“SETELAH peperangan besar dengan Belanda yang dimulai tahun 1873 dan selesai tahun 1937, tidak ada satu pemimpin Atjèh pun yang hidup, karena semua memilih syahid dalam peperangan daripada hidup menjadi budak Belanda. Teladan ini yang diberikan untuk kita sebagai cucunya, adalah suatu kemutlakan yang tidak bisa dibantah dan tidak perlu menunggu jawaban dari kita...”
Begitulah antara lain penggalan
kalimat pada bagian kata pengantar buku “Aceh di Mata Dunia” yang
ditulis Teungku Hasan Muhammad di Tiro, tokoh kunci Gerakan Aceh Merdeka
yang meninggal pada 3 Juni 2010. Kini, karya fenomenal Hasan Tiro
kembali diangkat ke permukaan untuk mengenang kembali jejak dan
pemikiran briliannya dalam sejarah pergolakan politik di Aceh.
Di antara banyak buku yang
ditulis Hasan Tiro, “Aceh di Mata Dunia” adalah salah satu karya yang
masih sedikit diketahui orang, karena ditulis sang proklamator GAM itu
dalam bahasa Aceh dengan judul; Aceh Bak Mata Donya.
Baru kali ini buku yang ditulis
tahun 1968 itu mulai dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul “Aceh di Mata Dunia”.
“Proses penerjemahannya sekarang
masih berlangsung, untuk bagian kata pengantar sudah siap. Rencananya
juga akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,” kata penerjemah buku
itu, Haekal Afifa kepada Serambi, Senin (4/6).
Pada Senin kemarin, sejumlah
akademisi dan politisi membedah buku Aceh di Mata Dunia (edisi
Indonesia) ini dalam sebuah diskusi. Acara ini diselenggarakan atas
kerja sama Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, The Atjeh Ethnic Institute,
dan Bandar Publishing.
Ada sejumlah nara sumber yang
hadir mengulasnya, seperti penulis dan pengamat sejarah Aceh M Adli
Abdullah, Dosen Fakultas Dakwah Baharuddin AR, dan anggota DPRA Adnan
Beuransah. Acara itu dimediatori Mukhlisudin Ilyas.
Buku “Aceh Bak Mata Donya”,
selain melukiskan sejarah panjang Aceh, kejayaan Aceh pada abad ke-17,
juga mengupas keheroikan pejuangannya dalam peperangan melawan Belanda
tahun 1873 sampai 1937. Gambaran ini seperti ditulis Hasan Tiro pada
salah satu bagian bab kata pengantar buku tersebut.
Hasan Tiro menyebut perjuangan
berabad lamanya melawan penjajah merupakan upaya mempertahankan
kemuliaan tanah Aceh yang sudah dipertahankan secara turun temurun oleh
para raja Aceh dahulu. Tapi, dalam bukunya itu Hasan Tiro sempat
menyiratkan keresahannya setelah peperangan besar dengan Belanda tahun
1873-1937, yakni tidak ada satu pemimpin Aceh pun yang hidup.
“Semua pemimpin kita sudah
syahid dalam perang Belanda-Atjèh. Kita yang lahir setelah peperangan
sudah hilang hubungan dengan generasi sebelum perang. Baik hubungan
politik, sejarah, maupun adab. Generasi sekarang sudah hilang pedoman
hidup (meuneumat). Tidak ada lagi tali hubungan yang bisa menyambung
kita dengan generasi di masa lalu, generasi pemberani yang syahid serta
buku-buku yang sudah dibakar oleh penjajah,” sebut pria yang lazim
disapa “Wali” itu.
Kepada generasi Aceh, dia
menyebut hidup di dunia bukan sekadar hidup. Hidup adalah sebuah
kemuliaan. Lebih baik mati daripada hidup sebagai budak bangsa lain.
“Risalah Atjèh di Mata Donja ini
saya tulis untuk generasi muda Atjèh sekarang, baik laki-laki maupun
perempuan. Sebagai jembatan yang bisa menghubungkan masa lalu dengan
masa depan. Sebagai sambungan dari tali hubungan yang telah putus agar
generasi Atjèh paham seperti apa negara yang sudah dibangun dan
dipertahankan oleh nenek moyangnya dulu. Seperti apa kemuliaan yang
sudah diraih dan bagaimana Atjèh diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain
di muka Bumi,” tulis Hasan Tiro.
Menariknya, buku ini lahir dari
hasil beberapa catatan penting tentang Atjèh yang ditulis oleh orang
Eropa, Amerika dan juga catatan-catatan penting lain yang ditulis dalam
bahasa Inggris, Portugis, Prancis, Jerman, Belanda, Italia, dan Arab
yang diperoleh Hasan Tiro melalui penelitian di Museum Lisabon, Madrid,
Paris, London, Istanbul, New York, dan Washington.
Menurut rencana, Buku Aceh di Mata Dunia ini akan diterbitkan pada 25 September 2012 oleh Bandar Publishing Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar