Aceh : Mengapa Dia Berontak, Mengapa Mereka Berontak
Mengapa Aceh Berontak?
Sumber Kutipan : http://putraaceh.multiply.com/journal/item/812/Aceh-Mengapa-Dia-Berontak-Mengapa-Mereka-Berontak
58
tahun negara ini berdiri: Aceh masih bergolak. Indonesia memang kenyang
dengan gerakan separatis, tapi mungkin tak cukup arif menarik
pelajaran dari pengalaman. Di Aceh, seorang ulama, tokoh masyarakat
karismatik, Teungku Daud Beureueh, mengangkat senjata melawan
pemerintah pusat pada 1953. Ironis sekali. Teungku Daud adalah orang
yang menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945 dengan sumpah
setia. Ia mencintai Indonesia merdeka: dihimpunnya dana masyarakat Aceh
untuk membiayai perjuangan militer dan diplomatik RI melawan tekanan
Belanda.
Lantas mengapa dia berontak? Operasi militer di
Aceh kini telah memasuki minggu ke-12. Ada banyak alasan untuk tetap
bergabung atau berpisah. Tapi dibutuhkan lebih banyak lagi alasan untuk
mengangkat senjata atau menggunakan senjata demi menciptakan damai.
Dan 17 Agustus adalah saat yang tepat untuk merenung: mengapa mereka
yang pernah jatuh cinta itu kemudian berontak.
Mengapa Aceh Berontak?
Apa
yang disebut Indonesia? Pertanyaan ini layak kita renungkan di saat
merayakan hari ulang tahun kemerdekaan ke-58 republik yang kita sayangi
ini. Terutama setelah rasa penat mengikuti upacara—atau setelah balap
karung di RT—mulai hilang. Sebab, tak semua daerah merayakan acara 17
Agustus ini dengan tawa-ria tarik tambang ataupun berbagai perlombaan
lain yang diadakan untuk merangsang suasana gembira bersama. Di beberapa
daerah Aceh, misalnya, kegembiraan tak kelihatan sosoknya. Lupakan
soal pesta lomba, karena soal sepele seperti apakah sebaiknya memasang
bendera Merah Putih atau tidak saja bisa bermuara pada keselamatan jiwa
sang pemilik rumah. Simbol resmi negara Indonesia itu dimusuhi oleh
sejumlah warga yang ingin menjadikan Aceh sebagai negara merdeka,
terlepas dari RI.
Perbedaan suasana yang mencolok di
provinsi paling barat itu sungguhlah ironis. Bagaimana tidak. Sejarah
telah mencatat betapa tingginya gairah rakyat Aceh ketika menyambut
kelahiran Republik Indonesia, sehingga secara spontan dinyatakan oleh
Bung Karno sebagai "daerah modal Republik", ketika Bapak Bangsa dan
Presiden Indonesia ini berkunjung untuk pertama kalinya, 1948. Namun,
tak sampai lima tahun kemudian, kekecewaan terhadap pemerintah pusat,
yang dirasakan tidak tanggap terhadap aspirasi daerah, mulai tumbuh.
Pemberontakan bersenjata pun meletus sejak 1953. Mula-mula karena janji
otonomi khusus tak kunjung ditepati dan, belakangan, karena pengerukan
hasil alam daerah oleh pusat menyinggung rasa keadilan penduduk Aceh
yang merasa nyaris tak mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi itu.
Terlepas
dari apa pun alasannya, kekurangtanggapan Jakarta terhadap kekecewaan
itu—yang malah sempat mengirim tentara untuk membungkam protes—telah
menuai konflik bersenjata yang membuat ribuan warga tewas, terluka, dan
jutaan lainnya menderita. Itu sebabnya perayaan proklamasi kemerdekaan
kali ini tak bisa hanya diisi dengan kegiatan bersenang-senang, tapi
juga perhatian pada saudara sebangsa di Aceh. Kita semua perlu
meluangkan waktu untuk memahami mengapa Aceh berontak, karena hanya
dengan pemahaman itu solusi yang tepat untuk menyelesaikannya dapat
diraih.
Tentu bukan solusi penaklukan. Kita perlu belajar
dari pengalaman Indonesia masa lalu agar tak mengulangi kesalahannya.
Penaklukan Jawa oleh kekuatan luar Jawa, seperti pada masa kejayaan
Kerajaan Sriwijaya, terbukti jauh dari langgeng. Demikian pula
penaklukan luar Jawa oleh kekuatan Jawa, seperti di era Majapahit,
bermuara pada keruntuhan. Kita justru perlu belajar dari anak-anak muda
bangsa ini yang pada 28 Oktober 1928 bersepakat mendirikan Indonesia
atas dasar kesetaraan dan saling menguntungkan, yang melahirkan tekad
untuk membangun satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa.
Bila
kerangka pemikiran Sumpah Pemuda ini yang dijadikan patokan, jawaban
atas pertanyaan "mengapa Aceh berontak?" jadi mudah ditebak. Sebab, gaya
sentralistik pemerintahan Orde Baru, bahkan juga di paruh akhir
pemerintahan Orde Lama, pada dasarnya adalah Majapahit babak II. Karena
itu, sangat wajar jika sebagian penduduk Aceh melawannya dengan modus
Sriwijaya babak II pula. Mereka mungkin tak secara sadar melakukannya,
tapi simaklah mengapa baik Daud Beureueh ataupun Hasan Tiro menggunakan
masa kejayaan Sultan Iskandar II sebagai modal pembangkit semangat
gerakan separatisnya.
Lantas, bagaimana menyelesaikan
kemelut separatisme yang dipicu oleh proses Majapahitisasi separuh abad
ini? Jawabnya adalah dengan kembali ke Indonesia dengan semangat
Sumpah Pemuda 1928. Kesepakatan untuk menjadi satu bangsa, satu nusa,
dan satu bahasa atas dasar kesetaraan dan kepentingan bersama dan bukan
oleh dominasi atau penaklukan yang kuat terhadap yang lemah. Mufakat
ini hanya dapat dibangun melalui rentetan dialog yang jujur, rasional,
dan melihat ke depan. Karena itu, perlu dibangun di atas kesepahaman
rekonsiliasi nasional yang menyeluruh.
Rekonsiliasi pada
dasarnya adalah saling memaafkan kesalahan masa lalu, tapi bukan
melupakannya. Ini berarti masing-masing pihak harus menyadari telah
melakukan kesalahan, mengakui secara terbuka, dan bertekad tak
mengulanginya. Setelah proses ini dilalui, langkah selanjutnya adalah
melakukan debat publik untuk menentukan Indonesia seperti apa yang
diinginkan. Soalnya, jatidiri sebuah bangsa tak dapat dicari dari masa
lampau, tapi justru harus terus-menerus dibangun. Mengutip apa yang
dikatakan pemikir sohor Ignas Kleden, "Indonesia bukanlah suatu Gabe,
sebuah karunia, melainkan sebuah Aufgabe, suatu tugas, yang mungkin akan
merupakan ein unvollendetes Projekt, sebuah proyek yang tak kunjung
selesai."
Cara penyelesaian seperti ini bukan orisinal,
bahkan telah terbukti kemujarabannya di berbagai negeri. Portugal
melakukannya untuk menyelesaikan pemberontakan bersenjata di Kepulauan
Azores dan Madeira setelah negara ini mengalami proses demokratisasi di
pertengahan 1970-an. Hal yang sama juga dilakukan negara kesatuan
Spanyol untuk menyelesaikan gerakan separatis provinsi seperti
Catalonia dan Basque setelah rezim diktator Jenderal Franco tumbang.
Maka, tak ada alasan untuk pesimistis bahwa keampuhannya tak akan
berlaku buat menyelesaikan pemberontakan Aceh.
Memang bukan pekerjaan gampang, tapi bukan pula sebuah mission impossible.
Pejuang Kemerdekaan yang Berontak
TIDAK
pernah saya lupakan kemarahannya ketika saya katakan ada baiknya kalau
undangan Dr. Mansyur untuk menghadiri konferensi se-Sumatera diterima
saja. Ia memukul saya dengan tongkatnya sambil berkata: di mana akan
kamu dapatkan negara yang jelas-jelas mengatakan dirinya berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa?". Begitulah cerita seorang tokoh Partai
Persatuan Pembangunan Daerah Istimewa Aceh tentang sebuah episode yang
dialaminya dengan Teungku Daud Beureueh.
Kalau cerita
diteruskan, usaha Negara Sumatera Timur (NST) menggalang kekuatan
Sumatera menghadapi RI yang dipimpin Sukarno-Hatta, yang telah ditawan
Belanda (1949), pun gagal. Cerita anekdotal ini hanyalah salah satu dari
sekian banyak kisah tentang Teungku Daud Beureueh yang saya dapatkan
di Aceh di awal tahun 1980-an.
Golkar kalah di Aceh pada
pemilu tahun 1982. Entah kenapa saya disuruh meneliti soal ini.
Konon—jika "laporan pandangan mata" pimpinan yang menyuruh saya itu
bisa dipercaya—kekalahan itu menyebabkan Presiden mengajukan
pertanyaan: "Apakah Aceh anti-Pancasila?" Singkat cerita, saya pun
berangkat ke Aceh untuk mencari jawab atas pertanyaan yang agak aneh
ini (Emangnyé Golkar ajé yang Pancasilais?). Tetapi sudahlah.
Sebab-sebab kekalahan Golkar dengan mudah bisa diketahui. Saya pun
lebih asyik meneliti visi Aceh tentang dirinya dan tentang tempatnya
dalam sejarah dan masyarakat-bangsa. Selama dua minggu saya berkeliaran
di sepanjang pantai timur, membelok dua hari ke Takengon, sampai
akhirnya sampai di Medan. Jadi, praktis saya menjalani wilayah etnis
Aceh dan Gayo saja.
Apakah yang tidak saya dapatkan dalam
seri diskusi dan wawancara yang nyaris non-stop ini? Sejarah,
folklore, mitos, kebanggaan sejarah, harapan, keluhan, ocehan, dan
entah apa lagi. Kisah Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam tertua,
perang kolonial di Aceh yang terlama dan termahal, Hamzah Fansuri,
Abdurrauf al-Singkili, dan sebagainya dengan lancar keluar dari mulut
para tokoh—dari birokrat dan ulama sampai pedagang, dari yang telah
mantan sampai yang masih sibuk menggapai karier. "Aceh daerah modal."
Kapal terbang Seulawah dan sebagainya adalah kebanggaan yang tak
terlupakan. Tetapi seketika berbagai kisah yang membanggakan itu
berakhir, helaan napas panjang pun tak selamanya bisa terelakkan. "Aceh
telah sangsai," kata seorang tokoh di Aceh Timur. Kalau telah begini,
kebanggaan daerah kembali dikemukakan, tetapi dengan nada yang menuntut
kewajaran dalam penghargaan.
Kalau telah begini pula
berbagai cerita dari revolusi diulang-ulang dan pengalaman getir dari
"Peristiwa Daerah" 1950-an diingat-ingat. Dalam ingatan kolektif yang
disampaikan kepada saya itu, sering kali Tgk. Daud Beureueh tampil
sebagai tokoh yang paling dominan. Kadang-kadang timbul juga keraguan
dalam diri saya, "Apakah memang demikian halnya?"
Saya
telah tahu bahwa persaingan ini terjadi, kata para pengecam Snouck
Hurgronje, adalah akibat kemampuan ilmuwan kolonial ini melihat celah
dalam sistem kepemimpinan Aceh. Ia berhasil menjadikan perbedaan peran
sosial sebagai landasan bagi persaingan ideologis. Seandainya para
pengecam ini benar, saya tentu bisa berkata bahwa, biarpun sebuah policy
bertolak dari landasan pengetahuan yang salah, jika dijalankan dengan
konsisten akhirnya akan menciptakan realitasnya sendiri.
Saya
juga telah tahu bahwa sejarah masa revolusi nasional di Aceh tidak
hanya menghamparkan kisah tentang pengorbanan bagi negara yang baru
diproklamasikan, tetapi juga tentang konflik berdarah golongan
uleebalang, dengan para pengikut ulama, yang bergabung dalam Persatuan
Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Bahkan, jika saja bacaan saya tidak
mengkhianati saya, "Peristiwa Daerah" di tahun 1950-an tidak pula
terbebas dari persaingan kedua corak kepemimpinan Aceh itu. Hanya, dalam
wawancara saya, kisah tentang konflik internal ini disebut sepintas
lalu saja, sebelum kisah beralih kembali pada masalah penghadapan Aceh
dengan kekuatan luar—entah Belanda, entah pemerintah pusat. Kalau telah
begini, nama Tgk. Daud Beureueh pun diulang-ulang.
Dengan
mudah saya mendapatkan verifikasi yang sahih tentang cerita bahwa
keterlibatan Aceh dalam revolusi nasional semakin intensif setelah Daud
Beureueh dan tiga kawannya sesama ulama mengeluarkan maklumat dukungan
pada Republik Indonesia, di bulan Oktober 1945. Maklumat itu juga
ditandatangani oleh T. Nyak Arief, Residen Aceh, dan Tuanku Mahmud,
Ketua Komite Nasional. Sepintas lalu keikutsertaan Residen dan Ketua
Komite Nasional Indonesia hal yang biasa saja. Tetapi, besar dugaan
saya, di masa awal revolusi—sebelum arus bawah dari konflik internal
tampil ke permukaan— keikutsertaan mereka secara simbolis ingin
mengatakan keutuhan kepemimpinan Aceh. Ulama, uleebalang, dan
aristokrat kerajaan bersatu dalam memberikan dukungan kepada RI. Hanya,
"Peristiwa Cumbok" dan kemudian gerakan pemuda PUSA, yang mengadakan
"revolusi sosial" terhadap apa yang mereka sebut "feodalisme",
memorak-porandakan "bulan madu" yang singkat ini. Maka, seperti halnya
"perang Aceh", para ulama pun semakin memantapkan diri sebagai "perumus
realitas" Aceh. Dan kedudukan sentral Daud Beureueh semakin kukuh
juga. Konon ketika inilah Bung Karno datang ke Aceh dan ketika ini
pulalah ia berjanji kepada sang ulama—yang menurut kisahnya
dipanggilnya "kakak"—bahwa ia akan ikut memperjuangkan agar hukum
syariah bisa dijalankan di Aceh. Entah sejarah, entah folklore. Yang
jelas, kisah ini selalu diulang dan ditulis. Karena dianggap sebagai
kebenaran yang sahih, mestikah diherankan kalau kejujuran Bung Karno
disangsikan?
Revolusi adalah kisah yang membangkitkan
rasa bangga bagi Aceh. Bukan saja daerah mereka terbebas dari
pendudukan Belanda dan sebagainya, tetapi juga ketika itulah Aceh
merasakan nikmat dan tantangan sebagai provinsi yang otonom. Tgk. Daud
Beureueh adalah gubernur militer, yang didukung oleh mata rantai
kepemimpinan lokal yang kuat. Kedudukan ini semakin diperkuat ketika
"Yogya telah kembali" dan Sjafruddin Prawiranegara menjadi wakil
perdana menteri yang berkedudukan di Kutaraja/Banda Aceh. Tetapi,
ketika kedaulatan negara telah didapatkan dan Republik Indonesia
Serikat (RIS) telah berdiri, Aceh dijadikan sebagai bagian dari
Sumatera Utara. Ketika RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdiri, keputusan diperkuat. Memang benar pemerintah pusat menghadapi
berbagai corak situasi yang dilematis—sebagai akibat pilihan yang tak
mudah antara keharusan rasionalisasi administrasi pemerintahan dan
keberlanjutan aspirasi revolusioner—tetapi bagi masyarakat Aceh
pembubaran provinsi dirasakan sebagai pengkhianatan dan penghinaan.
Maka, lagi-lagi saya diingatkan pada berbagai insiden kerdil yang
dilakukan aparat pemerintah terhadap Tgk. Daud Beureueh.
Ketika
para tokoh pemerintah pusat masih bersedia menyibukkan diri untuk
mendengar keinginan masyarakat Aceh dan menyabarkan kemarahan yang telah
telanjur dicetuskan, situasi dialogis masih bisa dipertahankan.
Tetapi, ketika kabinet telah berganti dan pemerintah pusat hanya
melihat masalah Aceh sebagai pantulan dari persaingan internal antara
para pemimpin Aceh, hal yang mestinya telah diduga itu pun terjadi.
Tgk. Daud Beureueh "ke hutan" di hari Pekan Olahraga Nasional III di
Medan, 21 September 1953, secara resmi dimulai. Ironis juga ia
memisahkan diri ketika persatuan bangsa secara simbolis ingin
diwujudkan dalam pekan olahraga. Tetap, bukankah ironis juga kalau sang
pendekar kemerdekaan dengan begitu saja disingkirkan dengan dalih
ketertiban pemerintahan?
Dalam masa "di hutan" itu ia,
seperti juga halnya Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, bergabung dengan
NII/Darul Islam, yang berpusat di Jawa Barat. Kemudian ia mendekatkan
diri dengan Republik Persatuan Indonesia/PRRI. Dengan kata lain, sang
ulama-politikus ini hanya menginginkan Aceh sebagai bagian dari
alternatif NKRI—negara Islam atau/dan negara federal, tetapi bukan
negara yang terpisah. Ia berontak, tetapi ia bukankah seorang
separatis. Sembilan tahun kemudian ia turun ke bawah, kalah, tetapi
diterima dengan segala kehormatan.
"Peristiwa Daerah"
telah berakhir. Aceh pun menjadi daerah istimewa, yang dibolehkan
menjalankan hukum syariah. Tetapi pertanyaan yang sering dilontarkan
kepada saya: dalam hal apa Aceh diistimewakan? Atau pertanyaan ini:
jika saja 10 persen dari hasil Aceh dikembalikan kepada kami, rakyat
Aceh sudah puas dan berterima kasih? Seorang pedagang di Lhok Seumawe
berkata, "Di manakah keadilan mau dicari kalau semeter tanah dihargai
lebih murah dari semeter plastik?" Ia mungkin melebih-lebihkan masalah,
tetapi tuntutan terhadap ketidakadilan semakin nyaring juga. Sementara
itu, Tgk. Daud Beureueh telah diharuskan, dengan segala cara, hanya
berperan sebagai "museum sejarah"—untuk dinikmati dan direnungkan. Orde
Baru bukan saja telah menguasai politik dan ekonomi, tetapi juga
penguasa kesadaran dan pemegang monopoli ingatan kolektif bangsa.
Ketika monopoli ini goyah, mestikah diherankan kalau semuanya meletup
keluar? Yang tampil bukan lagi alternatif terhadap tatanan negara,
melainkan hasrat pemisahan dari bangsa dan negara yang pernah
diperjuangkan Aceh dengan gigih. (Taufik Abdullah Sejarawan).
Sumber Kutipan : http://putraaceh.multiply.com/journal/item/812/Aceh-Mengapa-Dia-Berontak-Mengapa-Mereka-Berontak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar