HARI itu,
tepat 11 Desember 1906, Bupati Sumedang waktu itu, Pangeran Aria
Suriaatmaja, kedatangan tiga orang tamu. Ketiganya merupakan tawanan
titipan dari pemerintah Hindia Belanda. Seorang perempuan tua, renta,
rabun serta menderita encok.
Seorang lagi lelaki tegap
berumur kurang lebih berumur 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15
tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tetap kelihatan tabah. Pakaian
lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang
ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.
Belakangan
karena melihat perempuan tua itu sangat taat beragama, Pangeran Aria
Suriaatmaja tidak menempatkannya di penjara. Melainkan memilih
menempatkannya disalah satu rumah milik tokoh agama setempat.
Kepada
Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta
dan menderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 06 November 1908
masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan tua itu.
Perjalanan
sangat panjang telah ditempuh perempuan tua itu sebelum akhirnya
beristirahat dengan damai dan dimakamkan di Gunung Puyuh tak jauh dari
pusat kota Sumedang. Yang mereka tahu, karena kesehatannya yang sangat
buruk, perempuan tua nyaris tak pernah keluar rumah. Kegiatannyapun
terbatas hanya berdzikir atau mengajari mengaji ibu-ibu dan anak-anak
setempat yang datang berkunjung.
Sesekali mereka
membawakannya pakaian atau sekadar makanan pada perempuan tua yang
santun itu yang belakangan karena penguasaanya terhadap ilmu-ilmu agama
disebut dengan Ibu Perbu.
Waktu itu tak ada yang menyangka bila perempuan tua yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah The Queen of Aceh Batlle
dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Nyak Dhien. Ya, hari-hari
terakhir Tjoet Nyak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh
dari tanah air dan orang-orang yang dicintai.
Gadis
kecil cantik dan cerdas bernama Cut Nyak Dhien. Dilahirkan dari
keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang tahun 1848. Ayahnya
adalah Uleebalang bernama Teuku Nanta Setia yang merupakan keturunan
perantau Minang yang datang dari Sumatera Barat ke Aceh sekitar abad 18
ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.
Tumbuh
dalam lingkungan yang memegang tradisi beragama yang ketat membuat
gadis kecil Cut Nyak Dhien menjadi gadis yang cerdas. Pada usianya yang
ke 12 dia kemudian dinikahkan oleh orangtuanya dengan Teuku Ibrahim
Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII.
Suasana
perang yang bergelanyut diatmosfir Aceh pecah ketika 1 April 1873,
F.N. Nieuwenhuyzen memaklumatkan perang terhadap kesultanan Aceh. Sejak
saat itu gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh selalu
berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh. Dan Tjoet Nyak Dhien tentu
ada disana, ditengah tebasan rencong, pekik perang dan dentuman meriam.
Dia juga yang berteriak membakar semangat rakyat Aceh ketika Masjid Raya jatuh dan di bakar tentara Belanda.
“Rakyatku, sekalian mukmin orang-orang Aceh! Lihatlah! Saksikan dengan matamu masjid kita dibakar! tempat Ibadah kita dibinasakannya! Mereka menentang Allah! Camkanlah itu! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah memaafkan para kafir Belanda! Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata!” (Szekely Lulofs, 1951:59).
Perang
Aceh adalah cerita tentang keberanian, pengorbanan dan kecintaan
terhadap tanah lahir, begitu juga Tjoet Nyak Dhien. Bersama ayah dan
suaminya, setiap harinya waktu dihabiskan untuk berperang, berperang dan
berperang melawan Kaphe Beulanda. Tetapi perang juga lah yang
mengambil satu-persatu orang yang dicintainya, ayahnya lalu suaminya
menyusul gugur dalam pertempuran di Glee Tarom 29 Juni 1070.
Dua
tahun kemudian, Tjoet Nyak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan
pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam
serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.
Tetapi
bagi Tjoet, perang melawan Belanda bukan hanya milik Teuku Umar,
Teungku Ibrahim Lamnga suaminya bukan juga monopoli Teuku Nanta Setia
ayahnya atau para lelaki Aceh saja. Perang Aceh adalah milik semesta
rakyat. Setidaknya itulah yang ditunjukan Tjoet Nyak Dhien, dia tetap
mengorganisir serangan-serangan terhadap Belanda.
Bertahun-tahun
kemudian, segala energi dan pemikiaran putri bangsawan itu hanya
dicurahkan pada perang. Berpindah dari satu persembunyian ke
persembunyian yang lain, kurang makan dan kurangnya rawatan kesehatan
membuat kebugarannya merosot.
Kondisi pasukannya pun tak
jauh berbeda. Pasukan itu bertambah lemah hingga ketika pada pada 16
November 1905 sepasukan Belanda menyerbu ke tempat persembunyiannya,
Tjoet Nyak Dhien dan pasukan kecilnya kalah telak.
Dengan
usia yang telah menua, rabun dan sakit-sakitan Tjoet memang tak bisa
berbuat banyak. Rencong pun nyaris tak berguna untuk membela diri. Ya,
Tjoet tertangkap dan dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) lalu dibuang
Sumedang, Jawa Barat.
Perjuangan Tjoet Njak Dien
menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku
yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan,
para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin
perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.
Aceh
mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan
penting dalam berbagai sektor, Jauh sebelum dunia barat berkoar
menyamaratakan persamaan hak yang bernama, Emansipasi.
Sumber : http://www.atjehcyber.net/2011/11/dhien-sebuah-akhir-di-tanah-sepi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar