Selasa, 29 Mei 2012

Aceh Kaya Milik Siapa ?


Oleh Aiyub Ilyas , Opini (*

DARI masa kemasa Aceh adalah sebuah wilayah yang kaya akan sumber daya alam, baik itu hasil pertanian, perkebunan maupun hasil tambang. Pada era masa kesultanan, Aceh pernah terkenal karena penghasilan dan perdagangan rempah-rempah, terutama lada hitam yang menjadi komoditas ekspor yang sangat penting dan menyumbang devisa paling besar bagi kesultanan Aceh. Karena begitu terkenalnya hingga dalam kehidupan rakyat Aceh dikenal sebuah pepatah “Ban trok kapai, baro tapula lada (begitu kapal tiba, baru menanam lada)”. Pepatah ini ingin menjelaskan kepada kita bahwa diperlukan persiapan matang dalam hidup kalau ingin meraih kesuksesan.

Karena kekayaan yang dimiliki, hingga pada tahun 1607 tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh mengalami masa keemasan dengan mampu menguasai seluruh Sumatra hingga ke Pahang yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Di masa ini Aceh telah mampu duduk bersanding dengan kerajaan-kerajaan hebat di dunia, seperti Turki, hindia, inggris dan lainnya.

Kegemilangan Aceh pada masa kesultanan telah memberi kemakmuran yang besar bagi masyarakatnya, sehingga kemakmuran rakyat berjalan seiring dengan perkembangan negara. Rakyat terurus dengan baik karena adanya rasa keadilan dan kepastian hukum yang tidak pandang bulu. Para penyelenggara kerajaan sadar bahwa mereka ada untuk memakmurkan rakyatnya, bukan untuk menggerogoti kekayaan rakyat, sehingga rakyat ternafikan dalam kemiskinan dan kemelaratan. Karena begitu gemilangnya zaman kesultanan Iskandar Muda ini, hingga sekarang banyak orang yang merindukan kembali akan datangnya masa itu.

Keruntuhan masa kesultanan dimulai ketika Aceh dipimpin oleh para sultanah, sehingga perlahan-lahan kekuatan kesultanan Aceh mulai melemah dan akhirnya banyak daerah dalam kekuasaan kesultanan Aceh melpaskan diri. Hal ini diperparah dengan datangnya penjajah, dimana sebagian besar energi rakyat Aceh dihabiskan untuk mempertahankan wilayah dari pendudukan bangsa asing. Praktis perjalanan panjang perjuangan rakyat Aceh melawan kaum penjajah hingga mencapai usia 31 tahun telah menghancurkan sendi-sendi sosial ekonomi masyarakat. Namun hal ini tidak lantas membuat rakyat Aceh menyerah.

Dengan segala kemampuan, kekayaan dan patriotisme rakyat Aceh pantang membiarkan sejengkal tanah Aceh dikuasai penjajah. Sehingga dalam sejarah Indonesia soekarno menyebut Aceh sebagai daerah modal yang sangat berperan penting dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Karena dengan kekayaan dan kedermawanan rakyat Aceh pulalah, Indonesia dapat membeli dua pesawat terbang yang kemudian digunakan untuk mensosialisasi kemerdekaan Indoensia ke seluruh dunia.

Setelah era perang dan penjajah angkat kaki dari bumi Iskandar muda dan bumi Indonesia, rakyat Aceh pun menyambut kata merdeka dengan penuh suka ria. Dan atas prakarsa Tgk. Daud Beureueh, Aceh bergabung dengan Indonesia dan menjadi salah satu provinsi dengan sebutan daerah kemiliteran dan Tgk. Daud Beureueh sebagai Gubernur Militernya. Dalam sejarah Aceh yang hilang, dikatakan penggabungan ini dilakukan dengan syarat bahwa Aceh dapat melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan masyarakatnya.

Selanjutnya Aceh pun berkeingan untuk menjadikan daerahnya sebagai daerah dengan pemberlakuan syariat Islam, yang telah lama berlaku dalam kultur rakyat Aceh sejak zaman kesultanan Aceh. Hal ini pula menjadi titik awal dari pertikaian rakyat Aceh dengan pemerintah Indonesia.

Pemerintah Indoensia tidak mengamini apa yang menjadi kehendak rakyat Aceh, dan diperparah dengan peleburan daerah kemiliteran Aceh menjadi satu dengan sumatra. Sehingga rakyat Aceh merasa kecewa bahwa nilai patriotisme rakyat Aceh tidak dibalas sepantasnya, bahkan bisa dikatakan air susu dibalas air tuba. Keadaan ini memunculkan pergerakan Darul Islam atau dikenal dengan DITII pada tahun 1949. Perang kembali berlanjut diantara sesama anak bangsa, hanya karena keangkuhan penguasa yang tidak mengakui perbedaan dan kekhasan masyarakat dalam menjalankan kehidupannya. Penguasa memandang kebenaran menurut pengertian mereka, tidak melihat kultur dan keinginan rakyat.

Perang kembali memposisikan rakyat sebagai korban yang terus terzalimi dengan alasan keberpihakan terhadap salah satu pihak yang bertikai. Kematian orang-orang tak berdausa tidak dapat dihindari dengan alasan bagian dari taktik anti gerilya untuk menjaga kedaulatan NKRI. Ketidak adilan tidak pernah menjadi pertimbangan penguasa, hanya persatuan dan kedaulatan negara yang menjadi nilai emas dalam benak penguasa. Praktis rakyat Aceh kembali ditimpa musibah setelah sejenak rehat dari perang panjang melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Karena kalah kekuatan dan persenjataan, DITII pimpinan Tgk Daut Bereueh pun melemah dan akhirnya mereka berdamai yang dikenal dengan perjanjian Lamteh, dimana untuk menunjukkan rasa belas kasih kepada rakyat Aceh, pemerintah pusat pun pada tahun 1959 menentapkan Aceh sebagai provinsi yang menyandang daerah istemewa dalam bidang agama, pendidikan dan budaya. Pemberian ini ibarat seteguk air ditengah teriknya padang sahara, sehingga rakyat aceh mengalami eforia karena akan melaksanakan hukum syariah yang sudah lama diidam-idamkan. Walaupun pada akhirnya daerah otonomi yang diberikan hanya sebagai lambang, tampa ada hak dan wewenang untuk melaksanakan isinya. Praktis hukum syariah yang diinginkan tidak pernah bisa di jalankan di bumi serambi mekah.

Setelah masa DITII, rakyat Aceh sedikit bisa beristirahat dari dentuman senapan dan bau mesiu yang tidak pernah mengenal tuan, kawan atau sahabat. Rakyat kembali larut dalam rutinitas kehidupan untuk mempertahankan hidup. Sampai pada awal tahun 1970 pemerintah Indonesia menandatangani kontrak kerja dengan Amecican oil dan gas company untuk melakukan eksplorasi gas alam cair di bumi Aceh.

Kembali Aceh menjadi sorotan baik nasional maupun internasional karena kapasitas gas yang dikeluarkan dari perut bumi Aceh begitu besar. Pemasukan negara pun bertambah signifikan dari pembagian hasil dengan perusahaan Amerika.

PT. Arun LNG

Namun semprotan dolar yang dikeluarkan dari bumi Aceh, tidak membuat pemerintah sadar akan tanggung jawabnya dalam melaksanakan butir pasal 23 UUD 1945, dimana bumi dan air harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pemerintah larut dan berselemak dengan prilaku korup yang menguntungkan pribadi dan golongan. Manajemen perusahaanpun tidak pernah memandang masyarakat sekitar sebagai manusia yang perlu diberdayakan. Para pegawai dan pekerja pun banyak yang berasal dari luar daerah dengan alasan kualitas diberi hal meraup gemerlapnya dolar. Sehingga rakyat disekitar perusahaan PT Mobil Oil dan PT Arun tidak memperoleh keuntungan apapun dan tetap hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Tidak hanya itu, pengembalian bagi hasil keuntungan kepada pemeritah provinsi Aceh pun tidak sampai 2 % dari apa yang dibawa ke Jakarta. Keadaan ini akhirnya menimbulkan gejolak sehingga muncullah Gerakan Aceh Merdeka, yang secara lantang menangtang pemerintah karena ketidak adilan ekonomi yang diterima Aceh.

Apakah hati pemerintah terenyuh?, mau mendengar tuntutan?, mau melihat sedikit kesalahan apa yang telah dikerjakan?, tidak, pemerintah Soeharto pada saat itu langsung mengirimkan mesin perang untuk menumpas habis separatisme di Aceh karena telah mengancam keutuhan NKRI. Kembali nilai NKRI ditukar dengan ribuan nyawa tidak berdosa, demi memuaskan hati dan keinginan penguasa. Permberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh kembali merusak sendi-sendi ekonomi dan budaya rakyat Aceh. Perang anti gerilya diperankan dengan molek oleh serdadu, tanpa menghiraukan jerit tangis dan nyawa insan yang tak berdausa. Keadaan ini berlangsung selama 10 tahun hingga akhirnya DOM dicabut pada tahun 1999 karena bergulirnya era reformasi yang menuntut pengunduran diri Soeharto sebagai presiden Indoensia.

Di era reformasi terjadi perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini juga berimbas bagi pemerintah provinsi Aceh. Banyak janji-janji pemerintah pusat yang ditebarkan di Aceh, mulai dari pengusutan kejahatan militer semasa DOM, pembayaran diat bagi korban DOM, pemberian daerah otonomi khusus untuk Aceh dan pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Namun hal ini tidak menjadi obat mujarab bagi rakyat Aceh, ditambah lagi dengan ketidak seriusan pemerintah pusat menangani masalah kejahatan DOM di Aceh. Kembali paham dan ide Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tumbuh dan berkembang dan bahkan secara masiv menyebar ke seluruh wilayah Aceh.

Pemerintah pusat pun bereaksi dengan mengirim serdadu dalam jumlah yang terukur untuk menumpas gerakan separatis tersebut. Namun karena kekuatan dan ide separatis terus meluas sehingga pada era pemerintahan Mega Wati Soekarno Putri, perberlakuan DOM jilid II di Aceh menjadi solusi. Praktis banyak serdadu dikrim ke Aceh untuk mengejar para anggota GAM. Sehingga pelanggaran HAM kembali terjadi di bumi Iskandar Muda. Banyak orang kehilangan harta benda, kehilangan anggota keluarga dan bahkan kehilangan nyawa. Rakyat tak berdosa kembali dirundung malang dari keangkuhan kekuasaan.

Banjir uang dari pemberlakuan otonomoi khusus tidak dapat dirasakan masyarakat, karena korupsi, kolusi dan nepostisme tumbuh subur di tengah ketidak pastian hukum. Penguasa dengan leluasa dan berjamaah mengkorup uang rakyat tanpa ada rasa bersalah. Uang trilyunan rupiah dari bagi hasil minyak dan gas bumi Aceh tidak menjadikan rakyat Aceh sejahtera malah makin sengsara. Keadaan ini diperparah dengan adanya kutipan pajak nanggroe yang dilakukan dengan alasan perjuangan telah membebani rakyat, ditambah dengan situasi tidak aman telah mengganggu mata pencaharian masyarakat.

Allah SWT tidak lagi sanggup melihat permainan para orang yang merasa dirinya berkuasa dan tidak pernah berkeluh kesah terhadap nyawa, darah dan penderitaan orang lain. Akhirnya teguran keras Allah SWT diberikan dengan dengan terjadinya musibah Gempa bumi dan Tsunami yang melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004. Kekuasaan Allah SWT tidak dapat dibendung, gelombang raksasa datang meluluhlantakkan hampir seluruh pesisir Aceh dan menewaskan lebih dari 200.000 jiwa.

Keadaan maha dahsyat ini telah menebarkan simpati semua orang dan negara di seluruh dunia, sehingga puluhan trilyunan uang mengalir untuk kembali membangun daerah serambi mekah. Tidak hanya itu, konflik antara GAM dan RI pun berakhir. Sehingga inilah awal rakyat kembali mengharap untuk bisa hidup damai dan makmur. Namun apa yang terjadi, uang puluhan trilyun yang dikelola BRR NAD NiAS, tidak dapat memberi keuntungan besar bagi masyarakat. Para pejabat BRR dan orang yang dekat dengan kekuasaan BRR memperoleh keuntungan yang besar, bahkan bisa dikatakan ada yang kaya mendadak. Namun rakyat dibalik sana di dinding-dinding barak terduduk lumpuh melihat permainan para penguasa yang selalu merasa dirinya berkuasa. Praktis sampai akhir masa tugasnya BRR bisa dikatakan meninggalkan banyak dausa dan kemudaratan bagi rakyat Aceh korban Tsunami.

Tidak hanya melalui BRR, pemda Aceh pun kebanjiran trilyunan rupiah dari pemberlakukan otonomi khusus, namun pengelolaan keuagang yang amburadul dan sarat dengan kolusi dan korupsi telah membuat pembangunan jalan ditempat dan tidak memberi keuntungan besar bagi masyarakat. Sampai akhirnya era baru datang setelah perundingan Helsinki antara pemerintah RI dan GAM mencapai kesepakatan.

Terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan berdemokrasi rakyat Aceh. Dimana pemilihan kepala daerah di hampir seluruh kabupaten kota di Aceh kebanyakan dimenangkan oleh calon-calon independen, termasuk kepala pemerintahan Aceh. Dan lebih memberi harapan lagi, bahwa calon independen yang menang hampir selurunya adalah para bekas pejuang yang selama ini berjuang untuk kejayaan masyarakat Aceh yang adil, makmur dan bermartabat. Kemudian dilajutkan dengan pemilihan umum legislatif yang digelar baru-baru ini, baik untuk provinsi Aceh maupun kabupaten kota di Aceh hampir seluruhnya dimenangkan oleh para pejuang eks kombatan GAM.

Keadaan ini jelas memberi harapan baru bagi kemajuan Aceh setelah bertahun-tahun rakyat Aceh menanti dalam ketidak pastian. Rakyat Aceh berharap adanya perubahan yang mendasar dalam kehidupan mereka. Oleh karena itulah mereka memilih partai PA dengan harapan mereka mampu membawa perubahan sesuai dengan arah perjuanganya dalam membangun Aceh yang lebih makmur dan bermartabat.

Apakah mimpi wali nanggroe Tgk Muhammad Hasan Di Tiro yang ingin mengulang kejayaan masa lalu seperti jamannya Sultan Iskandar Muda akan terwujud? Apakah kekayaan Aceh akan bisa di nikmati oleh rakyat Aceh, atau kekayaan Aceh hanya dinikmati oleh segelintir pengusa? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Namun perlu diingat, sejarah Aceh mencatat, sekali kepercayaan diberikan rakyat dan amanah yang diberikan dikhianati, jangan pernah berharap, rakyat Aceh akan melupakan dan menguburnya sepanjang sejarah. Lebih sakit ditupu bangsa sendiri ketimbang ditipu bangsa lain.

***

Sumber :  http://www.atjehcyber.net/2012/02/aceh-kaya-milik-siapa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar