BANDUNG, 12 June 2012 | Kompasiana
Aceh, berbeda
dengan wilayah lainnya di Indonesia, karenanya tidak perlu memaksakan
diri untuk menyamakannya. Rakyat Aceh sudah sangat memahaminya
bagaimana membangun dirinya dari berbagai ekses yang terjadi sebagai
dampak perlawanan terhadap rezim korup sebelumnya.
Rakyat
Aceh sangat memahami bagaiamana karakteristik rejim Orde lama dan
juga rejim Orde Baru yang mengkhianati kesetiaan rakyat Aceh,
kesetiaan mereka dibalas dengan pengkhianatan sebagaimana susu dibalas
dengan tuba. Berbagai konflik terjadi yang menelan korban begitu
banyak, yang coba diselesaikan oleh Henry Dunant Center di era Presiden
Gus Dur.
Apa yang dirintis Gus Dur disabot oleh rejim selanjutnya pimpinan Megawati Sukarnoputri dukungan kelompok Sukarnoisme.
Upaya-upaya
perdamaian yang mulai tampakpun kembali hancur berkeping-keping,
Presiden Megawati Sukarnoputri mengobarkan perang terhadap rakyat Aceh
sebagaimana dilakukan rejim Orde Lama pimpinan Sukarno sebelumnya.
Selain itu kelompok-kelompok Sukarnoisme coba memecah wilayah Aceh
sebagaimana mereka lakukan terhadap Papua, namun gagal karena rakyat
Aceh sudah bertekas untuk tetap bersatu dan enggan wilayahnya dipecah belah oleh siapapun.
Operasi
militer besar-besaran berhasil di akhiri menysul terpentalnya Megawati
Sukarnoputri dari kursi kepresidenan, yang kemudian dilanjutkan SBY
salah seorang anggota kabinet Gotong royong yang terpental dan
bergabung Demokrat yang bersama JK terpilih menjadi kepala pemerintahan
selanjutnya. Pada masa SBY upaya perdamaian di Aceh dilanjutkan
kembali, yang berhasil mengakhirinya dengan menandatangani MOU
Helsinki, 15 Agustus 2005.
MOU
Helsinki yang diprakarsai oleh Marty Achtisary, PBB dan EU berhasil
mengakhiri konflik yang ditanda tangani oleh pihak GAM dan Indonesia.
Konsekuwensinya Aceh memiliki Partai -Partai Politik Lokal, serta
pemberlakuan syariat islam di Aceh. Sekali lagi hanya di Aceh, bukan
di daerah lainnya.
Dan bagi kelompok yang coba mengutik
atik MOU Helsinki sebagaimana yang senantiasa dilakukan oleh kelompok
nasionalis sekuler Sukarnois dan Marhenis tersebut, maka perlu
menyadarinya bahwa Aceh memang berbeda dengan daerah lainnya. Karena
memang latar belakang historis wilayah Aceh jauh berbeda dengan daerah
lainnya, sehingga wajar saja jika hal itu bisa membedakannya dengan
daerah lainnya.
Soal toleransi beragama di Aceh sudah
berlangsung lama, bahkan sejak NKRI belum ada kesultanan Aceh sudah
memberlakukannya dengan baik. Sultan Iskandar Muda menghukum mati
putranya sendiri karena melakukan perbuatan keji, karena Aceh menerapkan
hukum Islam. Ketika Belanda membatalkan perjanjian London dengan
traktat Sumatra 1871, lalu menyerang Aceh hingga meletuslah peperangan
yang terlama di kawasan Asia, dan nomor dua terlama di dunia.
Ketika
perang dunia berakhir Aceh tidak pernah dikuasai kembali oleh Belanda,
sehingga tidak termasuk kedalam BFO (RIS) buatan NICA yang selanjutnya
menjadi Indonesia sebagai konsekuwensi Konferensi Meja Bundar. Selama
Hindia Belanda masih diduduki, Rakyat Aceh menyediakan wilayahnya bagi
PDRI seiring membeli pesawat terbang Seulawah yang oleh Indonesia
dinamakan RI.001, serta bantuan finasial lainnya bagi Indonesia.
Karenanya
Aceh seperti halnya Yogya berbeda dengan lainnya,makanya keduanya
memiliki keunikan yang tidak diperoleh daerah lainnya. Ya sudahlah,
jangan diungkit-ungkit lagi masa lalu yang luka menganga tersebut,
sekarang tepati saja janjinya, urusi saja urusan masing-masing.
Di
Aceh tepatnya dekat Mesjid raya Baiturrahman terdapat Gereja, Wihara,
yang senantiasa dilindungi oleh rakyat Aceh meskipun dalam keadaan
perang sekalipun.
Namun
bagi wilayah Aceh ada atau tanpa SKB pun toleransi beragama sudah
sejak lama dipraktekkan disana, namun sekitar tahun-tahun berikutnya
seiring maraknya PKI di zaman Orde lama-terjadi migrasi non muslim ke
Singkil dari Sumatera Utara.
Dalam konteks terjadilah
konflik dengan penduduk setempat, tetapi bagi jemaat yang sudah ada
sebelumnya bebas menjalankan ajaran agamanya. Gereja mereka dihormati
oleh penduduk setempat, akan tetapi melalui strategi khusus untuk
memperoleh ijin warga setempat banyak jemaat dari luar Aceh di bawa
kesana sehingga menimbulkan konflik. Dan beberapa hari yang lalu aparat
keamanan Aceh menangkap dua orang diantara tokoh intelektualnya, dan
sudah diserahkan kepada polisi.
Jadi keadaan Aceh yang sudah damai tidak usah diusik-usik lagi, jika enggak cocok dengan aturan (Qanun) Aceh enggak apa-apa,
memang syariat Islam hanya berlaku di Aceh. Dan jika sekiranya
Marhenisme atau Soekarnoisme dan sejenisnya tidak suka, jangan ke Aceh
titik!.
Sumber :
Muhammad Nurdin, Bandung, 8 Juni 2012
Guru sejarah dan sosiologi di SMA di kota Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar