Cot Seukek Kabupaten Aceh Besar dan bermuara di desa Lampulo Kota Banda Aceh.
Krueng Aceh mempunyai panjang lebih kurang 145 km dan beberapa anak sungai bermuara ke badan sungai tersebut, antara lain Krueng Seulimum, Krueng Jrue, Krueng Keumireun, Krueng Inong, Krueng Leungpaga dan Krueng Daroy.
Krueng Aceh mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang aktivitas masyarakat kota Banda Aceh, diantaranya digunakan sebagai sarana air minum (PDAM), sarana transportasi air dan irigasi. Selain itu juga dipergunakaa sebagai sandaran kapal-kapal nelayan yang berada di sekitar badan sungai. Sedangkan aktivitas umum yang dipergunakan oleh masyarakat kota Banda Aceh antara lain seperti pencucian mobil, pakaian, dan boat-boat nelayan.
Krueng Aceh di masa lalu'
Keberadaan Krueng Aceh pada zaman Kesultanan Aceh Darussalam, memiliki nilai yang sangat strategis dalam menumbuh-kembangkan kota ‘Bandar Aceh’---sebagai ibukota Kesultanan Aceh Darussalam yang kosmopolit.
Pasca pemindahan istana Kesultanan Aceh Darussalam dari Gampong Pande ke Darud-Duniya (tempat berdirinya Meuligo Aceh) sekarang, oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah (1267-1309 Masehi). Situasi ibukota Kesultanan Aceh Darussalam, ketika itu sangat ramai oleh lalu-lalang kapal-kapal berukuran besar yang masuk hilir mudik membawa barang-barang perdagangan ke tengah wilayah kota. Bahkan kapal-kapal besar dari mancanegara itu, bisa masuk langsung melalui jalur Krueng Aceh hingga menembus wilayah jantung kota. Hal ini dimungkinkan, karena pada saat itu jalur Krueng Aceh merupakan jalur bebas hambatan untuk masuknya kapal-kapal perdagangan dan kapal penumpang. Sebab, tak ada tiang-tiang jembatan Peunayong dan Pante Pirak yang berdiri di tengah sungai pada saat itu.
Fungsi Krueng Aceh pada saat itu, sekilas hampir menyerupai fungsi dari Sungai Rhein---sungai terpanjang di Eropa. Seperti kita ketahui, hingga kini aktivitas kapal-kapal dagang berukuran besar yang melintasi sungai Rhein sangat padat dan ramai Setiap hari berton-ton barang dan ribuan penumpang diangkut dari satu kota ke kota lainnya di Jerman. Kota Koln dan Bonn di Jerman, termasuk kota yang ditunjang perekonomiannya oleh ‘jasa baik’ aliran Rhein. Kemudian kemajuan ‘pemanfaatan jasa sungai’ yang serupa dengan Koln--- juga berlangsung di sejumlah kota lainnya--- di luar Jerman.
Pada umumnya, sejumlah kota besar di Eropa yang berada di pinggiran Rhein, menggunakan jasa aliran air Rhein untuk menunjang kelancaran transportasi kapal-kapal dagang dan kapal fery. Para turis yang berkunjung ke Jerman, biasanya saling berebut kesempatan untuk menatap pesona kemajuan arsitektur kota-kota di Jerman yang terpancar indah di sepanjang aliran Rhein. Sebagai informasi tambahan, aliran air sungai Rhein itu mengalir dari wilayah pegunungan Swiss, menuju Austria, Jerman, Perancis, Belanda, hingga ke sejumlah negara maju lainnya di Eropa. Dan akhirnya sungai Rhein bermuara ke Laut Utara.
Di sekitar jalur pinggiran sungai Rhein, banyak ditumbuhi oleh sejumlah kebun anggur. Suasananya sangat tertata rapi dan cantik. Banyak pula warga kota ataupun para turis yang memanfaatkan sungai Rhein, sebagai tempat untuk berwisata bersama keluarga, sambil menikmati sejumlah makanan yang tersaji di atas ‘restoran kapal’. Biasanya para turis suka menikmati makanan khas Eropa, seperti roti hamburger, pizza hut, donat, sambil mereguk beberapa minuman khas Amerika Serikat, seperti Coca Cola, Pepsi atau sejumlah minuman bercita rasa buah-buahan segar lainnya. Meskipun lalu-lintas kapalnya sangat padat, namun pergerakan kapal yang lalu-lalang di atas ‘jalur krueng Rhein’ itu tetap berlangsung dengan lancar dan tertib.
Kondisi ini hampir menyerupai pula dengan fungsi Krueng Aceh dulu. Pada masa Sultan Iskandar Muda, Krueng Aceh sangat ramai disinggahi dan dilalui oleh kapal-kapal besar yang mengangkut barang dan penumpang. Dan juga sangat ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara, yang mengangkut sejumlah orang untuk berdagang ke Bandar Aceh Darussalam.
Berdasarakan silsilah sejarah, pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, panorama di pinggiran sungai Krueng Aceh dan Krueng Daroy dulu, banyak ditumbuhi oleh aneka pepohonan yang berbuah manis dan segar, serta dengan berbagai jenis rasa buah-buahan lainnya. Dan di sekitar Krueng Aceh dan Krueng Daroy, juga banyak ditumbuhi oleh aneka bunga yang mekar mewangi memenuhi Taman Bustanussalatin.
Terlebih dari itu, menurut Dr.Kamal A.Arif, “Pada zaman kesultanan Aceh Darussalam tempo doeloe, air sungai Krueng Aceh dipercayai memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Mohon maklum saja, karena pada masa lalu, sungai ini memiliki air yang bersih dan sehat. Orang-orang yang memiliki berbagai macam penyakit datang dari berbagai daerah untuk mandi di sungai tersebut. Francois Martin pada tahun 1602, menduga bahwa air sungai yang bersih ini memperoleh khasiat untuk menyembuhkan penyakit, karena adanya tanaman obat-obatan seperti kamper, dan pohon benzoat yang ditanam di hulu sungai.”
Para pedagang dari Arab, Turki, Kerajaan Mughal, dan dari berbagai tempat lain di seluruh India, setelah merasakan dan meminum air tersebut, mengatakan bahwa dari semua negara yang telah mereka kunjungi, tidak ada sungai yang seperti sungai di Krueng Aceh Darussalam, yang manis rasanya. Dan dapat menjadi obat bagi setiap manusia yang ikut minum dan mandi di dalam Krueng Aceh. Kondisi tersebut, juga berlaku sama bagi yang mandi dan minum di Darul-‘Isyki (Krueng Daroy), pada masa Kesultanan Aceh Darussalam dulu.
Sultan Iskandar Muda, yang sengaja membelokkan aliran air Krueng Daroy ke dalam istana. Sebagai Sultan Kerajaan Aceh Darussalam yang termasyhur dan teguh memegang adat, Sultan Iskandar Muda sangat memperhatikan sistem pelestarian lingkungan hidup. Dia melarang orang menebang pohon. Lalu Sultan, selalu menjaga kebersihan dan kejernihan sungai Krueng Daroy dan Krueng Aceh. Sehingga kedua sungai itu sangat higienis untuk tempat mandi, bahkan juga bisa menjadi obat penyembuh luka-luka pada bagian kulit. Atau dapat pula menyembuhkan berbagai jenis penyakit yang menahun lainnya, melalui proses penyegaran natural (alamiah) yang muncul dari air Krueng Aceh.
Dari segi higienis, Krueng Daroy dan Krueng Aceh pada masa lalu, jauh lebih jernih dari sungai Rhein. Kondisi Krueng Aceh dan Krueng Daroy, dapat lebih terjaga kedamaian dan kenyamanannya kala itu,karena semua aliran sungainya berada di bawah kedaulatan Sultan Iskandar Muda. Berbeda, dengan posisi sungai Rhein yang melintasi sejumlah negara di Eropa, dimana pada masa lalu sering menjadi wilayah perebutan kekuasaan antara berbagai negara di Eropa. Sejak masa kekaisaran Romawi.

Sumber :  http://acehpedia.org/Krueng_Aceh

Struktur Pemerintahaan Kerajaan Aceh



Pada saat Aceh masih sebagai sebuah kerajaan, lokasi kerajaan ini berada di wilayah Kabupaten Aceh Besar sekarang yang dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk (Aceh Besar). Untuk nama Aceh Rayeuk, ada juga orang yang menyebutnya dengan nama Aceh Lhee Sagoe (Aceh tiga Sagi). Penyebutan ini berhubungan erat dengan situasi daerah itu yang mencakup tiga sagi, yaitu disebut Sago (Sagi) XXV Mukim, Sago (Sagi) XXVI Mukim, dan Sago (Sagi) XXII Mukim.

Selain itu, ada juga yang menyebut dengan istilah Aceh Inti (Aceh proper) [3], yang maksudnya Aceh sebenarnya. Disebut demikian karena Aceh Rayeuk inilah pada mulanya yang menjadi inti Kerajaan Aceh. Dan juga karena disitulah terletak ibukota kerajaannya4, yang bernama Banda Aceh atau lengkapnya Banda Aceh Darussalam5, yang oleh orang-orang Aceh lazim disebut pula dengan nama Aceh saja.

1. Tentang Nama dan Perkembangan Kerajaan

Dari nama asalnya Aceh dan kapan istilah ini mulai digunakan merupakan suatu hal yang sulit untuk dipastikan. Orang-orang asing yang pernah datang ke Aceh, menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Orang Arab menyebut Asyi, orang Portugis menyebut Achem atau Achen, orang Belanda menggunakan istilah Acheen atau Achin, orang Prancis mengatakan Achen atau Acheh. Di dalam naskah-naskah Melayu lama seperti kitab Adat Aceh6, Hikayat Aceh [7], dan kitab Bustanus Salatin [8], serta pada salah satu jenis mata uang dari Kerajaan Aceh yang disebut Keuh [9] (sejenis coin yang terbuat dari timah), menyebutnya nama Aceh sebagaimana yang disebut sendiri oleh orang-orang Aceh.

Mula muncul dan berkembangnya Aceh sebagai sebuah kerajaan, berhubungan erat dengan penunjukkan kota Malaka oleh bangsa Portugis pada tahun 1511. Sebelum diduduki oleh Portugis, Malaka terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan pusat penyebaran agama Islam yang di- lakukan oleh para pedagang Islam yang berasal dari negara-negara Timur Tengah dan Gujarat (India). Penaklukan kota Malaka dimaksudkan Portugis di antaranya untuk menghancurkan perdagangan orang-orang Islam di sana.[10]

Setelah berhasil, pihak Portugis tidak memperkenankan lagi pedagang-pedagang Islam ini datang ke kota Malaka. Akibat- nya, timbul kegoncangan dalam jaringan perdagangan di kawasan Selat Malaka para pedagang Islam terpaksa menyingkir dari sana, mencari tempat-tempat lain. Salah satu sasaran mereka, yaitu Aceh. Dengan berdatangannya para pedagang Islam ini, Aceh mulai berkembang sebagai tempat per-dagangan. Selanjutnya oleh para saudagar Islam ini, Aceh digunakan sebagi pengganti Malaka yang direbut oleh bangsa Portugis.

Menurut R.A. Hoesein Djajadiningrat, Kerajaan Aceh pertama kali berdiri pada tahun 1514, dengan rajanya yang pertama Ali Mughayat Syah, yang juga sebagai pendiri kerajaan ini.[11] Selanjutnya dalam perkembangan sejarahnya, setelah sekitar satu abad berdiri atau pada awal abad ke XVII, kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Kejayaan ini disebabkan tindakan-tindakan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dijalankan oleh Sultan ini dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ekonomi, bidang politik, bidang sosial, dan bidang agama.[12] Berikut ini digambarkan bagaimana struktur politik Kerajaan Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda hingga berakhirnya kesultanan Aceh pada awal abad ke XX.

2. Struktur Pemerintahan Kerajaan Aceh

Saat Sultan Iskandar Muda me- merintah, bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di Aceh adalah yang disebut dalam istilah Aceh Gampong atau dalam istilah Melayu Kampung. Sebuah Gampong terdiri atas kelompok-kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain. Pimpinan gampong disebut Geucik atau Keuchik [13], yang dibantu oleh seorang yang mahir dalam masalah keagamaan, dengan sebutan Teungku Meunasah.

Selain itu, dalam sebuah dalam sebuah Gampong terdapat pula unsur-unsur pimpinan lainnya seperti yang dinamakan Waki (wakil) yang merupakan wakil dari Keuchik, serta juga yang disebut Ureung Tuha (orang tua). Mereka [14] yang tersebut terakhir adalah golongan orang-orang tua kampung yang disegani dan ber-pengalaman dalam kampungnya. Menurut tradisi jumlah mereka ada empat orang yang dinamakan Tuha Peut [15] dan ada juga yang delapan orang yang disebut Tuha Lapan.

Bentuk teritorial yang lebih besar lagi dari gampong yaitu Mukim. Mukim ini merupakan gabungan dari beberapa buah gampong yang letaknya berdekatan dan para penduduknya melakukan sembahyang bersama pada setiap hari Jumat di sebuah masjid [16]. Pimpinan Mukim disebut sebagai Imum Mukim. Perkataan Imum ini berasal dari bahasa Arab, artinya Imam (orang yang harus di-ikuti). Imum Mukim inilah yang bertindak sebagai pemimpin sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah masjid.[17]

Pada mula dibentuk setiap mukim diharuskan sekurang-kurangnya mempunyai 1000 orang laki-laki yang dapat memegang senjata.[18] Hal ini tentunya dimaksudkan untuk tujuan politis, yaitu bila terjadi peperangan dengan pihak luar agar mudah menghimpun tenaga-tenaga tempur. Dalam perkembangannya fungsi Imum Mukim menjadi kepala pemerintahan dari sebuah Mukim. Dialah yang mengkoordinir kepala-kepala kampung atau Keuchik-Keuchik. Dengan berubahnya fungsi Imum Mukim berubah pula nama panggilannya, yakni menjadi Kepala Mukim. Untuk pengganti sebuah imam sembahyang pada setiap hari Jum’at di sebuah masjid, diserahkan kepada orang lain yang disebut Imuem Mesjid.

Di wilayah Aceh Rayeuk (Kabupaten Aceh Besar sekarang), terdapat suatu bentuk pemerintahan yang agak unik, yaitu yang disebut dengan nama Sagoe atau Sagi. Keseluruhan wilayah Aceh Rayeuk tergabung ke dalam tiga buah Sagi ini, yang dapat dikatakan sebagai tiga buah federasi. Ketiga buah sagoe atau Sagi tersebut masing-masing dinamakan :
1. Sagi XXII Mukim,
2. Sagi XXV Mukim, dan
3. Sagi XXVI Mukim. [19]
Penamaan ini erat kaitannya dengan jumlah mukim yang terdapat pada masing-masing Sagi. Artinya pada setiap sagi jumlah mukim yang terdapat di bawahnya sesuai dengan nama Sagi yang bersangkutan. Misalnya, Sagi XXVI Mukim, ini berarti bahwa di bawah Sagi ini terdapat XXVI buah Mukim, demikian juga untuk kedua Sagi lainnya.[20]

Tiap-tiap Sagi di atas, diperintah oleh seorang yang disebut dengan Panglima Sagoe [21] atau Panglima Sagi, secara turun-temurun. Mereka juga diberi gelar Uleebalang. Mereka sangat berkuasa di daerahnya dan pengangkatannya sebagai Panglima Sagi disyahkan oleh Sultan Aceh dengan pemberian suatu sarakata yang dibubuhi cap stempel Kerajaan Aceh yang dikenal dengan nama Cap Sikureung (cap sembilan).[22]

Di luar dari ketiga Sagi atau federasi tersebut, di Aceh Rayeuk masih terdapat unit-unit pemerintahan yang berdiri sendiri yang disebut dengan Mukim-mukim yang diikuti nama di belakangnya (nama tempat). Pimpinan pemerintahan di Mukim-mukim ini sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu Kepala Mukim yang derajat mereka juga sama dengan Uleebalang seperti Panglima Sagi. Namun luas wilayah teritorial mereka jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Sagi.

Kepala pemerintahan Mukim ini berada langsung di bawah pengawasan Sultan Aceh, jadi tidak di bawah Panglima Sagi dari ketiga federasi yang telah disebutkan di atas. Adapun nama-nama dari Mukim-mukim Masjid Raya yang terletak di sebelah kiri Sungai Aceh, Mukim Lueng Bata, Mukim Pagar Aye, Mukim Lam Sayun, dan Mukim Meuraksa.[23]

Di luar dari mukim-mukim yang berdiri sendiri ini, di Aceh Rayeuk masih terdapat sejumlah Mukim, tetapi Kepala Mukimnya tunduk di bawah Kepala Sagi. Jadi Mukim-mukim ini berada di bawah dari ketiga Sagi yang telah disebutkan di atas.

Bentuk wilayah kerajaan lainnya yang terdapat di Aceh yaitu yang disebut Nangroe atau Negeri. Nangroe ini sebenarnya merupakan daerah takluk Kerajaan Aceh dan berlokasi di luar Aceh Inti atau Aceh Rayeuk. Jumlahnya diperkirakan melebihi seratus dan menyebar di seluruh wilayah Aceh (Propinsi Daerah Istimewa Aceh sekarang).[24] Luas daerah dan jumlah penduduk serta potensi ekonomi dari masing-masing Nangroe tidak sama. Pimpinan Nangroe disebut Uleebalang [25], yang ditetapkan oleh adat secara turun-temurun.

Mereka menerima kekuasaan langsung dari Sultan Aceh, tetapi para Uleebalang ini merupakan Kepala Negeri atau raja-raja kecil yang sangat berkuasa di daerah mereka masing-masing. Namun sewaktu mereka memangku jabatan sebagai Uleebalang di daerahnya, mereka harus disyahkan pengangkatannya oleh Sultan Aceh. Surat Pengangkatan ini dinamakan Sarakata [26] yang dibubuhi stempel Kerajaan Aceh, Cap Sikureung [27], seperti telah disebutkan di atas. Surat pengangkatan, diberikan oleh Sultan Aceh kepada Uleebalang yang sanggup membayar dengan biaya yang jumlahnya di- tetapkan oleh Sultan. Setiap Uleebalang berusaha untuk mendapatkan Sarakata, karena ia merupakan status dari kekuasaannya.

Tugas Uleebalang [28] adalah memimpin Nangroenya dan mengkoordinir tenaga-tenaga tempur dari daerah kekuasaannya bila ada peperangan. Selain itu juga menjalankan perintah-perintah atau instruksi dari Sultan; menyediakan tentara atau perbekalan perang bila dibutuhkan oleh Sultan dan membayar upeti kepada Sultan. Namun demikian mereka masih merupakan pemimpin-pemimpin yang memonopoli kekuasaan di daerahnya.[29]

Dan masih tetap sebagai pemimpin yang merdeka dan bebas melakukan apa saja terhadap kawula yang berada di wilayahnya. Misalnya dalam hal pengadilan atau melaksanakan hukuman. Namun ketika kewibawaan Kesultanan Aceh masih kuat, Sultan memiliki hak istimewa atas wilayah Nangroe. Hak-hak ini hanya dimiliki oleh Sultan, sedangkan Uleebalang tidak. Dapat disebutkan misalnya hak untuk menghukum seseorang yang bersalah, hak untuk me- ngeluarkan mata uang,hak untuk membunyikan meriam pada waktu matahari terbenam, dan hak untuk mendapat panggilan dengan sebutan Daulat.[30]

Hak-hak ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengurangi kesewenang-wenangan para Uleebalang, terutama yang berhubungan dengan pemberian hukuman terhadap seorang yang bersalah. Namun ketika kewibawaan Sultan sudah melemah, terutama pada abad ke XIX dan awal abad XX (sesudah kesultanan Aceh tidak ada lagi).[31] Yang menetapkan hukuman terhadap seseorang yang bersalah di Nangroe-nangroe adalah para Uleebalang.

Dalam memimpin pemerintahan Nangroe, Uleebalang dibantu oleh pembantu-pembantunya seperti yang disebut dengan Banta, yaitu adik laki-laki atau saudara Uleebalang [32], yang kadang-kadang juga bertindak sebagai Uleebalang, bila yang bersangkutan berhalangan. Pembantu yang lainnya adalah yang disebut Kadhi atau Kali, yang membantu dalam hukom, yaitu yang dipandang mengerti mengenai hukum Islam. Selain itu, ada yang disebut Rakan yaitu sebagai pengawal Uleebalang [33], yang dapat diperintahnya untuk bertindak dengan tangan besi. Para Rakan yang terbaik dalam perang diberi gelar Panglima Perang, sedangkan pimpinan-pimpinan pasukan kecil yang tidak begitu trampil dalam peperangan diberi gelar pang.

Nangroe-nangroe tersebut di atas, pada umumnya berlokasi di pantai bagian timur dan pantai bagian barat Aceh. Di awahnya terdapat pula sejumlah mukim yang terdiri atas beberapa buah gampong atau yang disebut pula dengan istilah meunasah. Tetapi tidak semua nangroe mengenal lembaga mukim. Di wilayah pantai timur dan di pantai barat, tidak terdapat apa yang disebut mukim. Di beberapa nangroe bagian pantai Timur dan sebagian wilayah Kabupaten Aceh Utara sekarang, terdapat apa yang disebut dengan istilah Ulebalang Cut (Uleebalang kecil). Uleebalang Lapan (Uleebalang Delapan), dan Uleebalang Peut (Uleebalang Empat). Namun kedudukan dari bermacam jenis Uleebalang ini, berada di bawah.

Tingkat tertinggi dalam struktur pemerintahan Kerajaan Aceh adalah pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota kerajaan, yang dahulunya bernama Bandar Aceh Dar as Salam.[34] Kepala pemerintahan pusat adalah Sultan yang para kelompoknya bergelar Tuanku. Dalam mengendalikan pemerintahan Sultan dibantu oleh beberapa pembantu yang membawahi bidang masing-masing. Berdasarkan sebuah manuskrip (MS) [35], susunan pemerintahan pusat Kerajaan Aceh terdiri atas 24 lembaga atau jabatan yang diumpamakan dengan kementrian pada masa sekarang. Nama dari masing-masing lembaga tersebut adalah sebagai berikut:
1. Keurukon Katibul Muluk atau Sekretaris Raja
2. Rais Wazirat Addaulah atau Perdana Menteri
3. Wazirat Addaulah atau Menteri Negara
4. Wazirat al Akdham atau Menteri Agung
5. Wazirat al HArbiyah atau Menteri Peperangan
6. Wazirat al Haqqamiyah atau Menteri Kehakiman
7. Wazirat ad Daraham atau Menteri Keuangan
8. Wazirat ad Mizan atau Menteri Keadilan
9. Wazirat al Maarif atau Menteri Pendidikan
10.Wazirat al Khariziyah atau Menteri Luar Negeri
11. Wazirat ad Dakhilyyah atau Menteri Dalam Negeri
12. Wazirat al Auqaf atau Menteri Urusan Wakaf
13. Wazirat az Ziraaf atau Menteri Pertanian
14. Wazirat al Maliyyah atau Menteri urusan HArta
15. Wazirat al Muwashalat atau Menteri Perhubungan
16. Wazirat al asighal atau Menteri Urusan Kerja
17. As Syaikh al Islam Mufti Empat Syeik Kaabah
18. Qadli al Malik al Adil atau Qadi Raja Yang Adil
19. Wazir Tahakkum Muharrijlailan atau Ketua Pengurus Kesenian
20. Qadli Muadlam atau Qadhi/Jaksa Agung
21. Imam Bandar Darul Makmur Darussalam
22. Keuchik Muluk atau Keuchik Raja
23. Imam Muluk atau Imam Raja
24. Panglima Kenduri Muluk atau Ketua Urusan Kenduri Raja. [36]

Kedua puluh empat lembaga atau jabatan seperti disebutkan di atas, dipegang oleh oranga-orang tertentu yang di-angkat oleh Sultan Aceh. Selain jabatan-jabatan itu di Kerajaan Aceh, terdapat pula tiga buah badan atau lembaga lainnya yang fungsinya hampir dapat disamakan dengan lembaga legislatif sekarang. Lembaga ini turut mendampingi Sultan dalam melaksanakan tugasnya. Ketiga Lembaga ini adalah
1. Balairungsari, yaitu tempat bermufakat empat orang Uleebalang (Hulu Balang Empat) dan tujuh orang alim ulama, serta menteri-menteri Kerajaan Aceh.
2. Bale Gadeng, yaitu Tempat mufakat dari delapan orang Uleebalang dan tujuh orang alim ulama serta menteri-menteri Kerajaan Aceh, dan
3. Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu sebagai tempat mufakat wakil rakyat sebanyak tujuh puluh tiga orang yang datang dari tujuh puluh tiga mukim.[37] Jadi tiap-tiap mukim diwakili oleh satu orang.

Selain ketiga lembaga di atas, dalam sebuah naskah yang bernama “Kanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda”, disebut pula ada Balai Laksamana yaitu semacam markas angkatan perang, yang dikepalai oleh seseorang yang disebut Laksamana , yang tunduk atau berada di bawah Sultan. Selanjutnya ada pula yang disebut Balai Fardah, yang tugasnya memungut atau me-ngumpulkan Wase (Bea Cukai). Balai ini tunduk pada perintah Perdana Menteri. Disebutkan pula, dalam pemerintahan kerajaan, Sultan Aceh tunduk kepada Kanun.[38]

Demikian struktur Kerajaan Aceh hingga berdamainya Sultannya yang terakhir Sultan Mahmud Daud Syah dengan Belanda pada tahun 1903, yang merupakan awal berakhirnya Kerajaan Aceh. Karena setelah itu daerah ini diduduki oleh Belanda, hingga tahun 1942.

***

Catatan Akhir :
  • 1. ″Geography of Achin”, JSBRAS (1874), hal. 120.
  • 2. K.F.H. Van Langen, “De Inrichting van Het Atjehsche Staatsbestuur Onder het Sultanaat”, BKI V, deel III, (1888), hal. 383.
  • 3. Lihat Ibrahim Alfian, dalam “Emas, Kafir, dan Maut”, Nusantara No. 2, (Kuala Lumpur: Juli 1972), hal. 270.
  • 4. G.P. Tolson, “Acheh Commonly Called Achen”,JSBRAS V, (Singapore: 1880), hal. 12.
  • 5. Lihat Teuku Iskandar, “De Hikajat Atjeh”, VKI 26, (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1958), hal. 28.
  • 6. Telah pernah diterbitkan oleh G.W.J. Drewes dan P. Voorhoeve, (Reproduced in facsimile from a manuscript in the India Office Library), VKI 24 (1958).
  • 7. Telah dikaji oleh Teuku Iskandar untuk Disertasi, VKI 26 (‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoof), 1958.
  • 8. Lihat Nuruddin ar-Raniri, Bustanus Salatin, disusun oleh Teuku Iskandar, (Kuala Lumpur: Dewam Bahasa dan Pustaka), 1966.
  • 9. Lihat dalam K.F.H. van Langen, op.cit., hal. 431.
  • 10. Mengenai faktor-faktor yang mendorong bangsa Portugis untuk merebut kota Malaka,lihat misalnya dalam Sartono Kartodirdjo, “Religious and economic aspects of Portuguese-Indonesian relations”, Separata de STUDIA-REVISTA Quadrimestral No. 29, (Lisboa: April, 1970).
  • 11. R.A. Hoesein Djajadiningrat, “Critisch Overzicht van de in Maleische Werken Vervatte Gegevens Over de Geschiedenis van het Soeltanat Atjeh”, BKI 65 (1911), hal. 213.
  • 12. Mengenai tindakan dan kebijaksanaan yang dijalankan Sultan Iskandar Muda dalam bidang-bidang tersebut di atas, lihat misalnya dalam karya, Das Gupta, Arun Kumar, “Acheh ini Indonesian Trade and Politics 1600 – 1641″, Ph.D. Thesis, (unpublished, Cornell University, 1960). Juga dalam Rusdi Sufi, “Sultan Iskandar Muda”, Dari Sini Ia Bersemi, Banda Aceh: Panitia Penyelenggara Musabaqah Tilawatil Qur’an Tingkat Nasional ke 12, tahun 1981.
  • 13. J. Kreemer. Atjeh I, (Leiden: E.J. Brill, 1923), hal. 380.
  • 14. C. Snouck Hurgronje, De Atjehers I, (Leiden: E.J. Brill, 1893), hal. 87.
  • 15. Mengenai lembaga Toeha Peuet lihat misalnya dalam A.J. Vleer, “De Positie van den Toeha Peuet in het Atjehsche Staatsbestel”, Koloniale Studien 19, (1935), hal. 454 – 461.
  • 16. Lembaga Mukim ini pertama kali dibentuk pada masa Sultan Iskandar Muda. Lihat dalam, K.F.H. van Langen, op.cit., hal. 390.
  • 17. Th. W.Juynbol, “Atjeh”, The Encyclopaedia of Islam, Vol. I, (1960), hal. 74.
  • 18. K.F.H. van Langen, op.cit, hal. 391.
  • 19. Sagi ini diperkirakan pertama di-bentuk di Kerajaan Aceh di bawah pemerintahan Sultanah Nurul ‘Alam Syafiatuddin (1675 – 1677), lihat K.F.H. van Langen, ibid, hal. 392.
  • 20. Nama-nama sagi dan mukim yang berada di bawahnya beserta juga nama-nama pimpinannya (uleebalangnya).
  • 21. F.A. Liefrinck, “Enige Mededeelingen Omtrent den Tegen woordigen Toestand van Atjeh Proper”, TNAG V, (1881), hal. 47.
  • 22. Lihat dalam G.P. Rouffaer, “De Hindoestanche Oorsprong van het “Negenvoudig” Sultanszegel van Atjeh”, BKI 59, hal. 349 – 384.
  • 23. F.A. Liefrinck, op.cit., hal. 50.
  • 24Lihat Surat Gubernur Militer/sipil Aceh kepada Directeur van Binnenlandsch Bestuur 7 Desember 1912/ No. 421/5 Lihat Mailr. No. 847/13.
  • 25Secara harafiah Uleebalang artinya “Panglima Tertinggi”.
  • 26Lihat G.L. Tichelman, “een Atjehsche Sarakata” (Afschrift van een besluit van Sultan Iskandar Muda), TBG 73, (1933), hal. 368 – 373.
  • 27. G.P. Rouffaer, loc.cit.
  • 28. K.F.H. van Langen,op.cit, hal. 391.
  • 29. Lihat Mukti Ali, An Introduction to The Government of Achehs Sultanate. (Yogyakarta: Nida, 1970), hal. 16.
  • 30. R.A. Hoesein Djajadiningrat, op.cit, hal. 177.
  • 31. Sultan Aceh yang terakhir tidak ada lagi. Lihat Motie van Kol, Litt. C4 Kabinet.
  • 32. K.F.H. van Langen, Beknopt Alfabetisch Informatieboekje Betreffende Groot Atjehsche Personen en Aangeleheden. Kota Radja, 1897, hal. 16.
  • 33. James T. Siegel, The Rope of God. (Berkeley and Los Angeles, 1969), hal. 30.
  • 34. Teuku Iskandar, “De Hikayat Atjeh”, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut Voor Taal, Land en Volkenkunde (VKI) 26, (s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1958), hal. 28.
  • 35. MS ini terdapat di perpustakaan University Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur yang belum dikatalogkan. Ditulis dengan huruf Arab, berbahasa Arab/Melayu dan berangka tahun 1786 M.
  • 36. MS ini ditrankripsikan dan diartikan ke dalam bahasa Indonesia oleh Faisal M. Hasan,alumnus IAIN ar-Raniri, Darussalam Banda Aceh.
  • 37. MS, University Malaysia yang belum dikatalogkan, lihat juga “Kanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda”.
  • 38. Yang dimaksud dengan kanun adalah segala peraturan yang berhubungan dengan adat. Lihat R.A. Hoesein Djajadiningrat, Atjehsch Nederlandsch Woordenboek II, (Batavia: Landsdrukkerij, 1934), hal. 662.
Sumber : http://www.atjehcyber.net/2011/10/struktur-pemerintahaan-kerajaan-aceh.htm

Jejak Aceh di Maluku

Raja Aceh Dibuang ke Maluku
Dari segi karakter, orang Maluku sama keras dengan orang Aceh. Menghadapi watak ini dengan sikap tegas oleh para pemimpin. inilah sejarah tersebut. Sultan Muhammad Daud Syah (1878-1939) bersama iterinya Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid,anaknya Tuanku Raja Ibrahim,Tuanku Raja Ibrahim, Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh,Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas dibuang ke Ambon, Maluku pada 24 Desember 1907 dan pada tahun 1918 diungsikan ke Batavia (Jakarta) karena terlalu dekat dengan orang Bugis di Maluku. Kemudian dia mangkat pada 6 Februari 1939 di sana dan dikebumikn di pekuburan rakyat Rawamangun Jakarta. Kondisi kuburan tersebut tidak memperlihatkan makam raja Aceh layaknya makam raja-raja yang terawat bersih dan diketahui oleh masyarakat.
Kasim Arifin
Jejak selanjutnya orang Aceh yang ? membuang? diri ke Maluku yakni Muhammad Kasim Arifin (alm). Putra Aceh Timur mengabdi di Waimital bagian selatan Pulau Seram Maluku selama 15 tahun. Saya ingat kala menjadi mahasiswa beliau di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada tahun 1990-an yakni disela-sela memberi kuliah, dia memperlihatkan papan nama Jalan Kasim Arifin di Waimital. Kisah pengabdian yang mengharu ini diawali ketika Kasim yang mahasiswa IPB Bogor pada tahun 1964 menjalani program “Pengerahan Tenaga Mahasiswa” (seperti Kuliah Kerja Nyata ) selama beberapa bulan dengan tugas memperkenalkan program Panca Usaha Tani. Kasim jatuh cinta dengan daerah itu dan lupa pulang kalau dia masih berstatus mahasiswa. Kasim yang cerdas, hidup sederhana dan lain-lain menikmati kerja di sana hingga dia disapa Antua, sebutan bagi yang dihormati di Maluku.
Orang Aceh yang berpengaruh di Maluku baik di masa lalu atau sekarang. Tersebutlah nama Dr. Abdul Gafur bin Tengku Idris. Pada tahun 1980-an, rakyat Aceh bertanya-tanya mengapa Gafur yang dikenal dari Maluku bisa membawa nama Aceh dalam kampanye politik di Aceh. Kala itu, mantan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga pada masa Kabinet Pembangunan IV menyebutkan dirinya juga orang Aceh. Ayahnya Teungku Idris adalah seorang pejuang yang dibuang oleh Belanda ke Maluku. Agaknya, dia bisa pakai dua kaki tergantung kepentingan. Nama juga politikus.
Kata Ambon terus bersemedia di Aceh. Ada pria keturunan Ambon yang lebih populer dengan sebutan Bram Aceh. Kala itu ayahanya menjadi tentara Belanda di Banda Aceh. Bram Aceh adalah penyanyi keroncong terkenal yang lahir di Aceh pada 4 Maret 1913 dan meninggal dunia di Jakarta pada 8 Mei 2001. Bram Aceh merupakan kakek penyanyi masyhur yaitu Harvey Malaiholo
Nama-nama berbau Maluku tak pernah padam di Aceh. Ketika membezuk kuburan Kerkhof di Banda Aceh, di antara 1.200 kerangka serdadu Belanda termasuk pasukan elit Marsose di sana, terdapat ratusan nama-nama yang lazim dipakai di Maluku, Jawa, Menado dan lain-lain yang dikirm ke Aceh dengan ujung bayonet untuk memburu pejuang Aceh.

Sumber :  http://acehpedia.org/Jejak_Aceh_di_Maluku

Pengaruh Hindu di Aceh

Adat dan budaya Aceh yang kental dengan nuansa Islam, masih dipengaruhi oleh tradisi Hindu. Hal ini disebabkan, sebelum Islam masuk, Hindu telah berkembang di Aceh. Setelah Islam masuk, unsur-unsur Hindu dihilangkan, namun tradisinya masih ada yang dipertahankan sampai sekarang.
Asimilasi budaya Aceh, pernah disinggung oleh Teuku Mansoer Leupeung, Uleebalang yang dikenal sebagai pujangga. Dalam hikayat Sanggamara, tokoh yang hidup seangkatan dengan Teuku Panglima Pole mini mengisahkan.



Adat Aceh bak riwayat

Bacut sapat dudoe teuka
Peutama phon dalam kitab
Bangsa Arab nyang peuteuka

Nyang keudua bak Meulayu

Nibak Hindu dengan Jawa
Nibak Cina na sigeuteu
Adat badu ngon Manila

 Bangsa Jawa ngon Meulayu

Le that teungku keunan teuka
Hingga rame nanggroe makmu
Meurah breuh bu meuhai lada


Bak peukayan dum ban laku
Ureung Hindu nyang peuteuka  
Cuba tilek tingkah laku
Bajei Badu ladom pih na

Susoen bahsa Ara Meulayu

Barat timu bacut biza
Bahsa Arab na sigeuteu
Jampu bawu laen pih na

Walau Islam telah kuat, sebahagian tradisi dan cara hidup Hindu ada yang terus melekat pada masyarakat Aceh. Bahkan tradisi yang bersifat positif terus dipertahankan, seperti tradisi hidup bergotong royong dan berbagai tradisi lainnya yang kemudian unsur hidupnya diganti secara bertahap dengan syariat Islam.
Tradisi-tradisi Hindu yang telah diislamkan tersebut masih ada sampai sekarang, seperti pada acara khanduri laoet ( kenduri laut ) yang dilakukan oleh para nelayan. Dulu pada acara kenduri laut ini, darah kerbau itu ditampung, asoe dalam (organ dalam) kerbau tersebut beserta kepala, dibungkus kembali dengan kulitnya dan kemudian dihanyutkan ke tengah laut sebagai persembahan kepada penghuni laut.
Acara kenduri laut ini masih bertahan sampai sekarang, tetapi seiring dengan masuknya Islam, pemberi sesajen untuk penghuni laut dihilangkan, upacara pembuatan sesajennya diganti dengan kenduri dan doa bersama. Daging sapi atau kerbau yang disembelih tersebut dimakan bersama anak yatim dan fakir miskin agar hajatan yang dilakukan tersebut mendapat berkah.
Pemotongan ayam putih dan ayam hitam pada daka (pintu air) tambak oleh petani tambak sebelum panen juga merupakan sisa-sisa tradisi Hindu yang masih dilakukan sampai sekarang oleh petani tambak tradisionil. Paha, hati dan dada ayam tersebut baik yang dimasak, dipanggang dan digoreng, bersama dengan masakan lainnya dibungkus dengan daun pisang terpisah-pisah kemudian disatukan dalam pelepah pinang yang dibentuk seperti sampan untuk dipasang pada pohon atau batang kayu ditengah tambak. Ini juga merupakan sisa-sisa tradisi Hindu. Kini acara ini mulai diganti dengan makan dan berdoa bersama anak yatim sebelum tambak panen.
Selain itu peusijuek (tepung tawar) barang-barang berharga yang baru dibeli seperti kereta dan  mobil, dengan menggunakan berbagai jenis rumput. Dengan akar rumput tersebut yang telah diikat, air dipercikkan ke barang yang ditepung tawarkan.. Acara peusoen  atau  peusijeuk  orang yang baru sembuh dari sakit atau pulang dari bepergian jauh juga merupakan sisa-sisa tradisi Hindu.
Begitu juga acara belah kelapa pada saat peutreun aneuk miet ( membawa keluar rumah bayi pertama kali ) juag merupakan tradisi-tradisi Hindu yang masih ada sampai sekarang dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dalam berpakaian, tusuk konde pada sanggul wanita juga merupakan tata cara berpakaian Hindu yang membudaya dalam masyarakat Aceh sampai sekarang.
Malah ada yang lebih kental lagi dan dilarang dalam Islam, seperti pemujaan terhadap pohon-pohon besar dengan cara menggantungkan bunga-bungaan yang diikat dengan berbagai benang pada cabang pohon oleh para pemuja sihir, itu juga merupakan  budaya Hindu.
Bekas-bekas kerajaan masih dapat kita temukan walau sudah tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui, kecamatan Ulim (perbatasan Ulim dengan Meurah Dua), reruntuhan di Ladong.
Mesjid Indrapuri dibangun diatas reruntuhan candi. Pada tahun 1830, Haji Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Tambusi juga meruntuhkan candi-candi dan batunya kemudian dimanfaatkan untuk membangun mesjid dan benteng-benteng.

Sumber : http://acehpedia.org/Pengaruh_Hindu_di_Aceh