Selasa, 21 Mei 2013

Yang Bernama “Aceh”



SYAHDAN, Bahwa keturunan bangsa Aceh adalah dari Tanah Persia. Seperti kita sering dengar kepanjangan ACEH sebagai Arab, China, Eropah, dan Hindia. Namun sampai sekarang jarang para sarjana yang mengangkat kisah seperti ini. Hanya Affan Jamuda dan A.B. Lila Wangsa yang menulis “Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pelajaran mengenal diri sendiri)” menyebutkan: 

Wangsa Acheh saboh wangsa nyang jak meunanggroe rot blah barat pulo Ruja. Wangsa nyan asai phon nibak wangsa Achemenia, Wangsa Achemenia nyang asai jih phon bah binak buket Kaukasus di Europa teungoh. Wangsa Achemenia nyang hudep bak thon 2500 GM (gohlom masehi). Wangsa Achemenia saboh wangsa nyang harok meurantoe, sampoe wangsa nyang meusipreuk bansaboh Asia, Afrika, Europa ngon pulo Ruja. Nyang saboh turonan neuweh u tanoh Parsi jeut keuwangsa Parsia, nyang sabih suke neuweh u pulo Ruja, dudoe teuma jeut keu-wangsa Acheh. Wangsa Acheh asai phon nibak wangsa Achemenia-Parsia-Acheh”. Affan Jamuda and AB. Lila Wangsa, Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pidie: Angkasa Muda, 2000).

Terjemahannya : Bangsa Aceh adalah satu bangsa yang membangun negeri di sebelah barat Pulau Ruja. Bangsa ini asalnya dari bangsa Achemenia, bangsa Achemenis berasal dari sebuah bukit Kaukasus di Eropa Tengah. Bangsa Achemenia hidup sekitar 2500 Tahun sebelum Masehi. Bangsa Achemenia satu bangsa yang suka merantau, sampai bangsa ini tersebar di seluruh Asia, Afrika, Eropa dan juga Pulau Ruja. Satu keturunan pindah ke tanah Persia, kemudian menjadi bangsa Persia, yang satu suku lagi pindah ke Pulau Ruja, kemudian lahir bangsa Aceh. Bangsa Aceh pertama sekali berasal dari bangsa Achmenia-Parsia-Acheh). 

Tentu saja itu bukan sebuah kebetulan, jika kemudian kita temukan akar sejarah migrasi manusia dari Persia, bahkan sebelum Raja Darius (521-486 Sebelum Masehi) yang menguasai Persia, konon beragama Zoroasther. Raja ini menyebarkan sayap pemerintahannya sampai Eropa, Anatolia, Mesir, Mesopotamia, dan India Barat. Dalam buku A History of World Societies disebutkan bahwa: “They had created “world empire” encompassing of the oldest and most honored kingdoms and peoples of the ancient Near East.” Jadi, ada benarnya bahwa penggalan lagu Rafly di atas, yaitu “Beek tabeoh kada wangsa meutuwah; turounan meugah meuri-ri wangsa; khujja ngoen majja lakap geupajah; turoenan meugah dorius raja.

Sampai sekarang, bukti sejarah ini memang masih mengundang sejumlah tanda tanya. Sebab, di dalam sejarah, selalu disebutkan nama Parsia di dalam sejarah Aceh, namun jarang yang bisa menarik kembali kemana arah sejarah Aceh sebelum Masehi atau sebelum Islâm datang ke daerah ini. Pada masa Darius dan anaknya Xerxes (486-464 Sebelum Masehi), mereka telah membangun suatu monarki kekuasaan, yang ternyata telah disebutkan sebagai “world empire” (kerajaan dunia) hingga menjadi cikal bakal beberapa kerajaan di Timur Tengah.

Kemudian Jamuda dan Lilawangsa menulis: hon teuka di tanoh Parsi (Iran-Irak jinoe). Sabab musabab neueuka sampoe roh neumeunanggroe lam pulo ruja. Bak zameun Raja Dorius neumat keurajeun di Parsia, lam masa nyang kuasa keurajeun Raja Dorius luah lagoina mulai di Meuser troh u Hindi ngan lam pula Ruja. Lam masa nyan keu wangsa-ureung bako-bako di nanggroe Parsia neujak duek u nanggroe blah barat pulo Ruja nyang dudoe neulakap Nanggroe Aceh. Yoh goh nyang lam tanoh Acheh kana Aulia-Aulia Allah, nyang sahe naggroe Acheh milek harta Aulia-Aulia Allah (Bangsa Persia sebelum menjadi bangsa Aceh, pertama kali datang di tanoh Parsia (Iran-Irak sekarang). 

Sebab datang sampai membangun negeri di Pulau Ruja. Pada masa zaman Raja Darius memegang tampuk kekuasaan di Persia, pada waktu itu wilayah kekuasaan Raja Darius sangatlah luas sekali mulai dari Mesir hingga ke India sampai ke Pulau Ruja. Pada zaman itu berbagai bangsa di negeri Persia berangkat menetap di sebelah Barat Pulau Ruja kemudian diberinama Nanggroe Aceh. Sebelum itu di tanah Aceh sudah ada wali-wali Allah, yang jaga negeri Aceh milik harta-harta Aulia Allah). 

Jadi, dapat dipastikan bahwa asal usul indatu orang Aceh adalah dari Parsia yang datang ke Pulau Ruja, sebuah pulau yang kemudian diberi nama Aceh. Namun yang menarik adalah jika benar pada zaman Raja Darius yang beragama Zoroasther sudah ada Wali-Wali Allah di Aceh, maka pertanyaannya adalah apa benar sudah ada agama yang menyembah Allah sebelum Masehi. 

Sebab ungkapan bahwa Aceh milik atau tanah para Wali juga ditemukan dalam ungkapan lagu Rafly berikut, Han geu meu kafe ureung Aceh nyang/’Saweub bumoe nyang tanoh Aulia/ Geutem sut nyawong peudong kheun Allah/ Kameunan reusam geutung pusaka (Tidak akan menjadi Kafir orang Aceh itu/Sebab bumi ini adalah tanah Aulia/ Rela mengeluarkan nyawa untuk mempertahankan kalimah Allah/ Begitu adat yang diambil sebagai pusaka) .Sayangnya semua sejarah itu masih berupa catatan perang. Kegemilangan Aceh sebagai salah satu kerajaan besar hanya cerita manis.

Ada yang menarik tentang Aceh, yakni simbol agama yang dikekalkan dalam suasana dayah, sebagai pusat sumber ilmu agama Islam tempoe doeloe. Ketika Aceh hendak dijajah, semua suku dan ulama di Aceh sepakat melawan penjajahan. Karena itu, konsep kebencian orang Aceh terhadap penjajahan, bukan karena kebencian etnisitas atau sejarah, tetapi karena melawan penindasan atau penjajahan merupakan jihad. 

Hal itu dibuktikan oleh Tgk Chik Kuta Karang dengan karyanya kitab Hikayat Prang Sabi yaitu membakar semangat orang Aceh melawan penjajah dengan ideologi agama. Dalam konteks etnis, orang Aceh adalah orang yang berjiwa kosmopolitan alias bisa menerima siapa saja atau suku bangsa apapun. Untuk mengelompokkan etnisitas, sistem kerajaan Aceh menyusun kependudukan berdasarkan negeri asal suku bangsa tersebut, sebagaimana dilukiskan dalam hadih maja “Sukee lhee reuthoh bak aneuk drang, Sukee ja sandang jeura haleuba, Sukee tok bate na bacut bacut, Sukee imuem peut yang gok-gok donya”.

Sukses di sini dalam kata lain artinya suku sehingga hadih maja ini menggambarkan keragaman suku bangsa di dunia yang berdomisili di Aceh. Semuanya berhasil disatukan oleh sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar (1537-1565) di bawah panji Islam dan terayomi di bawah payung kerajaan Aceh Darussalam.

Mengenai asal usul masyarakat Aceh, HM. Zainuddin (1961), mengatakan bahwa orang dari suku Batak/Karee membentuk kaum Lhee Reutoih. Orang asing lainnya seperti Arab, Persia, Turki, Keling (dagang), Melayu semenanjung, Bugis membentuk kaum Tok Batee Sultan berasal dari kaum Tok Batee. Kaum percampuran dari Hindu dan Batak Karee membentuk group baru menjadi kaum Ja Sandang. 

Pimpinannya diberi gelar dengan panglima kaum dengan gelar kaum imeum peut. Sedangkan orang Gayo, sebagaimana dikutip Gerini (HM. Zainuddin, 1961) menghubungkannya dengan Dagroian sesuai dengan catatan- catatan Marcopolo. Menurutnya, Dagroian berasal dari kata-kata drang - gayu, yang berarti orang Gayo. Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan itu bisa saja berpunca di dalam masyarakat itu sendiri atau bersumber dari luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Aceh mempunyai comparative advantage karena menjadi pusaran dunia, transit pertama sebelum ke bagian Nusantara.

Terakhir, saya ingin menegaskan bahwa dalam sejarah kebudayaan Aceh, persoalan bersatu dan berpisah adalah hal yang sangat biasa. Artinya, mereka bisa bersatu dengan kelompok manapun,namun budaya yang sudah mengakar yang dibalut dengan kualitas tradisi Islam tidak akan pernah dapat dihentikan. Jiwa nasionalisme orang Aceh yang menjadi bagian dari Indonesia merupakan satu nafas dalam perjuangan mereka, sejauh itu tidak dikhianati. 

Adapun nasionalisme di Indonesia walaupun masih didominasi oleh pemahaman kebudayaan Jawa, agaknya memang telah mewariskan persoalan sejarah yang tercecer. Artinya, sejarah nasionalisme di Indonesia adalah sejarah yang dikendalikan oleh pemerintah. Sehingga dinamika kebudayaan di daerah dianggap sebagai ‘aset’ bukan pelaku utama, untuk tidak mengatakan mereka tidak memberikan arti yang signifikan. Hal ini belum lagi dimana ‘aset’ budaya Indonesia cenderung dijadikan sebagai objek untuk kepentingan sosial politik, bukan kepentingan kebudayaan bangsa Indonesia.

* M. Adli Abdullah; adalah dosen dan Sejarawan Aceh

Sumber :
http://www.atjehcyber.net/2011/10/yang-bernama-aceh.html

Memahami “Watak” Orang Aceh



Beranjak dari penelitian disertasi, “Memahami Orang Aceh” menjadi sebuah buku yang sangat kuat mengangkat karakteristik dan tipologi masyarakat Aceh. Apalagi, penelitian dititikberatkan pada hadih maja yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh. Oleh karena itu, buku setebal 304 halaman ini sangat patut dijadikan cermin dari kehidupan masyarakat Aceh: tempoe doeloe dan kini.

Bukan hanya itu, latar belakang si penulis yang menyandang predikat doktor bidang pendidikan dan bergelut sebagai pengajar sastra, adat dan budaya di Universitas Syiah Kuala dalam kesehariannya, semakin mengokohkan bahwa disertasi ini murni hasil penelitian lapangan. Tentunya ia memiliki landasan yang sangat kuat sebagai sumber acuan para peneliti berikutnya, yakni penelitian tentang karakteristik masyarakat Aceh.

Membaca buku mantan wartawan ini, kita semakin menyadari bahwa masyarakat Aceh sesungguhnya memiliki hati yang lembut dan kasih sayang. Adapun timbulnya sikap atau sifat iri hati, itu disebutkan bukan sifat mutlak ureueng  Aceh, melainkan timbul kemudian hari karena sebab sesuatu semisal dikhianati, dicerca, dimaki, ditipu, dan sebagainya.

Padahal, orang Aceh memiliki sifat lembut dan selalu mengalah. Hal itu terungkap dalam hadih maja pada buku ini, yang dikutip pula oleh Rektor Unsyiah, Darni M. Daud, pada pengantarnya. Hadih maja tersebut adalah; "

Surôt lhèe langkah meureundah diri, mangat jituri nyang bijaksana".
(Surut tiga langkah merendah diri, agar mereka bisa mengenali arti Bijaksana)

Secara umum, buku ini mengkaji struktur, fungsi, dan nilai hadih maja sebagai sastra lisan dalam masyarakat Aceh. Hadih maja dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan peribahasa, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut proverb, bahasa Arab matsal, bahasa Belanda Spreekword.

Dua Karakter Utama Orang Aceh

Bukan tanpa alasan jika penulis buku menyebutkan dua hal di atas sebagai dua karakter yang paling menonjol dari orang Aceh. Yakni adalah sikap militansi dan loyal atau patuh kepada pemimpin.

Pertama, Sikap militansi masyarakat atau orang Aceh sudah ditempa sejak ratusan tahun lalu, sejak pendudukan Belanda sampai konflik bersenjata antara GAM-RI. Semangat rela berkorban, berjuang dan berperang sampai titik darah penghabisan yang ditempa sekian lama itu lantas mengental, mengkristal jadi sebuah budaya yang melekat erat dalam setiap karakter masyarakat Aceh.

Hal ini bisa dibaca melalui syair-syair do daidi, senandung penina bobo bayi yang mengajarkan dan mengajak sang bayi agar setelah besar nanti pergilah ke medan perang untuk berjuang membela bangsa (nanggroe).

Kedua, selain sikap militansi, sikap yang lain yang menonjol adalah loyal dan patuh pada pemimpin. Loyalitas dan kepatuhan bagi orang Aceh sebenarnya sebuah nilai dengan harga mahal. Sebab, agar orang Aceh menjadi loyal dan patuh, sang pemimpin haruslah jujur, setia kepada rakyatnya, tidak ingkar janji, bijak dalam pelayanan serta percaya kepada rakyat.

Hal ini dapat dilihat, Pada masa perjuangan merebut kemerdekaan orang Aceh rela memberikan segala harta bendanya kepada Indonesia lewat sebuah pesawat bernama RI 01 yang kita tahu sekarang dimuseumkan di Taman Mini Indonesia Indah. Inilah bukti kepatuhan dan loyalitas orang Aceh terhadap Soekarno karena beliau menjanjikan penetapan syariat Islam di Aceh. Janji itu disampaikan Soekarno kepada Tengku Daud Beureuh pada 16 Juni 1948.

Aceh memberikan kemenangan telak kepada partai Demokrat dan secara khusus kepada SBY dalam pilpres 2009. Tercatat 93% masyarakat Aceh memilih SBY. Ini juga bukti kepatuhan dan loyalitas orang Aceh terhadap SBY, karena dalam masa pemerintahannya SBY telah memberikan sesuatu yang berharga untuk Aceh yakni Perdamaian.

Belajar dari fakta sejarah masa lulu, SBY yang sekarang dipercayakan oleh mayoritas masyarakat Aceh hendaknya membangun silaturahmi yang baik dengan masyarakat Aceh. Sebab bisa saja terjadi, jika kepercayaan itu tidak dihargai, maka Aceh akan bergejolak kembali.

Lima Watak (prototipe) orang Aceh

Gambaran singkat masyarakat Aceh, Menurut Dr. Mohd Harun lewat ‘Memahami orang Aceh’ Kajiannya atas masyarakat Aceh dari penggalan syair hadih maja.

Melalui hadih maja-hadih maja yang sudah dikumpulnya bertahun-tahun, Harun mencoba memberikan pengetahuan baru kepada kita.

Bahwa hadih maja yang selama ini terkesan sekedar jadi penambah pemanis kata bagi orang tua-orang tua ternyata memiliki nilai filosofis yang sangat dalam, yang dapat menunjukkan karakteristik masyarakat pemakainya: tentunya hal ini berdasarkan zaman pula.

Menurut sang penulis ada lima (5) prototipe watak orang Aceh.

MILITAN
Artinya memiliki semangat juang yang tinggi, bukan hanya dalam memperjuangkan makna hidup tetapi juga dalam mempertahankan harga diri atau eksistensinya. 

Rencong peudeueng pusaka ayah, rudoh siwah kreh peunulang, 
Nibak udep dalam susah, bah manoe darah teungoh padang’ 
____
(Rencong, pedang pusaka ayah, rudoh, siwah keris warisan. 
Daripada hidup di dalam susah, biar bermandikan padang di tengah padang)

REAKTIF
Artinya sebagai sebuah sikap awas atas harga diri yang keberadaanya dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya. Orang Aceh sangat peka terhadap situasi sosial di sekitarnya. Orang Aceh tidak suka diusik, sebab jika tersinggung dan menanggung malu reaksi yang timbul adalah akan dibenci dan bahkan menimbulkan dendam.

Ureueng Aceh hanjeut teupèh,  Meunyo ka teupèh, bu leubèh han geu peutaba, 
Meunyo hana teupèh, boh krèh jeut taraba...
____
"Orang Aceh tak boleh tersinggung perasaannya, jika sudah tersinggung nasi lebih pun untuk kita takkan ditawarkannya. Namun sebaliknya, apapun akan mereka berikan jika tak menyinggung perasaan mereka)

KONSISTEN
Hal ini tampak dalam sikap dan pendirian yang tidak plin plan, tegas, taat asas apalagi jika berkaitan dengan harga diri dan kebenaran.

‘Siploh pinto teutob, na saboh nyang teuhah’ 
____
Sepuluh pintu tertutup, ada satu yang terbuka.

OPTIMIS
Hal tersebut tampak dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu. Orang Aceh beranggapan bahwa setiap pekerjaan yang kelihatan sulit dan berat harus dicoba dan dilalui.

Cab di batee labang di papeuen, lagee ka lon kheun han jeut metuka’ 
____
Cap dibatu paku dipapan, seperti yg sudah saya katakan tak boleh tertukarkan

LOYAL
Hal ini amat berkaitan dengan kepercayaan. Jika seseorang, lebih-lebih pemimpin, menghargai, mempercayai, tidak menipu, tidak mencurigai orang Aceh maka mereka akan mebaktikan diri sepenuhnya kepada sang pemimpin.‘

Adak lam prang pih lon srang-brang. Bah matee di blang ngon sabab gata’ 
____
Walau dalam perang pun saya akan berkorban, biarlah mati dalam perang itu demi Anda

***

Kendati tidak semua hadih maja dapat berlaku secara harfiah di segala zaman, nilai filosofis di dalamnya tetap menggambarkan tipologi masyarakat Aceh secara keseluruhan. Filosofis yang diemban hadih maja tersebut masih terlihat dalam masyarakat Aceh hingga saat ini. Oleh karena itu, upaya pendokumentasian hadih maja apalagi dalam bentuk penelitian ilmiah seperti yang dilakukan Harun patut mendapatkan apresiasi tinggi.

Lebih rinci, Harun membagi beberapa konsep pemikiran dan watak orang Aceh melalui perspektif hadih maja: konsep nilai filosofis orang Aceh; konsep nilai etis orang Aceh; dan konsep nilai estetis orang Aceh. Ia mengakui bahwa ada satu konsep lagi yang tidak dimasukkan di sini, konsep religius orang Aceh, atas pertimbangan masih belum sempurnanya hasil penelitian tentang religius dalam masyarakat Aceh. Namun demikian, konsep dasar religius orang Aceh dapat dilihat pada disertasi Harun, yang dikeluarkan oleh Universitas Negeri Malang, 2006.

Akhirnya, membaca buku bersampul gambar orang tua bertopi ke belakang, hasil lukisan Mahdi Abdullah, ini membuat saya seperti semakin kenal ke-Aceh-an dalam diri dan masyarakat tempat saya tinggal. Gambar sampul buku itu pun seperti khas gambar salah seorang masyarakat Aceh, yang gemar telanjang dada dan memakai topi yang arahnya ke belakang. Pantas pula Rektor Unsyiah menyebutkan pada pengantarnya bahwa “Memahami Orang Aceh” adalah buku yang memuat berbagai aspek kehidupan masyarakat Aceh secara rinci.

Hemat saya, akan lebih rinci lagi manakala buku ini juga memuat pandangan orang Aceh dari sisi religius, sebab persoalan agama bagi masyarakat Aceh sudah seperti rapatnya kulit dengan ari. Namun demikian, buku ini tetap dapat menjadi landasan bagi para peneliti yang hendak mengkaji seluk beluk masyarakat Aceh, dulu dan sekarang.

Judul Buku: Memahami Orang Aceh
Penulis: Dr. Mohd. Harun, M.Pd.
Penerbit: Citapustaka Media Perintis
Cetakan I: April 2009
Isi: xvi + 304