Pada
saat Aceh masih sebagai sebuah kerajaan, lokasi kerajaan ini berada di
wilayah Kabupaten Aceh Besar sekarang yang dalam istilah Aceh disebut
Aceh Rayeuk (Aceh Besar). Untuk nama Aceh Rayeuk, ada juga orang yang
menyebutnya dengan nama Aceh Lhee Sagoe (Aceh tiga Sagi). Penyebutan
ini berhubungan erat dengan situasi daerah itu yang mencakup tiga sagi,
yaitu disebut Sago (Sagi) XXV Mukim, Sago (Sagi) XXVI Mukim, dan Sago
(Sagi) XXII Mukim.
Selain itu, ada juga yang menyebut
dengan istilah Aceh Inti (Aceh proper) [3], yang maksudnya Aceh
sebenarnya. Disebut demikian karena Aceh Rayeuk inilah pada mulanya
yang menjadi inti Kerajaan Aceh. Dan juga karena disitulah terletak
ibukota kerajaannya4, yang bernama Banda Aceh atau lengkapnya Banda Aceh
Darussalam5, yang oleh orang-orang Aceh lazim disebut pula dengan nama
Aceh saja.
1. Tentang Nama dan Perkembangan Kerajaan
Dari
nama asalnya Aceh dan kapan istilah ini mulai digunakan merupakan
suatu hal yang sulit untuk dipastikan. Orang-orang asing yang pernah
datang ke Aceh, menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Orang Arab
menyebut Asyi, orang Portugis menyebut Achem atau Achen, orang Belanda
menggunakan istilah Acheen atau Achin, orang Prancis mengatakan Achen
atau Acheh. Di dalam naskah-naskah Melayu lama seperti kitab Adat
Aceh6, Hikayat Aceh [7], dan kitab Bustanus Salatin [8], serta pada
salah satu jenis mata uang dari Kerajaan Aceh yang disebut Keuh [9]
(sejenis coin yang terbuat dari timah), menyebutnya nama Aceh
sebagaimana yang disebut sendiri oleh orang-orang Aceh.
Mula
muncul dan berkembangnya Aceh sebagai sebuah kerajaan, berhubungan
erat dengan penunjukkan kota Malaka oleh bangsa Portugis pada tahun
1511. Sebelum diduduki oleh Portugis, Malaka terkenal sebagai pusat
perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan pusat penyebaran agama Islam
yang di- lakukan oleh para pedagang Islam yang berasal dari
negara-negara Timur Tengah dan Gujarat (India). Penaklukan kota Malaka
dimaksudkan Portugis di antaranya untuk menghancurkan perdagangan
orang-orang Islam di sana.[10]
Setelah berhasil, pihak
Portugis tidak memperkenankan lagi pedagang-pedagang Islam ini datang
ke kota Malaka. Akibat- nya, timbul kegoncangan dalam jaringan
perdagangan di kawasan Selat Malaka para pedagang Islam terpaksa
menyingkir dari sana, mencari tempat-tempat lain. Salah satu sasaran
mereka, yaitu Aceh. Dengan berdatangannya para pedagang Islam ini, Aceh
mulai berkembang sebagai tempat per-dagangan. Selanjutnya oleh para
saudagar Islam ini, Aceh digunakan sebagi pengganti Malaka yang direbut
oleh bangsa Portugis.
Menurut R.A. Hoesein
Djajadiningrat, Kerajaan Aceh pertama kali berdiri pada tahun 1514,
dengan rajanya yang pertama Ali Mughayat Syah, yang juga sebagai pendiri
kerajaan ini.[11] Selanjutnya dalam perkembangan sejarahnya, setelah
sekitar satu abad berdiri atau pada awal abad ke XVII, kerajaan ini
mencapai puncak kejayaannya. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Kejayaan ini disebabkan
tindakan-tindakan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dijalankan oleh
Sultan ini dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ekonomi, bidang
politik, bidang sosial, dan bidang agama.[12] Berikut ini digambarkan
bagaimana struktur politik Kerajaan Aceh sejak masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda hingga berakhirnya kesultanan Aceh pada awal abad ke XX.
2. Struktur Pemerintahan Kerajaan Aceh
Saat
Sultan Iskandar Muda me- merintah, bentuk teritorial yang terkecil
dari susunan pemerintahan di Aceh adalah yang disebut dalam istilah
Aceh Gampong atau dalam istilah Melayu Kampung. Sebuah Gampong terdiri
atas kelompok-kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu dengan yang
lain. Pimpinan gampong disebut Geucik atau Keuchik [13], yang dibantu
oleh seorang yang mahir dalam masalah keagamaan, dengan sebutan Teungku
Meunasah.
Selain itu, dalam sebuah dalam sebuah Gampong
terdapat pula unsur-unsur pimpinan lainnya seperti yang dinamakan Waki
(wakil) yang merupakan wakil dari Keuchik, serta juga yang disebut
Ureung Tuha (orang tua). Mereka [14] yang tersebut terakhir adalah
golongan orang-orang tua kampung yang disegani dan ber-pengalaman dalam
kampungnya. Menurut tradisi jumlah mereka ada empat orang yang
dinamakan Tuha Peut [15] dan ada juga yang delapan orang yang disebut
Tuha Lapan.
Bentuk teritorial yang lebih besar lagi dari
gampong yaitu Mukim. Mukim ini merupakan gabungan dari beberapa buah
gampong yang letaknya berdekatan dan para penduduknya melakukan
sembahyang bersama pada setiap hari Jumat di sebuah masjid [16].
Pimpinan Mukim disebut sebagai Imum Mukim. Perkataan Imum ini berasal
dari bahasa Arab, artinya Imam (orang yang harus di-ikuti). Imum Mukim
inilah yang bertindak sebagai pemimpin sembahyang pada setiap hari
Jumat di sebuah masjid.[17]
Pada mula dibentuk setiap
mukim diharuskan sekurang-kurangnya mempunyai 1000 orang laki-laki yang
dapat memegang senjata.[18] Hal ini tentunya dimaksudkan untuk tujuan
politis, yaitu bila terjadi peperangan dengan pihak luar agar mudah
menghimpun tenaga-tenaga tempur. Dalam perkembangannya fungsi Imum
Mukim menjadi kepala pemerintahan dari sebuah Mukim. Dialah yang
mengkoordinir kepala-kepala kampung atau Keuchik-Keuchik. Dengan
berubahnya fungsi Imum Mukim berubah pula nama panggilannya, yakni
menjadi Kepala Mukim. Untuk pengganti sebuah imam sembahyang pada
setiap hari Jum’at di sebuah masjid, diserahkan kepada orang lain yang
disebut Imuem Mesjid.
Di wilayah Aceh Rayeuk (Kabupaten
Aceh Besar sekarang), terdapat suatu bentuk pemerintahan yang agak
unik, yaitu yang disebut dengan nama Sagoe atau Sagi. Keseluruhan
wilayah Aceh Rayeuk tergabung ke dalam tiga buah Sagi ini, yang dapat
dikatakan sebagai tiga buah federasi. Ketiga buah sagoe atau Sagi
tersebut masing-masing dinamakan :
1. Sagi XXII Mukim,
2. Sagi XXV Mukim, dan
3. Sagi XXVI Mukim. [19]
Penamaan
ini erat kaitannya dengan jumlah mukim yang terdapat pada
masing-masing Sagi. Artinya pada setiap sagi jumlah mukim yang terdapat
di bawahnya sesuai dengan nama Sagi yang bersangkutan. Misalnya, Sagi
XXVI Mukim, ini berarti bahwa di bawah Sagi ini terdapat XXVI buah
Mukim, demikian juga untuk kedua Sagi lainnya.[20]
Tiap-tiap
Sagi di atas, diperintah oleh seorang yang disebut dengan Panglima
Sagoe [21] atau Panglima Sagi, secara turun-temurun. Mereka juga diberi
gelar Uleebalang. Mereka sangat berkuasa di daerahnya dan
pengangkatannya sebagai Panglima Sagi disyahkan oleh Sultan Aceh dengan
pemberian suatu sarakata yang dibubuhi cap stempel Kerajaan Aceh yang
dikenal dengan nama Cap Sikureung (cap sembilan).[22]
Di
luar dari ketiga Sagi atau federasi tersebut, di Aceh Rayeuk masih
terdapat unit-unit pemerintahan yang berdiri sendiri yang disebut
dengan Mukim-mukim yang diikuti nama di belakangnya (nama tempat).
Pimpinan pemerintahan di Mukim-mukim ini sebagaimana telah disebutkan
di atas, yaitu Kepala Mukim yang derajat mereka juga sama dengan
Uleebalang seperti Panglima Sagi. Namun luas wilayah teritorial mereka
jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Sagi.
Kepala
pemerintahan Mukim ini berada langsung di bawah pengawasan Sultan Aceh,
jadi tidak di bawah Panglima Sagi dari ketiga federasi yang telah
disebutkan di atas. Adapun nama-nama dari Mukim-mukim Masjid Raya yang
terletak di sebelah kiri Sungai Aceh, Mukim Lueng Bata, Mukim Pagar
Aye, Mukim Lam Sayun, dan Mukim Meuraksa.[23]
Di luar
dari mukim-mukim yang berdiri sendiri ini, di Aceh Rayeuk masih
terdapat sejumlah Mukim, tetapi Kepala Mukimnya tunduk di bawah Kepala
Sagi. Jadi Mukim-mukim ini berada di bawah dari ketiga Sagi yang telah
disebutkan di atas.
Bentuk wilayah kerajaan lainnya yang
terdapat di Aceh yaitu yang disebut Nangroe atau Negeri. Nangroe ini
sebenarnya merupakan daerah takluk Kerajaan Aceh dan berlokasi di luar
Aceh Inti atau Aceh Rayeuk. Jumlahnya diperkirakan melebihi seratus dan
menyebar di seluruh wilayah Aceh (Propinsi Daerah Istimewa Aceh
sekarang).[24] Luas daerah dan jumlah penduduk serta potensi ekonomi
dari masing-masing Nangroe tidak sama. Pimpinan Nangroe disebut
Uleebalang [25], yang ditetapkan oleh adat secara turun-temurun.
Mereka
menerima kekuasaan langsung dari Sultan Aceh, tetapi para Uleebalang
ini merupakan Kepala Negeri atau raja-raja kecil yang sangat berkuasa
di daerah mereka masing-masing. Namun sewaktu mereka memangku jabatan
sebagai Uleebalang di daerahnya, mereka harus disyahkan pengangkatannya
oleh Sultan Aceh. Surat Pengangkatan ini dinamakan Sarakata [26] yang
dibubuhi stempel Kerajaan Aceh, Cap Sikureung [27], seperti telah
disebutkan di atas. Surat pengangkatan, diberikan oleh Sultan Aceh
kepada Uleebalang yang sanggup membayar dengan biaya yang jumlahnya di-
tetapkan oleh Sultan. Setiap Uleebalang berusaha untuk mendapatkan
Sarakata, karena ia merupakan status dari kekuasaannya.
Tugas
Uleebalang [28] adalah memimpin Nangroenya dan mengkoordinir
tenaga-tenaga tempur dari daerah kekuasaannya bila ada peperangan.
Selain itu juga menjalankan perintah-perintah atau instruksi dari
Sultan; menyediakan tentara atau perbekalan perang bila dibutuhkan oleh
Sultan dan membayar upeti kepada Sultan. Namun demikian mereka masih
merupakan pemimpin-pemimpin yang memonopoli kekuasaan di
daerahnya.[29]
Dan masih tetap sebagai pemimpin yang
merdeka dan bebas melakukan apa saja terhadap kawula yang berada di
wilayahnya. Misalnya dalam hal pengadilan atau melaksanakan hukuman.
Namun ketika kewibawaan Kesultanan Aceh masih kuat, Sultan memiliki hak
istimewa atas wilayah Nangroe. Hak-hak ini hanya dimiliki oleh Sultan,
sedangkan Uleebalang tidak. Dapat disebutkan misalnya hak untuk
menghukum seseorang yang bersalah, hak untuk me- ngeluarkan mata
uang,hak untuk membunyikan meriam pada waktu matahari terbenam, dan hak
untuk mendapat panggilan dengan sebutan Daulat.[30]
Hak-hak
ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengurangi kesewenang-wenangan para
Uleebalang, terutama yang berhubungan dengan pemberian hukuman terhadap
seorang yang bersalah. Namun ketika kewibawaan Sultan sudah melemah,
terutama pada abad ke XIX dan awal abad XX (sesudah kesultanan Aceh
tidak ada lagi).[31] Yang menetapkan hukuman terhadap seseorang yang
bersalah di Nangroe-nangroe adalah para Uleebalang.
Dalam
memimpin pemerintahan Nangroe, Uleebalang dibantu oleh
pembantu-pembantunya seperti yang disebut dengan Banta, yaitu adik
laki-laki atau saudara Uleebalang [32], yang kadang-kadang juga
bertindak sebagai Uleebalang, bila yang bersangkutan berhalangan.
Pembantu yang lainnya adalah yang disebut Kadhi atau Kali, yang
membantu dalam hukom, yaitu yang dipandang mengerti mengenai hukum
Islam. Selain itu, ada yang disebut Rakan yaitu sebagai pengawal
Uleebalang [33], yang dapat diperintahnya untuk bertindak dengan tangan
besi. Para Rakan yang terbaik dalam perang diberi gelar Panglima
Perang, sedangkan pimpinan-pimpinan pasukan kecil yang tidak begitu
trampil dalam peperangan diberi gelar pang.
Nangroe-nangroe
tersebut di atas, pada umumnya berlokasi di pantai bagian timur dan
pantai bagian barat Aceh. Di awahnya terdapat pula sejumlah mukim yang
terdiri atas beberapa buah gampong atau yang disebut pula dengan
istilah meunasah. Tetapi tidak semua nangroe mengenal lembaga mukim. Di
wilayah pantai timur dan di pantai barat, tidak terdapat apa yang
disebut mukim. Di beberapa nangroe bagian pantai Timur dan sebagian
wilayah Kabupaten Aceh Utara sekarang, terdapat apa yang disebut dengan
istilah Ulebalang Cut (Uleebalang kecil). Uleebalang Lapan (Uleebalang
Delapan), dan Uleebalang Peut (Uleebalang Empat). Namun kedudukan dari
bermacam jenis Uleebalang ini, berada di bawah.
Tingkat
tertinggi dalam struktur pemerintahan Kerajaan Aceh adalah pemerintah
pusat yang berkedudukan di ibukota kerajaan, yang dahulunya bernama
Bandar Aceh Dar as Salam.[34] Kepala pemerintahan pusat adalah Sultan
yang para kelompoknya bergelar Tuanku. Dalam mengendalikan pemerintahan
Sultan dibantu oleh beberapa pembantu yang membawahi bidang
masing-masing. Berdasarkan sebuah manuskrip (MS) [35], susunan
pemerintahan pusat Kerajaan Aceh terdiri atas 24 lembaga atau jabatan
yang diumpamakan dengan kementrian pada masa sekarang. Nama dari
masing-masing lembaga tersebut adalah sebagai berikut:
1. Keurukon Katibul Muluk atau Sekretaris Raja
2. Rais Wazirat Addaulah atau Perdana Menteri
3. Wazirat Addaulah atau Menteri Negara
4. Wazirat al Akdham atau Menteri Agung
5. Wazirat al HArbiyah atau Menteri Peperangan
6. Wazirat al Haqqamiyah atau Menteri Kehakiman
7. Wazirat ad Daraham atau Menteri Keuangan
8. Wazirat ad Mizan atau Menteri Keadilan
9. Wazirat al Maarif atau Menteri Pendidikan
10.Wazirat al Khariziyah atau Menteri Luar Negeri
11. Wazirat ad Dakhilyyah atau Menteri Dalam Negeri
12. Wazirat al Auqaf atau Menteri Urusan Wakaf
13. Wazirat az Ziraaf atau Menteri Pertanian
14. Wazirat al Maliyyah atau Menteri urusan HArta
15. Wazirat al Muwashalat atau Menteri Perhubungan
16. Wazirat al asighal atau Menteri Urusan Kerja
17. As Syaikh al Islam Mufti Empat Syeik Kaabah
18. Qadli al Malik al Adil atau Qadi Raja Yang Adil
19. Wazir Tahakkum Muharrijlailan atau Ketua Pengurus Kesenian
20. Qadli Muadlam atau Qadhi/Jaksa Agung
21. Imam Bandar Darul Makmur Darussalam
22. Keuchik Muluk atau Keuchik Raja
23. Imam Muluk atau Imam Raja
24. Panglima Kenduri Muluk atau Ketua Urusan Kenduri Raja. [36]
Kedua
puluh empat lembaga atau jabatan seperti disebutkan di atas, dipegang
oleh oranga-orang tertentu yang di-angkat oleh Sultan Aceh. Selain
jabatan-jabatan itu di Kerajaan Aceh, terdapat pula tiga buah badan
atau lembaga lainnya yang fungsinya hampir dapat disamakan dengan
lembaga legislatif sekarang. Lembaga ini turut mendampingi Sultan dalam
melaksanakan tugasnya. Ketiga Lembaga ini adalah
1. Balairungsari,
yaitu tempat bermufakat empat orang Uleebalang (Hulu Balang Empat) dan
tujuh orang alim ulama, serta menteri-menteri Kerajaan Aceh.
2. Bale Gadeng, yaitu Tempat mufakat dari delapan orang Uleebalang dan tujuh orang alim ulama serta menteri-menteri Kerajaan Aceh, dan
3. Balai Majlis Mahkamah Rakyat,
yaitu sebagai tempat mufakat wakil rakyat sebanyak tujuh puluh tiga
orang yang datang dari tujuh puluh tiga mukim.[37] Jadi tiap-tiap mukim
diwakili oleh satu orang.
Selain ketiga lembaga di atas, dalam sebuah naskah yang bernama “
Kanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda”,
disebut pula ada Balai Laksamana yaitu semacam markas angkatan perang,
yang dikepalai oleh seseorang yang disebut Laksamana , yang tunduk
atau berada di bawah Sultan. Selanjutnya ada pula yang disebut Balai
Fardah, yang tugasnya memungut atau me-ngumpulkan Wase (Bea Cukai).
Balai ini tunduk pada perintah Perdana Menteri. Disebutkan pula, dalam
pemerintahan kerajaan, Sultan Aceh tunduk kepada Kanun.[38]
Demikian
struktur Kerajaan Aceh hingga berdamainya Sultannya yang terakhir
Sultan Mahmud Daud Syah dengan Belanda pada tahun 1903, yang merupakan
awal berakhirnya Kerajaan Aceh. Karena setelah itu daerah ini diduduki
oleh Belanda, hingga tahun 1942.
***
Catatan Akhir :
- 1. ″Geography of Achin”, JSBRAS (1874), hal. 120.
- 2. K.F.H. Van Langen, “De Inrichting van Het Atjehsche Staatsbestuur Onder het Sultanaat”, BKI V, deel III, (1888), hal. 383.
- 3. Lihat Ibrahim Alfian, dalam “Emas, Kafir, dan Maut”, Nusantara No. 2, (Kuala Lumpur: Juli 1972), hal. 270.
- 4. G.P. Tolson, “Acheh Commonly Called Achen”,JSBRAS V, (Singapore: 1880), hal. 12.
- 5. Lihat Teuku Iskandar, “De Hikajat Atjeh”, VKI 26, (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1958), hal. 28.
- 6.
Telah pernah diterbitkan oleh G.W.J. Drewes dan P. Voorhoeve,
(Reproduced in facsimile from a manuscript in the India Office Library),
VKI 24 (1958).
- 7. Telah dikaji oleh Teuku Iskandar untuk Disertasi, VKI 26 (‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoof), 1958.
- 8. Lihat Nuruddin ar-Raniri, Bustanus Salatin, disusun oleh Teuku Iskandar, (Kuala Lumpur: Dewam Bahasa dan Pustaka), 1966.
- 9. Lihat dalam K.F.H. van Langen, op.cit., hal. 431.
- 10.
Mengenai faktor-faktor yang mendorong bangsa Portugis untuk merebut
kota Malaka,lihat misalnya dalam Sartono Kartodirdjo, “Religious and
economic aspects of Portuguese-Indonesian relations”, Separata de
STUDIA-REVISTA Quadrimestral No. 29, (Lisboa: April, 1970).
- 11.
R.A. Hoesein Djajadiningrat, “Critisch Overzicht van de in Maleische
Werken Vervatte Gegevens Over de Geschiedenis van het Soeltanat Atjeh”,
BKI 65 (1911), hal. 213.
- 12. Mengenai tindakan dan
kebijaksanaan yang dijalankan Sultan Iskandar Muda dalam bidang-bidang
tersebut di atas, lihat misalnya dalam karya, Das Gupta, Arun Kumar,
“Acheh ini Indonesian Trade and Politics 1600 – 1641″, Ph.D. Thesis,
(unpublished, Cornell University, 1960). Juga dalam Rusdi Sufi, “Sultan
Iskandar Muda”, Dari Sini Ia Bersemi, Banda Aceh: Panitia
Penyelenggara Musabaqah Tilawatil Qur’an Tingkat Nasional ke 12, tahun
1981.
- 13. J. Kreemer. Atjeh I, (Leiden: E.J. Brill, 1923), hal. 380.
- 14. C. Snouck Hurgronje, De Atjehers I, (Leiden: E.J. Brill, 1893), hal. 87.
- 15.
Mengenai lembaga Toeha Peuet lihat misalnya dalam A.J. Vleer, “De
Positie van den Toeha Peuet in het Atjehsche Staatsbestel”, Koloniale
Studien 19, (1935), hal. 454 – 461.
- 16. Lembaga Mukim ini pertama kali dibentuk pada masa Sultan Iskandar Muda. Lihat dalam, K.F.H. van Langen, op.cit., hal. 390.
- 17. Th. W.Juynbol, “Atjeh”, The Encyclopaedia of Islam, Vol. I, (1960), hal. 74.
- 18. K.F.H. van Langen, op.cit, hal. 391.
- 19.
Sagi ini diperkirakan pertama di-bentuk di Kerajaan Aceh di bawah
pemerintahan Sultanah Nurul ‘Alam Syafiatuddin (1675 – 1677), lihat
K.F.H. van Langen, ibid, hal. 392.
- 20. Nama-nama sagi dan mukim yang berada di bawahnya beserta juga nama-nama pimpinannya (uleebalangnya).
- 21. F.A. Liefrinck, “Enige Mededeelingen Omtrent den Tegen woordigen Toestand van Atjeh Proper”, TNAG V, (1881), hal. 47.
- 22.
Lihat dalam G.P. Rouffaer, “De Hindoestanche Oorsprong van het
“Negenvoudig” Sultanszegel van Atjeh”, BKI 59, hal. 349 – 384.
- 23. F.A. Liefrinck, op.cit., hal. 50.
- 24Lihat
Surat Gubernur Militer/sipil Aceh kepada Directeur van Binnenlandsch
Bestuur 7 Desember 1912/ No. 421/5 Lihat Mailr. No. 847/13.
- 25Secara harafiah Uleebalang artinya “Panglima Tertinggi”.
- 26Lihat
G.L. Tichelman, “een Atjehsche Sarakata” (Afschrift van een besluit
van Sultan Iskandar Muda), TBG 73, (1933), hal. 368 – 373.
- 27. G.P. Rouffaer, loc.cit.
- 28. K.F.H. van Langen,op.cit, hal. 391.
- 29. Lihat Mukti Ali, An Introduction to The Government of Achehs Sultanate. (Yogyakarta: Nida, 1970), hal. 16.
- 30. R.A. Hoesein Djajadiningrat, op.cit, hal. 177.
- 31. Sultan Aceh yang terakhir tidak ada lagi. Lihat Motie van Kol, Litt. C4 Kabinet.
- 32.
K.F.H. van Langen, Beknopt Alfabetisch Informatieboekje Betreffende
Groot Atjehsche Personen en Aangeleheden. Kota Radja, 1897, hal. 16.
- 33. James T. Siegel, The Rope of God. (Berkeley and Los Angeles, 1969), hal. 30.
- 34.
Teuku Iskandar, “De Hikayat Atjeh”, Verhandelingen van het Koninklijk
Instituut Voor Taal, Land en Volkenkunde (VKI) 26, (s-Gravenhage:
Martinus Nijhoff, 1958), hal. 28.
- 35. MS ini terdapat di
perpustakaan University Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur yang belum
dikatalogkan. Ditulis dengan huruf Arab, berbahasa Arab/Melayu dan
berangka tahun 1786 M.
- 36. MS ini ditrankripsikan dan diartikan
ke dalam bahasa Indonesia oleh Faisal M. Hasan,alumnus IAIN ar-Raniri,
Darussalam Banda Aceh.
- 37. MS, University Malaysia yang belum dikatalogkan, lihat juga “Kanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda”.
- 38.
Yang dimaksud dengan kanun adalah segala peraturan yang berhubungan
dengan adat. Lihat R.A. Hoesein Djajadiningrat, Atjehsch Nederlandsch
Woordenboek II, (Batavia: Landsdrukkerij, 1934), hal. 662.
Sumber : http://www.atjehcyber.net/2011/10/struktur-pemerintahaan-kerajaan-aceh.htm
***
Penulis M. Adli Abdullah (*
Sebutan negeri Aceh adalah tidak asing bagi sebagian orang Arab walaupun sekarang hanyalah salah satu propinsi di negeri ini. Karena itu, saya memandang bahwa martabat orang Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa. Sejauh ini, gelar ini memang tidak begitu banyak, namun mengingat kontribusi para Asyi ini pada kerajaan Saudi Arabia, saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang cukup kuat secara emosional antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu Aceh.
Banyak sekali orang Arab keturunan Aceh mendapat kedudukan bagus di kerajaan Saudi Arabia seperti alm Syech Abdul Ghani Asyi mantan ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah, Alm Dr jalal Asyi mantan wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi, DR Ahmad Asyi mantan wakil Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana.
Kita akan menguak tradisi sumbang menyumbang masyarakat Aceh di Tanah Hijaz (Mekkah, Saudi Arabia) pada abad ke-17 Masehi. Ini menarik agar kita tahu bagaimana kontribusi Aceh atas tanah hijaz (sekarang bernama Saudi Arabia, red), dimana orang Aceh tidak hanya mewakafkan tanah, melainkan juga emas yang didatangkan khusus dari Bumi Serambi ke negeri Mekkah Al-Mukarramah ini.
Diriwayatkan bahwa pada tahun 1672 M, Syarif Barakat penguasa Mekkah pada akhir abad ke 17 mengirim duta besarnya ke timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mareka ke Aceh setelah Raja Moghol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun rombongan Mekkah ini terkatung katung di Delhi India. Atas nasehat pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681M).
Sampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan utusan syarif Mekkah ini menyulut semangat kelompok wujudiyah yang anti pemerintahan perempuan. Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).
Utusan Arab sangat gembira diterima olehSri Ratu Zakiatuddin, karena mareka tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan empat tahun mareka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb.
Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.
Pada tahun 1094 (1683 M) mareka kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 H (September 1683 M). Dua orang bersaudara dari rombongan duta besar Mekkah ini yakni Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim, tetap menetap di Aceh atas permintaan para pembesar negeri Aceh yang dalam anti raja perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap tinggal di Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama dan salah satu dari mereka, kawin dengan Kamalat Syah, adik Zakiatuddin Syah.
Lima tahun kemudian setelah duta besar Mekkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Kamalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu pemerintahan kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).
Baru setelah meninggalnya Syeikh Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H (1695M), konflik mengenai kedudukan pemerintahan Aceh dibawah pemerintahan ratu yang telah berlangsung 54 tahun sejak Safiatuddin Syah(1641-1675M), terguncang kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari Qadhi Mekkah tiba. Menurut sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan “jasa baik” dari golongan oposisi ratu. Lalu pemerintah Aceh, diserahkan kepada penguasa yang berdarah Arab, yaitu salah satu dua utusan Syarif dari Mekkah, yakni suami Ratu Kemalatsyah, Syarif Hasyim menjadi raja pada hari Rabu 20 Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M).
Menurut sejarah, Ratu tersebut dimakzulkan akibat dari “fatwa import” tersebut. Lalu kerajaan Aceh memiliki seorang pemimpin yang bergelar Sultan Jamalul Alam Syarif Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan berkuasanya Syarif Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai dengan tahun 1728 M. Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di Aceh yang telah berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya campur tangan pihak Mekkah, paska para ratu ini menyumbang emas ke sana. Aceh yang dipimpin oleh perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti bagaimana sebenarnya tingkatemansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra, 1999).
Terkait dengan sumbangan emas yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa sejarah ini tercatat dalam sejarah Mekkah dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sultanah Aceh tiba di Mekkah di bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M). Snouck Hurgronje, menuturkan “Pengiriman Seorang Duta Mekkah ke Aceh Pada Tahun 1683” sempat kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, dimana sewaktu dia tiba di Mekkah pada tahun 1883. Karena Kedermawaan Bangsa dan Kerajaan Aceh masa itu, Masyarakat Mekkahmenyebut Aceh Sebagai "Serambi Mekkah" di sana.
Ternyata sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih selalu hangat dibicarakan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Begitu juga tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah.
Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram.
Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial per jamaah. Peninggalan Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini juga harta harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti :
Inilah bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Mekkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang. Fenomena dan spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada orang Aceh saat ini, karena tradisi wakaf tanah tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh yang banyak mewakafkan tanah di Arab Saudi perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh kejujuran pengelolalaan wakaf di negeri ini, dimana semua harta wakaf masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia.
Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan Pasar Seng. Akibatnya ada 5 persil tanah wakaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi.
Di Mekkah juga penulis sempat bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna perluasan halaman utara Mesjidil haram Mekkah al Mukarramah yang terdaftar petak persil penggusuran no 608. Yang diwakafkan oleh Syech Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) dan adiknya Syech Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga).
Memang pada asalnya 75 persen tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah wakaf apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan Aceh Darussalam di Asia tenggara.
Menurut peraturan pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan proses yang lama ie menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan agama Mekkah menutut ganti rugi dan penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga tanah wakaf tersebut tidak hilang. Kalau seandainya tidak ada keluarga pewakaf lagi khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai dengan ikrar wakaf akan beralih milik mesjidil haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau hikmah tradisi wakaf di Mekkah yang semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi pengelolaan wakaf di Aceh.
Mekkah Tempo Dulu
Itulah secuil catatan yang tercecer, tentang wakaf orang Aceh di Tanah Arab, walaupun generasi sekarang hanya mengenal bahwa Aceh adalah Serambi Mekkah. Namun sebenarnya ada rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh memang pernah memberikan kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah Islam di Timur Tengah. Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama, ternyata dari segi materi, rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan wakaf yang masih bisa ditelusuri hingga hari ini.
Karena itu, saya menduga kuat bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan oleh orang Aceh saat itu, dimana “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”. Akibatnya, kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah “berjasa” merekam beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang Aceh. Inilah pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh, dimana selain bukti-bukti otentik, sejarah juga bisa ditulis melalui oral history (sejarah lisan). Pelajaran ini sangat penting bagi generasi sekarang untuk melacak dimana peran orang Aceh di beberapa negara, termasuk di Timur Tengah.
Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan pengakuan identitas "Asyi" dan pola pengelolaan wakaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia.
***
Sumber : http://www.atjehcyber.net/