Pada 1893,
Teuku Umar membuat terkejut pejuang Aceh ketika ia bersekutu dengan
Belanda. Tapi dua tahun kemudian, setelah mendapatkan senjata dan
logistik, ia berbalik mengkhianati Belanda. Versi lain menyebut,
pembelotan Teuku Umar terjadi karena kecewa dengan Belanda. Artinya,
bila tak kecewa, Teuku Umar tetap ikut Belanda. Entah mana yang benar,
yang pasti, setelah itu muncul istilah yang populer: tipu Aceh.
Tapi
di era Daud Beureueh, giliran orang Aceh yang ditipu. Kali ini
pelakunya adalah Presiden Soekarno yang pernah menjanjikan otonomi untuk
menerapkan Syariah Islam. Alih-alih dipenuhi, Soekarno justru melebur
Aceh menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Gubernur Militer
Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Daud Beureueh pun kemudian memberontak.
Tapi Beureueh pun belakangan juga menjadi korban tipu Aceh yang
dilancarkan para pengikutnya sendiri.
Putri Presiden
Soekarno, Megawati, juga pernah memraktikkan ‘tipu Aceh’. Pada 30 Juli
1999, sesaat setelah partainya memenangkan pemilu, Megawati berpidato
dengan iringan tetes air mata. "Untuk rakyat Aceh, percayalah, Cut Nyak
tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah Rencong,"
katanya. Tapi setelah menjadi presiden, Megawati justru mengirim 40.000
pasukan ke Aceh dalam rangka darurat militer, Mei 2003.
Cerita
tipu menipu inilah yang membuat dialog antara GAM dan Pemerintah
Indonesia berjalan alot. Pihak GAM khawatir Indonesia tak menjalankan
kesepakatan damai. "Semua kesepakatan harus jelas. Kami tidak ingin
lagi didustai," kata Jurubicara GAM, Bakhtiar Abdullah.
Ketika
Belanda melakukan agresi kedua, pada Desember 1948-1949, semua wilayah
Indonesia nyaris mereka kuasai. Soekarno dan Hatta ditawan. Ibukota
Yogyakarta jatuh. Pemerintahan terpaksa diserahkan kepada Wakil Perdana
Menteri Syafruddin Prawiranegara yang membentuk Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) berpusat di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Praktis, hanya secuil itulah wilayah Indonesia. Tapi Aceh masih tak
tersentuh.
Berdasarkan wewenangnya sebagai penguasa
pemerintahan darurat, Syafruddin, pada 17 Desember 1949, menetapkan
Aceh sebagai provinsi dengan mengangkat Teungku Daud Beureueh sebagai
gubernur militer. Sebelumnya, Aceh berada satu provinsi dengan Sumatera
Utara, berpusat di Medan. Dengan adanya provinsi, maka diplomasi
Indonesia di kancah internasional kembali menguat, karena yang namanya
Republik Indonesia ternyata masih memiliki wilayah.
"Kita
jadi punya bukti bahwa Belanda tidak menguasai seluruh Indonesia.
Masih ada Aceh yang tidak bisa mereka masuki," kata AK Jacobi, wartawan
senior yang juga mantan Tentara Pelajar Divisi X TNI.
Ironisnya,
Provinsi Aceh hanya berumur setahun. Setelah situasi aman, pemerintah
menghapus status provinsi itu dan mengembalikannya ke Sumatera Utara,
sekaligus mencabut jabatan gubernur militer dari Daud Beureueh.
Sejak
itu kekecewaan demi kekecewaan mewarnai situasi Aceh. Luka lama meruap
ke permukaan. Warga teringat kembali janji-janji pemerintah soal
penegakan syariat Islam. Situasi makin memanas setelah aparat melakukan
penangkapan terhadap sejumlah tokoh yang dianggap bersuara keras.
Kebanyakan yang ditangkap adalah ulama yang dulunya pernah berjasa
dalam perang mengusir Belanda.
Pada 21 September 1953,
Daud Beureueh akhirnya memutuskan mengangkat senjata melawan Pemerintah
Indonesia. Ia menyatakan bergabung dengan gerakan Kartosuwiryo yang
lebih dulu mendeklarasikan negara Islam di Jawa Barat pada 17 Agustus
1949 lewat perjuangan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Sebagian besar rakyat mendukung perlawanan itu. Banyak pasukan TNI yang
warga Aceh, pejabat negara, dan tokoh masyarakat yang balik kanan,
bergabung dalam barisan Daud Beureueh.
Ibrahim Saleh,
komandan militer di Sidikalang, datang dengan membawa senjata dan
beberapa truk berisi pasukan untuk mendukung gerakan Beureueh. Hasan
Saleh, mantan pasukan TNI yang berpengalaman dalam berbagai medan
perang, turut pula naik gunung. Tak ketinggalan, tokoh Pidie, Amir Husin
Al-Muhajid dan Abdul Gani.
Nama-nama di atas adalah
orang-orang penting yang terlibat dalam sejarah perlawanan Daud
Beureueh. Hasan Saleh sebagai Menteri Pertahanan, adiknya, Hasan Aly,
didaulat menjadi Perdana Menteri. Sementara Abdul Gani menjabat Menteri
Penerangan.
"Kami kerap bersembunyi antara hutan wilayah
Aceh tengah dan Aceh Utara," kata Prof Dr Baihaqi, mantan Kepala Staf
Resimen 5 DI/TII kepada acehkita. Hampir tiga tahun lamanya
Baihaqi mengikuti jejak Daud Beureueh dalam berjuang. Kini, pria ini
menginjak usia 74 tahun kendati masih terlihat tegap.
Menurutnya,
jumlah pasukan DI/TII masa itu diperkirakan mencapai 10 ribu orang.
Namun Baihaqi yakin, hampir semua rakyat Aceh mendukung perlawanan
mereka. "Kami tidak pernah lapar selama di hutan. Warga selalu membantu
kami," katanya. Tak hanya orang dewasa, anak-anak dan wanita juga
mendukung aksi gerilya itu.
Satu-satunya masalah adalah
peluru. "Banyak senjata tetapi kami sulit mendapatkan peluru," ujar
Baihaqi. Bahkan pasukan DI/TII mampu membeli senjata dari Malaysia yang
didatangkan lewat pantai. DI/TII juga memiliki perwakilan di Malaysia
untuk urusan pembelian senjata. Pembelian dilakukan lewat barter dengan
hasil pertanian penduduk.
Untuk kampanye di Amerika
Serikat, Daud Beureueh menjalin komunikasi dengan Hasan Tiro, mantan
muridnya yang belajar di Colombia University. Hasan Tiro bahkan sempat
membuat heboh Pemerintah Indonesia ketika ia mengadukan kekejaman
militer Jakarta ke PBB, tempat di mana ia bekerja sebagai staf
perwakilan Indonesia. Kelak, Hasan Tiro inilah yang menjadi motor
perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Jaringan internasional yang
dibangun DI/TII membuktikan bahwa cara berpikir Daud Beureueh sudah
sangat maju di masanya.
Senjata yang dibeli DI/TII dari
Malaysia biasanya dibawa dengan kapal nelayan dan merapat ke pantai
pada subuh. Pada pagi hari, memang penjagaan pantai sangat kurang,
sehingga para gerilyawan leluasa memasok senjata.
Sejak munculnya
perlawanan DI/TII, personel TNI semakin banyak didatangkan ke Aceh.
Bak kisah perang saudara di Amerika—di mana para jenderal alumni West
Point harus berperang dengan bekas kawan kuliahnya—demikian halnya yang
terjadi di Aceh. Mereka yang pernah sama-sama melawan Belanda, kini
harus saling menghunus senapa satu sama lain.
Aksi
penumpasan pun dilakukan terhadap semua pengikut Daud Beureueh. Salah
satunya adalah pembantaian di Cot Jeumpa, Kutaradja (Banda Aceh), saat
sejumlah petani dan nelayan ditangkap dalam sebuah operasi militer.
Semua dibunuh dan mayatnya dibiarkan bergelimpangan di jalan-jalan.
Tapi
perlawanan anak-cucu Malahayati ini tak pernah padam. Sampai akhirnya
pemerintah Indonesia mengubah siasat perang. Pemerintah menawarkan
dialog untuk menyelesaikan Aceh. Gencatan senjata pun dilakukan pada
1957-1959. Pada masa itulah pemerintah menerapkan strategi
menghamburkan banyak uang ke Aceh. Iming-iming harta diberikan kepada
gerilyawan yang mau turun gunung dan menyerahkan bedil.
Hasilnya
lumayan. Hari demi hari, semakin banyak pengikut Daud Beureueh yang
tergoda bujukan itu. Beberapa jajaran elit DI/TII juga tunduk. Panglima
Perang Hasan Saleh dan Menteri Penerangan Abdul Gani serta Husin Al
Mujahid, memilih turun gunung. Bersamaan dengan mereka, banyak pula
anggota militer DI/TII yang meninggalkan Daud Beureueh di hutan.
Bagi
AK Jakobi, mereka bukan pengkhianat, melainkan tokoh- tokoh DI/TII
yang ingin menyelesaikan konflik secara damai. Hasan Saleh, Abdul Gani,
dan Husin Al Mujahid beberapa kali melakukan dialog dengan delegasi
pemerintah. Termasuk dengan Mr Hardi, utusan dari Jakarta.
Tapi
sumber lain menyebut, mereka turun gunung karena tergoda harta yang
ditawarkan pemerintah. Tanpa seizin Daud Beureueh, mereka melakukan
berbagai perundingan dengan utusan Jakarta, termasuk perundingan di
Lamteh pada 5 April 1957 yang dikenal dengan Ikrar Lamteh yang juga
dihadiri Pangdam Iskandar Muda, Kolonel Syamaun Gaharu.
Dari
berbagai perundingan itu, pemerintah pusat akhirnya mengakui beberapa
kesalahan yang pernah dilakukan di Aceh. Aceh kembali dinyatakan
sebagai provinsi. Ali Hasjmy, salah seorang ulama yang cerdas, dipilih
sebagai gubernur. Sejak itu, pemerintah semakin gigih menawarkan janji
damai bagi gerilyawan. Diplomasi politik dan pemberian uang
dilanjutkan.
Meski ditinggal beberapa pendukung utamanya,
Daud Beureueh tetap tak berubah sikap. Gerilya jalan terus. Baihaqi
mengatakan, Hasan Saleh sebenarnya pernah ingin melancarkan kudeta
berdarah kepada Daud Beureueh. "Tadinya ia akan menampatkan Husin Al
Mujahid sebagai pemimpin rakyat. Tapi rencana kudeta itu bocor kepada
kami," kata Baihaqi.
Untuk mencegah kudeta, anggota
pasukan yang masih setia, yakni Resimen 3 di bawah pimpinan Razali
Idris dan dan Resimen 5 yang dipimpin Teungku Ilyas Leube dan Baihaqi,
melarikan ulama tersebut tempat ke lokasi persembunyian lain, di
perbatasan Aceh Utara dan Aceh Timur.
Kabar kudeta itu
belakangan terbukti, kendati melalui cara lain. Pada 15 Maret 1959,
Hasan Saleh mengumumkan pengambilalihan semua kekuatan pasukan rakyat
yang selama ini di bawah kendali Teungku Daud Beureueh.
Para
pengikut setia DI/TII yang masih bersembunyi di hutan, jelas membantah
klaim Hasan Saleh. Tapi harus diakui, sejak pengakuan itu, semakin
banyak anggota militer DI/TII yang memilih turun gunung.
"Yang
setia dengan DI/TII memang dari unsur ulama. Unsur politisi dan para
desertir TNI, memang lebih dahulu menyerah," kata Otto Syamsuddin Ishak,
sosiolog Aceh.
Yang mengejutkan, Komandan Resimen 3,
Razali Idris, yang tadinya dikenal sangat setia mendukung perjuangan
Daud Beureueh, malah ikut membelot. Hingga penghujung 1959, praktis
hanya Resimen 5 yang setia menemani Abu Beureueh. Menurut Baihaqi,
jumlah mereka hanya sekitar 40 orang. Dah hebatnya, sebagian besar
berasal dari Aceh Tengah. Daerah yang belakangan kerap dibenturkan
secara etnis dengan warga Aceh.
Di daerah ini pula, hidup
Ilyas Leube, seorang ulama yang berasal dari Desa Keunawat. Kemampuan
militernya mengagumkan, dan tak ada satupun yang meragukan kesetiaannya
kepada Daud Beureueh. Ketika banyak pengikut Abu Daud turun gunung dan
tergiur dengan tawaran harta oleh pemerintah, Ilyas Leube memilih
tetap bertahan di hutan.
Dari sekian banyak kasus
pembelotan, menurut Baihaqi, hanya Razali lah yang paling disayangkan
Daud Beureueh. "Selama bertahun-tahun saya ikut beliau, baru sekali itu
saya melihat dia menangis. Dia sangat menyesali Razali yang ikut
berkhianat tuntuk ke TNI hanya karena uang," papar Baihaqi. Dalam
tangisnya, nama Razali berkali-kali disebut. Meski demikian, tidak
sekalipun Daud Beureueh menyatakan akan menyerah kepada Pemerintah
Indonesia.
Sumber Kutipan : http://putraaceh.multiply.com
Tulisan di atas cukup baik tapi kurang lengkap sehingga bisa menimbulkan salah pengertian. Untuk melengkapinya saya akan menambahkan beberapa catatan seperti berikut. 1. Pertama perlu diingat Bahwa Kerajaan Aceh Darussalam baru berhasil di kuasai Belanda pada tahun 1904. Artinya ketika Rakyat Aceh berperang untuk memperoleh kemerdekaannya maka kemerdekaannya Mereka ingin lah kemerdekaan tuk hidup seperti dalam keadaan Kerajaan Aceh Darussalam itulah cita-cita mereka. 2. Daud Beureueh adalah Ketua PUSA organisasi Ulama di seluruh Aceh yang dibentuk untuk memperbaharui kehidupan beragama dan memperluas pendidikan agama khususnya di Aceh. 3. Kekecewaan Aceh kepada Jakarta bukan saja karena dicabut nya status provinsi tetapi juga karena mengabaikan kepentingan rakyat dan juga karena banyak pelanggaran HAM yang terjadi. Dalam masa 1950 sampai 1953 itu tidak ada pembangunan yang dilancarkan di Aceh oleh pemerintah pusat. Jalan jalan dibiarkan rusak jembatan tidak dibangun guru-guru ditarik ke Sumatera Utara sehingga pendidikan pun sangat terlantar bahkan anak-anak harus ujian SMP di Medan. Pasukan divisi 10 TNI yang jadi kebanggaan Raja Aceh dibubarkan ditempatkan di bawah divisi Bukit Barisan Medan. Ketika ada operasi untuk menangkap eks PKI di dalam masyarakat yang menyembunyikan diri justru di Aceh banyak ditangkap ulama yang banyak berjasa dalam masa perang kemerdekaan. Perekonomian rakyat pun dibikin makin sulit karena ada blokade dan pelarangan Perdagangan barter dengan Malaysia sehingga pelabuhan pelabuhan ataupun jadi sepi Semua ekspor harus melalui Medan. 4. Pada masa persiapan perang melawan Pemerintah Pusat Daud Beureueh menjelaskan bahwa tujuan gerakannya ialah untuk mengembalikan status propinsi Daerah Istimewa Aceh bukan untuk membebaskan diri dari Indonesia walaupun itu yang disampaikan kepada masyarakat. 5. Oleh karena itu tiga serangkai yang terdiri dari Hasan Saleh Hasan Ali dan ayah dan ikhtiar untuk mengembalikan perjuangan mereka pada garis yang sebenarnya. Jadi ketika ada gerak upaya damai dari pemerintah pusat maka mereka pun menyambutnya dengan baik bukan karena disogok uang. 6. Selain hak amnesti dan sejumlah kompensasi kepada pribadi para pemberontak kepada daerah Aceh dituntut Supaya diberikan Hak otonomi penuh dengan hak menjalankan syariat Islam sebagai Daerah Istimewa. 7. Setelah beberapa tahun menganggur di Kodam Bukit Barisan Medan sebagai bekas pemberontak maka Hasan Saleh meminta kepada pemerintah pusat sebuah diberikan tugas lain di luar militer karena Umurnya pun masih sangat muda Kemudian beliau mendapat tugas untuk mengurus sebuah dengan mempertimbangkan jasa-jasanya di Indonesia timur selama beberapa tahun dalam memberantas pemberontakan di sana perkebunan di Sukabumi
BalasHapus