SATU lagi
sejarah hubungan Aceh dengan Belanda yang harus tetap diingat, di
samping catatan lain yang menyebutkan bahwa Belanda itu gemilang karena
Aceh mulanya. Belanda sengaja mencari celah berdagang ke Aceh, karena
mereka paham benar hasil alam Aceh yang melimpah-ruah. Atas kesadaran
itulah, Belanda mengadakan kerja sama dengan Aceh.
“Meski ditanam bom pada setiap helai daun rumput di tanah Aceh, niscaya Aceh tetap takkan habis.”
Kekaguman Belanda ini tertera dalam karangan H.C. Zentgraaf, jurnalis Belanda yang banyak menulis tentang Aceh.
Tanggal
1 September, merupakan hari penting bagi Aceh-Belanda. Hari dengan
tanggal yang sama dengan hari ini, tepatnya 1 September 1602 silam,
Laksamana Sri Muhammad dan Mir Hasan dari Kerjaan Aceh memberikan surat
dan dokumen kerja sama Aceh-Belanda kepada Pangeran Mauritz. Pangeran
Mauritz adalah pemegang tampuk kekuasaan Belanda pada Dinasti Orange.
Kerja
sama tersebut disambut baik oleh Belanda, karena Mauritz yakin
dilomasi dan kerja sama dengan Aceh akan dapat mengimbangi dominasi
Portugis di Belanda. Sebelumnya, Belanda terjepit oleh penguasaan
dagang Portugis dan Spanyol yang mampu mengontrol jalur laut mulai
Giblaltar, Samudera Atlantik, hingga Samudera Hindia.
Kerja
sama Aceh dan Belanda itu juga atas permintaan negeri Kincir Angin
tersebut. Pangeran Mauritz sengaja mengirimkan utusan ke Aceh, yang
tiba pada 25 Agustus 1601. Utusan tersebut membawa surat permohonan
kerja sama Belanda untuk Aceh. Surat tersebut ditandatangani langsung
oleh Pangeran Mauritz di Den Haag, tertanggal 11 Desember 1600.
Dalam
surat bujukan kerja sama itu, Belanda mencoba “merayu” Aceh dengan
mengatakan bahwa Portugis telah menjajah Aceh dan Belanda siap bekerja
sama dengan Aceh. Tanpa berburuk sangka, Aceh lantas mengirimkan utusan
ke Belanda, di bawah pimpinan Abdul Hamid, yang kemudian meninggal di
Belanda.
Karena meninggalnya pimpinan utusan Kerajaan
Aceh itu, Laksamana Sri Muhammad turun tangan langsung menyerahkan
berkas dan dokumen sebagai bukti kerja sama Aceh-Belanda. Dengan surat
kerja sama ini pula, Aceh secara de facto dan de jure mengakui
kemerdekaan Belanda di bawah pimpinan Pangeran Mauritz dari Dinasti
Orange van Nassau.
Dari catatan sejarah ini dapat
dipastikan Kerajaan Aceh adalah yang pertama dari seluruh negara di
dunia mengakui Belanda sebagai sebuah negara, yang memiliki wilayah dan
kekuasaan. Sebelumnya, Belanda merupakan jajahan Spanyol.
Pengakuan
ini pula awal kerja sama Aceh dengan Belanda. Namun, dalam perjalanan
sejarah, Belanda mengkianati perjanjian diplomatik tersebut dengan
mengeluarkan maklumat “PERANG” terhadap Aceh pada 26 Maret 1873.
Sejarah pula yang membuktikan bahwa Aceh tidak pernah takut dan takluk oleh kaphe Beulanda (Kafir
Belanda). Negara kincir angin itu akhirnya meninggalkan Aceh setelah
membuat pengakuan bahwa Aceh adalah negara yang berdaulat. Artinya, Aceh
terlebih dulu berdaulat ketimbang Belanda.