Turis dari kapal pesiar MV Clipper Odyssey disambut tarian ranup lampuan
saat tiba di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, Kamis (10/1/2013). Kapal
yang mengangkut 150 penumpang dari berbagai negara dalam tour wisata
Zegrahm Expedition tersebut melego jangkar selama enam jam di lepas
pantai Banda Aceh untuk membawa para turis melakukan city tour ke
beberapa situs sejarah dan tsunami Aceh.
Di
masa lalu, Aceh pernah menjadi ”Mutiara Nusantara”. Kisah sukses
saudagarnya, mendunia. Demikian alamnya yang indah dan kaya raya. Namun,
kisah hebat itu nyaris jadi legenda. Sejumlah daerah kini mencoba
bangkit meskipun tertatih. Ironi inilah yang dipotret Tim Jelajah Sepeda
Kompas PGN Sabang-Padang, hari-hari ini.
Mata Ahmad
Faisal, peserta jelajah sepeda, berbinar saat menceritakan
pengalamannya menjelajahi Aceh selama enam hari terakhir. Meski dihajar
angin kencang, hujan, hingga terik matahari di perjalanan, baginya
Aceh adalah karunia Tuhan tak terhingga, mulai dari pantai hingga
pegunungan.
Faisal mengatakan, ia tak berhenti mengagumi
Aceh sejak mulai mengayuh sepeda dari pantai barat Aceh di Pulau Weh di
ujung barat hingga Subulussalam, kota di ujung selatan Aceh. Enam hari
mengayuh pedal sepeda, bertubi-tubi ia disajikan keindahan alam dan
keramahan masyarakatnya. Jauh dari kesan Aceh sebagai daerah rawan
konflik di masa lalu.
Saat napas mulai terengah-engah,
para peserta jelajah sepeda mendapat hiburan saat mendaki Gunung
Geurutee dan jalan bantuan Pemerintah Amerika Serikat (AS), pemandangan
Pantai Daya di Aceh Jaya, Pantai Arongan (Aceh Barat), dan Suak
Gedebang, Lampuu (Aceh Besar). Demikian juga pesona Pantai Arongan
(Aceh Barat) dan Bidari (Aceh Selatan), meluruhkan lelah setelah
menapaki tanjakan curam di sekitar Aceh Selatan.
”Kehormatan
besar buat kami bisa menjelajahi Aceh dengan tenang dan nyaman di atas
sepeda. Sangat disayangkan kalau keindahan ini tak diketahui
masyarakat Indonesia,” ujar pegiat dan pelaku usaha alat-alat olahraga
petualangan dari Jakarta.
Antonius Purnomo, peserta
lainnya, sudah tak sabar lagi ingin kembali secepatnya ke Pulau Weh.
Sebab, keindahan pulau induknya, Sumatera, yang dihiasai pulau kecil di
ujungnya dengan beberapa pulau lain di sekelilingnya mengingatkan
Phuket di Thailand.
”Saya akan kembali bersama anak dan
istri. Kebetulan kami suka bersepeda. Rute cantik sekaligus menantang
ini penuh dengan tanjakan curam yang akan saya ulangi bersama mereka,”
kata direktur salah satu perusahaan yang bergerak di bidang properti
ini.
Decak kagum peserta jelajah sepeda mungkin sama
dengan penjelajah Portugis dan Kolonial Belanda pada abad ke-16 hingga
ke-17. Di samping keindahan pantai, kekayaan sumber daya alam dan
letaknya yang strategis menjadi incaran utama.
Turis dari kapal pesiar MV Clipper Odyssey mengenakan pakaian khusus
saat memasuki kompleks Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Kamis
(10/1/2013). Kapal yang mengangkut 150 penumpang dari berbagai negara
dalam tour wisata Zegrahm Expedition tersebut melego jangkar selama enam
jam di lepas pantai Banda Aceh untuk membawa para turis melakukan city
tour ke beberapa situs sejarah dan tsunami Aceh.
Belanda
tercatat yang paling lama menancapkan kukunya. Di Pulau Sabang,
pelabuhan dibangun guna memudahkan distribusi logistik untuk memperkuat
pertahanan.
Sinar yang meredup
Sebenarnya,
sebagai bandar dagang, Pulau Weh berkembang besar lebih dulu ketimbang
Singapura. Namun, ”sinar”-nya justru meredup setelah Indonesia
merdeka. Difungsikannya Sabang sebagai pangkalan udara justru
mengurangi ”sinar”-nya sebagai pintu masuk Eropa-Asia. Tanpa saingan,
Singapura pun akhirnya melaju menjadi palang pintu perdagangan dunia
sejak tahun 1960-an.
Wajar jika sejumlah bangsa asing
ngotot menguasai Aceh karena dipicu lada yang tumbuh subur. Harganya
yang mahal membuat saudagar Aceh kaya raya. Pala yang ditanam dengan
bibit asal Pulau Banda memang sempat menjadikan Aceh sebagai penghasil
pala terbesar setelah Pulau Banda. Untuk itu, dua pelabuhan dibangun
Belanda untuk ekspor ke berbagai negara Eropa, di Labuhan Haji dan
Tapak Tuan.
Namun, konflik berkepanjangan dan serangan
hama tak berkesudahan menggerogoti kejayaan itu. Misalnya, tanaman
pala. Dari 30.000 hektar lahan pala di akhir tahun 1983, menjadi
tersisa 14.000 hektar tahun 2013. Banyak pohon pala yang juga terserang
hama. Alhasil dua dari empat penyulingan minyak pala pun akhirnya
bangkrut.
Pelabuhan Labuhan Haji yang masyhur, kini terimpit besarnya kapasitas alat tangkap nelayan Sibolga dan Thailand.
Kemukiman
Bulohseuma, Kecamatan Trumon, Aceh Selatan, yang disinggahi tim
jelajah sepeda, juga potret sikap abai pemerintah untuk memeratakan
pembangunan. Tak ada akses jalan yang menghubungkan 280 keluarga di tiga
desa di kemukiman ini. Gelap gulita pun senantiasa ”menemani”
malam-malam warga karena ketiadaan listrik. Ironisnya, kondisi tersebut
masih dialami mereka saat Indonesia sudah merdeka 68 tahun lamanya.
Padahal, dari wilayah ini, Aceh Selatan senantiasa menghadirkan madu
termahal dan ternikmat di Aceh.
”Pemerintah tak serius
menganggap keluhan kami. Entah berapa kali kami meminta agar
dibangunkan jalan. Tetapi, janji-janji itu begitu lamban terwujud,”
kata Sekretaris Desa Raket, Bulohseuma, Zaenal.
Peserta Jelajah Sepeda Sabang-Padang Kompas-PGN menuju Blangpidie, Aceh Barat Daya, Selasa (3/9/2013).
Pusat
penyulingan milik H Burhan di Tapak Tuan, yang kosong melompong,
menjadi contoh lonceng kematian investasi. Tabung uap suling pala di
dalam gedung besar seluas 1 hektar itu, kini sudah diangkut ke Medan.
Tanpa mekanisme pembuangan limbah yang baik, pabrik yang sempat diprotes
warga karena pembuangannya, akhirnya terpaksa pindah ke Medan tahun
1997.
Tingginya ongkos pengiriman minyak pala ke Medan
melalui jalan darat juga menjadi kendala besar. Butuh biaya besar
membawa minyak pala untuk selanjutnya dikirim ke Eropa oleh distributor
Medan.
”Harga minyak pala dari Tapak Tuan ke Medan
antara Rp 800.000-Rp 1 juta per kilogram. Tidak tahu juga berapa harga
dari Medan ke konsumen asing,” ujar Deddy Syahputra, warga Aceh
Selatan.
Tinggal di dekat jalan paling bagus di
Indonesia, yang dilalui tim jelajah sepeda, ternyata bukan jaminan
sejahtera. Sudirman, pemilik warung makan di Jalan Calang-Meulaboh,
hanya mendapatkan Rp 50.000-Rp 100.000 per hari.
Berada
di sekitar Pantai Suak Debangbrueh, Kecamatan Sama Tiga, Aceh Barat,
juga tak terlalu menolong. Sebab, pantai berpasir putih yang dihiasi
cemara laut dan menghadap Samudra Hindia, jarang dikunjungi wisatawan.
Trauma pascatsunami membuat warga hijrah ke daerah lain. Bahkan, rumah
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Nias, kini tak terurus. Hanya
berjarak 50 kilometer atau satu jam naik motor dari Banda Aceh, Maryati
(45), warga Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, yang berjualan di pinggir
jalan besar itu juga mereguk banyak keuntungan. Jalan mulus bantuan AS
membuat pengguna jalan memacu kendaraannya kencang-kencang sehingga
jualan buahnya hanya laku sekitar Rp 30.000-Rp 50.000 per hari.
Sebenarnya,
Maryati bisa meraup keuntungan lebih besar jika mau berjualan hingga
malam. Dibandingkan masa lalu, yang jalan sering rusak, maka banyak
pengguna jalan yang beristirahat di warung buah miliknya.
Saat
melintasi etape ketujuh, Budhi Dharma (60), peserta jelajah sepeda
lainnya, juga terngiang saat masa kecilnya di Padang pada sekitar 40
tahun lalu. Orangtuanya dulu kerap bercerita tentang banyak saudagar
Aceh yang kaya raya. Mereka pintar berdagang dan punya banyak kebun
rempah-rempah.
Lautan biru di Teluk Balohan, Aceh dengan perbukitan yang mengelilingi.
Lautan ini menjadi pemandangan bagi peserta Jelajah Sepeda Sabang-Padang
Kompas-PGN, Sabtu (31/8/2013).
Namun,
enam hari bersepeda mengelilingi Aceh lebih dari 600 km, Budi justru
merasa sedih melihat Aceh di bagian selatan. Bangunan rumah kayu kusam
di pinggir jalan mirip dengan rumahnya tahun 1960-an.
”Saya
sedih. Ke mana kejayaan Aceh dengan kejayaan para saudagarnya
sekarang? Rumah warga sangat sederhana. Padahal di depannya banyak
berjejer pantai indah dan kaya ikan. Sayang, mereka tak bisa
memanfaatkannya,” kata pengusaha otomotif dan karoseri ini.
Pemimpin
Redaksi Idea dan Ide Bisnis Wahyu Hardana menambahkan, keunggulan
sumber daya alam dan infrastrukur jalan di Aceh harusnya bisa mendorong
Aceh menjadi provinsi termaju. Mungkinkah? (Cornelius Helmy/Mohamad Burhanudin)
Sumber : http://print.kompas.com/
Sumber : http://print.kompas.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar